Senin, 30 Juni 2014

BI SARI, PENJUAL KERE YANG TAK MISKIN HARAPAN





           Bi Sari adalah tukang sayur pertama yang saya kenal. Sampai kelas 1 SD  saya tinggal di sebuah rumah panggung, di belakang rumah kakek, di Gg. Ingi, jalan kecil penghubung Jl. Kalipah Apo dan Karang Anyar, Bandung. Bi Sari biasanya masuk ke halaman rumah kakek. Ibu yang  ke depan jika ingin belanja. 

           Jika saya sedang di  depan, Nenek atau Ibu biasanya membelikan kue lapis yang dibawa bi Sari. Saya akan urai lapis demi lapis, dibariskan di lengan kiri saya, kemudian dimakan satu demi satu. *alhamdulillah saya masih hidup sampai sekarang, hehe, saat itu gak mikir ada bakteri  atau tidak  di lengan saya.

          Sosok bi Sari yang saya ingat, ramai. Maksud saya, aktif mempromosikan dagangannya, tapi sambil bertahan di harga yang dia tawarkan. Makanya, ibu saya lebih sering pergi ke pasar untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi nenek saya pelanggan setia Bi Sari. Varian  dan kualitas barang yang dibawanya memang lebih dari tukang sayur pada umumnya.

          Bi Sari selalu memakai kostum kebaya dan samping (kain batik panjang dililit sebagai rok), rambut disanggul tanpa sasak. Barang dagangannya ditanggung kuli yang dia bayar untuk itu. Sekarang sudah jarang sekali melihat tukang sayur yang seperti ini. Barang-barangnya ditaruh di dua buah wadah besar dari anyaman bambu berkaki pendek untuk  alas, tali dikaitkan di 4 titik pada masing-masing wadah, ujung tali disatukan. Sebilah kayu digunakan untuk mengangkatnya. Di kedua ujung kayu, ujung tali dikaitkan, dan bagian tengah kayu disimpan di bahu kuli ini. Si kuli turut berkeliling kota, keluar masuk gang. *maaf pakai istilah kota, bukan kampung, karena ini wilayah pusat kota Bandung, dekat alun-alun. :)

          Salah satu barang mewah yang dijual bi Sari adalah kere. Ya, kere yang saya maksud pada judul, bukan berarti miskin, tetapi nama jenis makanan. Itu istilah bahasa Sunda. Terjemahannya mungkin dendeng-manis-basah

          Dibuat dari daging dan lemak sapi, diiris tipis dan digeprek (dipukul-pukul agar empuk), dilumuri bumbu bawang-gula-ketumbar, dijemur beberapa hari. Kere yang dianggap enak di Bandung ada di pasar Kosambi. Tapi, entahlah, menurut saya, masih lebih enak kere bi Sari. Seingat saya, kere tidak digabung dengan barang jualan lain, tapi digantung. Mungkin sambil diangin-angin agar awet  dan tampilannya tak rusak .

          Kere digoreng dengan api kecil, sebentar saja. Makannya pun tak perlu banyak-banyak karena rasanya kuat. Sekitar 1 cm2 cukup untuk sesuap besar  nasi hangat. Saya selalu lahap jika makan dengan lauk kere ini. Mungkin karena enak, dan praktis, kere menjadi menu favorit untuk sahur. Kere menjadi salah satu menu wajib Ramadhan di keluarga besar kami. Sampai sekarang.

          Ya, betul, sampai Ramadhan kali ini. 40 tahun-an kemudian!


          Bi Sari sudah lama tak ada. Bahkan kedua anaknya pun sudah wafat (semoga Allah memuliakan mereka). Tapi, kere untuk Ramadhan hampir tak pernah putus tersaji di ruang makan saya.

          Bi Sari menurunkan kepada anak keduanya, perempuan, cara membuat kere. Putrinya tidak menjadikan ini profesi. Dia hanya membuat kere jika ada pesanan. Dulu, setelah kakek meninggal dan rumahnya dijual, Ayah saya sering menjadi kurir saudara-saudara Ibu yang pesan kere untuk bulan puasa. Karena belum era ponsel dan ATM, pesan-ambilnya manual, harus datang ke rumahnya di wilayah Karasak. 

          Karena proses membuat kere agak rumit, biasanya putri bi Sari membuatkan jika pesanan lebih  dari 4 kg. Makanya kami sering janjian agar pesan sekalian banyak. Saat itu putri bi Sari masih repot membesarkan anak-anaknya. Jangan-jangan, mereka hanya membuat kere saat kami pesan saja. Pernah dengar, bahwa sang anak diwanti-wanti ibunya, jika anak-cucu nenek saya yang pesan, harus dibuatkan. Konon, bi Sari mendapat resep kere dari nenek saya yang memang jago masak.

          Lebih dari 10 tahun terakhir, yang membuat kere adalah cucu bi Sari. Sudah mulai generasi ketiga. Rasanya masih sama. Sang cucu tampaknya lebih profesional dari ibunya untuk urusan kere. Dia menjadwalkan kapan membuat kere. Biasanya seminggu sebelum membuat dia SMS saya barangkali mau ikut dibuatkan. Seperti menjelang Ramadhan kali ini. Nanti saya transfer bayarannya melalui ATM, dan kere akan dikirim dengan paket JNE. Praktis. 

          Bu Atin, nama sang cucu, punya banyak pelanggan lain selain kami. Jadi, tahun ini dia bahkan khusus memotong satu sapi untuk penuhi pesanan kere. Kebetulan salah satu pamannya pedagang sapi di pasar.

          Untuk bu Atin dan dan saudara-saudaranya, membuat kere adalah usaha sampingan. Bu Atin sendiri lulusan S2 Sastra UGM dan sekarang menjadi guru di SMPN 5. Adiknya, pak Diman, adalah dosen Pendidikan Elektro di UPI, Bandung. Menarik? Ya.

          Mereka hanya efek. Keberhasilan di bidang pendidikan sudah didahului oleh Ua-nya, putra sulung bi Sari. DR. Oman Karmana, MS  (alm), seorang pakar Biologi di Universitas Pajajaran. Pernah menjabat sebagai Kepala Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, menjadi pengurus Kebun Binatang Bandung (1998), dan meninggalkan warisan banyak buku pelajaran Biologi untuk siswa SMP-SMA. Menurut bu Atin, Pak Oman sempat mencapai penghargaan tertinggi, Profesor Biologi, dan menjadi Dekan FMIPA Unpad (belum sempat tanya periode kapan).

          Dari jejak yang saya dapatkan di halaman Kang Google, salah satunya adalah testimoni para mahasiswa tentang bimbingan Pak Oman, di berita wafatnya 21 Juni 2010. Beliau seorang guru yang disegani, dianggap terlalu cepat wafat di usia 65.

          Putra sulung Pak Oman, Ina  (sayang saya juga belum mendapat nama lengkapnya) menjadi dosen di University of California, USA, dan meraih gelar profesor di usia 38 tahun.  (saat googling, tanpa nama lengkap, informasi yang tampil jadi unik. Kang Google menangkap permohonan saya “Professor Ina UC” sebagai “Professor in UC”. Banyak banget deh...  Ketika saya ganti dengan “inna”, lebih ajaib lagi... Judul yang muncul: Innalillahi... kabar duka wafatnya seorang dosen Indonesia yang pernah kuliah di UC)
* Mudah-mudahan, setelah ditulis ini, teh Atin atau bahkan teh Ina-nya langsung bisa segera bantu lengkapi info ya...Terima kasih.

          Intinya, saya ingin sampaikan disini, sebuah kisah sukses seorang tukang sayur.
Tak sekedar ulet, bi Sari juga menikmati profesinya. Sampai cukup sepuh bi Sari masih keluar masuk gang Ingi, Karang  Anyar, gang Abuya, mangkal di Jl. Cibadak, dan sekitarnya. Saat itu pak Oman sudah menjadi Doktor. Tak berhasil meminta ibunya duduk manis saja di rumah.

          Bi Sari bercita-cita memperbaiki keturunan dalam bidang pendidikan. Jika melihat capaian anaknya, dan profesi cucu-cucunya saat ini (dari 9 cucu, 5 dosen, 2 guru, dan 2 pedagang grosir di pasar), cita-cita itu sudah sangat terwujud.

MUSTOFA...OH...MUSTOPA







          “Mbak, mau Mustopa? Bisa pesan dulu kok. Kalau Ramadhan harganya naik.” Waduh, memangnya saya apaan. Punya suami kok. Eh, tapi, istilahnya harga ya, bukan tarif? Saya selalu tersenyum mengingat obrolan 7 tahun lalu di Bandung ini. Saat itu sedang menunggu jam sekolah anak usai, ditawari mustopa oleh teman. 

         Hari pertama Ramadhan kemarin, obrolan tentang mustopa muncul lagi. Salah satu sahabat saya, Deni Meiekawati, bercerita bahwa dia sedang memasak mustopa. Menu wajib Ramadhan di rumahnya. Iya, mustopa itu nama makanan. Sahabat saya yang lain, yang dikenal jago masak, dengan lugu bertanya, “Dimakannya pakai apa? Roti maryam?” Wajar sih, nama Mustopa untuk makanan pasti langsung berasosiasi ke makanan arab. Sebenarnya, makhluk apa yang  dinamai mustopa ini?

          Mustopa, pakai “p”, ya ---walau sekarang jadi lebih beken sebagai mustofa, dengan “f”--- adalah nama lain dari kentang-kering. Makanan yang dibuat dari kentang diiris-ukuran-korek-api atau diparut-besar, digoreng kering, kemudian diberi bumbu. Rasanya asam-manis-pedas. Di tempat lain ada yang menamainya ben cok.
 
          Begitu tahu yang dimaksud, sahabat-yang-jago-masak langsung tertawa. “Itu mah saya  juga  sering buat.”

          Apapun namanya, mustopa adalah dewa penyelamat bagi ibu-ibu di bulan ramadhan. Masak nasi sebelum tidur, bangun kesiangan pun tetap bisa sahur nikmat. Nasi hangat ditaburi mustopa. Pengalaman kami di sahur kedua tadi...ssst... :)

          Ceritanya, sebelum menulis ini saya mencoba cari referensi. Mengapa disebut mustofa? Saya bertanya pada Aa Google. Ada lebih dari 10 halaman yang disajikan tentang kentang-kering-mustofa ini. Saya hanya buka beberapa link saja. 

          Ternyata semua sepakat, bahwa sejarah penamaan Mustopa belum terungkap. Semua berdasar dugaan saja. Dugaan bahwa seseorang bernama Mustopalah yang mempopulerkan kentang-kering di wilayah Tasikmalaya-Ciamis Jawa Barat. (salah satunya, http://tentangsundaalafarrellzra.blogspot.com/ )

          Saya menemukan, bahwa ada kentang kering merk Mustopa di Ciamis sejak tahun 1960-an yang pemiliknya bukan bernama Mustopa. ( maaf saya ganggu tautannya karena ini laman iklan. http://shanny*****.wordpress.com/2009/08/14/jual-sambal-goreng-kentang-mustopa/ ). Mereka sendiri tidak tahu siapa “mustopa” yang dimaksud. Artinya, kentang kering sudah bernama mustopa di Ciamis, jauh sebelum tahun 1960.

          Baiklah, ktia abaikan saja asal mulanya. Sekarang kita coba fokus pada pembuatannya.

          Membuat kentang kering tampaknya tak terlalu mudah. Dari beberapa tautan yang saya baca, banyak yang bertanya bagaimana agar kentangnya tetap kering setelah dicampur bumbu. Ada yang menyarankan kentang direndam air kapur sirih dulu sebelum  digoreng, kemudian gunakan gula pasir yang dihaluskan, sehingga kentang tak sempat terendam adonan basah lama-lama (baca: http://www.diahdidi.com/2014/05/kering-kentang-mustafa.html). 

          Sementara, Deni menyampaikan caranya membuat mustopa sebagai berikut:
Siapkan kentangnya terlebih dahulu. Bisa diiris ukuran korek api atau diparut dengan parutan khusus agar lebih praktis. Digoreng kering. Bisa juga ditambah dengan kacang tanah atau teri.
          Kemudian siapkan bumbu. Blender bawang putih, cabe merah, dan kemiri. Beri sedikit air saja. Tumis bumbu halus ini sampai matang. Tambahkan garam, gula, dan air  asam. Gunakan api kecil, sambil diaduk-aduk terus agar tidak gosong. Tahap ini yang agak lama. Dan butuh kesabaran tingkat tinggi. Jika kurang  sabar, biasanya tergoda untuk segera memasukkan kentang. Akibatnya, kentang  tak renyah. Basah.

          Jadi, adonan harus terus diaduk di atas api kecil sampai “rumamat”. Itu istilah dalam bahasa Sunda. Terjemahan bebasnya kurang lebih...sampai timbul gelembung-gelembung yang  menunjukkan air menguap dari adonan, dan adonan mengental  seperti karamel atau gulali, tak menempel di wajan. Jika sudah begini, baru tuangkan kentang yang sudah digoreng kering tadi. Aduk rata dengan segera.

          Deni selalu menyiapkan kentang kering mustopa yang bumbunya digoreng sampai rumamat sejak anak-anaknya kecil. Jadi, dulu mereka selalu minta makan pakai rumamat. Mungkin karena ibunya sering berkata  saat  anak-anak tak sabar menunggu masakan matang, “Sebentar, belum rumamat.” Lama-kelamaan, anak-anak paham bahwa yang dimasak ibu itu namanya Mustofa. 

          Kalau saya perhatikan, penggunaan istilah mustopa banyak dipakai orang-orang Ciamis-Tasikmalaya. Sedangkan mustofa populer di wilayah Bandung dan sekitarnya, tempat Deni sekeluarga tinggal. Apakah perubahan p ke f ini sekedar masalah geografis, atau lebih ke nasionalis? Toh ketika kita cek secara  acak, kering-kentang ini makanan yang  sebenarnya tersebar merata di seluruh Indonesia, dengan berbagai varian nama  dan rasa. Bahkan, sudah menjadi salah satu makanan khas identitas negeri kita. Banyak perantau yang mengatasi kangen terhadap tanah air menyiasatinya dengan menyediakan kentang-kering siap makan ini di rumahnya. 

          Kepopuleran kering-kentang mustofa jauh melampaui popularitas namanya. Deni bercerita, bahwa saudara-saudara iparnya dulu  suka mengajukan permohonan, “Mbak, buatin Abdullah dong....” Hanya ingat nama-arab-nya saja, haha.

Jumat, 27 Juni 2014

PERMAINAN RAMADHAN





          Sama sekali tidak bermaksud bermain-main di bulan Ramadhan. Saya hanya sedang berusaha melatih diri mewujudkan rencana.

          Setiap tahun, menjelang Ramadhan, target dituliskan. Seringkali terhenyak ketika tiba-tiba Nuzulul Qur’an datang. Target masih jauh dari tercapai. Mengejar pencapaiannya sebelum lebaran, tak mudah juga.
Tak bisa dipungkiri, ibu rumah tangga di Indonesia  perlu perjuangan untuk fokus pada ibadah ritual di hari-hari terakhir puasa. Suami bekerja atau itikaf. Anak-anak sudah libur sekolah. Ibu bekerja mungkin masih harus ngantor. Apalagi bagi keluarga yang biasa tergantung pada asisten. Pekerja di rumah biasanya sudah minta libur jauh sebelum hari-H. Apalagi jika orangtua tinggal di lain kota, kita harus menyiapkan perlengkapan mudik. Semakin lengkap jika mertua tinggal di kota yang lain lagi. (eh, main klaim saja. Jangan-jangan hanya saya yang heboh sendiri jelang lebaran) :)

          Tahun ini, Ramadhan ingin saya isi dengan melatih disiplin menulis. Ini di luar “ritual standar” Ramadhan. Shalat dan mengaji. Proses menambah ilmu dan memperbanyak dzikir, saya ingin dapatkan dari membaca dan kemudian menuliskannya. Upaya introspeksi diri dan meningkatkan syukur, juga ingin saya gali dengan cara menuliskannya. 

          Berdasarkan pengalaman, kendala yang muncul salah satunya adalah perlu memikirkan apa yang akan ditulis. Proses ini makan waktu. Jika belum ada ide, sangat mudah melanggar jadwal. Mengalihkannya ke urusan rumah tangga, yang kalau diikuti tak akan ada habisnya. Sehingga tiba-tiba saja sudah jelang buka, dan itu berarti wassalam. Tak akan terwujud. Setelah buka rangkaiannya kan jelas. Makan, beberes, tarawih, ngaji, dan tidur. 

          Hari ini saya menyiapkan rencana Ramadhan. Target awal, membereskan meja kerja dan membuat tabel aktivitas untuk sebulan ke depan. 

          Saat membereskan ruang kerja di rumah, tersadarkan banyak buku yang belum dibaca. Tiba-tiba saja mendapat ide. Jika sudah berbentuk tabel, peluang tak terkerjakan cukup besar. Kondisi pada hari pelaksanaan kan tak bisa diprediksi. Saya tak jadi membuat tabel aktivitas. Tetapi menuliskan topik-topik apa yang saya ingin gali pada Ramadhan 1435 H. Termasuk di dalamnya buku-buku yang harus dibaca.

          Masing-masing dituliskan pada selembar kertas kecil, kemudian digulung seperti kertas arisan. Nantinya, setiap pagi saya akan pilih satu gulungan kertas secara acak untuk menjadi tema ibadah tambahan di hari itu. Apakah membaca buku tertentu, membahas satu bab dari ensiklopedi, atau menganalis peristiwa tertentu dalam hidup saya (introspeksi). Tentu tak menutup kemungkinan menuliskan hal lain yang dialami dalam hari-hari yang akan datang. Tetapi setidaknya saya tak perlu bingung memikirkan tema. Gulungan kertas yang ada saja sudah lebih dari 40 buah. 

          Insya Allah, target 30 tulisan yang masing-masing sepanjang 500-700 kata bisa saya hasilkan selama Ramadhan kali ini. Semoga.

Selasa, 24 Juni 2014

AL DENTE



Waktu yang Tepat untuk Cinta

Novel karya Helvira Hasan
Penerbit Gagas Media, 2014

          Libur akhir bulan Juni. Rekreasi mudah meriah adalah membaca buku  atau mencoba resep baru. Novel ini membantu memenuhi keduanya sekaligus. Membaca kisah tentang suami istri yang belajar memasak pasta sendiri. :)
 

         Cynara bersahabat dengan putri sahabat ayahnya, Dita, sejak kecil. Mereka sering berlibur 2 keluarga. Berawal dari persahabatan kedua ayah, berlanjut ke istri masing-masing, lantas ke kedua putri mereka. Hanya satu yang tak memiliki pasangan. Putra sulung sang sahabat ayah, Ben, karena Nara  tak berkakak.

          Sebagai putri tunggal dari pasangan suami istri dokter gigi, Nara selalu mendapatkan semua yang dia inginkan. Karenanya, dia selalu menjaga harap atas cinta dari sang senior tampan yang pindah studi ke Harvard. Nara yakin keinginan yang ini pun akan terwujud. 

          Sejak usai masa opspek, mereka berteman dekat selama 2 tahun. Tapi sampai Elbert pergi ke Amerika 4 tahun lalu, tak pernah ada deklarasi itu. Nara menaruh harap yang tak mungkin dia ungkap. Sementara El tak juga memberi pertanda kuat. Sekilas pernah terbahas, saat ini mereka harus fokus menuntaskan kuliah.

          4 tahun komunikasi hanya sesekali. Yang terakhir, sehari setelah wisuda. Nara berusaha menyapa. Mengabarkan bahwa ia telah menjadi dokter gigi. Ini upaya terakhir Nara memancing perhatian El.
YM dan e-mail telah dilayangkan, tetap tanpa balasan. Dan waktu tiba-tiba tak memihak. Syukuran kelulusan dengan keluarga sahabat ayahnya di Lembang, mengacak jalan hidup Nara. Terungkap wacana, menjodohkan Nara dengan Ben.

          6 bulan sejak acara di Lembang itu, Nara mengganti panggilan kepada om Farid menjadi Papa. Ya, Ben kini telah menjadi suami Nara. Tak ada yang memaksa. Tak ada yang terpaksa. Tidak Ben, tak juga Nara. Babak baru kehidupan pun dimulai. Hidup dalam realita, dimana tak semua mimpi menjadi nyata.
Lombok menjadi saksi kemesraan suami istri baru ini. Honeymoon dengan oleh-oleh sebuah janji, bahwa sebagai bukti cinta, sebulan sekali sang suami akan  memasak pasta untuk istri pada tanggal pernikahan. Nara tersanjung.

          Sayang. Manisnya madu ini habis  tak sampai sebulan. Kepindahan Nara dari rumah orang tua ke apartemen Ben memunculkan pil pahit. Menghadirkan nama Milly, perempuan dari masa lalu Ben. Secara hampir bersamaan, laki-laki di mimpi tertinggi Nara pun tiba-tiba turun ke bumi. El. 

          Ikatan ijab-kabul ternyata bukan simpul-mati. Melonggar. Terancam lepas. Ditarik kenangan dan angan, yang ternyata berdaya magnet lebih kuat. “Better late than never” menjadi kalimat pembenar. Di sisi lain, kata-kata bijak juga terucap, “Cerai itu bukan solusi, cerai hanya jalan keluar. Solusi berarti lo menyelesaikan masalah. Sementara, jalan keluar berarti lo tidak tahu lagi cara untuk menyelesaikan masalah dan akhirnya memilih meninggalkan masalah itu di belakang.”


          Begitulah. Sebagai pencinta pasta, Nara sangat tahu, ada takaran waktu yang tepat untuk pasta. Walau saat memasak sendiri, buku resep tak bermakna. Nara harus mencoba mengunyahnya agar yakin pastanya al dente, matang dengan pas. Tentang cintanya? Bagaimana Nara merasa dan menyimpulkan cinta mana yang datang tepat waktu?

          Saya suka cara penuturan Vira. Pilihan kata, ritme, flashback, konflik, dan penyelesaiannya tak berlebihan, al dente.

          Hanya satu hal yang agak mengganggu saya. Hari gini masih musim ya YM-an? Hehe. Kata Vira, itu karena asumsi sang tokoh berjauhan. Nara di Jakarta, dan El  di USA. Komunikasi mereka hanya bermodal alamat surel. Tapi karena kemunculannya dalam cerita hanya 1-2 kali, tak mencolok.

          Bagi saya, novel pertama Helvira Hasan luar biasa. 2 tahun menjadi saat yang tepat untuk merebus rangkaian kata dalam novel ini, karena hasilnya.... al dente

          Selamat membaca...