Kamis, 15 Januari 2015

Umroh3 - Tips Nyaman Shalat di dalam Masjid





Mulai bulan September, kami melakukan renovasi rumah. Atap dan kusen yang hancur oleh rayap, kami ganti. Untuk itu, semua barang dan kehidupan di rumah lama, kami pindahkan ke rumah sebelah. Jika untuk perbaiki atap di rumah seluas 55 m2 saja kami harus pindah, bagaimana pula dengan pembongkaran dinding dan 3 lantai kemudian membangun baru? Ternyata, aktivitas di dalamnya tetap berlangsung.

Begitulah yang terjadi di Masjidil Haram. Pembongkaran dan pembangunan besar-besaran boleh saja dilakukan, tapi aktivitas ratusan ribu, bahkan jutaan, orang didalamnya tetap berlangsung seperti biasa. 

Suami saya pernah membaca komentar seorang kontraktor bangunan. Katanya, proyek perluasan Masjidil Haram ini secara teknis paling sulit, karena kehidupan di dalamnya tak boleh terganggu. Pemerintah Saudi tak bisa melarang orang beribadah. Mereka hanya dapat mengurangi volume saja. Membatasi izin umroh dan haji dari setiap negara, sehingga secara total jumlah orang tak terlalu banyak.

Saya tak yakin jumlah orang berkurang. Hampir semua peziarah, tak hanya ke Makkah. Mereka mampir juga ke Madinah. Jumlah orang yang shalat di Masjid Nabawi, selalu berlimpah. Bahkan ada askar perempuan yang berkata bahwa dia melihat yang umroh kali ini lebih banyak daripada saat musim haji lalu.

Di bandara Doha saat antri boarding, saya mendengar 2 laki-laki berbincang. Yang satu menanyakan kepada yang lain. Dari rambutnya, saya yakin dia baru umroh juga seperti kami. Dia berkata, bahwa dalam analisisnya, kapasitas Masjidil Haram saat ini hanya 45% yang bisa dipakai ibadah.

Bisa jadi. 

Jika tak mencermati, jamaah mungkin tak menyadari bahwa banyak bagian masjid yang tak bisa dipakai. Mereka hanya akan melihat itu sebagai dinding pembatas saja. Ya, bagian yang sedang dibongkar/diperbaiki dan bagian yang dipakai, dibatasi dinding penuh sampai atas dan dicat rapi. Seolah-olah memang begitu adanya.

Teringat ziarah saya yang pertama tahun 2000. Masjidil haram adalah masjid terbuka yang sangat luas, melingkari Ka’bah. Melihat ke depan, ke belakang, ke kiri dan ke kanan, tempat shalat semata diselang-seling jajaran tiang. Dinding belakang adalah dinding terluar, tempat pintu melekat.

Shalat di bagian manapun, di depan kita adalah Ka’bah. Kini, sebagian besar tempat shalat, berhadapan dengan dinding. Sensasi shalat di Masjidil Haramnya tak terlalu terasa. 

Saya ingat saat-saat norak dulu tahun 2000. Ka’bah adalah bangunan yang selalu dibayangkan, muncul dalam mimpi-mimpi, terlihat di tempat sujud. Mengunjungi Baitullah adalah cita-cita tertinggi. Jadi, saat bangunan Ka’bah ada di hadapan mata, saya tak lepas terkesima. Saat shalat, seringkali pandangan tak tertuju ke tempat sujud, tapi ke depan, menatap Ka’bah. Alasan logisnya, saat shalat di Indonesia, saya menatap Ka’bah di sajadah. Jadi, ketika Ka’bahnya di hadapan, kenapa saya hanya menatap lantai? Hampura, mungkin ini kelemahan haji di usia muda. Semangat dan tenaga berlimpah, kedalaman pemahaman agama belum sempurna.

Belakangan, sajadah semakin beragam. Kebanyakan malah tak menampilkan gambar Ka’bah lagi di tempat sujud. Jangan-jangan ini hasil investigasi para ulama, bahwa banyak ummat yang salah kaprah seperti saya.

Memang, shalat menghadap kiblat, dengan posisi Ka’bah sebagai penentu arah. Tapi, dalam tata tertib shalat, pandangan selalu tertuju kepada satu titik di tempat sujud, agar mata tak liar kemana-mana, lebih khusyuk.

Kondisi  bulan Desember 2014, tempat shalat –khususnya bagi perempuan- yang berhadapan dengan Ka’bah, hanya di satu sisi ka’bah sebelum rukun yamani, di bawah tempat tawaf darurat. Askar membatasi dengan tali wilayah khusus perempuan.

Tempat lain adalah di depan Multazam, lantai 1.

Tempat shalat lain bagi perempuan ada di bagian belakang di sebagian wilayah. Baik itu di lantai 1 maupun di lantai 2 di dalam masjid. Disini, wilayah yang diperuntukkan bagi perempuan dibatasi oleh rak Al Qur’an yang diletakkan berjajar membentuk wilayah persegi tertutup. Ada 2 persegi besar di lantai 1 dan 2 tempat  besar di lantai 2.

Tempat shalat di lantai 1 dan di lantai dasar depan Ka’bah selalu cepat sekali penuh. Mungkin karena lebih mudah dicapai, dan usai shalat bisa langsung ke tempat tawaf. Sementara, di lantai 2, kita hanya bisa shalat. Usai shalat, jika ingin tawaf harus turun dulu, keluar masjid, dan masuk lagi melalui pintu lain untuk menuju Ka’bah. Biasanya, jika shalat baru usai, yang akan masuk dihalangi petugas. Mereka mendahulukan yang akan keluar usai shalat.

Kecuali yang di depan Ka’bah lantai dasar, saya pernah mencoba shalat wajib di tempat-tempat lainnya. Paling nyaman buat saya adalah di lantai 2. Karena persaingan tak seketat di bawah. Begitupun, kita tetap harus sudah menuju masjid sekitar 1 jam sebelum waktu shalat agar masih bisa mencari tempat yang enak. Untuk subuh dan dzuhur, 2-3 jam sebelum waktu adzan, lebih memuaskan. Kita masih bisa memilih posisi paling kosong. Saya suka mengambil tempat paling depan dan pojok, sehingga shalat kita tak diganggu lalu lalang orang kemudian. 

Ada banyak shalat yang bisa kita lakukan sambil menunggu shalat wajib, selain tahajud atau dhuha. Shalat hajat, shalat istikharah, shalat taubat, bahkan shalat sunnah mutlak. Kalau tidak salah, shalat sunnah mutlak itu bisa diterjemahkan sebagai, shalat sunnah saja, just a pray. Jumlah rakaat tak dibatasi, tapi kita lakukan 2rakaat–2rakaat.

Menjelang subuh, jangan terkecoh oleh adzan. Di Makkah dan Madinah, adzan subuh dikumandangkan 2 kali. Adzan pertama, lebih ke ajakan untuk shalat tahajud atau membangunkan yang masih tidur. Satu jam-an dari situ, baru akan adzan Subuh untuk shalat. Jadi, jika kita sedang nikmat tahajud, atau shalat sunnah lainnya, tak perlu buru-buru menutup dengan shalat Witir kala adzan terdengar. Tenang saja. Masih bisa beberapa kali shalat 2 rakaat.

Indikator shalat subuh sudah dekat biasanya justru berupa...keramaian. Saat kita menoleh dan tiba-tiba sekitar kita sudah penuh orang, itu berarti sudah mepet waktu shalat.

Masuk mesjid lebih dini, juga menenangkan hati. Memangnya enak masuk mesjid kala sebagian besar lokasi sudah terisi? Selain mata lihat kiri kanan jauh dekat mencari tempat yang masih kosong, kita juga harus memperhatikan langkah, jangan sampai menginjak properti orang, atau bahkan menginjak kepala orang yang sedang sujud.

Beberapa kali saya mengalami, masih ada banyak tempat kosong di sekitar, tapi di luar rak Al Qur’an yang menjadi pembatas wilayah perempuan, sudah tampak berdesakan orang mencari tempat tersisa. Ternyata, saya sempat alami juga telat datang ke mesjid, ada batas waktu tertentu askar menutup akses ke dalam lokasi perempuan. Jika dia lihat sekilas sudah penuh, dan sudah banyak orang yang enggan mencari sampai ke dalam langsung gelar sajadah di jalanan, maka orang-orang yang datang berikutnya akan diarahkan ke tempat shalat lain yang lebih masuk ke dalam mesjid, atau bahkan diminta cari tempat lain di luar saja.

Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi, memiliki banyak sekali tiang. Jika kita sudah tak kebagian posisi pojok depan, maka posisi paling nyaman berikutnya adalah di belakang tiang. Bukan di samping. Kalau sudah kebagian lokasi ini, benar-benar bikin Pe-We. Mau shalat, ngaji, wirid sampai tiba saat shalat wajib, tak akan ada yang tiba-tiba andeprok di depan kita.



Rabu, 14 Januari 2015

28 Detik Saja




Novel karya Ifa Inziati
Penerbit Bentang belia, PT Bentang Pustaka, 2015

Hanya butuh 28 detik pertama untuk tahu ini buku keren. Pemilihan sudut pandang. Penggunaan “aku” sebagai pencerita dalam sebuah kisah perlu kehati-hatian khusus. Jika tak pandai meramu kata, akan membosankan dan kurang fleksibel mengungkap data-data penunjang cerita. Karenanya kebanyakan fiksi menggunakan penceritaan orang ketiga. Ifa Inziati memilih “aku” sebagai penutur. Siapakah aku? Temukan sendiri, dan saya yakin pembaca akan sepakat. Kreatif.

Cover dan judul buku ini juga cantik sekali. Membuat penasaran. Cerita ini mau membawa kita ke mana? 

Kalau saya tidak salah menyimpulkan, novel ini merupakan pemenang lomba yang diadakan Bentang Belia. Maaf ya Ifa dan Bentang, saya tidak mengikuti prosesnya. Tapi dari tulisan di halaman pertama, Passion Show Juara 1, saya menduga lomba ini tentang novel bertema passion atas sesuatu.

28 Detik novel yang berkisah tentang seorang barista. Lulusan ITB yang memilih bekerja sebagai barista di sebuah kedai kopi karena memang dia sangat mencintai dunia hitam, perkopian. Mimpinya hanya satu, menjadi barista nomor 1 di Indonesia. Demi cita-citanya itu, Candu, demikian namanya, selalu menunggu lomba 2 tahun sekali dari NBT, Nusantara Barista Tournament.

Jika pada lomba 2 tahun lalu, Candu menempati posisi ketiga nasional, maka pada tahun ini, Candu mewajibkan diri menjadi juara pertama. Bukan uang Rp 10.000.000 hadiah juara pertama yang dia incar benar, tetapi janji pak Jac sang pemilik kedai untuk mengirimnya ke Amerika Serikat, sekolah khusus tentang kopi. Adakah mimpi yang lebih indah dari seorang barista selain berkesempatan menuntut ilmu meramu kopi dari guru terbaik di bidangnya?

Candu tak menang sendiri. Dukungan dia dapatkan dari teman satu timnya di kedai KopiKasep. Kedai kecil di sebuah jalan utama kota Bandung yang digawangi 5 orang. Candu dan Satrya sebagai barista utama, Sery sebagai chef merangkap co-barista jika dibutuhkan, Nino di bagian IT, dan Winona. Pak Jac sebagai pemilik kedai, hampir sepanjang waktu penceritaan sedang berada di luar negeri. 

Namanya kumpulan anak muda, dimanapun, selalu menghadirkan cerita cinta. Ada aroma yang lebih kuat dari kopi antar mereka. Antara Winona dan Satrya, antara Shery dan Candu. Namanya aroma, terasa tapi tak terlihat.

Kedai KopiKasep sangat mewakili bisnis hari ini. Kedai kecil tapi selalu ramai. Selain karena lokasi dekat perkantoran, nama KopiKasep juga eksis di dunia maya. Nino bertugas menjaga hubungan dengan pelanggan dan mengenalkan kedai kepada pengguna internet. Sehingga orang-orang dari luar kota sudah mengenal nama KopiKasep, dan menjadikan tujuan kuliner mereka saat mampir ke Bandung.

Kemenangan Candu pada NBT juga berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap kualitas rasa KopiKasep. Tapi, selalu, penjaga keberadaan sebuah cafe adalah pelanggan tetap, khususnya pelanggan-pelanggan awal. Seperti KopiKasep punya Teh Cheryl yang rutin mampir sepulang kerja.

Kisah mulai bergulir ketika suatu hari Teh Cheryl datang tak biasa. Siang-siang. Bersama keponakannya. Ternyata ini memberi efek takbiasa pula pada kehidupan KopiKasep.

Cinta Candu pada kopi diuji. Seorang gadis genius tapi asosial mencuri perhatiannya. Rohan nama gadis itu. Keponakan teh Cheryl. Dia pernah menjadi juara olimpiade fisika. Sayangnya, Rohan sadar, dia bisa fisika, tapi dia tak suka fisika. Rohan bingung dengan dirinya. Dia tak paham apa yang dia inginkan untuk persiapkan masa depannya. Tak bisa memilih sendiri jurusan untuk tempat kuliahnya nanti.

Rohan takjub melihat ada orang seperti Candu, yang gairahnya pada sesuatu sangat menggebu. Rohan masih mencari apa yang menjadi “sesuatu” itu baginya. 

Karena rumah Rohan sedang direnovasi, dia numpang di rumah Teh Cheryl. Secara khusus Teh Cheryl minta izin kepada kru KopiKasep untuk titip Rohan setiap hari kerja sepulang sekolah sampai Teh Cheryl jemput sepulang kerja. 

Setiap hari, Rohan hanya memesan raspberry iced tea. Selama beberapa bulan. Sehingga dia sudah dianggap sebagai bagian dari KopiKasep, dan seperti yang lainnya, dia mendapat nama panggilan. Raspberry. Rohan pun menjadi saksi, betapa serius Candu dan teman-teman menyiapkan diri untuk ikut NBT kali ini.
...


Novel Ifa ini tak hanya cover, penamaan babnya juga menarik. Memberi bonus kepada pembaca, bagaimana secangkir kopi dibuat. Istilah-istilah yang bertaburan, menguatkan pembaca bahwa kisah ini “nyata”. Seolah-olah kita memang sedang ada di dalam sebuah kedai kopi. Jika saja catatan kaki yang lengkap, seperti kata-kata dalam bahasa Sunda yang dipakai, juga diterapkan untuk istilah-istilah di kedai kopi, tentu pembaca akan lebih terhibur dan mendapat pengetahuan tambahan.

Saya kebetulan paham beberapa istilah, sebagaimana saya paham sosok seperti Candu bukan sekedar imajinasi. Ada dalam kehidupan nyata. Saya mengenal seseorang dengan passion yang kuat terhadap kopi, mas Tejo, alumni IPB, pemilik Kopi Ranin Bogor. Dari beliau juga saya mendapat sedikit pengetahuan tentang kopi dan sekitarnya. Di Kopi Ranin, pengunjung ditulari kegandrungan terhadap kopi. Ketika pesanan datang, tak hanya secangkir kopi yang tersaji, tapi juga sebuah timer. Saat timer berbunyi, itulah detik kopi kita paling nikmat untuk diminum.

Di luar topik tentang kopi dan isi novel, saya tersenyum saat Ifa menjelaskan bahwa Candu adalah alumni jurusan Teknik Fisika. Di komunitas mantan asisten PIKSI, beberapa teman laki-laki alumni dari jurusan itu suka  memasak. Ada Chef Epsi spesialis Roti Bulan Sabit, ada Chef Tito untuk masakan Jepang, bahkan Chef Endang buka warung Bakmi Cimanggu di Bogor. Jangan-jangan, sinyalemen adanya program studi kuliner di TF, benar adanya... :)

Jadi, sukses untuk Ifa. Tak sabar menunggu “sajian kopi” berikutnya...

Selasa, 13 Januari 2015

Umroh2 - Ke Tanah Suci di Masa Renovasi




Beberapa tahun terakhir, Masjidil Haram sedang bebenah. Saya ingat, pernah ada yang memberi foto-foto rencana perluasan. Saat itu, agak sangsi. Betulkah? Karena perluasan besar-besaran ini tentu harus meruntuhkan banyak bangunan sekitar mesjid yang menurut saya masih sangat bagus. Bahkan saya ingat saat haji tahun 2000, ada 2-3 hotel besar sedang dibangun dekat pelataran mesjid. Perluasan ini pasti akan menggusur hotel tersebut. Sayang sekali kan?

Pada saat umroh 2011, saya melihat ada proses pembangunan di kejauhan, tetapi tidak terlalu memperhatikan. Mungkin karena saat itu, wilayah aktivitas jamaah tidak terganggu. Sekitar Ka’bah masih aman. Tawaf utama di lantai dasar. Lantai 1 tawaf untuk yang berkursi roda. Lantai 2 bisa dipakai tawaf oleh laki-laki, karena saat itu perempuan sudah tidak boleh ke atas. Kalau tidak salah, karena sebagian sedang diperbaiki.

Pada kunjungan Desember 2014, pekerjaan pembangunan sedang di bagian utama. Tak bisa tawaf di wilayah bangunan masjid, karena bangunan terputus-putus oleh renovasi. Dibuatkan tempat sementara untuk tawaf, dua lantai. Ini sangat mengurangi kapasitas tawaf di lantai dasar. 

Saat melihat di televisi, saya sempat berpikir, asyik juga tawaf di bawah lintasan darurat ini karena akan terlindung dari panas. Pada kenyataannya, orang hanya tawaf di bagian terbuka sekitar Ka’bah saja. Bagian bawah lintasan tawaf darurat, hanya dimanfaatkan untuk shalat, atau aktivitas ibadah lain.

Di lantai 1 tempat tawaf sementara, cukup banyak peminatnya. Mungkin karena tempat ini nyaman sepanjang hari. Beratap tempat tawaf lantai 2. Kendala yang terasa adalah, bercampurnya orang yang tawaf berkursi roda dan yang biasa di setiap lantai. Kadang-kadang  pendorong kursi roda, apalagi yang bayaran, sering tak mau tahu suasana. Main ngebut saja. 

Menurut mbak Wulan, pemilik travel, perubahan kondisi Masjidil Haram sangat cepat. Terakhir dia ke sana adalah saat Ramadhan. 3 bulan kemudian sudah banyak perubahan. Jadi, jika saya menulis tentang Masjidil Haram Desember 2014, suasana yang akan dihadapi teman-teman jika umrah/haji di bulan-bulan mendatang, pasti berbeda lagi. Katanya sih, diharapkan 2017 semua proses perluasan ini selesai.

Dulu, sebelum renovasi, sering mendengar masalah orang yang ke Masjidil Haram adalah tersesat. Bingung menemukan pintu mana yang harus dituju. Sebenarnya kebingungan itu tak perlu karena setiap pintu ada nomornya. Mungkin karena bentuknya yang serupa, banyaknya orang, dan larut dengan emosi ibadah, kadang jamaah teralihkan fokusnya dan berakibat “hilang”.

Kondisi renovasi saat ini, dari sisi peluang tidak tersesat, sebenarnya sangat menguntungkan. Sekitar separuh pintu sedang tak bisa digunakan. Sehingga, jumlah akses masuk dan keluar Mesjid jauh lebih sedikit. Lebih mudah bagi kita mengingat dari mana kita tadi masuk dan ke mana harus keluar. 

Situasi di bulan Desember 2014, jauh lebih memudahkan. Akses ke Ka’bah, tempat tawaf lantai dasar, hanya ada 2. Dari arah pintu King Fahd, dan dari arah tempat Sa’i. Memang menjadi sangat padat di waktu-waktu usai shalat, karena semua orang melewati rute yang sama. Kabar baiknya, sangat kecil peluang tersesat.

Saya pernah berkesempatan shalat dzuhur di lantai 1, tepat di lurusan antara Hajar aswad dan pintu Ka’bah. Ini posisi favorit, karena ada hadits yang mengatakan tentang kepastian doa diijabah jika dipanjatkan dari lokasi ini. Karena favorit, peminatnya pun banyak.

Usai shalat, untuk keluar ke tempat makan siang,  saya harus turun dulu ke lantai dasar yang ada Ka’bah, lalu naik lagi menuju pintu King Fahd. Saya melihat, jalur naik nyaris tak bergerak saking padatnya. Sementara orang yang tawaf pun banyak sekali walau panas terik. Disisi lain, saya tahu, kantin tempat makan sangat penuh sesaat usai dzuhur. 

Dalam situasi tak ada harapan ke segala tujuan, saya ambil keputusan melakukan tawaf sunnah saja dulu. Tak apa berdesak-desakan dan panas, kan sambil ibadah. Sementara kalau saya langsung keluar pun saya akan banyak diam tertahan dalam 2 antrian. Antri keluar mesjid, dan antri di kantin. Alhamdulillah, tak terasa 7 putaran usai, 1 siklus tawaf sunnah terlalui, sempat menikmati shalat di Hijir Ismail, jalan menuju keluar sudah leluasa, dan saat tiba di kantin, sudah lengang. Nyaman.

Meniru pengalaman teman saat haji, pada kunjungan ke tanah suci kali ini saya bertekad mencoba semua jalur tawaf. Lantai dasar sudah saat pertama kali masuk Makkah dan umroh. Lantai 1 saya jajal dengan suami saat tawaf sunnah usai shalat Dhuha keesokan harinya. Malam, usai Isya saya ajak teman seperjalanan untuk mencoba tawaf di lantai paling atas. 

Dengan penuh perjuangan, kami bisa sampai ke tempat tawaf teratas ini. Tak mudah. Bahkan bisa dikatakan, sebelum tawaf, saya sudah setengah tawaf. Menempuh jalan yang cukup panjang. Bertanya kepada setiap askar di tikungan, akhirnya kami sampai juga. Dari tempat shalat kami harus turun dulu ke lokasi tawaf lantai dasar, melipir setengah putaran ke arah tempat Sa’i, naik, kemudian menyeberangi tempat Sa’i lantai 1, keluar dari pintu Ali, naik eskalator, masuk dan menyeberangi tempat Sa’i lantai 2, baru deh sampai ke lintasan tawaf di lantai 2.

Kami tawaf tanpa membawa buku. Berdoa bertasbih sesuai kata hati saja, kecuali di antara rukun Yamani sampai ke Hajar Aswad, membaca “doa sapu jagat”. Demikian sampai 7 putaran. Lantas kami mencari tempat kosong untuk shalat 2 rakaat. Dapat. Di depan kami pagar, jadi tak ada yang lalu lalang di hadapan. 2 rakaat shalat sunnah usai tawaf kami akhiri dengan sujud panjaaang....selama yang kami kehendaki, sepuas hati mencumbu Ilahi. Kelak, saat kami meninggalkan Mekkah, teman berujar bahwa tawaf malam ini yang paling khusyuk dan berkesan.

Usai shalat, kami tak buru-buru pulang. Memandang ke bawah. Tak hentinya orang tawaf. Usai yang satu, datang yang lain. Terus-menerus. Mengitari Ka’bah. Sebagaimana semua makhluk yang sedang bertasbih kepada-Nya. Seperti bulan yang mengelilingi bumi. Bumi yang mengelilingi matahari, bersama planet-planet lain. Tata surya yang bergerak berputar di galaksi. Galaksi kita yang juga berputar di semesta.

Jika boleh jujur, berkali-kali tawaf, sebagian besar saya tak sanggup berdoa. Hanya tasbih. Hanya takbir. Tahmid dan istigfar. Rasanya tak pantas diri berharap apa-apa. Mengingat segala kebesaran-Nya saja. Saya merasa, tawaf  adalah persembahan bagi-Nya. Pengakuan atas ke-Maha-an-Nya. Bahwa tawaf adalah bukti kehambaan kita sebagai makhluk.

Dari ketinggian ini pula, saya bisa melihat dengan jelas yang terjadi di sekitar hajar aswad. Luar biasa upaya orang-orang untuk menyentuh dan menciumnya. Luar biasa pula kerja penjaga di sana untuk mengatur arus dan mengawasi agar tak sampai ada yang cedera. 

Jika tawaf saya lakukan berkali-kali selama di tanah suci, Sa’i hanya saya lakukan 2 kali. Saat umroh pertama ketika baru datang. Dan umroh kedua di malam terakhir di Mekkah. 

2 kali Sa’i saya merasa tak melakukan dengan sempurna. Yang pertama dilakukan setelah menempuh perjalanan panjang, lebih dari 24 jam. Lelah dan ngantuk luar biasa. Ada masa-masa saya merasa melayang. Tapi tak boleh berhenti di tengah jalan, 7 putaran harus dituntaskan. Saya menghibur diri, sa’i tetap sah selama jalurnya ditempuh sejumlah yang disyaratkan. Tak berdoa tak apa. 

Yang kedua, sudah tinggal sisa tenaga. Kaki beraaat sekali dipakai melangkah. Saya memaksakan diri sambil mengingat, bahwa saya hanya tinggal berjalan saja 7 kali bolak-balik dari Shafa ke Marwah. Titik. Lantai marmer, udara sejuk ber-AC. Santai. Sementara, Siti Hajar dulu melakukannya di terik gurun, antara 2 bukit tandus terbuka, lengkap dengan segala kekhawatiran seorang ibu atas bayinya yang kehausan dan tak ada setetespun air di sekitar. Tanpa suami ada disana pula. Benar-benar luar biasa perjuangan istri nabi Ibrahim ini. 

Empat hari di Mekkah, telinga sudah terbiasa. Kapanpun shalat, terutama saat sujud, doa dipanjatkan dengan iringan backsound...bunyi alat berat yang sedang bekerja. Ritual ini menjadi sensasi tersendiri. Mungkin tak akan dinikmati lagi oleh peziarah setelah tahun 2017.

Senin, 12 Januari 2015

Umroh1 - Travel Sahabat



Bismillaahirrahmaanirrahiim

Tulisan ini menjadi pembuka catatan saya di tahun 2015. Semoga saya bisa konsisten duduk manis setiap hari, menulis sebanyak 700-1000 kata tentang apa saja, di tahun ini. Saya ingin mengawalinya dengan menuliskan beberapa hal ringan dari perjalanan ke tanah suci akhir tahun lalu, secara berseri. 

20-29 Desember 2014 saya berkesempatan beribadah umroh. Alhamdulillah. Ini kunjungan ketiga saya setelah haji pada tahun 2000 dan umroh pada tahun 2011. Rencana Allah yang luar biasa, karena kami bukan orang yang sangat berlebih sehingga merencanakan kunjungan berkali-kali ke tanah suci. Bisa dibilang, saya selalu menggunakan biro perjalanan sahabat, dalam setiap kunjungan.

Perjalanan pertama, sering kami syukuri sebagai buah pencanangan niat yang didengar Allah. Pada tahun pertama pernikahan, kami melaksanakan rapat-kerja. Bulan madu yang tertunda. Sebuah hotel melati di Lembang menjadi saksi. Pada selembar kertas HVS kami tuliskan rencana jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang keluarga. Tentang karir, pendidikan, anak, dan lain-lain, termasuk rencana menjalankan rukun Islam yang kelima.

Berhaji ingin kami lakukan setelah anak bungsu lepas usia balita, atau jika dalam 5 tahun pertama belum ada anak, haji akan kami dahulukan. Sejujurnya, usai rapat-kerja ini, kami lupa. Rencana ini tidak secara sungguh-sungguh kami jadikan rujukan. Bahkan kertasnya saja sempat lupa disimpan dimana.

Menjelang ulang tahun pernikahan yang kelima, saya membaca berita tentang tersedianya kuota tambahan haji untuk tahun itu. Tiba-tiba saya teringat rencana keluarga. Saya sampaikan kepada suami. Diapun bersemangat. Kami kumpulkan biaya yang terserak. Alhamdulillah cukup untuk.... 1 ONH saja. Mmm... apakah saya saja yang pergi, karena suami sudah pergi haji sebelumnya. Tapi kan rencana ini untuk pergi berdua. Dilema.

Allah Maha Perencana yang sempurna. Tiba-tiba ada tawaran pergi haji bagi kami berdua dari orang yang biasa dibantu pemikiran oleh suami. Jadi kami malah kelebihan dana 1 ONH. Karena ayah saya dan mertua sudah haji, akhirnya dana ini kami gunakan untuk ONH ibu saya. Jadilah kami pergi bertiga 4 bulan kemudian.

Sungguh kami bersyukur sudah menunaikan perjalanan yang wajib. Saat itu belum berlaku sistem antrian haji seperti sekarang. Kuota haji tambahan diumumkan secara terbuka. Siapa saja yang bersegera, bisa mendaftar. 

Rezeki kami semakin terasa lengkap ketika di Mekkah kami ternyata mendapat penginapan di apartemen Hyatt, bersebelahan dengan hotel Hyatt, di daerah Hafair. Tak sampai 1 km ke Masjidil Haram. Ini perjalanan ONH biasa lho, 40 hari, bukan ONH Plus. 

Bahagia dan syukur kami sempurna, ketika menjelang wukuf, tepat pada hari ulang tahun saya, saya mendapat kepastian....hamil! Bertahun-tahun kami berusaha untuk mempunyai anak. Terakhir, dokter bahkan sudah menjadwalkan inseminasi sepulang haji. Alhamdulillah di tanah suci ini doa kami dikabul. Kontan.


Mungkin karena dapatnya di sana, saya dan suami bertekad, perjalanan ke luar negeri pertama kali bagi anak kami nanti adalah ke tanah suci. Pada usia anak 7 s.d. 10 tahun, liburan kami isi ke berbagai tempat di dalam negeri. Setidaknya anak kami pernah menginjak satu bagian dari pulau Jawa, Sumatera, Bali, Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. 

Menjelang dia 11 tahun, kami menilai dia sudah cukup besar untuk kunjungan pertamanya ke luar negeri. Mekkah menjadi tujuan. Semua kami persiapkan. 3 bulan sebelum rencana keberangkatan, kami sudah daftar ke sebuah biro perjalanan. Seminggu menjelang keberangkatan, kami ditelepon. Pembimbing umroh kami masuk rumah sakit. Kami bisa tetap pergi tanpa pembimbing dari sini, atau membatalkan. Kami pilih batal.

Suami saya sempat menanyai beberapa travel umroh lain. Tak ada yang bisa. Semua memberi alasan sulit mendapat tiket dadakan pada musim liburan seperti ini.

Dari awal daftar, kami sudah minta jadwal pulang kami digeser 3 hari, karena akan memenuhi undangan dari teman suami di Turki. Jadi, karena umrohnya batal, suami mengontak teman Turkinya yang di Jakarta. Mengabari bahwa kami tak jadi ke Turki karena umrohnya pun batal.

Ketika dia tahu masalahnya, dia menawari kami untuk menukar rute perjalanan. Kebetulan saat itu dia sedang di kantor Turkish Air. Ada 3 kursi untuk pergi dan pulang 9 hari kemudian. Juga untuk perjalanan dari Turki ke Jeddah pp. Baiklah, satu masalah utama teratasi. 

Suami kembali mengontak temannya pemilik travel. Menanyakan bagaimana pesan kamar hotel di Mekkah. Ternyata, karena hanya perlu 1 kamar, sangat mudah. Dia memberi nomor kontak mukimin di sana yang membantu memesankan kamar. Hal serupa dilakukan untuk pemesanan kamar di Madinah, kepada orang yang berbeda. Semua dapat bantuan dari teman. Bahkan dia menghubungi satu orang untuk membimbing umroh, dan satu orang lain untuk menjemput kami ke bandara Jeddah.

Jadilah kami pergi seminggu kemudian. Oya, visa umroh kami diurus sekretaris suami di kantor. Satu hari selesai. Tentu ini tak lepas dari hubungan baik kantor suami dan kedutaan Arab Saudi. Alhamdulillah. 

Jika ada yang bertanya umroh menggunakan travel apa, kami selalu jawab, travel sahabat. Kadang orang mengernyitkan mata, karena baru mendengar nama travel itu. Ya iyalah, travel dengan nama itu tak terdaftar. Kami bisa pergi umroh dan mampir ke Istanbul, semata-mata atas izin Allah, melalui jalan persahabatan.
Persahabatan dari dan dengan banyak pihak, dan mereka semua menjadikan perjalanan kami sangat menyenangkan. 

Perjalanan yang dimungkinkan karena hubungan pertemanan ini, menjadi benar-benar perjalanan persahabatan karena secara tak terduga kami bertemu dengan orang-orang yang berkaitan dengan teman kami.

Di pesawat pergi, kami bersebelahan dengan keluarga paman teman anak saya. Di pasar kurma, kami bertemu mas Wahyono, kakak kelas saya di SMA, dengan istrinya, Uceu, teman saya saat kuliah. Begitu turun dari mobil di Madinah, ada orang yang berdiri di pinggir mobil, dan itu ternyata teman suami. Di Aya Sophia Istanbul, di bandara Istanbul, di Mekkah, di Madinah... ada saja teman, atau ngobrol dengan orang yang ternyata teman atau saudara dari teman kami.


Perjalanan ke tanah suci yang terakhir kemarin, juga berkaitan dengan pertemanan. Kami tidak merencanakan. Sebenarnya, jika dilihat dari kapasitas keuangan, kami sedang tidak berlebih. Bahkan, renovasi yang harus kami lakukan karena rumah dikuasai rayap sedang terancam tersendat. Biasalah, renovasi tak pernah sesuai rencana. Merembet kemana-mana.

Sahabat suami di berbagai aktivitas akan menikahkan putrinya yang selembaga dengan suami, di Mekkah. Perjalanan ini tak hanya sekedar untuk umroh dan menikah, tapi juga sekaligus membuat rekaman-rekaman materi untuk syiar di salingsapa.com. Jadi untuk suami bisa dibilang ini perjalanan dinas. Sang putri menawari saya untuk ikut juga, tapi dengan biaya sendiri.

Pagi itu, yang terpikir oleh saya adalah... menyapa Allah. Saya ingin berkunjung lagi ke Baitullah. Engkau lebih tahu bagaimana caranya, begitulah rayuan saya. Dan, Allah memang sangat tahu caranya. Siang harinya, ada orang yang ingin melihat mobil. Sebulan terakhir kami memang sedang maju-mundur mempertimbangkan akan menjual mobil atau meminjam ke bank untuk menyelesaikan renovasi. Orang ini ternyata sangat suka. Keesokan harinya dia langsung bayar lunas. Alhamdulillah, renovasi bisa kami tuntaskan tanpa berhutang, bahkan kelebihannya bisa saya pakai untuk ziarah ke Mekkah. Umroh rasa Innova, hehe.

Perjalanan ketiga ini pun banyak mendapat nilai lebih karena persahabatan. Di Mekkah, saya sempat bertemu dengan Martika, sahabat dari SMP yang suaminya bekerja di KJRI Jeddah. Kami makan malam bersama dan banyak mendapat informasi tentang tanah suci dan kehidupan sehari-hari masyarakat di sana, maupun WNI yang tinggal di sana. Nyaris saya hadiri acara pelatihan untuk para TKW yang diadakan Dharma Wanita sana. Sayang batal karena kendala teknis.

Di Doha, Qatar, saat transit dalam perjalanan pulang, saya sempat bertemu sepupu, Akmal, yang bekerja di sana. Dia ikut citytour dengan rombongan kami. Saya pun jadi mendapat informasi lebih banyak, karena ada tambahan tour-guide.

Salah seorang teman serombongan, mempunyai sahabat di Mekkah. Dia menjadi jalan kami mendapatkan pengalaman-pengalaman yang tak biasa di tanah suci. Berkunjung ke peternakannya 25 km dari Mekkah ke arah Thaif, makan nasi mandhi di tampah besar ala arab, lengkap dengan lalap dan sambal hijau. Di Madinah pun kami diantarnya ke beberapa tempat yang tak biasa dikunjungi travel. 

Salah satunya, kami shalat Isya di masjid Qiblatain. Bertemu orang Indonesia yang tinggal di Madinah di mesjid ini, mengingatkan saya pada putri sahabat saya yang lain, Dessy Ayu Bulan Savitri. Rasanya menantu dia kuliah di Madinah.Saya SMS Dessy. Saat itu di Indonesia sudah malam. Jadi baru dapat kabar keesokan harinya. Alhamdulillah, Yasmin dan suaminya masih di Madinah. Saya sempat ngobrol dengan Yasmin sambil main-main dengan Ayash, cucu Dessy yang berusia 9 bulan, sekitar 2 jam di mesjid Nabawi, sambil menanti Dzuhur.  Senangnya...


Begitulah, persahabatan, telah menjadi jalan kunjungan ke tanah suci. Semoga Allah meridhoi langkah kami. Dan segala kemudahan yang kami dapat dari para sahabat, menjadi catatan amal baik mereka... Aamiin...