Buku saku 124 halaman, kumpulan
4 sambutan M. NATSIR.
Penerbit Media Da’wah. Cetakan I 1982, Cetakan II
2008.
Hari ketiga Ramadhan, saya
mulai manfaatkan sistem arisan ide. Saya
ambil satu gulungan. Topiknya renungan. Wah, pas saya sedang tidak bisa khusyuk
merenung. Saya pun ambil gulungan kedua. Membaca buku kumpulan sambutan M.
Natsir dan menuliskan resumenya. Saya sudah mendapatkan buku ini beberapa tahun
lalu pada peringatan 100 tahun M. Natsir. Belum menyempatkan diri saja
membacanya. Padahal hanya sebuah buku
saku dan tipis.
Kemarin pagi saya membaca
halaman-halaman awal. Oh, tidaaak! Bahasa diplomatik. Pusing. Buku ini memuat 4
buah tulisan M. Natsir yang dibacakan pada 4 peristiwa. Pertama, Pidato Utama
pada Sidang ke-8 Muktamar Alam Islamy,
1980 di Cyprus. Kedua, ceramah pada Musyawarah Umat Islam, 1976 di Pakistan.
Ketiga, sambutan pada pembukaan Konferensi Islam dan Tata Internasional Baru, 1981 di Jepang. Keempat,
ceramah, 1976, di Jakarta, tentang World
of Islamic Festival di London yang beliau hadiri.
Saya sangat tergoda untuk
mengambil gulungan ketiga. Tapi saya kuatkan hati. Tak boleh! Saya harus
mencoba konsisten. Bukankah salah satu tujuan sistem arisan ini untuk memaksa
diri membaca buku-buku yang belum tersentuh? Jika saya menyerah dengan
kerumitan bahasa dan bahasan buku tipis ini sekarang, maka kemungkinan besar saya
tak akan membaca buku ini untuk selamanya.
Akhirnya, pelan-pelan saya baca. Sedikit demi sedikit. Dengan stabilo di tangan, untuk memudahkan. Mencoba menemukan intisari bahasan. Ternyata, bertebaran mutiara. Padat sekali. Buku berpenampilan sederhana ini pun penuh dengan stabilo kuning.
Dr. M. Natsir adalah salah satu tokoh politik Islam di Indonesia dan sempat menjadi menteri penerangan 3 kali ( on-off dalam rentang 1946-1950), dan Perdana Menteri Negara Republik Indonesia pada tahun 1950. Beberapa bulan sebelum menjadi PM, 3 April 1950, dalam sidang pleno parlemen, M. Natsir menyampaikan apa yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir. Beliau mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib. Wapres M. Hatta menyatakan sangat terbantu dengan mosi ini, karena memulihkan keutuhan bangsa dalam NKRI, setelah sebelumnya berpola “serikat”. Mosi ini sering disebut sebagai Proklamasi Ke-2 RI.
Sebagai Perdana Menteri, Natsir
menentukan kabinet. Artinya, pengaruh beliau terhadap roda kehidupan negeri ini
saat itu cukup signifikan. Tak lama menjadi PM, 26 April 1951 beliau mundur,
karena berselisih paham dengan Presiden Sukarno tentang Islam sebagai ideologi.
Bung Karno mendukung sekularisasi Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan
Utsmaniyah (Turki). Sementara Natsir justru menyayangkan itu dan menunjukkan
efek sekularisme.
Setelah tak menjadi PM, Natsir
semakin lantang menyuarakan Islam. Kiprah di usia lanjutnya, selain mendirikan
Dewah Dakwah Islamiyah Indonesia, beliau sempat menjadi Presiden World Muslim
Congress dan menjadi ketua Dewan Masjid sedunia. Beliau juga termasuk salah
satu penandatangan Petisi 50 pada tahun 1980.
Informasi tentang M. Natsir di
atas saya dapat dari beberapa sumber lain. Alhamdulillah, membaca sepak terjang
beliau membuat saya lebih mudah memahami apa yang beliau sampaikan pada 4
tulisan di buku ini.
Saya mencoba menyampaikan apa yang saya pahami
dari tulisan beliau. Situasi tentu telah berubah selama 30-an tahun ini. Semoga
saya tidak keliru dalam merajut informasi dari buku dan memori situasi dari pelajaran
sekolah maupun berita utama media masa itu.
Pertama.
Pidato di Cyprus tahun 1980, Dunia Islam Berhadapan dengan Dunia Modern.
Situasi dunia pada tahun-tahun itu sedang berubah dengan cepat. Dari 2 kubu
(Amerika-Rusia, demokratis-komunis) sebagai pusat penguasa, menjadi banyak kubu
koalisi baru, bertebaran serpihan karena menolak pengendalian terpusat. Antar
negara berselisih paham. Sedihnya, mayoritas menimpa negara-negara muslim yang
saat itu mayoritas merupakan negara muda.
Bidang politik dan ekonomi
menjadi primadona. Sekjen PBB Dr. Kurt Waldheim sendiri menyatakan, “Telah
terjadi pergeseran mendadak dalam kesetimbangan politik, dalam berbagai bidang
kekuasaan, baik ekonomi, politik, maupun keagamaan...”
Dari sini, dapat disimpulkan
bahwa secara potensial, bentuk dunia di masa depan tak akan ditentukan oleh
satu negara besar saja, pun bukan oleh negara-negara barat saja,melainkan akan
turut dipengaruhi oleh negara-negara yang kini masih mengembangkan
potensialitasnya masing-masing.
Ketika semua pihak fokus pada
perubahan politik dan ekonomi, M. Natsir mengajak semua pihak memikirkan satu
aspek lain yang juga berubah, dan sama vitalnya: Jiwa nan berubah-ubah dari
Peradaban ( The Changing Mood of
Civilization ). “Dalam waktu yang relatif singkat untuk skala sejarah,
masyarakat sedang bergeser ke arah sistem nilai baru, atau lebih tepatnya ke
satu sistem tanpa sesuatu nilaipun.” Salah satu wujudnya adalah, pemujaan yang
berlebihan terhadap kebebasan individu, sebagai interpretasi dari Hak-hak Asasi
Manusia, dengan mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab yang pokok-pokok.
Di sisi lain, bangsa-bangsa
muslimin yang kebanyakan baru merdeka, justru sedang berusaha keras
memodernisir diri. Berusaha melepaskan diri dari segala penderitaan dan
kekurangan dalam kehidupan tradisional kuno mereka. Alternatif-alternatif yang
terlihat ada dari dua kubu berseberangan. Sehingga sering ditemukan indikasi
pengaruh liberal maupun sosialisme sedang bertanding dalam benak
pemimpin-pemimpin mereka. Untungnya kita mempunyai agama yang memiliki garis-garis
pedoman universal dan petunjuk yang abadi.
M. Natsir menyitir 2 ayat dari
Al Qur’an. QS Ali Imran ayat 112, yaitu bahwa Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika
mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. *”Mereka” di sini, pada sebuah Qur’an tafsir, disebut
eksplisit sebagai Yahudi, pada terjemahan yang lain, Ahli Kitab.
Sedangkan dari QS Al Baqarah
ayat 143, dan demikianlah pula kami telah
jadikan kalian (ummat Islam) ummat jalan tengah dan pilihan, agar kalian
menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.
Kedua ayat ini digunakan untuk
mengajak Muktamar Alam Islami, sebagai organisasi rakyat, selalu mengemukakan
pandangan dan pendirian rakyat berkaitan dengan aspek yang menyinggung ummat,
baik itu bersifat politik, ekonomi, maupun kultural. Dengan mengutarakan segi
pandangan Islam terhadap aspek hidup yang berlain-lainan, diharapkan dunia
dapat memperoleh suatu gambaran benar dan tepat dari prinsip-prinsip sosial
yang wajib kita pelihara.
Muktamar ini hanya mengabdi
kepada ummat, tidak menuntut kepemimpinan. Hanya mengingatkan bahwa di atas
segala perselisihan, kita adalah bersaudara.
Bersambung... (Tulisan ini saya bagi tiga. Semoga
lebih memudahkan bagi yang membaca.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar