Senin, 25 Oktober 2010

Cerpen: CENGKERAM MASA LALU

Kedip-kedip merah dari Blackberryku meminta perhatian. Sejak tadi kuabaikan karena aku sedang menuntaskan mengolah rajungan lada hitam dan udang bumbu tauco untuk hidangan makan siang kesukaan suami dan anak-anakku. Sambil menunggu mereka kumpul di meja makan, kubaca pesan yang datang.

Bintang merah bertengger di grup Smantara’s Girls. Grup ini berisi teman-teman perempuanku semasa sekolah di SMA Nusantara. Girls? Hahaha…. Ini pernah ditertawakan anak gadisku. “Mamah dan teman-teman sok muda deh,” katanya saat itu. Aku segera membacanya. Penasaran, ada cerita apa hari Minggu begini.

Kalimat pertama yang terbaca adalah, “Ayo dong Nit, setor uang arisan….” Aku terhenyak! Bukan karena aku punya hutang, tetapi karena makna idiom itu yang aku hindari beberapa hari terakhir. Istilah tersebut digunakan teman-teman untuk meminta kita menceritakan kisah-kasih di masa lalu. Kenangan cinta pertama, atau yang semacam itu.

Sejak hari Kamis, bergiliran mereka bercerita. Ada yang mengharu biru, ada yang lucu, dan ada pula yang berakhir di penghulu. Seru sekali mengikuti kisah mereka. Ternyata bermacam-macam proses orang untuk dapat menemukan pasangan idaman. Aku menikmatinya, sampai…tersadar… bahwa akan tiba giliranku bercerita! Duh, haruskah? Aku langsung berhenti berkomentar. Berharap mereka lupa akan keberadaanku di situ.

Sampai hari Sabtu aku aman. Tak satu pun menanyakanku. Tetapi hari ini aku tiba-tiba jadi topik pembicaraan, karena salah seorang dari mereka sedang menghadiri peluncuran buku Sandi, mantan pacarku.

“Cerita dong Nit, kok bisa sampai putus sih?” desak Rani sahabatku. Beruntung, suami dan anak-anakku sudah berkerumun di meja makan. Aku punya alasan, “Sebentar ya….menemani anak-anak makan dulu…”.

Biasanya, momen makan bersama di akhir pekan menjadi saat yang paling membahagiakanku. Maklumlah di Jakarta, walaupun aku ibu rumah tangga, tapi anak-anak dan suamiku punya kesibukan masing-masing. Kali ini berbeda… Saat si bungsu yang baru kelas 4 SD menumpahkan kuah udang ke taplak meja, aku meledak. Menegurnya dengan marah. Suamiku tampak tercengang, tapi aku tak bisa menguasai diri.

Setelah makan, suamiku menunggu sampai anak-anak kembali ke aktivitas masing-masing. Sambil beranjak, dia berkata, “Masa sudah mau haid lagi, Mah? Rasanya baru minggu lalu…” Aku malu.



Sandi. Nama itu lagi. Aku benar-benar harus berdamai dengan diri, karena semakin mustahil mengusir dia pergi dari kehadirannya di sekitarku. Jika teman-teman bisa melupakan sosok mantannya karena tak pernah bersua, aku tidak. Kiprahnya yang semakin menasional, membuatnya semakin sering tertangkap berita. Wajahnya di TV, suaranya di radio, dan ucapannya di surat kabar seolah mengepungku, mencengkeramku.

Sebenarnya, aku sudah cukup lama berdamai dengan masa laluku. Aku nikmati rumah tanggaku yang dihiasi 3 putri cantik. Aku syukuri limpahan kasih dari suami. Aku sudah nyaman dengan diriku. Sampai dua tahun terakhir, saat facebook mendatangkan seluruh kenalan seumur hidup ke rumah kita. Aku sering tak sanggup menjawab ketika teman-teman lama bertanya, mengapa tak jadi menikah dengan Sandi.

Setiap orang punya satu babak di masa lalu yang –andai bisa- ingin dihapusnya. Bagiku, pita perekam masa perpisahanku dengan Sandi yang ingin kugunting. Sangat mengguncang hati.

Tak sebentar aku pacaran dengan Sandi. Sejak kelas 2 SMA sampai menjelang wisuda sarjana. Wajar kan kalau semua orang menduga akan sampai ke rumah tangga ? Tinggal selangkah lagi.

Dimataku, Sandi adalah sosok lelaki yang menggenggam mimpi. Dia berusaha keluar dari masa lalunya sebagai anak nenek karena perpisahan orang tua. Sejak awal dia sudah memutuskan ingin sebagai apa kelak dikenang orang. Dan, dia berusaha untuk itu.

Sedikit saja laki-laki yang sudah mantap melangkah sejak remaja. Sandi satu diantaranya. Hal ini membuatku kagum, sekaligus nelangsa. Demi mengarah ke pencapaian cita-cita, Sandi ikut pemilihan ketua OSIS. Walau harus puas sebagai Wakil Ketua, Sandi menjalaninya dengan penuh suka cita. Akibatnya? Waktu banyak tersita. Akhir pekan tak bisa menjadi milik berdua.

Beruntung kami diterima di perguruan tinggi yang sama. Aku sempat berharap, waktu untukku menjadi lebih utama. Ternyata sama saja, bahkan lebih parah. Sandi sangat terobsesi organisasi. Dia memandang ini sebagai ajang persiapan diri untuk meraih cita-cita. Justru, HMI yang semakin membuat akhir pekan berdua sebagai mimpi. Ada saja kegiatan di setiap minggunya. Apakah itu konferensi atau sekedar rapat, LK1, LK2, atau LK-LK lainnya. Diskusi-diskusi pun tak terhitung lagi.

Aku mencoba bertahan. Bagiku hubungan ini bukan sekedar Gita Cinta dari SMA, walau teman-teman sering menyebut kami bagai Galih dan Ratna. Aku serius sejak semula, aku tahu Sandi pun tak beda.

Aku selalu membayangkan suatu rumah tangga seperti yang dijalani Mama dan Papa. Papaku pekerja keras, tapi sangat mencintai keluarga. Jika tak keluar kota, makan siang selalu pulang ke rumah. Menyempatkan bercanda dengan Mama dan kami anak-anaknya, sebelum kembali ke tempat kerja. Akhir pekan serasa di surga. Berlima saja, di rumah ataupun ke tempat wisata.

Dengan pola aktivitas Sandi saat mahasiswa, kerap hatiku bertanya, mungkinkah kelak ‘mengikat’nya di rumah? Akankah bisa rumah tanggaku seperti Mama Papa? Sementara, kebahagiaan selalu terpancar di wajahnya saat bisa melakukan sesuatu untuk umat. Aku bingung.

Hari berlalu. Masih kami jalani dengan pola yang sama. Semakin dekat ke kelulusan, semakin sering aku berpikir tentang rencana berkeluarga. Sementara, Sandi menjadi anggota Pengurus Besar HMI di Jakarta. Kesibukannya semakin luar biasa. Mondar-mandir Bandung Jakarta, karena diapun harus juga mengurus skripsinya.

Aku tetap mengaguminya. Di tengah padatnya kegiatan, dia nyaris tak lepas puasa Senin Kamis. Tentang ini tak banyak orang tahu, tapi memang Sandi pun tak ingin mengungkap yang tak perlu. Ini urusan saya dengan Allah saja, katanya.

Aku semakin bimbang… orang yang baik dan selalu ingat Allah sudah ada di hadapan, tetapi aku tak yakin sanggup bertahan. Aku masih tetap punya bayangan pergi ke pengajian dengan pasangan, shalat berjamaah lima waktu dengan suami sebagai imam. Dengan Sandi, akan mustahil dilakukan.



Adzan Ashar memanggil, menyadarkan. Segera aku ke ruang keluarga, shalat berjamaah di sana. Berbaris rapat dengan anak-anak, diimami suami, sungguh, nikmat apa lagi yang dapat aku dustakan?

Setelah shalat, suami menyalakan TV. Pas ada berita peluncuran buku Sandi tadi dan berbagai komentar orang tentangnya. Seperti selama ini, selalu ada saja yang menilai baik atau buruk sepak terjang Sandi. Ada yang memuji, tapi ada juga yang mencaci. Tak jarang aku ikut bangga atau sakit hati, walau kadang juga tak peduli.

Aku pikir, wajar kalau banyak orang yang menilai. Di jalan datar, kita terperosok ke got hanya dilirik, ditolong, atau ditertawakan orang sekitar. Tetapi, Sandi menapaki tangga yang cukup tinggi, sehingga terpeleset saja pun dilihat banyak sekali orang. Bukan tak mungkin ada yang berpikir, mengapa tidak jatuh terguling sekalian. Walau, yang bergerak menolongnya pun tentu lebih banyak daripada saat kita jatuh ke got.

Berita sudah berganti. Saat hendak mengambil suguhan sore dari dapur, kulihat Blackberryku masih di meja makan dengan kedip-kedip merah khasnya. Aku ingat teman-teman yang sedang menanti penjelasanku. Aku tersenyum dalam hati. Sudah kuputuskan untuk tetap menyimpan semuanya sendiri. Biarlah mereka penasaran…


Bogor, 25 Oktober 2010.

Jumat, 22 Oktober 2010

Cerpen: TIRAI PENGANTIN

“ Terima saya nikah dengan Riri Putri Lestari putra kandung Bapak Unang Sunarya dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai, “ suara mantap dari Mas Rahmat yang duduk di sampingku sambil berjabatan tangan dengan Bapak terdengar semakin sayup. Bukan karena volumenya yang melemah, tetapi karena tiba-tiba saja diriku seolah terbelah. Aku merasa berjarak dengan kekhidmatan akad nikah ini.

Saat penghulu menetapkan ijab kabul sah dan gema hamdalah bersahutan di sekeliling ruang, air mataku pun menetes tak tertahankan, berhamburan. Memandangmu yang tengah memandangku dengan sepenuh kepedihan sungguh menghancurleburkan kebahagiaan yang seharusnya melingkupi diriku di sini saat ini.

Mas Rahmat dengan penuh sayang menyerahkan selembar tisu ke tengah jalinan kaku kesepuluh jariku. Aku bergeming. Hanya isak yang ada. Mas Rahmat pun mengalihkan tisu langsung ke mataku, mengusap derai yang disangkanya haru. Tuhan….tolong…..batinku menjerit. Aku nyaris panik. Namun, sehelai kelembutan menyapa tengkukku, tatapmu. Hanya seusap. Tapi sanggup membuatku mengembalikan diri ke ruang kebahagiaan keluargaku atas pernikahan ini. Aku pun menoleh ke hadap Mas Rahmat dan mencoba membentuk seukir senyum yang kuharap bisa diartikan bahagia olehnya.

Selama dua jam kemudian, aku dan Mas Rahmat bersanding di pelaminan. Diiringi alunan kecapi suling dan lantunan kawih pesinden, kuterima ucap selamat dari kerabat dan jabat erat para sahabat. Sungguh aku senang menerima ungkap bahagia mereka atas pernikahan aku dan Mas Rahmat.


Di sela aliran tamu, terkenang lagi akan pertemuan pertama kita, dulu. Kamu ingat hari pertama kuinjakkan kaki di SMA Negeri 1 Banjar? Sebagai murid baru pindahan dari Cirebon, aku sungguh kikuk di lingkungan berbahasa sunda halus. Sapa akrab kawan sekelas, terasa bagai ancaman di telingaku. Bagaimana aku harus menjawabnya?
“Ri, kami ngerti kok bahasa Indonesia,” candamu menyelamatkan mukaku.
“Terima kasih…. Saya mengerti bahasa Sunda, tapi tidak terbiasa bicara,” jawabku lega.

Sejak itu, kamu hampir selalu hadir di saat-saat gentingku. Awalnya aku tidak menganggapmu ada. Kamu pun mungkin tidak datang dengan sengaja. Aku masih sibuk dengan diriku sendiri. Bukankah, menjadi remaja selalu tidak sederhana, di lingkungan baru pula? Lambat laun aku pun mulai terbiasa akan keberadaanmu di hari-hariku.

Hingga tibalah malam itu. Malam presiden pidato di istana, seperti yang biasa dilakukan sehari sebelum peringatan kemerdekaan. Kamu di beranda rumahku. Kita bicara tentang segala. Dari lomba balap sepeda hingga PR Matematika. Aku lihat wajahmu cerah bersinar, walau ada gurat ragu disana. Belakangan aku tahu mengapa. Ada hal penting ingin kausampaikan. Dengan terbata, kauungkap rasa suka, “ Ri, dengan apa adanya diriku, maukah kamu…berteman secara khusus….denganku?”

Aku terpana. Benar, aku sudah menduga, tapi tetap saja terasa mengejutkan. Jujur aku suka kamu, tapi mempunyai hubungan khusus adalah hal baru bagiku. Ada takut di situ. Takut salah langkah. Takut salah pilih. Takut dikecewakan.

Aku masih bimbang, tapi entah apa yang mendorongku mengucap sebaris kata, “Kita coba ya….”. Kalimat penuh ragu ini sudah cukup bagimu. Wajahmu tampak lega, sinarnya semakin terasa.

Menjelang pulang, kamu berusaha mengecup keningku. Refleks aku mundur menghindar. Aku tak sanggup berkata tidak, tapi bahasa tubuhku terbaca olehmu. Kita berpisah cukup dengan ucapan salam.


Permintaan foto bersama dengan keluarga besar Mas Rahmat membangunkanku dari kenangan malam itu. Senyum bahagia aku tampilkan di hadapan para fotografer karena aku melihat senyummu berpendar di kilatan lampu blitz. Aku terkuatkan.

Usai pesta, tinggal aku berdua. Mas Rahmat membimbing tanganku saat menyibak tirai di pintu kamar pengantin. Seharusnya aku gemetar, karena ini persentuhanku pertama kali secara fisik dengan Mas Rahmat yang kini suamiku. Ada kepuasan batin tersendiri, masuk ke gerbang perkawinan dengan status perawan, pun dari sekedar sentuhan tangan. Ada kebanggaan, karena aku berhasil menjaga diriku seutuhnya sampai ke jenjang pernikahan.

Tentang kesucian diri, Mas Rahmat sempat agak tersinggung. Saat itu lamaran sudah diterima. Kami berjalan-jalan ke pusat kota. Saat hendak menyeberang, Mas Rahmat meraih tanganku. Aku menghindar, menepis uluran tangannya. Aku tahu niatnya baik, menjagaku. Tetapi aku tak ingin disentuh siapapun, sebelum ijab kabul. Saat Mas Rahmat menuntut penjelasan, aku mencoba menghiburnya, “Mas, aku ingin memasuki gerbang rumah tangga dengan bersih. Aku ingin suamiku adalah orang yang pertama kali menyentuhku. Sabar ya Mas, insya Allah, semua akan menjadi hakmu pada saatnya, tidak sekedar sentuhan tangan.”

Mas Rahmat memang pria matang. Dia bisa mengerti alasanku, bahkan mendukung sepenuhnya. Tak salah aku memutuskan menjadi istrinya.

Malam itu benar-benar menjadi milik Mas Rahmat. Di sela hempasan kepuasannya dia berucap, “Riri sayang….terima kasih. Engkau benar…. Semua menjadi terasa sangat luar biasa, bahagia yang tak terbayangkan sebelumnya. Mas merasa tersanjung sebagai suami yang mendapatkan segalanya untuk yang pertama kali…”

Aku pun kembali tak sanggup menahan guliran basah di kedua pipiku. Inikah bahagia karena berhasil mempersembahkan yang paling utama untuk suami? Atau wujud kepedihan hati menerima tatap kosongmu dari atas lemari? Akankah Mas Rahmat tetap sebahagia ini andai dia tahu, jauh di kedalaman hati, kamu yang terlindas kereta api di hari peringatan proklamasi Indonesia, sehari setelah proklamasi kita, masih bertahta dengan sempurna…

Bogor, 22 Oktober 2010.

Minggu, 17 Oktober 2010

16 Oktober

16 Oktober , 16 tahun silam, semuanya berawal.
Bermodalkan niat baik saja.
Alhamdulillah, rencana itu mewujud pada 11 Desember 1994.

Hingga kini kami masih terus berusaha
menggapai cita-cita
bersama-sama masuk surga
melalui keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah
dengan saling mengisi, saling mengasihi, saling melengkapi.