Rabu, 16 Mei 2012

VCD BAJAKAN


Hari gini masih pakai VCD? Ssst, jangan tertawa dulu. Ini tentang VCD yang sudah saya beli lebih dari 5 tahun lalu.

Semalam, anak saya minta izin menonton Spongebob The Movie. Dia berdalih hari ini libur, jadi semalam boleh rileks. Agak heran juga, film yang sudah bertahun-tahun menganggur, tiba-tiba ingin dia lihat lagi.

Saya sempat membantunya mencari film yang dimaksud di antara tumpukan CD/VCD/DVD. Sudah bertahun-tahun tidak disentuh. Bahkan sebenarnya saya sedang berpikir untuk mengeluarkannya dari rumah.

Saya mengelompokkan film-film lama dalam empat kelompok besar. CD file pribadi, CD lagu-lagu yang hampir semua asli, VCD/DVD dari toko besar, dan VCD/DVD yang saya beli di kaki lima.

Jadi teringat, awalnya, saat dia Batita, saya membelikan Teletubbies. Saat itu ini tontonan bayi yang paling sederhana. Sempat membaca ulasan yang agak sensitif tentang dampak film yang tampaknya sederhana ini, tetapi saya belum menemukan film lain. Kami belum terpikir untuk memakai TV-berlangganan, karena itu berarti biaya tambahan. Dan idealisme saya saat itu, ingin mengenalkan sesuatu yang benar kepada anak. Jadi, saya belikan VCD asli. Walau tidak sederhana untuk dompet saya, saya pikir tak apa, toh sesekali saja.

Seiring waktu, saya pun membelikan lagi tontonan-tontonan lain. Seri Barney dan film-film Pixar maupun Disney. The Bug’s Life dan The Lion King adalah favorit anak saya (dan favorit saya juga). Hampir tiap hari Simba lagi, Simba lagi. Saya pernah bercerita tentang ini di salah satu tulisan saya “Merek Dagang Anakku”.

Mulai usia Taman Kanak-kanak, anak saya mengenal Barbie. Ini pun masih saya tunjang dengan film asli. Tapi ketika kebutuhan dia meningkat, mulai terasa berat. Ingin memberikan banyak pilihan kepada anak, tetapi kalau sering-sering membelikan film asli, tekor juga. Apalagi kalau itu film-film yang hanya akan dia tonton 1-2 kali saja.
Sampai suatu hari saya berbincang dengan teman. Saya yakin secara finansial, dia sangat mampu membeli film asli. Tapi dia bercerita, malas membeli yang asli. Mahal. Lagipula, kalau kita membeli yang bajakan di pinggir jalan, itu berarti ikut memberi makan para penjual. Anggap saja sedekah kepada mereka yang mungkin tak beruntung mendapatkan pekerjaan formal.

Bahwa ini merugikan pembuat film, iya. Bahwa ini  kriminal secara internasional, iya. Tetapi kita ambil sederhananya sajalah, katanya. Orang-orang asing pembuat film ini sudah banyak menangguk untung dari seluruh dunia. Mereka sudah sangat kaya raya atas hasil karyanya. Sementara, di sekitar kita, sangat banyak orang yang bahkan untuk makan nanti siang saja masih harus berpikir panjang. Para pengganda ini sudah punya urusannya sendiri dengan yang di atas. Tapi, para penjaja, untuk mereka ini berarti senyum anaknya, jalan menuju kenyang perutnya. Itu saja.

Kita pun dapat untungnya kok, biaya yang dikeluarkan untuk satu keping film asli, bisa kita gunakan untuk mendapat 10 film lain.

Saya pun terpengaruh. Secara sirkulasi dana rumah tangga, ini lebih masuk akal. Mulailah Spongebob dan Dora masuk rumah secara tidak sah...  Film-film pendidikan lokal, seperti Mrico dan kawan-kawan, tetapi saya dapatkan dari penjual resmi. Anak saya tak pernah berkomentar apa-apa. Namanya anak-anak, dia tak memperhatikan apakah yang dilihatnya film asli atau bukan.

Makin lama, saya makin terbiasa mendapatkan barang yang murah. Apalagi, di tahun-tahun terakhir, DVD bajakan kualitas gambarnya makin bagus. Tapi memang frekuensi belanja film sekarang jauh berkurang. Anak saya sudah mempunyai banyak teman, termasuk komputer. Menonton film tidak menarik hatinya lagi. VCD/DVD ini pun menganggur, yang asli maupun bajakan. Televisi kami pun awet, karena jarang sekali diminta bekerja.

Semalam dia tiba-tiba terpikir untuk menonton Spongebob karena di sekolah sempat bertukar cerita dengan teman-temannya. Dia jadi ingat punya filmnya di rumah. Begitu VCDnya ditemukan, dia bersyukur sekali. Saya menemaninya menonton sambil mondar-mandir ke mesin cuci. Berulang terdengar tawa lepasnya melihat adegan-adegan konyol Spongebob dan kawan-kawannya. Sesekali saya komentar juga, bahwa tidak semua candaan dalam film ini baik.

Saat cerita sedang seru-serunya, gambar tersendat, terputus-putus, dan tampilannya bergaris-garis. Dia keluarkan kepingannya, dibersihkan, kemudian diputar lagi langsung ke bagian ini. Rupanya masih kotor. Dia ulang lagi proses pembersihan.

Saya sedang menjemur pakaian di belakang ketika anak yang menjelang gadis ini bertanya sambil lalu dengan intonasi ringan tapi suara keras karena mengimbangi bunyi getaran mesin cuci, 
”Ini VCD bajakan ya, Mah?”

Tiba-tiba, bagai ada luka yang tersiram cuka jauh di dalam tubuh saya. Ada rasa yang tak berwujud, tak tersentuh, tak terdefinisi, tetapi nyata.

Inikah malu?

Kamis, 10 Mei 2012

Cerpen: BULAN KE-19 KEHAMILAN VIERTA


Vierta lelah sekali. Usai menidurkan Rene dan Haya, dia melangkah pelan menuju dapur. Sangat perlahan. Telapak kakinya nyaris tak beranjak dari lantai. Terseret-seret.
 
Andai kata hati diikuti, Vierta pasti sudah ikut bermimpi di samping kedua bayinya. Sejak pagi tak henti Vierta bergerak. Menyiapkan nasi goreng untuk sarapan dia dengan Rounti, suaminya. Membuat bubur beras merah untuk Rene dan Haya. Memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci. Dan, mengaktifkan robot pengepel lantai.

Vierta tahu, seharusnya Haya masih dalam masa ASI eksklusif. Belum tepat makan bubur beras merah, walaupun diencerkan. Sayangnya air susu Vierta kurang, karena asupan gizinya harus dipilah tubuh untuk perkembangan janin yang sudah 7 bulan di dalam perut. 

Keberadaan calon adik Haya inilah yang membuat fisik Vierta tidak prima. Mudah mengantuk. Tetapi, kondisi rumah memaksanya menguatkan diri. Vierta masih harus memasukkan peralatan masak dan piring kotor ke mesin pencuci piring dan memindahkan pakaian yang sudah dicuci tadi pagi ke mesin pengering. 

Satu tendangan mendorong perut gendutnya dari dalam. Refleks tangan kanan Vierta mengusap gelembung di bawah dada, menenangkan sang janin. Senyum ironis pun terbentuk, ujung bibirnya terangkat sebelah. Sang penabuh tambur marchingband kebanggaan sekolah itu kini bertahan memanggul tambur kehamilannya selama hampir 20 bulan.

Sejak mulai mengandung Rene sampai hari ini, 19 bulan sudah Vierta hamil. Dua bayi sudah dilahirkan 10 dan 5 bulan lalu. Kini, janin ketiga berusia 7 bulan. Senyum Vierta berubah menjadi senyum lega membayangkan dua bulan lagi semua ini akan usai. Kehamilan tumpuk yang melelahkan lahir maupun batin. Kehamilan yang bagai kepulauan Nusantara, sambung menyambung menjadi satu. 

Sambil memasukkan piring dan panci ke dalam mesin pencuci, Vierta mengenang hari-harinya  satu setengah tahun terakhir. Pada awalnya Vierta mengalami gangguan mual parah. Mungkin itu reaksi psikis atas kehamilan yang diintervensi negara. 

Vierta mendapat panggilan dari Puskesmas saat memasuki bulan ketujuh pernikahan. Karena belum hamil setelah 6 bulan menikah, Vierta dan Rounti terkena pasal percepatan kehamilan. Ada semacam hormon yang disuntikkan kepada para Pengantin Setengah Tahun, istilah untuk mereka yang sudah menikah 6 bulan tetapi istri belum hamil.

Pemerintah menetapkan aturan ini sebagai bagian dari langkah terpadu memutus masalah bangsa yang saling lilit selama puluhan tahun. Sebelumnya, berbagai pihak dilibatkan untuk menganalisis dan mempertimbangkan segala aspek. 

Hasil evaluasi komprehensif menyatakan bahwa segala tindak kejahatan manusia dewasa, termasuk korupsi dan narkoba, dapat direduksi secara signifikan jika pada 5 tahun awal hidupnya seorang anak dibesarkan oleh tangan ibu kandung. Karena itu perempuan wajib mengurus  anak sendiri  di masa emas mereka.

Untuk mengatasi kesempatan aktualisasi diri, kampanye menikah di awal usia 20 tahun pun digalakkan. Jika 6 bulan belum hamil, pasangan pengantin itu akan mendapat perlakuan seperti Vierta. Tujuannya baik, agar pihak istri tidak membuang usia dalam penantian datangnya anak.

Sedangkan pembatasan dua anak karena pertimbangan demografi, budaya, daya dukung lingkungan, dan hak perempuan bekerja. Andai jarak kedua anak ini 5 tahun pun, kewajiban mengurus anak sendiri ini akan usai dalam 10 tahun, saat sang ibu masih di awal 30-an. Masih sangat panjang peluang berkarir. Pengambil keputusan sangat memperhitungkan tingkat kenyamanan seluruh warga negara. 

Sebagai bentuk keadilan, mereka yang mempunyai anak lebih dari dua, harus rela membayar pajak progresif kelahiran. Dalam arti, pajak kelahiran anak ke-4 lebih besar dari pajak kelahiran anak ke-3. Aplikasi turunan dari aturan ini berantai, misalnya untuk biaya pendidikan maupun asuransi kesehatan.

Pendekatan yang pas tapi tegas dari pemerintah disukai banyak penduduk. Termasuk Vierta. Dia sangat mendukung. Apalagi Vierta menyukai sejarah. Dia sangat paham betapa carut marutnya negeri ini sejak para perempuan bebas beraktivitas demi haknya semata. 

Sambil melipat pakaian yang sudah kering di ruang televisi, Vierta mengajak janinnya berbincang-bincang.

“Pagi, Sayang.” Sebuah tendangan ringan terasa. Segera ditangkapnya sisa tonjolan itu. “Ini kakimukah? Atau tangan? Wah, langsung hilang lelah Mamah.” Ajaibnya kehamilan! Rasa berat, lelah, ingin marah atau menangis entah untuk apa, selalu hilang saat sang calon bayi memberi perhatian kepada bundanya. 

Satu demi satu pakaian terlipat, dan kenyamanan Vierta tetap terjaga karena sesekali dia sapa perutnya untuk mendapatkan penguatan diri. Dengan cara seperti ini dia bisa bertahan naik roller-coaster hampir 3x9 bulan! 

Kenangan Vierta membayang. Empat bulan pertama paling menyiksa. Mual dan muntah tanpa alasan. Dokter mengatakan dia hamil, tapi kan tidak ada tanda apa pun. Baru setelah janin mulai memberi tanda kejutan ringan seperti tersetrum listrik, dan semakin hari gerakannya semakin kuat, Vierta menikmati kehamilannya. Bangga, bahagia, dan penuh cinta. 

Sampai tiba hari itu. Pemeriksaan USG di bulan ke-7. Gambaran di monitor membuat kening dokter berkerut. Calon orang tua ini heran, karena yang mereka rasakan justru tersanjung luar biasa. Dokter mengarahkan cursor ke satu titik yang tampak berdenyut-denyut. Bukan dari janin.
 
Setelah berkali-kali melihat, akhirnya dokter memastikan bahwa ada sebuah kantung kehamilan lain, dengan janin yang jauh lebih kecil dari calon bayi pertama. Sungguh fenomena yang tak terduga.
 
Saat seorang perempuan hamil, kadar hormon progesteronnya tinggi. Sedangkan hormon estrogen lemah, sehingga tidak ada produksi dan pematangan sel telur. Jadi, tidak mungkin ada kehamilan baru selama hamil. Kasus Vierta segera menjadi perhatian dunia kedokteran. Vierta pun diminta bolak-balik ke rumah sakit menjalani pemeriksaan. Akhirnya diperoleh kesimpulan, bahwa ini adalah efek dari penyuntikan hormon pemercepat kehamilan.

Vierta mempunyai gen kembar dari keluarga ibunya. Pada generasi sebelumnya, ibu dan nenek Vierta meminum pil KB untuk mencegah kehamilan sesudah memiliki 2 anak. Produsen hormon di tubuh Vierta sudah terganggu sebagai efek obat yang diminum ibu dan neneknya itu. Penyuntikan hormon pemercepat kehamilan, menciptakan reaksi unik di tubuh Vierta, yaitu hormon progesteron dan hormon estrogen diproduksi sama tinggi. Sehingga  tetap ada proses pematangan sel telur di tubuh Vierta selama dia hamil. Dan si telur yang dibuahi ini matang serta menjejakkan diri di kantong kehamilan baru di rahim Vierta.

Walau sempat kaget, Vierta kemudian bersyukur. Kehamilan tumpuk ini membuat dia tidak perlu mengalami mual tanpa hiburan. Saat janin baru belum terasa keberadaannya, ada sang kakak yang sudah banyak bergerak. Gerakan yang selalu berhasil meredakan segala ketegangan Vierta, seperti yang dirasakan seluruh ibu hamil. Dengan hamil bersambung seperti ini pun, masa grounded Vierta untuk membesarkan anak menjadi singkat. 5 tahun 7 bulan saja dua anak usai ditimang. Dia bisa segera menekuni cita-citanya menjadi peneliti benda purbakala. 

“Sayang, kita lihat kakak Rene dan Haya yuk, sambil memasukkan pakaian ke lemari,” ujar Vierta sambil bangkit perlahan. Langkahnya masih pelan, tetapi tidak lunglai seperti tadi. Wajah bayi yang damai dalam tidur pun menjadi obat penenang lain. Bersihnya wajah anak-anakku, Vierta bersyukur dalam hati.

Perlahan Vierta berbaring di samping Rene dan Haya. Diusap perlahan perutnya, “Kita temani kakak tidur, yuk.” 

Mata Vierta pun terpejam, tetapi pikirannya malah terjaga. Teringat saat proses serupa terjadi pada kehamilan ketiga ini. Terdeteksi ada janin baru saat janin Haya berusia 7 bulan. Dilema mulai muncul pada diri Vierta, mengingat peraturan untuk anak ketiga. Vierta tidak lagi menikmati kehamilan seperti saat hamil Rene dan Haya. Pajak yang akan ditarik pemerintah setiap tahun sejak bayi dilahirkan sampai usia 20 tahun selalu terbayang di pelupuk mata. Bagaimana dia harus menghemat pengeluaran untuk menyiapkan dana pembayar pajak? Tiba-tiba dia teringat untuk menelepon Rounti.

Vierta tak jadi tidur. Denyut jantung yang cepat tak bisa mengimbangi langkah berat. Tak sabar Vierta ingin segera sampai di ruang tengah. Dengan terengah, dia menjatuhkan diri di sofa lembut hijau tua favoritnya. 

Vierta menelepon Rounti melalui I-is. Sosok hologram Rounti pun segera muncul di hadapan Vierta, berasal dari pancaran layar I-is-nya. Ini saja sudah melegakan napas Vierta.  “Tenang,” ujar Rounti, “Surat yang kita ajukan kan sedang diproses. Dan menurut penasihat hukum, besar sekali kemungkinan kita menang.” 

Dengan melampirkan data dari pihak dokter, PUSKESMAS, dan rumah sakit, Rounti sedang meminta pemerintah agar tidak menerapkan aturan pajak progresif itu kepada anak ketiganya. Proses kehamilan Vierta kan di luar kekuasaannya. Bahkan merupakan efek dari program pemerintah. Proses hamil yang bahkan para dokter pun baru mengetahui peristiwa seperti ini bisa terjadi.

“Iya,” jawab Vierta, “Tetapi kan dokter sudah menyarankan kita puasa dulu selama belum diketahui cara penyelesaiannya?” Terngiang di telinga Vierta ucapan dokter, “Sementara, satu-satunya cara sederhana menghentikan kehamilan beruntun ini adalah dengan tidak melakukan hubungan suami istri.
 
“Saya kan sudah sampaikan juga kepada dokter itu, ‘Yang benar saja…kita kan pengantin baru,” Rounti mengingatkan Vierta akan jawabannya kepada dokter, sambil tertawa.

Bahkan, siang ini suratnya akan direvisi. Permohonan itu tidak hanya untuk anak ketiga, tetapi juga untuk anak-anak selanjutnya, sampai pihak kedokteran menemukan terapi yang paling tepat untuk kasus kita.” 

“Hah?” Vierta ternganga memahami makna ucapan suaminya. Terdengar Rounti tertawa terrbahak-bahak. Puas sekali.

“Sungguh, saya malah bersyukur. Ini jalan yang diberi Tuhan. Mimpi punya anak setim bola voli bisa terwujud tanpa harus membayar pajak berlipat-lipat.”

“Dasar!” Vierta mengakhiri perbincangan dengan suaminya. Antara lega, geli, dan pasrah. Dari sofa, tampak kedua bayinya masih pulas. Senyum bahagia seorang ibu memancar di wajah lembut Vierta. Terlebih ketika tatapannya beralih ke perut. Dielus-elus dengan lembut perut gendutnya sambil berguman, “Kamu dengar tadi, Nak? Papamu jahil, ya? Kita minum susu saja dulu, sambil menunggu kak Rene dan kak Haya bangun” 

Vierta sempat diam di depan kulkas yang sudah dia buka. “Kamu mau yang rasa coklat atau vanili, Sayang,” sambil menunduk menatap tonjolan dibalik pakaian longgarnya. “Coklat saja, ya, segar di udara panas seperti ini. Tak sabar Mamah menanti 2 bulan lagi untuk bertemu kamu, dan puas bermain dengan kalian bertiga.”  Vierta teringat saat Rene mulai bisa mengucap “Mama” dengan jelas, Haya berhasil menggulingkan tubuhnya di tempat tidur, dan si kecil mulai terasa tonjokan sayangnya di perut Vierta. Kebahagiaan apalagi yang harus dicari? Belum ada perempuan lain yang merasakan tiga hal itu secara bersamaan di satu waktu. 

Baru saja Vierta menusukkan sedotan ke kotak susu, I-is nya bergetar. Ada pesan masuk. Dari laboratorium.

Jantung Vierta serentak berdebar lebih cepat. Sejenak dia ragu, dilanjutkan atau tidak membaca pesan yang diterima. Ketika akhirnya tombol “terima” ditekan, muncullah di layar data hasil pemeriksaan kemarin.

Napas Vierta tertahan, dadanya nyaris meledak. Tiba-tiba saja benda-benda di rumahnya tampak berputar-putar. Lemari es di hadapannya seolah-olah membesar, mendekat, dan menabraknya, mengantarkan sebuah keranjang bayi. Vierta refleks mundur selangkah, tetapi kakinya terantuk kursi makan. Sedetik sebelum jeritan kaget dan putus asa siap keluar dari mulutnya, dia sadar. Dihempaskan tubuh ke kursi tersebut. Gemuruh degup jantung berlomba mengirim sinyal. Bertalu-talu, saling susul, semakin lekas dan bertambah cepat. Udara dihembuskan dari kedua hidungnya. Lama. Dan panjang sekali. 

Vierta sempat berharap napasnya tinggal itu saja. 

Laboratorium melaporkan keberadaan satu janin tambahan lagi, berusia 2 bulan.

Kamis, 03 Mei 2012

HADAPKAN PERAHU PADA OMBAK TERBESAR



Masalah adalah sahabat mereka yang hidup. Kadang datang satu demi satu, kadang berkunjung beramai-ramai. Seringkali kita bingung menghadapinya.

Masalah bisa besar, bisa kecil. Lihat saja koran, tak pernah kehabisan berita. Selalu saja ada masalah orang per orang atau kelompok yang bisa ditampilkan. Tapi koran kemarin mengingatkan saya akan sebuah solusi yang saya pelajari hampir 2 tahun lalu.

Saat itu kami sedang di Lombok. Suami dan anak saya libur. Kami bertiga sedang rehat dari rutinitas. Mengikuti saran dari banyak orang, kami berkunjung ke pulau Gili Terawangan. Kami dijemput perahu kecil beratap plastik yang bisa digulung dan berpenyangga penyeimbang di kiri kanannya di belakang hotel. Ditemani 2 orang. Satu pengantar dan satu “nakhoda” yang juga bertugas mengawasi mesin motor tempel. Berlima saja pagi itu kami mengarungi selat Pelawangan, penghubung pulau Lombok dan Pulau kecil Gili Terawangan di Utaranya.

Udara segar, angin tenang, sehingga laut seolah hamparan permadani biru tua yang berkecipak hanya saat perahu kami lewat. Anak saya bahkan dengan gembira menyentuh permukaan laut, dan meneteskan air laut yang dia ciduk ke dalam mulutnya. “Iya, asin,” rupanya dia ingin membuktikan kebenaran pengetahuan.

Setengah jam pertama, pulau Lombok masih di kanan kami, sehingga pemandangan hijau perbukitan masih memanjakan mata. Hampir satu jam berikutnya, kami benar-benar hanya ditemani laut. Tapi sungguh menenangkan. Perjalanan yang luar biasa karena hadiah di ujung sana benar-benar istimewa. Laut yang jernih. Bebatuan di dasar pantai terlihat jelas. Indahnya negeriku.

Setelah puas berkeliling, makan, dan shalat, kami bersiap-siap pulang. Pemandu menawarkan untuk mampir ke Pulau Gili Menu di sampingnya. Sayang sudah jauh-jauh kemari, katanya. Kami setuju. Perairan di sekitar Gili Menu lebih jernih karena lebih jarang dikunjungi wisatawan. Pasirnya berbatu tajam, agak mengganggu kenyamanan. Nakhoda menggulung atap saat kami akan meninggalkan pulau kedua ini, “Anginnya mulai kencang, kita buka atap agar lebih aman.”

Kami mengitari Gili Menu agar bisa melihat pulau ketiga, Gili Air. “Tapi tidak turun ya, karena di sana ombaknya kencang,” kata nakhoda. Kami pun sudah mulai lelah, tidak berminat berjalan-jalan lagi. Terbayang kencangnya ombak di sana, karena dari tempat kami saja, selat antara Gili Air dan Gili Menu, ombak sudah terasa kencang, tidak nyaman seperti saat pergi ke Terawangan tadi.

Posisi ketiga pulau ini berjejer, dengan Terawangan di paling kiri. Jadi, ketika perahu mengarah kembali ke Lombok, jalur yang kami tempuh ini seperti menyusuri sisi miring segitiga siku-siku yang posisi sudut 90 derajatnya di Gili Terawangan.

Berarti, ini menempuh jarak yang lebih panjang. Berarti, kami melintasi Selat Pelawangan lebih lama. Berarti, ini bukan jalan umum.

Pelajaran pertama yang harus saya sampaikan adalah... jangan abaikan ilmu yang pernah kita terima di sekolah dasar, kapanpun. Saya tidak hanya lupa tentang segitiga siku-siku ini saja, saya juga lupa pengetahuan tentang laut. Bahwa angin pada sore hari berhembus dari daratan ke laut. Dan... kami melintasi selat yang mengapit banyak pulau. Pulau-pulau kecil, tetapi tetap saja daratan, sehingga sore hari tetap mendorong ombak menjauhi pantai.

Akibatnya? Ya, benar sekali... ombak-ombak kecil dari setiap pantai, terdorong ke tengah laut seperti bola salju, semakin lama semakin besar dan tinggi. Mereka pun bercengkrama bersama, bersorak sorai. Perahu kecil kami bagai bola basket di tangan para pemain NBA, menggelinding ke sana kemari, terlempar ke atas, menukik ke bawah.

Sempat terlihat sebuah kapal besar berpenumpang lebih dari 50 orang. Saya ngeri melihatnya, kapal mereka terayun keras di lautan yang sedang berdansa. Sebagian wajah mereka mengarah kepada kami dengan tatapan ketakutan. Tiba-tiba saya sadar. Mereka bukan takut pada kapalnya, tetapi khawatir kepada kami. Perahu kecil dengan 5 penumpang.

Saya hanya diam, berdoa sebanyak yang bisa saya ucapkan dalam hati, dan mengencangkan pegangan. Ada saat perahu bagian depan terangkat, kemudian menjadi datar terbang tinggi di atas permukaan laut, dan tiba-tiba suara motor terhenti. Itu detik-detik jantung saya terasa tak berdetak. Sesaat kemudian perahu terhujam, dan laut hitam kelam menganga lurus di depan saya. Saat itu sempat terlintas, jika ini “waktu” kami, alangkah “sesuatu”nya. Tak ada yang tahu kami sedang berada di sini, kecuali orang hotel tempat kami menginap. Kami akan lenyap dari peradaban, jauh dari tempat tinggal di mana kami biasanya berada.
Kelegaan akan terasa saat bagian buritan kemudian terhempas ke bawah, dan mesin motor pun berbunyi lagi. Lega yang tak lama, karena sesaat kemudian peristiwa tadi terulang. Lagi. Dan lagi.

Akhirnya saya memejamkan mata, merendahkan hati serendah-rendahnya. Kepada ombak. Kepada laut. Dan kepada Allah, tentunya.
“Laut, kita sama-sama makhluk. Aku ikut kemana kamu bawa kami. Tapi tolong jaga kami, karena kamu yang paham semua ini.”

Pasrah membuat saya perlahan-lahan menikmati semua ini. Beberapa kali tubuh saya tersiram, bukan terpercik, dari ujung kepala sampai seluruh badan. Saya mencoba memetik pelajaran. Inikah yang namanya ikhlas pada takdir-Mu? Tubuh dan hati saya tidak melawan setiap hempasan.

Perlahan, hantaman ombak terasa berkurang. Saya belum berani membuka mata karena tak yakin berada di mana. Ketika akhirnya suami bersuara, saya mulai percaya, kami masih ada.

Gelombang menenang karena kami sudah masuk perairan di samping pulau Lombok, tidak di tengah-tengah laut lagi. Mulailah kami berbincang dengan sang nakhoda. Bagaimana bisa tenang melewati gempuran ombak dari segala arah bertubi-tubi seperti tadi?

Pertama, karena penumpang tenang, katanya. Saya merasa dipercaya. Ssst, jangan bilang dia yang saya rasa ya...

Kedua, laut itu aman. Kita tinggal mengikuti apa maunya. Hadapkan saja perahu kepada ombak terbesar yang menghampiri kita, pasti kita akan selamat. Jika kita memilih ombak kecil yang tampaknya aman dilalui, perahu kita akan terbalik, karena ombak yang lebih besar akan mendorong dari samping.

Tiba-tiba saya terperangah. Ini sesungguhnya pelajaran utama dari perjalanan seharian.

Hadapkan saja perahu kepada ombak terbesar yang menghampiri kita, pasti kita akan selamat.

Begitu juga kan mengatasi masalah dalam hidup?

ANAS dan ANNIS, Beda Tipis



Persamaan keduanya banyak sekali. Tak terhitung. Bermata dua. Bernapas menghirup oksigen. WNI. Dan lain-lain.

Perbedaannya? Tidak banyak. Hanya di dua huruf. Yang satu cukup dengan 1 N, yang lain perlu 2 N. Serta beda A dan I saja. O ya, yang satu laki-laki, yang lain perempuan.

Selama ini saya menerimanya begitu saja. Saya dengan kehidupan saya, dia dengan kehidupannya. Kami hidup masing-masing, Indonesia luas kok.

Baru beberapa hari terakhir, saya merasakan bahwa ternyata perbedaan di antara kami jauh dari sedikit. Terasa lebih jauh dari jarak Sabang ke Merauke.

Saya merasa lebih beruntung darinya. Saya sudah mempunyai sepeda motor atas nama saya sendiri sejak SMA.  Dibeli dari hasil menabung lama (dan dilunasi orang tua :) ). Honda 800 yang baru saya jual 23 tahun kemudian. Saya sudah sangat terbiasa dihentikan Polisi jika mereka sedang mengadakan pemeriksaan. Pak Polisi akan meminjam STNK dan SIM . Setelah mencocokkan nomor kendaraan dan wajah di foto, SIM dan STNK saya akan dikembalikan dengan pesan “Hati-hati mengemudinya, ya.” 

Spion dan helm selalu terpasang dengan benar, sehingga tidak pernah ditilang. Pernah sih satu kali dihentikan karena membonceng teman kuliah yang tidak pakai helm. Toh hanya dari jalan Ganesha ke Jl. Tamansari. Ternyata di tengah-tengah ada Pak Polisi. Saya tidak jadi ditilang karena Pak Polisi kehilangan kata ketika saya bilang, “Kemarin saya lihat yang pakai helm tapi tidak pakai motor kok tidak ditilang...”

Jadi, sejak SMA saya sudah paham, nomor di STNK harus sama dengan nomor yang terpasang untuk menunjukkan bahwa kendaraan yang saya gunakan bukan hasil curian. Sekarang pun, di tempat parkir saya selalu memastikan tidak keliru naik mobil walau Avanza silver ada puluhan di sana, karena saya hapal nomor mobil saya.

Tampaknya, Anas tidak seberuntung saya. Dugaan saya, dia baru memiliki kendaraan pribadi setelah menjadi seseorang yang berhak dikawal polisi dan diantar sopir kemana-mana. Sehingga dia tidak pernah mempelajari peraturan lalu-lintas dan berkendaraan karena tidak punya SIM, dan tidak pernah mengalami dihentikan polisi di jalan untuk diperiksa kesesuaian nomor tertera dan di STNK.

Perbedaan terbesar yang membuat saya tergerak untuk menulis malam ini adalah peristiwa minggu lalu yang membuat ingatan saya kembali ke 9 Juli 2011. Malam Minggu yang tak terlupakan.

Pertama kalinya saya ditilang. Di Jakarta. Benar-benar karena ketidaktahuan saya. Daerah edar saya adalah di Bogor. Jika ke Jakarta, saya naik KRL atau menjadi penumpang. Malam itu saya dari Senayan akan masuk tol dalam kota. Tujuan saya masuk dari depan Plaza Semanggi. Ternyata tidak bisa karena telat mengambil jalur kanan. Saya pun menuju pintu masuk berikutnya. Begitu melihat plang dan lampu hijau, saya segera ke kanan, takut terlambat lagi. Tiba-tiba, di depan, berdiri pak polisi di tengah jalan. Oo, ternyata kali ini malah terlalu cepat. Ini masih jalan milik busway.

SIM saya diambil, dan diminta sidang 2 minggu kemudian. Malam sebelum sidang saya baru sadar, ada 2 pasal yang dituduhkan. Saya tanya kepada teman yang bertugas di Mabes POLRI, dia tidak tahu itu pasal tentang apa, tidak merasa perlu membantu menanyakan kepada teman-temannya sesama polisi, dan –maaf, ini yang paling berkesan- setelah dia tahu sebabnya dia hanya berkata, “Kamu apes saja”.

Keesokan harinya, dalam sidang yang untungnya boleh diwakilkan, saya merelakan Rp 350.000 melayang. Rp 300.000 untuk denda 2 pasal kesalahan yang dilanggar, dan Rp 50.000 untuk membayar orang yang membantu agar bisa dipanggil cepat karena ada 6000-an orang yang hari itu harus disidang tilang. Semoga yang Rp 300.000 tetap masuk ke kas negara karena saya tidak menerima bukti pembayarannya.

Perbedaannya dengan Anas? Untuk urusan ini, dia jauh lebih beruntung dari saya. Kapolda hanya memberitahunya bahwa mengganti plat nomor itu suatu kesalahan, Anas memasang kembali plat nomor yang asli, dan kasus selesai.

Selasa, 01 Mei 2012

KERUPUK PERJUANGAN


      Pagi ini kami sarapan nasi pepes resep keluarga, dilengkapi dengan kerupuk ikan. Setiap gigitan kerupuk, setiap bunyi kriuk, saya membayangkan perjuangan seorang lelaki hebat, Mas Agus Uji Hantoro. 

     Ups, teman yang mengenal suami saya, jangan protes dulu. Mas Uji istimewa untuk saya karena beliau adalah suami sahabat saya Herru Widiatmanti. Mereka berdua pasangan yang selalu bekerja keras, saling mendukung dalam berkarya di masyarakat, dan bahu-membahu mendidik keempat buah hati mereka.

     Keduanya Pegawai Negeri Sipil. Keduanya patut dijadikan teladan. Mas Uji sejak awal di jalur Fungsional. Sempat di BPKP dan saat ini di Kementrian PAN. Tak pernah surut motivasinya masuk ke pelosok tanah air untuk menularkan semangat berkarya sebagai abdi negara yang baik dan benar. Sedangkan Herru, saya tetap memanggil demikian walau kini beliau lebih dikenal sebagai Mbak Widi, pegawai Dinas Pajak. Bertahun-tahun di jalur Struktural, baru sekitar 1 tahun terakhir memilih menjadi Widyaiswara Departemen Keuangan, jalur Fungsional. Banyak dinas ke luar kota juga.

     Dengan posisi mereka hari ini, keduanya biasa sedapat mungkin mengatur jadwal agar tidak bersama-sama dinas ke luar kota, agar anak-anak ditemani salah satu orangtuanya. Dulu, saat Herru masih di Struktural, jadwal tidak bisa diatur sendiri. Saya ingat betul, saat mereka baru dikaruniai 2 putri balita, saya pernah mampir ke rumah mereka untuk mengantarkan sesuatu. Pemandangan yang saya temui adalah, Mas Uji dengan telaten sedang menyuapi kedua putrinya. Saat itu mereka sedang krisis pengasuh anak, sehingga Mas Uji pulang cepat karena pembantu sementara mereka hanya bisa bekerja setengah hari.

     Kini, saat kedua putri ini sudah remaja, suasana lain terasa di rumahnya. Di dinding ruang makan, sekaligus ruang belajar, alih-alih memajang foto atau lukisan, yang ada adalah beberapa tulisan motivasi dalam bingkai. Salah satunya kurang lebih berarti “Jika bisa melakukan dengan lebih baik, jangan puas dengan biasa-biasa saja”. Saat saya diundang makan malam itu, saya tidak berkomentar apa-apa.

     Akhir minggu lalu saya mendapat cerita. Mbak Nia, si sulung, sempat diwawancara saat seleksi untuk suatu posisi di kegiatan kampus UI, kampusnya kini, tentang motivasinya melamar di tengah padatnya beban kuliah. Dengan refleks Mbak Nia menjawab, kalau saya bisa melakukan yang lebih baik, mengapa harus biasa-biasa saja? Tiba-tiba saja tulisan yang Mamah pasang di dinding itu yang terbayang, kisah Mbak Nia kepada ibunya. Banyak pelajaran yang saya ambil dari satu kisah “kecil” ini. 

     Mbak Nia sendiri benar-benar anak negeri. Orang tuanya pegawai negeri, SD, SMP, SMA, dan kuliah di sekolah negeri, bahkan makan pun selalu telur ayam negeri :) . Dan kini, dia mulai tergerak untuk menyiapkan yang terbaik bagi negeri.

     Saya teringat mereka saat pagi ini semua orang berbicara tentang Hari Pendidikan Nasional. Ada beragam suara, tetapi saya hanya ingin menyampaikan satu pendapat pribadi. Bahwa apa pun kondisi lingkungan, kita bisa berdamai dengannya, dan kendali pendidikan anak tetap ada pada orang tua.

     Pendidikan anak tidak identik dengan institusi. Sekolah hanya sebuah alat. Ada banyak alat lain yang diperlukan untuk menyempurnakan pendidikan yang kita rencanakan bagi anak-anak kita. Bahkan, saya percaya, kompleksitas masalah yang dihadapi anak di sekolah, justru akan menjadi ajang uji nyali menghadapi hidup. Jika kita yakin menanamkan hal yang benar dan memberi contoh yang tepat kepada anak, dia akan tumbuh seperti yang kita siapkan, apapun keragaman nilai yang dia terima di luar sana.

     Perjalanan Mas Uji dan Herru belum selesai. Mbak Nia masih tingkat satu, Mbak Bella SMA, Mas Daffa kelas 6, dan si bungsu lucu adik Raffa baru 3 tahun saja. Tetapi, kekuatan komitmen yang mereka jalankan, insya Allah mematangkan satu generasi penerus yang ada dalam genggaman mereka.

     Dan saya percaya juga, kita semua bisa. Jika setiap orang tua, berusaha memegang nilai-nilai yang diyakini, menjalankan dan memperjuangkannya dalam setiap langkah kecil kita, maka kondisi lingkungan tak akan berpengaruh banyak, hanya pelengkap. Anak-anak kita akan mampu bertahan memegang benang merah yang dibentangkan orang tua sebagai kendaraan hidup terbaik, selamat di dunia, selamat di akhirat.

     Kepingan terakhir kerupuk mengingatkan saya pada perjuangan panjang Mas Uji dalam arti harfiah. Kerupuk ini oleh-oleh Mas Uji yang dibawa dari perbatasan Indonesia-Malaysia. 30 jam jalan darat pulang pergi dari Pontianak. Bogor-Cengkareng-Pontianak-Kapuas Hulu-Pontianak-Cengkareng-Bogor. Pfiuhhh, menulisnya saja lelah. Padahal ini baru satu saja perjalanan yang ditempuh beliau dalam rangka pengabdiannya pada negeri tercinta.

     Selamat Hari Pendidikan Nasional kepada para orang tua, pendidik utama anak-anak kita. Terima kasih kepada para guru, teman, dan lingkungan, yang menjadikan anak kita lengkap pengalaman, matang persiapan, menuju kehidupan sebenarnya di masyarakat, kelak.