Kamis, 26 Januari 2017

BUGAR DI BOGOR




 
Sketsa Tepas Salapan Lawang - Annis 2017

Kebun Raya adalah ikon kota Bogor yang anak kecil aja tau. Hutan di tengah kota ini menjadi pabrik oksigen dan penjaga kesejukan di sekitarnya. Wilayah kota Bogor cukup luas dan relatif datar dengan kepadatan lalu lintas merata, tetapi di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) selalu terasa lebih nyaman dari wilayah Bogor lainnya. Malam harinya lebih dingin, pagi hari lebih segar, air ledeng terasa lebih sejuk, dan hujan sering lebih lama dan lebat juga.

Selama ini, penikmat kemewahan hanya mereka yang tinggal dalam radius 5 s.d. 10 km dari KRB. Seminggu sekali, rakyat banyak dapat jatah di Car Free Day sepanjang jalan Jalak Harupat, jalan yang memisahkan KRB dengan lapangan Sempur. Jalur CFD kemudian dipindahkan ke Jalan Sudirman sejak Sistem Satu Arah diberlakukan di sekeliling Kebun Raya. Banyak keluhan. Jalan Sudirman tidak sepanjang dan senyaman Jalak Harupat. Warga merasa dipinggirkan.

Ternyata, pemerintah kota sedang menyiapkan pengganti yang lebih menarik. Jogging track dan lintasan sepeda sekeliling kebun raya! Hadiah awal tahun 2017 yang menyenangkan. Masyarakat dapat berjalan, berlari, atau bersepeda, sendiri atau beramai-ramai, di lintasan melingkar yang berdampingan dengan jalan raya ini. Setiap saat. Setiap hari. Tidak perlu menunggu hari Minggu.

Saya sering melalui jalur ini saat pulang mengantar anak ke sekolahnya. Senang sekali melihat bermacam kelompok warga beraktivitas di trotoar lama berpenampilan baru ini. Dulu, terputus di beberapa bagian, tidak selebar sekarang, dan ada titik-titik yang dipakai pedagang kaki lima. Pengguna trotoar ada anak-anak, remaja, ibu-ibu bapak-bapak, sampai ke usia kakek-nenek. Ada yang berjalan santai sambil ngobrol. Ada pemudi modis berkerudung lengkap dengan kacamata hitam dan ear-phone berlari kecil. Ada bapak-bapak dengan celana gombrang dan kaos singlet berlari serius, tampak dari peluh dan kecepatannya. Ada anak SMA yang bergerombol, mungkin keliling KRBnya karena terpaksa, jam olahraga sekolah.

Banyak juga mereka yang tidak berpakaian olahraga. Berjalan bergegas. Sebagian membawa ransel atas tas. Ada yang sibuk dengan ponselnya. Sepertinya mereka mahasiswa atau karyawan yang memanfaatkan trotoar khusus ini untuk menuju kampus/kantornya dengan cara lebih sehat.

Pesepeda juga tak sedikit. Dari kakek-kakek bersepeda kumbang sampai pemuda beraksesoris lengkap naik sepeda mutakhir. Di jalur sepeda juga melintas 2 orang petugas bersepeda listrik. Mereka berkeliling sepanjang hari. Sayang saya tidak sempat memotretnya. Sepeda ini beroda dua dengan diameter sekitar 30 cm, di kiri dan kanan, dengan papan pijakan di antaranya. Ada tiang di depan yang berfungsi sebagai pegangan dan kemudi. Petugas tinggal berdiri diam saja di atas pijakan itu. Keberadaan petugas keliling ini membuat pengguna jalur lebih merasa aman dan mencegah pedagang kaki lima memanfaatkan trotoar ini sebagai lahan berjualan.

4,4 km bukan lintasan pendek. Bagaimana jika kita lelah? Tenang, ada beberapa titik hiburan untuk istirahat. (Jika sangat lelah, tinggal naik angkot yang banyak beredar sepanjang lingkaran).

Pertama, kijang di halaman istana Bogor. Ratusan ekor kijang berkeliaran sepanjang hari di sana. Sebagian besar memilih bergerombol, leyeh-leyeh di bawah pohon-pohon besar. Beberapa di antara mereka, berpotensi menjadi artis. Mereka suka mendekat ke pagar, mencari perhatian, sehingga bisa kita jangkau. Kadang orang memberi makan kijang-kijang ini.

Kedua, selasar di depan pintu masuk KRB di jalan Pajajaran. Ada ruang lebar dan bertingkat, lokasinya tepat di seberang kampus IPB Baranangsiang. Selasar juga ada di sisi berlawanan, pintu masuk KRB di ujung jalan Juanda. Di kedua tempat ini, banyak pedagang asongan dan kaki lima. Jika butuh air minum atau tisu, ada.

Ketiga, sekitar Tepas Salapan Lawang. Teras yang baru dibuat, di depan tugu Kujang. Salapan Lawang, atau Sembilan liang, berada di antara sepuluh tiang. Tiang-tiang ini berdiri kokoh menyambut tamu yang baru masuk Bogor melalui tol. Di bagian bawah tiang ada kelopak-kelopak Padma, teratai.


Seluruh kesatuan ini ada ceritanya, ada filosofinya, harapan, dan pengejawantahan kearifan leluhur. 10 tiang, 9 lawang, Padma, dan Sistem Satu Arah mengelilingi Kebun Raya. Termasuk juga tulisan di penyangga melintang penghubung ke-10 tiang ini: Di nu kiwari ngancik nu Bihari, seja ayeuna sampeureun jaga. Apa yang kita alami hari ini adalah buah dari tindakan di masa lalu. Apa yang kita lakukan hari ini, untuk dinikmati di masa mendatang. Konteksnya, kaitan antara masyarakat dulu, kini, dan nanti. Tetapi, pada tulisan saya yang sebelum ini, kalimat leluhur di atas saya terapkan untuk pribadi. Seorang teman pernah menjelaskan berbagai simbol yang menjadi satu kesatuan ini panjang lebar. Hanya, karena saya tidak mendalami perleluhuran, saya tidak berani menceritakan ulang disini. Khawatir salah atau kurang lengkap. Ketidaklengkapan bisa membuat salah kesimpulan.

Sketsa di awal tulisan ini menggambarkan Tepas Salapan Lawang. Undakan di bagian tengah adalah bagian dari lintasan trotoar keliling KRB. Di paling kiri tampak lintasan sepeda. Walau tidak curam, memang ada perbedaan ketinggian. Jadi, nanjak disini, menurun di sisi lain. Tulisan ada di sisi luar dari tiang-tiang ini, menghadap ke Tugu Kujang, ciri kota Bogor yang sudah ada lebih dulu.

Lokasi Salapan Lawang kini menjadi favorit baru masyarakat untuk rekreasi. Selain yang berolahraga, banyak juga yang sengaja datang ke situ hanya untuk berfoto. Untuk mencapainya, dari tol Jagorawi exit Bogor Baranangsiang ambil kanan. Berputar di Tugu Kujang dan parkir di Botani Square. Sekitar 20 m di kanan Botani, ada gerbang underpass jl, Pajajaran. Ini khusus untuk pejalan kaki. Menyeberanglah disini. Lebih aman. Di kedua ujung underpass, ada petugas berjaga. Foto kedua memperlihatkan trotoar lebar, lintasan sepeda, dan di kanan adalah bangunan underpass. Foto diambil dari arah Salapan Lawang. Silakan dicoba, mau sekedar berfoto atau berlanjut olah raga.



Penyediaan lintasan melingkar ini banyak diapresiasi, karena warga bisa mengambil manfaat dari KRB secara gratis. Selama ini, banyak juga yang berolah raga di lintasan di dalam pagar KRB, tetapi untuk masuk ke sana kan harus membeli tiket dulu.

Bulan Februari nanti, ruang terbuka menuju bugar semakin lengkap dengan usainya renovasi Lapangan Olahraga Sempur. Lapangan ini terletak di seberang KRB, dipisahkan oleh Jl. Jalak Harupat. Letaknya agak di bawah.  Lapangan Sempur sejak lama merupakan pusat aktivitas warga pada hari Minggu pagi. Untuk olahraga ataupun untuk sarapan. Saya belum tahu hasil renovasinya akan seperti apa. Masih menunggu dengan penasaran. Seminggu lagi…

Hampir lupa, sebenarnya, sebelum menggarap keliling KRB, sarana olahraga gratisan lain telah lebih dulu disiapkan. Lapangan Heulang. Lapangan ini terletak di belakang SMPN 5. Saat saya rutin mengantar anak sekolah di situ, lapangan Heulang asli masih berupa lapangan luas dengan rumput liar. Sekarang anak saya SMA. Lapangan Heulang sudah berganti rupa. Nyaman sekali untuk lari pagi. Bagian tengahnya ditata, ada rumah kaca, ayunan, dan fasilitas lain, termasuk jogging track. Bagian luarnya dikelilingi trotoar pula. Jadi, ada dua pilihan lajur. Bahkan 3, karena saya lihat banyak juga orang yang lebih suka jalan cepat atau lari di jalan aspal yang juga mengelilingi lapangan ini.

Lapangan Heulang lokasinya agak tersembunyi. Dari Tugu Kujang, ikuti arus memutar. Setelah Hotel Salak dan Sekolah Regina Pacis, belok kiri masuk Jl. Sudirman, Jl. Dadali, lalu belok kanan setelah SMPN 5. Lebih dekat dari tol BORR sebetulnya, tapi patokannya agak kurang jelas untuk pendatang. Keluar Kedunghalang/Warungjambu. Belok kanan di perempatan Jambu dua. Belok kanan lagi di jalan kedua, jalan Heulang.

Begitulah yang bisa saya sampaikan tentang situasi terbaru di Bogor. Barangkali teman-teman dari Jakarta ingin berakhir pekan sambil berolahraga, bisa pergi dari usai Subuh. Belum macet. Jatah olahraga akhir pekannya dilakukan di Bogor saja, sambil rekreasi. Setelah puas, baru mencari kenikmatan berikutnya… berburu makanan! 

MENGGALI AKAR



Di nu kiwari ngancik nu bihari, Seja ayeuna sampeureun jaga

Menulis dengan tenggat waktu dan tema tertentu, tidak mudah. Apalagi yang menentukannya orang lain. Tema “Kampung halamanku juga seru” malah membuat saya kelimpungan. Kampung mana yang bisa saya klaim?

Saya mengawali hidup di pusat kota Bandung, sampai usia 6 tahun. Menurut KBBI, daerah ini yang secara resmi menjadi kampung halaman saya. Tapi, tak banyak yang bisa saya ceritakan, apalagi harus ada embel-embel seru. Jadinya, saya melirik potongan hidup saya yang lain. 12 tahun di Cirebon, dari SD sampai SMA. Masa kuliah dan awal kerja, kembali lagi ke Bandung, tetapi bukan di tempat semula. Setelah menikah, saya dan suami memutuskan Bogor sebagai tempat kami merangkai hari. 22 tahun sudah kami lalui di kota yang dulu dikenal sebagai kota hujan ini.

Semakin dipikirkan temanya, semakin banyak kenangan bermunculan, malah semakin bingung mana yang akan dituliskan. Tak mungkin semua diceritakan. Sangat acak. Di sisi lain, ada satu kata yang berulang terlintas tapi tak berkaitan dengan seru. Akar.

Ya, akar. Jika hidup kita digambarkan sebagai pohon, maka kampung halaman adalah akar. Penyangga. Peletak dasar keberadaan kita hari ini. Di nu kiwari, ngancik nu bihari. Pada yang kita jalani sekarang, terdapat jejak dari masa lalu. Jejak itulah yang saya coba telusuri muaranya. Mengingat saya tidak menetap lama di tempat saya dilahirkan, saya yakin tak bisa mengibaratkan akar itu akar tunjang. Jejak saya tak menghujam ke dalam di kota pertama. Saya juga tak merasa terwakili oleh akar serabut. Karena perpindahan saya bukan sesaat sesaat. Agak lama menetap di satu tempat.

Saya menemukan, apa yang sering menjadi sikap saya, banyak dipengaruhi pengalaman saya di ketiga kota yang pernah saya tinggali itu. Saat menggambarkan situasi ini, terbayang sebuah tripod, yang menyangga kamera agar bisa diam, dan karenanya bisa berfungsi maksimal.

Baiklah, saya urai satu-satu.

Bandung
Rumah tempat kami tinggal adalah rumah panggung kecil dengan dinding anyaman bambu dan lantai papan. Jika sesekali ikut masuk ke kolong rumah, paling senang saat menemukan uang logam yang tercecer di sana, jatuh dari celah antar lempengan papan. Kami hanya punya satu tetangga di kiri, Ua, dan di depan agak ke atas, kakek dan nenek. Di belakang, ada halaman luas berisi pohon jambu bol. Setelah besar, saya baru tahu itu tanah hak Ua lain yang kebetulan belum dibangun. Melintas di samping kanan sampai ke belakang, sungai Cikakak. Antara rumah dan sungai ada halaman yang dipakai untuk beternak ayam. Dari rumah ke jalan kecil di depan, hanya bisa melalui jalan setapak selebar 1 meter di antara rumah kakek dan sungai. Ada jendela 50cm x 100 cm yang bisa dipakai mengintip pada dinding setinggi 3 meter, pembatas lahan keluarga dengan sungai (baru terpikir sekarang, jangan-jangan jendela ini untuk membuang sampah). Gang Ingi namanya, jalan kecil di depan rumah kakek itu.

Meski rumah panggung, lokasinya bukan di kampung.
Hanya 2 km di sebelah Selatan tonggak yang ditancapkan Daendels. Km 0 Bandung. Dekat Gedung Merdeka, tempat peristiwa bersejarah Konferensi Asia Afrika diselenggarakan.
Sekitar 1,5 km dari rumah ke arah Timur, ada rumah kediaman ibu Inggit Ganarsih. Rumah tempat kos Sukarno muda saat pertama kali ke Bandung. Di kemudian hari bung Karno menikahi ibu kosnya. Ibu Inggit dikenal sebagai pembuat bedak dingin. Beliau masih jumeneng saat itu.
Sementara itu, selama 1 tahun 4 bulan saya berjalan kaki ke sekolah, TK-SD Assalam di Jl. Sasakgantung. Sekitar 1,2 km ke arah Timur Laut. Melewati apotik Eureka di Jl. Kalipah Apo, Jl. Oto Iskandardinata, dan menyusuri Jl. Kautamaan Istri tempat sekolah yang didirikan ibu Dewi Sartika berada.

Sedangkan 500m di Barat rumah, ada pemakaman Karang Anyar. Disitulah jenazah ibu Rd. Dewi Sartika dikebumikan bersama para Dalem Bandung dan keluarganya.
Pentingkah info sedetil ini saya sampaikan? Menurut saya, iya. Karena, ketika tiba masanya belajar sejarah dan IPA di sekolah menengah, saya merasa seperti mengalami de ja vu. Bukan mempelajari hal baru, tapi sekedar mengulang kata-kata kunci yang sudah akrab di telinga. Bahkan termasuk di dalamnya, kata Eureka yang diteriakkan Archimides ketika menemukan jawaban dari pertanyaan rajanya. Kata ini semula hanya bermakna nama apotik yang menjadi patokan untuk belok kalau mau ke rumah kakek. :)

Keakraban nama ini membuat saya tertarik membaca kisah mereka di masa dewasa saya. Dan, saya menjadi paham, mengapa sejak SMP saya termasuk pemudi yang tidak kagum kepada ibu Kartini maupun ibu Fatmawati (tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka yang telah ditetapkan negara sebagai pahlawan nasional). Bagi saya, ibu Dewi Sartika karyanya lebih nyata. Walaupun beliau wafat jauh sebelum ibu saya lahir, sekolah yang didirikannya masih ada dan dulu saya saksikan aktivitasnya setiap hari. Sedangkan ibu Inggit, di mata saya, bersikap sangat menjaga prinsip. “Cadu aing dimadu” adalah kalimat beliau yang sangat mengesankan. Pantang saya diduakan. Tak peduli Kusno, nama kecil bung Karno, yang telah didampinginya 19 tahun, berpeluang besar menjadi presiden jika Indonesia merdeka dan tanda-tanda kemerdekaan sudah di depan mata, ketika dia tahu suaminya berniat menikah lagi dengan perempuan yang sudah diperlakukannya seperti anak sendiri, ibu Inggit memilih mundur, pulang ke Bandung, dan kembali menjadi pembuat pupur.

Cirebon
Kota kedua, kota utama. Di kota tepi pantai ini saya mengenal teman. Belajar berteman. Tidak mudah, dan tak selalu berhasil. Bagaimanapun, di kota ini proses tumbuh kembang saya terjadi.
Saya masuk SD yang berlokasi di belakang pasar. Gedungnya hanya memiliki 5 kelas, satu ruang guru, 1 ruang kepala sekolah, dan satu aula. Sekolah sekecil ini, di aulanya tergeletak satu rak besar angklung, 1 set peralatan degung, 1 set perlengkapan calung,  dan tak pernah sepi dari aktivitas seni. Selain yang menggunakan alat musik tadi, ada juga latihan rampak sekar, menari, dan lain-lain. Saya pernah menjadi pemain angklung dan degung. Pelajaran keterampilan juga variatif. Yang saya ingat saja ada membuat lukisan di kaca, mengukir di batu gips, dan tentu saja yang standar di sekolah lain juga, menggambar dan sejenisnya. Ketika terjadi perubahan kurikulum, seluruh SD disamakan program pendidikannya, saya baru tahu bahwa SD Pamitran 3 itu semula memang sekolah khusus berbasis kesenian.

Walaupun sekolah khusus, muridnya umum. Teman-teman dari sekitar sekolah banyak. Sangat variatif. Dari cucu ulama sampai anak penjaga sekolah. Anak polisi, anak tentara, semua sama.

Di SMP dan SMA, teman semakin beragam. Dari yang Arab asli sampai yang Cina totok, ada. Orang Aceh, Batak, Minang, Palembang, sampai Ambon, Bali, dan Timor, berserakan. Dan, kami asyik-asyik saja. Mungkin karena Cirebon kota pelabuhan, banyak pendatang yang kemudian menetap dan berbaur dengan masyarakat asli.

Lokasi Cirebon di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah juga membawa aura berbeda. Terpinggirkan dari kiri, tak sama dengan kanan, tapi eksis dengan jatidirinya sendiri. Sunda sanes, Jawa lain. Pendek kata, di Cirebonlah saya menemukan, Bhinneka Tunggal Ika tak sekedar kata-kata.

Bogor
Awal pernikahan, saya hanya pendatang. Tapi kini, Bogor menjadi kampung halaman ketiga. Disini saya dan suami sama-sama ber-evolusi, saling mempengaruhi. Langkah dan pemikiran saya ada rasa suami di dalamnya. Pun dia. Di tanah Pakuan ini anak saya lahir dan dibesarkan. Jika saat di Bandung saudara menjadi tetangga, maka di Bogor ini tetangga-tetangga telah menjadi saudara. Tempat curhat sampai saling minta bumbu masak. Jika dulu saya dikelilingi simbol dan tokoh sejarah, maka kini saya sedang mengukir sejarah. Menyiapkan warisan nilai (value) kepada anak saya.

Tentang situasi Bogor terbaru, silakan lihat di Bugar di Bogor.

Demikianlah. Bandung, Cirebon, dan Bogor. Tiga kota ini menjadikan kata pulang mempunyai makna. Tripod yang membuat kamera hidup saya berfungsi sebaik-baiknya hari ini, untuk dinikmati hari nanti. Bukankah, seja ayeuna, sampeureun jaga. Apa yang kita lakukan sekarang, adalah bekal bagi masa depan.