Jumat, 22 Oktober 2010

Cerpen: TIRAI PENGANTIN

“ Terima saya nikah dengan Riri Putri Lestari putra kandung Bapak Unang Sunarya dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai, “ suara mantap dari Mas Rahmat yang duduk di sampingku sambil berjabatan tangan dengan Bapak terdengar semakin sayup. Bukan karena volumenya yang melemah, tetapi karena tiba-tiba saja diriku seolah terbelah. Aku merasa berjarak dengan kekhidmatan akad nikah ini.

Saat penghulu menetapkan ijab kabul sah dan gema hamdalah bersahutan di sekeliling ruang, air mataku pun menetes tak tertahankan, berhamburan. Memandangmu yang tengah memandangku dengan sepenuh kepedihan sungguh menghancurleburkan kebahagiaan yang seharusnya melingkupi diriku di sini saat ini.

Mas Rahmat dengan penuh sayang menyerahkan selembar tisu ke tengah jalinan kaku kesepuluh jariku. Aku bergeming. Hanya isak yang ada. Mas Rahmat pun mengalihkan tisu langsung ke mataku, mengusap derai yang disangkanya haru. Tuhan….tolong…..batinku menjerit. Aku nyaris panik. Namun, sehelai kelembutan menyapa tengkukku, tatapmu. Hanya seusap. Tapi sanggup membuatku mengembalikan diri ke ruang kebahagiaan keluargaku atas pernikahan ini. Aku pun menoleh ke hadap Mas Rahmat dan mencoba membentuk seukir senyum yang kuharap bisa diartikan bahagia olehnya.

Selama dua jam kemudian, aku dan Mas Rahmat bersanding di pelaminan. Diiringi alunan kecapi suling dan lantunan kawih pesinden, kuterima ucap selamat dari kerabat dan jabat erat para sahabat. Sungguh aku senang menerima ungkap bahagia mereka atas pernikahan aku dan Mas Rahmat.


Di sela aliran tamu, terkenang lagi akan pertemuan pertama kita, dulu. Kamu ingat hari pertama kuinjakkan kaki di SMA Negeri 1 Banjar? Sebagai murid baru pindahan dari Cirebon, aku sungguh kikuk di lingkungan berbahasa sunda halus. Sapa akrab kawan sekelas, terasa bagai ancaman di telingaku. Bagaimana aku harus menjawabnya?
“Ri, kami ngerti kok bahasa Indonesia,” candamu menyelamatkan mukaku.
“Terima kasih…. Saya mengerti bahasa Sunda, tapi tidak terbiasa bicara,” jawabku lega.

Sejak itu, kamu hampir selalu hadir di saat-saat gentingku. Awalnya aku tidak menganggapmu ada. Kamu pun mungkin tidak datang dengan sengaja. Aku masih sibuk dengan diriku sendiri. Bukankah, menjadi remaja selalu tidak sederhana, di lingkungan baru pula? Lambat laun aku pun mulai terbiasa akan keberadaanmu di hari-hariku.

Hingga tibalah malam itu. Malam presiden pidato di istana, seperti yang biasa dilakukan sehari sebelum peringatan kemerdekaan. Kamu di beranda rumahku. Kita bicara tentang segala. Dari lomba balap sepeda hingga PR Matematika. Aku lihat wajahmu cerah bersinar, walau ada gurat ragu disana. Belakangan aku tahu mengapa. Ada hal penting ingin kausampaikan. Dengan terbata, kauungkap rasa suka, “ Ri, dengan apa adanya diriku, maukah kamu…berteman secara khusus….denganku?”

Aku terpana. Benar, aku sudah menduga, tapi tetap saja terasa mengejutkan. Jujur aku suka kamu, tapi mempunyai hubungan khusus adalah hal baru bagiku. Ada takut di situ. Takut salah langkah. Takut salah pilih. Takut dikecewakan.

Aku masih bimbang, tapi entah apa yang mendorongku mengucap sebaris kata, “Kita coba ya….”. Kalimat penuh ragu ini sudah cukup bagimu. Wajahmu tampak lega, sinarnya semakin terasa.

Menjelang pulang, kamu berusaha mengecup keningku. Refleks aku mundur menghindar. Aku tak sanggup berkata tidak, tapi bahasa tubuhku terbaca olehmu. Kita berpisah cukup dengan ucapan salam.


Permintaan foto bersama dengan keluarga besar Mas Rahmat membangunkanku dari kenangan malam itu. Senyum bahagia aku tampilkan di hadapan para fotografer karena aku melihat senyummu berpendar di kilatan lampu blitz. Aku terkuatkan.

Usai pesta, tinggal aku berdua. Mas Rahmat membimbing tanganku saat menyibak tirai di pintu kamar pengantin. Seharusnya aku gemetar, karena ini persentuhanku pertama kali secara fisik dengan Mas Rahmat yang kini suamiku. Ada kepuasan batin tersendiri, masuk ke gerbang perkawinan dengan status perawan, pun dari sekedar sentuhan tangan. Ada kebanggaan, karena aku berhasil menjaga diriku seutuhnya sampai ke jenjang pernikahan.

Tentang kesucian diri, Mas Rahmat sempat agak tersinggung. Saat itu lamaran sudah diterima. Kami berjalan-jalan ke pusat kota. Saat hendak menyeberang, Mas Rahmat meraih tanganku. Aku menghindar, menepis uluran tangannya. Aku tahu niatnya baik, menjagaku. Tetapi aku tak ingin disentuh siapapun, sebelum ijab kabul. Saat Mas Rahmat menuntut penjelasan, aku mencoba menghiburnya, “Mas, aku ingin memasuki gerbang rumah tangga dengan bersih. Aku ingin suamiku adalah orang yang pertama kali menyentuhku. Sabar ya Mas, insya Allah, semua akan menjadi hakmu pada saatnya, tidak sekedar sentuhan tangan.”

Mas Rahmat memang pria matang. Dia bisa mengerti alasanku, bahkan mendukung sepenuhnya. Tak salah aku memutuskan menjadi istrinya.

Malam itu benar-benar menjadi milik Mas Rahmat. Di sela hempasan kepuasannya dia berucap, “Riri sayang….terima kasih. Engkau benar…. Semua menjadi terasa sangat luar biasa, bahagia yang tak terbayangkan sebelumnya. Mas merasa tersanjung sebagai suami yang mendapatkan segalanya untuk yang pertama kali…”

Aku pun kembali tak sanggup menahan guliran basah di kedua pipiku. Inikah bahagia karena berhasil mempersembahkan yang paling utama untuk suami? Atau wujud kepedihan hati menerima tatap kosongmu dari atas lemari? Akankah Mas Rahmat tetap sebahagia ini andai dia tahu, jauh di kedalaman hati, kamu yang terlindas kereta api di hari peringatan proklamasi Indonesia, sehari setelah proklamasi kita, masih bertahta dengan sempurna…

Bogor, 22 Oktober 2010.

6 komentar:

  1. Hati saya teraduk2 membaca cerpen ini. Sungguh, ending cerita yg mengejutkan, sampai saya baca dua-tiga kali, masih ada tanda tanya soal Mas Rahmat dan yg terlindas KA itu. Apakah orang yang sama ???

    BalasHapus
  2. hehe...baca sekali lagi ya...sambil dinikmati situasinya...mudah2an dapat kesimpulannya... Terima kasih lho sudah menyempatkan membaca...

    BalasHapus
  3. short..succinct..surprising....kerenzz..

    BalasHapus