Masalah
adalah sahabat mereka yang hidup. Kadang datang satu demi satu, kadang
berkunjung beramai-ramai. Seringkali kita bingung menghadapinya.
Masalah bisa besar, bisa kecil.
Lihat saja koran, tak pernah kehabisan berita. Selalu saja ada masalah orang per
orang atau kelompok yang bisa ditampilkan. Tapi koran kemarin mengingatkan saya
akan sebuah solusi yang saya pelajari hampir 2 tahun lalu.
Saat itu kami sedang di Lombok.
Suami dan anak saya libur. Kami bertiga sedang rehat dari rutinitas. Mengikuti
saran dari banyak orang, kami berkunjung ke pulau Gili Terawangan. Kami
dijemput perahu kecil beratap plastik yang bisa digulung dan berpenyangga
penyeimbang di kiri kanannya di belakang hotel. Ditemani 2 orang. Satu pengantar
dan satu “nakhoda” yang juga bertugas mengawasi mesin motor tempel. Berlima
saja pagi itu kami mengarungi selat Pelawangan, penghubung pulau Lombok dan
Pulau kecil Gili Terawangan di Utaranya.
Udara segar, angin tenang,
sehingga laut seolah hamparan permadani biru tua yang berkecipak hanya saat
perahu kami lewat. Anak saya bahkan dengan gembira menyentuh permukaan laut,
dan meneteskan air laut yang dia ciduk ke dalam mulutnya. “Iya, asin,” rupanya
dia ingin membuktikan kebenaran pengetahuan.
Setengah jam pertama, pulau
Lombok masih di kanan kami, sehingga pemandangan hijau perbukitan masih
memanjakan mata. Hampir satu jam berikutnya, kami benar-benar hanya ditemani
laut. Tapi sungguh menenangkan. Perjalanan yang luar biasa karena hadiah di
ujung sana benar-benar istimewa. Laut yang jernih. Bebatuan di dasar pantai
terlihat jelas. Indahnya negeriku.
Setelah puas berkeliling,
makan, dan shalat, kami bersiap-siap pulang. Pemandu menawarkan untuk mampir ke
Pulau Gili Menu di sampingnya. Sayang sudah jauh-jauh kemari, katanya. Kami
setuju. Perairan di sekitar Gili Menu lebih jernih karena lebih jarang
dikunjungi wisatawan. Pasirnya berbatu tajam, agak mengganggu kenyamanan. Nakhoda
menggulung atap saat kami akan meninggalkan pulau kedua ini, “Anginnya mulai
kencang, kita buka atap agar lebih aman.”
Kami mengitari Gili Menu agar
bisa melihat pulau ketiga, Gili Air. “Tapi tidak turun ya, karena di sana
ombaknya kencang,” kata nakhoda. Kami pun sudah mulai lelah, tidak berminat
berjalan-jalan lagi. Terbayang kencangnya ombak di sana, karena dari tempat
kami saja, selat antara Gili Air dan Gili Menu, ombak sudah terasa kencang,
tidak nyaman seperti saat pergi ke Terawangan tadi.
Posisi ketiga pulau ini
berjejer, dengan Terawangan di paling kiri. Jadi, ketika perahu mengarah
kembali ke Lombok, jalur yang kami tempuh ini seperti menyusuri sisi miring
segitiga siku-siku yang posisi sudut 90 derajatnya di Gili Terawangan.
Berarti, ini menempuh jarak
yang lebih panjang. Berarti, kami melintasi Selat Pelawangan lebih lama.
Berarti, ini bukan jalan umum.
Pelajaran pertama yang harus
saya sampaikan adalah... jangan abaikan ilmu yang pernah kita terima di sekolah
dasar, kapanpun. Saya tidak hanya lupa tentang segitiga siku-siku ini saja,
saya juga lupa pengetahuan tentang laut. Bahwa angin pada sore hari berhembus
dari daratan ke laut. Dan... kami melintasi selat yang mengapit banyak pulau.
Pulau-pulau kecil, tetapi tetap saja daratan, sehingga sore hari tetap
mendorong ombak menjauhi pantai.
Akibatnya? Ya, benar sekali...
ombak-ombak kecil dari setiap pantai, terdorong ke tengah laut seperti bola
salju, semakin lama semakin besar dan tinggi. Mereka pun bercengkrama bersama,
bersorak sorai. Perahu kecil kami bagai bola basket di tangan para pemain NBA,
menggelinding ke sana kemari, terlempar ke atas, menukik ke bawah.
Sempat terlihat sebuah kapal
besar berpenumpang lebih dari 50 orang. Saya ngeri melihatnya, kapal mereka
terayun keras di lautan yang sedang berdansa. Sebagian wajah mereka mengarah
kepada kami dengan tatapan ketakutan. Tiba-tiba saya sadar. Mereka bukan takut
pada kapalnya, tetapi khawatir kepada kami. Perahu kecil dengan 5 penumpang.
Saya hanya diam, berdoa
sebanyak yang bisa saya ucapkan dalam hati, dan mengencangkan pegangan. Ada saat
perahu bagian depan terangkat, kemudian menjadi datar terbang tinggi di atas
permukaan laut, dan tiba-tiba suara motor terhenti. Itu detik-detik jantung
saya terasa tak berdetak. Sesaat kemudian perahu terhujam, dan laut hitam kelam
menganga lurus di depan saya. Saat itu sempat terlintas, jika ini “waktu” kami,
alangkah “sesuatu”nya. Tak ada yang tahu kami sedang berada di sini, kecuali
orang hotel tempat kami menginap. Kami akan lenyap dari peradaban, jauh dari
tempat tinggal di mana kami biasanya berada.
Kelegaan akan terasa saat
bagian buritan kemudian terhempas ke bawah, dan mesin motor pun berbunyi lagi.
Lega yang tak lama, karena sesaat kemudian peristiwa tadi terulang. Lagi. Dan lagi.
Akhirnya saya memejamkan mata,
merendahkan hati serendah-rendahnya. Kepada ombak. Kepada laut. Dan kepada
Allah, tentunya.
“Laut, kita sama-sama makhluk.
Aku ikut kemana kamu bawa kami. Tapi tolong jaga kami, karena kamu yang paham semua
ini.”
Pasrah membuat saya
perlahan-lahan menikmati semua ini. Beberapa kali tubuh saya tersiram, bukan
terpercik, dari ujung kepala sampai seluruh badan. Saya mencoba memetik
pelajaran. Inikah yang namanya ikhlas pada takdir-Mu? Tubuh dan hati saya tidak
melawan setiap hempasan.
Perlahan, hantaman ombak terasa
berkurang. Saya belum berani membuka mata karena tak yakin berada di mana.
Ketika akhirnya suami bersuara, saya mulai percaya, kami masih ada.
Gelombang menenang karena kami
sudah masuk perairan di samping pulau Lombok, tidak di tengah-tengah laut lagi.
Mulailah kami berbincang dengan sang nakhoda. Bagaimana bisa tenang melewati
gempuran ombak dari segala arah bertubi-tubi seperti tadi?
Pertama, karena penumpang
tenang, katanya. Saya merasa dipercaya. Ssst, jangan bilang dia yang saya rasa
ya...
Kedua, laut itu aman. Kita
tinggal mengikuti apa maunya. Hadapkan saja perahu kepada ombak terbesar yang
menghampiri kita, pasti kita akan selamat. Jika kita memilih ombak kecil yang
tampaknya aman dilalui, perahu kita akan terbalik, karena ombak yang lebih
besar akan mendorong dari samping.
Tiba-tiba saya terperangah. Ini
sesungguhnya pelajaran utama dari perjalanan seharian.
Hadapkan saja perahu kepada ombak terbesar yang
menghampiri kita, pasti kita akan selamat.
Begitu juga kan mengatasi
masalah dalam hidup?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar