Selasa, 01 Mei 2012

KERUPUK PERJUANGAN


      Pagi ini kami sarapan nasi pepes resep keluarga, dilengkapi dengan kerupuk ikan. Setiap gigitan kerupuk, setiap bunyi kriuk, saya membayangkan perjuangan seorang lelaki hebat, Mas Agus Uji Hantoro. 

     Ups, teman yang mengenal suami saya, jangan protes dulu. Mas Uji istimewa untuk saya karena beliau adalah suami sahabat saya Herru Widiatmanti. Mereka berdua pasangan yang selalu bekerja keras, saling mendukung dalam berkarya di masyarakat, dan bahu-membahu mendidik keempat buah hati mereka.

     Keduanya Pegawai Negeri Sipil. Keduanya patut dijadikan teladan. Mas Uji sejak awal di jalur Fungsional. Sempat di BPKP dan saat ini di Kementrian PAN. Tak pernah surut motivasinya masuk ke pelosok tanah air untuk menularkan semangat berkarya sebagai abdi negara yang baik dan benar. Sedangkan Herru, saya tetap memanggil demikian walau kini beliau lebih dikenal sebagai Mbak Widi, pegawai Dinas Pajak. Bertahun-tahun di jalur Struktural, baru sekitar 1 tahun terakhir memilih menjadi Widyaiswara Departemen Keuangan, jalur Fungsional. Banyak dinas ke luar kota juga.

     Dengan posisi mereka hari ini, keduanya biasa sedapat mungkin mengatur jadwal agar tidak bersama-sama dinas ke luar kota, agar anak-anak ditemani salah satu orangtuanya. Dulu, saat Herru masih di Struktural, jadwal tidak bisa diatur sendiri. Saya ingat betul, saat mereka baru dikaruniai 2 putri balita, saya pernah mampir ke rumah mereka untuk mengantarkan sesuatu. Pemandangan yang saya temui adalah, Mas Uji dengan telaten sedang menyuapi kedua putrinya. Saat itu mereka sedang krisis pengasuh anak, sehingga Mas Uji pulang cepat karena pembantu sementara mereka hanya bisa bekerja setengah hari.

     Kini, saat kedua putri ini sudah remaja, suasana lain terasa di rumahnya. Di dinding ruang makan, sekaligus ruang belajar, alih-alih memajang foto atau lukisan, yang ada adalah beberapa tulisan motivasi dalam bingkai. Salah satunya kurang lebih berarti “Jika bisa melakukan dengan lebih baik, jangan puas dengan biasa-biasa saja”. Saat saya diundang makan malam itu, saya tidak berkomentar apa-apa.

     Akhir minggu lalu saya mendapat cerita. Mbak Nia, si sulung, sempat diwawancara saat seleksi untuk suatu posisi di kegiatan kampus UI, kampusnya kini, tentang motivasinya melamar di tengah padatnya beban kuliah. Dengan refleks Mbak Nia menjawab, kalau saya bisa melakukan yang lebih baik, mengapa harus biasa-biasa saja? Tiba-tiba saja tulisan yang Mamah pasang di dinding itu yang terbayang, kisah Mbak Nia kepada ibunya. Banyak pelajaran yang saya ambil dari satu kisah “kecil” ini. 

     Mbak Nia sendiri benar-benar anak negeri. Orang tuanya pegawai negeri, SD, SMP, SMA, dan kuliah di sekolah negeri, bahkan makan pun selalu telur ayam negeri :) . Dan kini, dia mulai tergerak untuk menyiapkan yang terbaik bagi negeri.

     Saya teringat mereka saat pagi ini semua orang berbicara tentang Hari Pendidikan Nasional. Ada beragam suara, tetapi saya hanya ingin menyampaikan satu pendapat pribadi. Bahwa apa pun kondisi lingkungan, kita bisa berdamai dengannya, dan kendali pendidikan anak tetap ada pada orang tua.

     Pendidikan anak tidak identik dengan institusi. Sekolah hanya sebuah alat. Ada banyak alat lain yang diperlukan untuk menyempurnakan pendidikan yang kita rencanakan bagi anak-anak kita. Bahkan, saya percaya, kompleksitas masalah yang dihadapi anak di sekolah, justru akan menjadi ajang uji nyali menghadapi hidup. Jika kita yakin menanamkan hal yang benar dan memberi contoh yang tepat kepada anak, dia akan tumbuh seperti yang kita siapkan, apapun keragaman nilai yang dia terima di luar sana.

     Perjalanan Mas Uji dan Herru belum selesai. Mbak Nia masih tingkat satu, Mbak Bella SMA, Mas Daffa kelas 6, dan si bungsu lucu adik Raffa baru 3 tahun saja. Tetapi, kekuatan komitmen yang mereka jalankan, insya Allah mematangkan satu generasi penerus yang ada dalam genggaman mereka.

     Dan saya percaya juga, kita semua bisa. Jika setiap orang tua, berusaha memegang nilai-nilai yang diyakini, menjalankan dan memperjuangkannya dalam setiap langkah kecil kita, maka kondisi lingkungan tak akan berpengaruh banyak, hanya pelengkap. Anak-anak kita akan mampu bertahan memegang benang merah yang dibentangkan orang tua sebagai kendaraan hidup terbaik, selamat di dunia, selamat di akhirat.

     Kepingan terakhir kerupuk mengingatkan saya pada perjuangan panjang Mas Uji dalam arti harfiah. Kerupuk ini oleh-oleh Mas Uji yang dibawa dari perbatasan Indonesia-Malaysia. 30 jam jalan darat pulang pergi dari Pontianak. Bogor-Cengkareng-Pontianak-Kapuas Hulu-Pontianak-Cengkareng-Bogor. Pfiuhhh, menulisnya saja lelah. Padahal ini baru satu saja perjalanan yang ditempuh beliau dalam rangka pengabdiannya pada negeri tercinta.

     Selamat Hari Pendidikan Nasional kepada para orang tua, pendidik utama anak-anak kita. Terima kasih kepada para guru, teman, dan lingkungan, yang menjadikan anak kita lengkap pengalaman, matang persiapan, menuju kehidupan sebenarnya di masyarakat, kelak.

5 komentar:

  1. Annis....koq Annis terbayang menuliskan pendidikan nasional tentang profil kami yang sebenernya biasa2 aja....Saya yang mengalami tapi jadi terharu bacanya Nis....Semoga pengalaman kecil kami yang Annis tuliskan membawa manfaat buat orang lain. Thanks sahabatku....

    BalasHapus
  2. Saya hanya mencoba mengajak setiap kita untuk memandang ke dalam, bahwa anak itu pembentuk utamanya adalah kita, bukan sekolah ataupun lingkungan. Jadi, yuk kita perkuat benang merah yang akan dipegang anak-anak.

    Sebagai pelengkap, silakan baca juga tulisan sebelumnya "Setiap Orang tua Sukses".

    BalasHapus
  3. Memang hanya sepotong krupuk, tetapi dibalik krupuk terkandung cerita yang penuh makna.
    Semoga penulis dan pembawa krupuk dapat memperoleh berkah dari cerita tsb dan seluruh pembaca (termasuk saya tentunya) bisa mendapatkan pencerahannya

    Terima kasih Annis

    BalasHapus
  4. Sama-sama Mas Toto.
    Mas Uji dan Herru ini tetanggaan dengan Mas Toto di VBI :)

    BalasHapus
  5. Oh ya Nis...di blok mas Toto ini rumahnya? Salam kenal...atau jangan2 kita sudah kenal ya....Karena mas Uji hampir 11 tahun jadi RW....baru aja pensiun setahun lalu, he..he..he...Sekarang warga biasa...

    BalasHapus