Pagi ini
kami sarapan nasi pepes resep keluarga, dilengkapi dengan kerupuk ikan. Setiap
gigitan kerupuk, setiap bunyi kriuk, saya membayangkan perjuangan seorang
lelaki hebat, Mas Agus Uji Hantoro.
Ups,
teman yang mengenal suami saya, jangan protes dulu. Mas Uji istimewa untuk saya
karena beliau adalah suami sahabat saya Herru Widiatmanti. Mereka berdua
pasangan yang selalu bekerja keras, saling mendukung dalam berkarya di
masyarakat, dan bahu-membahu mendidik keempat buah hati mereka.
Keduanya
Pegawai Negeri Sipil. Keduanya patut dijadikan teladan. Mas Uji sejak awal di jalur
Fungsional. Sempat di BPKP dan saat ini di Kementrian PAN. Tak pernah surut motivasinya
masuk ke pelosok tanah air untuk menularkan semangat berkarya sebagai abdi negara
yang baik dan benar. Sedangkan Herru, saya tetap memanggil demikian walau kini
beliau lebih dikenal sebagai Mbak Widi, pegawai Dinas Pajak. Bertahun-tahun di
jalur Struktural, baru sekitar 1 tahun terakhir memilih menjadi Widyaiswara
Departemen Keuangan, jalur Fungsional. Banyak dinas ke luar kota juga.
Dengan
posisi mereka hari ini, keduanya biasa sedapat mungkin mengatur jadwal agar
tidak bersama-sama dinas ke luar kota, agar anak-anak ditemani salah satu
orangtuanya. Dulu, saat Herru masih di Struktural, jadwal tidak bisa diatur
sendiri. Saya ingat betul, saat mereka baru dikaruniai 2 putri balita, saya
pernah mampir ke rumah mereka untuk mengantarkan sesuatu. Pemandangan yang saya
temui adalah, Mas Uji dengan telaten sedang menyuapi kedua putrinya. Saat itu
mereka sedang krisis pengasuh anak, sehingga Mas Uji pulang cepat karena
pembantu sementara mereka hanya bisa bekerja setengah hari.
Kini,
saat kedua putri ini sudah remaja, suasana lain terasa di rumahnya. Di dinding
ruang makan, sekaligus ruang belajar, alih-alih memajang foto atau lukisan,
yang ada adalah beberapa tulisan motivasi dalam bingkai. Salah satunya kurang
lebih berarti “Jika bisa melakukan dengan lebih baik, jangan puas dengan
biasa-biasa saja”. Saat saya diundang makan malam itu, saya tidak berkomentar
apa-apa.
Akhir
minggu lalu saya mendapat cerita. Mbak Nia, si sulung, sempat diwawancara saat
seleksi untuk suatu posisi di kegiatan kampus UI, kampusnya kini, tentang
motivasinya melamar di tengah padatnya beban kuliah. Dengan refleks Mbak Nia
menjawab, kalau saya bisa melakukan yang lebih baik, mengapa harus biasa-biasa
saja? Tiba-tiba saja tulisan yang Mamah pasang di dinding itu yang terbayang,
kisah Mbak Nia kepada ibunya. Banyak
pelajaran yang saya ambil dari satu kisah “kecil” ini.
Mbak Nia sendiri benar-benar
anak negeri. Orang tuanya pegawai negeri, SD, SMP, SMA, dan kuliah di sekolah
negeri, bahkan makan pun selalu telur ayam negeri :) . Dan kini, dia mulai tergerak untuk
menyiapkan yang terbaik bagi negeri.
Saya
teringat mereka saat pagi ini semua orang berbicara tentang Hari Pendidikan
Nasional. Ada beragam suara, tetapi saya hanya ingin menyampaikan satu pendapat
pribadi. Bahwa apa pun kondisi lingkungan, kita bisa berdamai dengannya, dan
kendali pendidikan anak tetap ada pada orang tua.
Pendidikan anak tidak identik dengan institusi. Sekolah hanya sebuah
alat. Ada banyak alat lain yang diperlukan untuk menyempurnakan pendidikan yang
kita rencanakan bagi anak-anak kita. Bahkan, saya percaya, kompleksitas masalah
yang dihadapi anak di sekolah, justru akan menjadi ajang uji nyali menghadapi
hidup. Jika kita yakin menanamkan hal yang benar dan memberi contoh yang tepat
kepada anak, dia akan tumbuh seperti yang kita siapkan, apapun keragaman nilai
yang dia terima di luar sana.
Perjalanan Mas Uji dan Herru belum selesai. Mbak Nia masih tingkat satu,
Mbak Bella SMA, Mas Daffa kelas 6, dan si bungsu lucu adik Raffa baru 3 tahun
saja. Tetapi, kekuatan komitmen yang mereka jalankan, insya Allah mematangkan
satu generasi penerus yang ada dalam genggaman mereka.
Dan saya percaya
juga, kita semua bisa. Jika setiap orang tua, berusaha memegang nilai-nilai
yang diyakini, menjalankan dan memperjuangkannya dalam setiap langkah kecil
kita, maka kondisi lingkungan tak akan berpengaruh banyak, hanya pelengkap. Anak-anak
kita akan mampu bertahan memegang benang merah yang dibentangkan orang tua sebagai
kendaraan hidup terbaik, selamat di dunia, selamat di akhirat.
Kepingan
terakhir kerupuk mengingatkan saya pada perjuangan panjang Mas Uji dalam
arti harfiah. Kerupuk ini oleh-oleh Mas Uji yang dibawa dari perbatasan
Indonesia-Malaysia. 30 jam jalan darat pulang pergi dari Pontianak.
Bogor-Cengkareng-Pontianak-Kapuas Hulu-Pontianak-Cengkareng-Bogor. Pfiuhhh, menulisnya saja lelah. Padahal
ini baru satu saja perjalanan yang ditempuh beliau dalam rangka pengabdiannya
pada negeri tercinta.
Selamat
Hari Pendidikan Nasional kepada para orang tua, pendidik utama anak-anak kita.
Terima kasih kepada para guru, teman, dan lingkungan, yang menjadikan anak kita
lengkap pengalaman, matang persiapan, menuju kehidupan sebenarnya di masyarakat,
kelak.
Annis....koq Annis terbayang menuliskan pendidikan nasional tentang profil kami yang sebenernya biasa2 aja....Saya yang mengalami tapi jadi terharu bacanya Nis....Semoga pengalaman kecil kami yang Annis tuliskan membawa manfaat buat orang lain. Thanks sahabatku....
BalasHapusSaya hanya mencoba mengajak setiap kita untuk memandang ke dalam, bahwa anak itu pembentuk utamanya adalah kita, bukan sekolah ataupun lingkungan. Jadi, yuk kita perkuat benang merah yang akan dipegang anak-anak.
BalasHapusSebagai pelengkap, silakan baca juga tulisan sebelumnya "Setiap Orang tua Sukses".
Memang hanya sepotong krupuk, tetapi dibalik krupuk terkandung cerita yang penuh makna.
BalasHapusSemoga penulis dan pembawa krupuk dapat memperoleh berkah dari cerita tsb dan seluruh pembaca (termasuk saya tentunya) bisa mendapatkan pencerahannya
Terima kasih Annis
Sama-sama Mas Toto.
BalasHapusMas Uji dan Herru ini tetanggaan dengan Mas Toto di VBI :)
Oh ya Nis...di blok mas Toto ini rumahnya? Salam kenal...atau jangan2 kita sudah kenal ya....Karena mas Uji hampir 11 tahun jadi RW....baru aja pensiun setahun lalu, he..he..he...Sekarang warga biasa...
BalasHapus