Kamis, 24 Desember 2015

Dude-ku



Tak sabar menunggu besok. Sabtu terakhir sebelum pergantian tahun, akan saya habiskan bersama idola. Tak jadi soal rentang itu begitu lama, sejak saya remaja hingga sekarang anak saya sudah remaja. Kedatangannya ke kota Bogor seolah sengaja untuk bercerita kepada saya. Tentang bagaimana mengunggah peristiwa ke dalam sebuah cerita.

Waktunya sangat tepat. Saya punya hutang tulisan kepada sahabat. Memfiksikan kisah nyata. Hampir 4 kali pesta tahun baru berlalu, saya belum sanggup melunasi. Banyak juga ide yang mencuat berdasarkan interaksi saya dengan teman-teman. Masih berupa file-file nyaris kosong, karena baru berisi beberapa kalimat uraian singkat kisah dengan judul yang saya jadikan nama file.

Sebagai gadis generasi Anita Cemerlang, waktu luang saya tidak banyak dihabiskan di depan televisi. Kalaupun akan nonton, TVRI juga  hanya siaran pukul 17.00 sampai 22.00. Saya lebih suka membaca. “Musim Gugur di Ganesha” Arya Gunawan memperkuat keinginan saya kuliah di ITB. Cerita-cerita Emji Alif membayar keinginan saya mendaki gunung yang merupakan aktivitas terlarang di keluarga. Buku “Malam Terakhir” Leila S. Chudori benar-benar seperti irigasi yang membantu mengalirkan pikiran dan pertanyaan liar saya tentang feminisme dan kebebasan berpendapat, barang langka saat itu. Dan, ada Nia Effendi yang membelai sisi romantis secara elegan dan tidak cengeng.  

Tahun-tahun berlalu. Dunia perbukuan di Indonesia lebih bergairah. Penulis dan tulisan makin beragam. Saya terjebak, dengan bangga, pada standar lama. Kualitas itu berkaitan erat tak hanya dengan tema, tetapi juga bahasa. Beruntung saya menjadi murid ibu Indartati di SMP, pemirsa setia acara J. S. Badudu di TVRI, dan “dibimbing” H. B. Yasin. Tak banyak karya yang pas dengan kriteria saya (siapa pula saya ini, sok membuat kriteria, hehe). Salah satunya, tulisan Kurnia Effendi.

Kef, begitu dia biasa dipanggil. Nama Nia Effendi rasanya sudah tak pernah dipakai lagi. Nama yang menyesatkan itu sekarang selalu ditulis lengkap. Kurnia Effendi. Sungguh, jauh di kemudian hari saya baru tahu, dia laki-laki. Judul cerita dan nama-nama tokohnya selalu puitis. Secara umum, penyampaian kisahnya cukup santun. Tokohnya saling menyukai secara elegan. Menghargai intelektualitas pembaca dengan selalu memberi ruang untuk kesimpulan mandiri. Dan, tulisan yang ringan dan enak dibaca itu, selalu dalam bingkai kaidah EYD. Nasionalisme saya merasa terwakili. Enak dibaca tanpa harus mengacak-acak bahasa.

Perkembangan teknologi membantu saya mengenal para penulis ini secara lebih pribadi. Saya berteman di Facebook dengan mereka. Walaupun senang bisa terhubung, tapi saya tahu diri. Hanya membaca tentang mereka jika pas muncul di layar ketika melihat-lihat resume aktivitas teman-teman. Jadi tetap saja perkenalannya maya dan tidak detil. Hanya dengan mas Emji Alif saya kenal cukup dekat karena dia seangkatan dengan suami di S3 UI.

Ketika akhirnya saya bertemu muka dengan mas Kef, peristiwanya membuat saya malu. Saat itu, peringatan 40 hari wafatnya pak Chudori, ayah Leila S. Chudori. Pak Chudori pensiunan di LKBN Antara, lembaga tempat suami saya mengabdi selama lima tahun penuh. Saya hadir mewakili suami yang sedang dinas ke luar kota. Sebelum acara resmi dimulai, saya memanfaatkan keleluasaan waktu mbak Leila untuk minta foto bersama. Saya minta tolong kepada seseorang yang dari tadi mengabadikan berbagai hal dengan kamera profesionalnya.

Setelah itu, kami sedikit berbincang-bincang. Saya dengan mbak Leila dan seorang temannya. Sang fotografer duduk tak jauh dari kami, sibuk dengan kameranya. Singkat kata, ketika tahu saya generasi pembaca tulisan Leila, dia bertanya, “Membaca tulisan Nia Effendi juga dong? Endah Sulwesi?”
Saya menjawab, “Endah saya ingat namanya. Tapi kalau Nia Effendi, saya sangat ingat. Karena saya suka sekali tulisan dia. Kumcer Burung Kolibri Merah Dadu saya baca berkali-kali.”
Mbak Leila dan perempuan itu tertawa. “Kamu tahu siapa yang tadi motret kita? Itu Nia Effendi!”
Waduh, malunya… Ternyata saya meminta tolong pada penulis idola saya sendiri! Dan perempuan disamping mbak Leila itu ternyata Endah Sulwesi. Oh, tidak… Antara senang dan ingin kabur.
“Beginilah nasib penulis zaman kita,” kata mbak Leila. “Nama boleh terkenal. Tapi wajah tak ada yang tahu.”

Setelah peristiwa itu, sesekali saya me-like atau berkomentar pada dinding FB mas Kef. Saya kirim buku Siwon Six kepadanya. Komentar mas Kef tentang cerpen saya membuat saya tersanjung dan percaya diri menulis. Sekitar 2 minggu lalu saya berkomentar tentang buku terbarunya, Teman Perjalanan. Saya tambahkan keinginan untuk menjadi peserta jika mas Kef punya acara tentang kepenulisan tak jauh dari Bogor.

Gayung bersambut. Secara kebetulan, mas Kef memang sudah ada rencana berbagi cara menulis kenangan menjadi karangan di Bogor. 26 Desember. Saya langsung menjadwalkan untuk hadir.

Membahas idola, mengingatkan pada sepupu saya Ajeng. Dia satu generasi di bawah saya. Generasi yang sudah punya pilihan saluran tivi lebih banyak dan lebih akrab dengan sinetron dan infotainment. Dari zaman dia ABG, satu nama yang akan dia sebut jika bicara tentang standar kombinasi baik, soleh, dan ganteng, yaitu Dude Herlino. Segala hal tentang kegantengan, tolok ukurnya Dude. Tak penting cerita sinetronnya apa, asal Dude yang main, akan ditonton. Miriplah dengan saya. Jika menemukan buku baru dengan penulis Kurnia Effendi, beli dulu, baca kemudian. Untungnya, sejauh ini, saya selalu puas dengan karya-karya khas mas Kef.

Rabu, 01 April 2015

BELAJAR DI RUMAH

Minggu ini Amira belajar di rumah karena sekolah dipakai kelas 3 ujian. Ibu Walikelas saat pembagian nilai UTS Sabtu lalu sangat menekankan bahwa anak-anak belajar di rumah, bukan libur. Baiklah.

Hari Senin, Selasa, Rabu...berlalu. “Sudah belajar apa?”

“Niatnya sih belajar IPA. Tapi aneh ya, kalau pegang buku IPA, suka langsung ngantuk.” Saya beberapa kali melihat dalam 3 hari ini, buku IPA ada di sampingnya saat di meja belajar maupun di tempat tidur.

“Aneh? Gak ah. Malah sangat ilmiah.” Saya lanjutkan dengan penjelasan.

Pusat syaraf di otak kita kan tugasnya menerima informasi, menterjemahkan, dan kemudian mengeluarkan perintah sebagai reaksi. 

Saat mata kamu menangkap tulisan IPA di sampul buku, dia sampaikan hal itu ke otak. Otak mencari referensi. Apa sih IPA ini? apa yang harus dilakukan jika bertemu info ini? Dia mencari di gudang data. Dan....yuhui....ketemu! Langsung surat perintah dikeluarkan untuk otot-otot yang berkepentingan. Otot di kelopak mata atas dan kelopak mata bawah diminta merapat. Merapatkan kedua kelopak... Pada saat yang sama, otak mengaktifkan fungsi pembuat rasa mengantuk.Kadang-kadang lebih ekstrim, membuat tidur. :D
 
Beda reaksinya jika yang ditangkap mata adalah info bahwa ini buku komik. Syaraf pusat dengan segera menyuruh otot-otot ini berjaga, sikap sempurna. Membelalakkan mata. Syaraf lain menerima perintah untuk memproduksi hormon endorphin. Akibatnya, tombol rasa bahagia teraktifkan, gerbang semangat dan antusias juga terbuka lebar.

Jadi, benar kan, ini peristiwa ilmiah.... hehe.

Senin, 02 Maret 2015

Belajar Menulis ala Wartawan Tempo



Enak dibaca dan perlu. Jargon yang sangat melekat pada Majalah Tempo. Sesuai betul motto dan isi. Karena itu, ketika mendapat informasi ada pelatihan menulis artikel yang dibimbing oleh wartawan majalah berita legendaris ini, saya langsung meluangkan waktu. Saya ingin tahu bagaimana jurnalisnya membuat tulisan.

Mas Bagja Hidayat adalah wartawan Tempo yang menjadi pembicara pelatihan. Acara diselenggarakan ikatan alumni ITB angkatan 89, Sabtu 28 Februari 2015. Bertempat di gedung FMIPA, program studi Farmasi, Universitas Pakuan, Bogor. Saya hadir pukul 08.00 s.d. 14.00. Materi selama waktu itu saya tuliskan disini. Selain untuk memperkuat ingatan, juga sekaligus ajang praktikum. Apalagi mas Bagja menekankan bahwa hanya satu kunci agar mahir menulis. LATIHAN!  Perbanyak latihan. Dan, berkesinambungan.

Setiap kali menulis, setiap saat itu pula kita belajar. Semakin banyak menulis, semakin berlimpah pelajaran yang dikuasai. Bahkan seorang Goenawan Muhammad pun, saat  menulis Catatan Pinggir, menyiapkan materi seperti pemula. Untuk kolom sepanjang 1 halaman,  beliau memerlukan waktu setidaknya 5 jam. Padahal kita membaca hasil tulisannya tak sampai 10 menit. Sekitar 2 jam pertama, pak GM akan membaca ulang beragam informasi penunjang topik yang dibahas. Setelah itu baru beliau menuliskannya. Kisah ini disampaikan mas Bagja sebagai motivasi bagi kami. Tak perlu gundah, karena menuliskan ide tak selalu mudah.

Artikel yang baik adalah tulisan yang jelas dan ringkas. Tulisan seperti ini cirinya pasti, fokus.  Artinya, intisari yang dibicarakan harus tertangkap pembaca. Cara mencapainya ditentukan oleh pemilihan angle. Sudut pandang. Ini yang akan menjadi pembeda. Di dunia ini tak ada yang baru. Perbedaan akan diperoleh dari bagaimana penulis melihat sesuatu, dan bagaimana dia menyampaikannya.

Merumuskan sudut pandang, bisa melalui teknik paling kuno dari jurnalistik tapi sampai sekarang masih valid, yaitu membuat daftar pertanyaan sesuai prinsip 5 W + 1 H.  Who, What, When, Why, Where, dan How. Jika perlu, buat sampai 200 pertanyaan. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan menjadi isi tulisan kita. Pikirkan semua pertanyaan yang mungkin muncul di benak pembaca. Tulisan yang baik, isinya memberi jawaban atas apapun pertanyaan yang terpikir oleh pembaca.

Agar pertanyaan-pertanyaan itu bisa keluar dari benak, seorang penulis harus mempunyai sikap curious dan skeptis. Selalu penasaran atas apapun, dan tak mudah puas menerima apapun. Sikap ini dapat diterapkan untuk menulis berbagai genre. Tak hanya untuk berita.

Pertanyaannya, sampai seberapa detil tulisan itu perlu dibuat? Seberapa jelas penjelasan perlu disampaikan? Cara memeriksanya cukup mudah. Setiap informasi yang tampil harus relevan terhadap sudut pandang yang sudah ditentukan di awal.  

Sekian banyak pertanyaan telah diajukan, sementara yang dituliskan hanya yang relevan dengan sudut pandang. Apakah ini tak akan menjadi mubazir? Tidak. Sama sekali tidak. Dengan informasi yang berlimpah, penulis justru bisa memilah-milah. Dari rencana menuliskan satu artikel dengan sudut pandang tertentu, kini bisa saja berkembang biak. Menghasilkan tulisan lain dengan sudut pandang berbeda, atau topik berbeda, atau menjadi pemicu ide pengumpulan informasi lainnya. Oya, dengan pengetahuan lebih banyak, penulis akan lebih utuh menangkap situasi dari tema yang akan dia tuliskan.

Jenis tulisan dapat dikategorikan seperti berikut:
a.      Hardnews
b.      Newstory
c.       Features
d.      Opini, editorial
e.       Esai, kolom
f.       Ruang tafsir.

Point a sampai e adalah wilayah jurnalistik, sedangkan f masuk kelompok sastra (prosa/puisi). Dari 5 jenis tulisan jurnalistik, point a dan b milik eksklusif wartawan. Penulis umum bisa masuk di point c, d, dan e. 

Features istilah untuk liputan human interest. Cara penyampaiannya naratif (bertutur). Lebih bersifat menghibur daripada memberi informasi. Salah satunya adalah tulisan tentang hasil perjalanan.

Opini bukan reportasi, karena tak sekedar menyampaikan informasi, melainkan ada gagasan di dalamnya. Karena itu, gagasan harus terlihat lebih dahulu, pemaparan data tidak utama. Jika plot reportasi adalah info yang disampaikan secara adegan demi adegan, maka plot opini lebih ke penyampaian gagasannya. Info yang disertakan akan mengikuti sikap dari gagasannya itu.

Jika tadi kita sudah mengetahui tentang jenis tulisan, selanjutnya kita perlu memahami kriteria berita. Artinya, bagaimana sesuatu bisa kita terima sebagai berita.

-          Magnitude. Skala informasi. Tsunami Aceh jauh lebih besar dibandingkan pencurian sepeda motor di pasar, misalnya.
-          Tokoh. Bersepeda di jalur Car Free Day yang saya lakukan biasa saja, tapi ketika presiden yang melakukan, menjadi berita.
-          Proximity. Kedekatan masalah dengan pembaca. Efek kenaikan harga BBM, contohnya. Semua lapisan masyarakat merasa terkena imbasnya.
-          Aktual. Masih hangat dibicarakan publik.
-          Relevan
-          Tren. Menulis tentang batu akik hari ini pasti dibaca orang banyak.
-          Unik. Buku Blackswan-nya Malcolm Goldwell bisa dijadikan contoh.
-          Dramatik 

Cukup memenuhi satu saja kriteria di atas, sesuatu bisa menjadi berita.

Sebuah artikel yang baik secara fisik memuat judul, lead, bridging, isi, dan ending. Penyebutan ini secara berurut menyatakan posisinya dalam tulisan, dan besar porsinya dalam hal menarik minat pembaca. Hal ini tak berkaitan dengan jumlah tulisannya. Sebagai ilustrasi, tulisan 1 halaman majalah setara dengan sekitar 4500 karakter (termasuk spasi), atau sekitar 13 alinea (@ 35-40 kata). Lead cukup 1-2 alinea, bridging 2 alinea, isi 10 alinea, ending 1 alinea/kalimat. 

Menulis kalimat juga tak perlu panjang-panjang. Satu kalimat cukup 9-12 kata. 1 alinea, cukup 3-4 kalimat.

Mas Bagja menjelaskan satu demi satu. Lead adalah pintu masuk dan setting cerita. Hindari banyak koma dan angka. Pernyataan lead bisa berupa deskriptif, naratif, kesimpulan, atau bahkan pertanyaan. Lead sangat penting. Pembaca akan memutuskan melanjutkan atau berhenti membaca dari lead ini. Bridging, sesuai namanya, menjembatani lead dan isi. Isi adalah pemaparan pokok pikiran secara keseluruhan. Ending bisa putus, melingkar, atau kesimpulan, dalam kaitannya dengan bagian pembukaan. Judul harus menarik, penting, dan relevan dengan isi. Cukup 3-4 kata. Sifat judul harus anekdotal, parodi, sebagai etalase, dan memikat karena membangkitkan keingintahuan pembaca. Jika sudah terbuat judul, jangan lupa cek ulang. Jika menjadi seperti judul jurnal, jangan ragu menggantinya.

Dari sisi bahasa, artikel sebaiknya memakai kalimat aktif. Selain itu, setiap kalimatnya memenuhi unsur S – P – O – K. Juga, sesegera mungkin tampilkan pokok kalimat. Selengkap apapun infomasi yang kita sampaikan.

Artikel populer ditujukan kepada siapa saja. Ke arah siapa saja. Karena itu, semakin sederhana, akan semakin mudah dicerna. Kalimat dan istilah juga tak perlu rumit. Semua itu agar tulisan kita menghibur. Perlu diingat pula, pembaca artikel populer ingin tuntas membaca dalam satu kali duduk. Tak perlu panjang-panjang. Toh jika artikel kita baik, pembaca akan menceritakannya lagi kepada orang lain. 

Beberapa tips.

-          Selalu setia kepada angle/sudut pandang.  Jika angle-nya tajam, maka tulisan akan fokus. Karenanya, pembaca akan dapat menangkap gagasan yang disampaikan.

-          Saat mau menulis, siapkan dulu daftar pertanyaan. Karena ini akan mengantar kita berpegang pada plot yagn direncanakan. Tulis dulu semua, baru nanti diedit.

-          Tak perlu peduli perspektif orang lain atas tulisan ataupun gagasan kita. Tujuan kita menulis adalah menyampaikan perspektif kita. Itu saja.

Saat saya membaca ulang catatan saya selama pelatihan, saya takjub sendiri. Catatan di buku tak bergaris ini rapi. Tulisan saya tak naik turun, dan huruf-hurufnya konsisten. Apa artinya? Saya tidak mengantuk! Berarti saya sangat menikmati paparan demi paparan mas Bagja. Dari semua penjelasannya, saya hanya berkesimpulan satu, jargon majalah Tempo tak sekedar kata-kata, tetapi sudah terinternalisasi dalam setiap helaan nafas para punggawanya. Salut. 
 

Minggu, 01 Maret 2015

Kerja Cerdas atau Kerja Cerdik?

Libur kenaikan kelas tahun ini, Amira mulai dengan sebuah proposal. Dia ingin Smartphone. Hadeuh...
Di sisi lain, saya sedang ingin mempunyai copy dari buku The Analects of Confucius. Saya coba ramu menjadi sebuah tawaran bisnis.

Saya minta dia mengetikkan isi buku. Setiap bab, saya kenakan tarif tertentu. Jadi, jika tugas ini selesai, dia akan mendapat honor 20 bab kali tarif satuan per bab. Tidak cukup untuk membeli smartphone, tapi setidaknya dia akan punya tabungan awal. Sebenarnya, secara implisit, saya berharap ada kata-kata bijak Confusius yang akan terserap selama mengetik.

Amira semangat sekali. Dia menghitung jumlah honor yang akan diterima. Dia senang karena bisa berlama-lama di komputer sambil mendapat bayaran.

Sehari sebelum pekerjaan dimulai, muncul pernyataan yang mengubah tujuan.
"Mending smartphone atau kamera DSLR ya?"
Saat Bapaknya merespon cepat dengan  mendukung pembelian kamera, saya baru bertanya-tanya. Semula saya anggap mubazir kalau beli kamera, toh kami sudah punya kamera saku. Ternyata, kamera yang Amira maksud adalah kamera canggih yang biasa dipakai profesional.

Belakangan saya baru tahu. Amira mempunyai ide tentang kamera ini dari bacaannya yang bercerita tentang seorang fotografer. Saya jadi ikut senang dan mendukung. Karena dengan mempunyai kamera, dia akan punya ruang ekspresi lebih luas.

Hari Sabtu, Amira mulai bekerja. Sejak pukul 7 pagi sudah di depan komputer. Memilih font, menentukan spasi. Mulailah mengetik. Satu demi satu kata....
Untuk Amira yang tidak terbiasa mengetik di komputer, ini pekerjaan berat. Belum juga usai satu alinea. dia buka-buka laman favoritnya di dunia maya.

Saat saya lewat dan melihat dia sedang di laman lain, saya tegur dengan "Ingat kamera..."
"Tapi aku mau refreshing dulu..."
Haha, jadilah refreshing yang benar-benar refresh. Baca-baca komik, makan mie, ngemil, buka-buka laman lain... Bahkan refreshingnya kemudian ditutup dengan ISHOMA. Istirahat, SHOlat, dan MAin di taman.

Sampai usai jam kerja, selesailah dia mengetik 2 alinea pembukaan dan 4 point dari bab 1. Lumayan untuk kerja hari pertama.

Hari kedua, kami pergi seharian. Sampai di rumah hampir pukul 10 malam. Dan Amira dengan semangat malah menyalakan laptop, bukannya tidur. Berhasil dia mengetik 4 point lagi dari bab 1.

Hari ketiga, kami gantian pakai laptop. Saat menjelang siang, Amira tergopoh-gopoh ke kamar saya, dan mengatakan, "Mah, tau gak... aku searching... dan dapat tautan teks buku Confusius. Lengkap. Download e-booknya. Selesai! Honornya mana?"
mmm....

Sabtu, 28 Februari 2015

Utak-atik Statistik

"Mah, shampo merk X itu bagus ya?" tanya anak saya.
"Mengapa kamu berkata begitu?" saya balik bertanya.
"Ini. Katanya, 9 dari 10 orang memakai shampo X," ujarnya sambil menunjukkan sebuah leaflet.

Saya tersenyum.
"Apakah di situ tertulis, siapa saja yang ditanya?"
"Tidak."
"Shampo X mungkin bagus, tetapi kita tidak boleh mudah tergoda oleh tampilan angka."

Saya lanjutkan dengan memberi perbandingan berikut.
Seandainya mamah bertanya kepada teman-teman kamu yang baru selesai les di XXX, "Mana kursus bahasa Inggris yang paling bagus, XXX atau YY?", kira-kira jawaban mana yang terbanyak didapat?
"Ya XXX, dong."
Nah, itu dia kuncinya.

Membaca suatu statistik tidak bisa hanya berdasarkan angka. Kita harus jeli terhadap segala sesuatu di belakang munculnya angka tersebut, dan harus waspada tentang bagaimana angka tersebut disampaikan.

Diantaranya:
- Sumber data.
Sampel terbaik adalah sampel acak. Data yang diperoleh akan sangat representatif. Jika iklan tadi mendapatkan data secara acak, maka jika kita bertanya pada sembarang orang secara acak, akan diperoleh hasil yang serupa. 9 dari 10 orang yang kita tanya akan menjawab memakai shampo merk X tersebut.

Jika sampelnya benar-benar acak pun, ada aturan sendiri mengenai jumlah sampel dibandingkan populasi. Misalnya, 9 dari 10 murid SMA Z menggunakan shampo X. Informasi ini tidak memenuhi syarat jika pertanyaan hanya diajukan kepada 10 murid dari 1000 siswa sekolah tersebut.

Bahkan, kapan sampel diambil pun harus diungkap. Misalnya, murid SMA Z ini ditanya satu jam setelah ada pembagian gratis shampo X ukuran 200 ml dalam acara PORSENI tahun 2011.

Tentu, tidak banyak pemasang iklan mau membuat survei sempurna. Repot. Mahal. Dan hasilnya belum tentu sesuai yang diharapkan. Tak apa, itu urusan mereka.
Sebagai konsumen, kita hanya perlu waspada, tetap berpikir jernih, tidak mudah tergiur oleh iming-iming iklan yang seolah-olah intelek karena mengungkap data.

- Kriteria.
Pengelompokan data dalam suatu informasi harus jelas batasannya.
Batasan dari pembuat informasi harus eksplisit sehingga sama persepsi dengan yang membaca.
Ketika disampaikan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 31 juta sekian orang, harus jelas apa yang disebut miskin. Bisa saja pembaca yang belum sanggup membeli mobil, tetapi memiliki 2 sepeda motor, menyebut dirinya miskin. Jadi dia merasa berhak atas penerimaan BLT :)

-Metode.

Kamis, 15 Januari 2015

Umroh3 - Tips Nyaman Shalat di dalam Masjid





Mulai bulan September, kami melakukan renovasi rumah. Atap dan kusen yang hancur oleh rayap, kami ganti. Untuk itu, semua barang dan kehidupan di rumah lama, kami pindahkan ke rumah sebelah. Jika untuk perbaiki atap di rumah seluas 55 m2 saja kami harus pindah, bagaimana pula dengan pembongkaran dinding dan 3 lantai kemudian membangun baru? Ternyata, aktivitas di dalamnya tetap berlangsung.

Begitulah yang terjadi di Masjidil Haram. Pembongkaran dan pembangunan besar-besaran boleh saja dilakukan, tapi aktivitas ratusan ribu, bahkan jutaan, orang didalamnya tetap berlangsung seperti biasa. 

Suami saya pernah membaca komentar seorang kontraktor bangunan. Katanya, proyek perluasan Masjidil Haram ini secara teknis paling sulit, karena kehidupan di dalamnya tak boleh terganggu. Pemerintah Saudi tak bisa melarang orang beribadah. Mereka hanya dapat mengurangi volume saja. Membatasi izin umroh dan haji dari setiap negara, sehingga secara total jumlah orang tak terlalu banyak.

Saya tak yakin jumlah orang berkurang. Hampir semua peziarah, tak hanya ke Makkah. Mereka mampir juga ke Madinah. Jumlah orang yang shalat di Masjid Nabawi, selalu berlimpah. Bahkan ada askar perempuan yang berkata bahwa dia melihat yang umroh kali ini lebih banyak daripada saat musim haji lalu.

Di bandara Doha saat antri boarding, saya mendengar 2 laki-laki berbincang. Yang satu menanyakan kepada yang lain. Dari rambutnya, saya yakin dia baru umroh juga seperti kami. Dia berkata, bahwa dalam analisisnya, kapasitas Masjidil Haram saat ini hanya 45% yang bisa dipakai ibadah.

Bisa jadi. 

Jika tak mencermati, jamaah mungkin tak menyadari bahwa banyak bagian masjid yang tak bisa dipakai. Mereka hanya akan melihat itu sebagai dinding pembatas saja. Ya, bagian yang sedang dibongkar/diperbaiki dan bagian yang dipakai, dibatasi dinding penuh sampai atas dan dicat rapi. Seolah-olah memang begitu adanya.

Teringat ziarah saya yang pertama tahun 2000. Masjidil haram adalah masjid terbuka yang sangat luas, melingkari Ka’bah. Melihat ke depan, ke belakang, ke kiri dan ke kanan, tempat shalat semata diselang-seling jajaran tiang. Dinding belakang adalah dinding terluar, tempat pintu melekat.

Shalat di bagian manapun, di depan kita adalah Ka’bah. Kini, sebagian besar tempat shalat, berhadapan dengan dinding. Sensasi shalat di Masjidil Haramnya tak terlalu terasa. 

Saya ingat saat-saat norak dulu tahun 2000. Ka’bah adalah bangunan yang selalu dibayangkan, muncul dalam mimpi-mimpi, terlihat di tempat sujud. Mengunjungi Baitullah adalah cita-cita tertinggi. Jadi, saat bangunan Ka’bah ada di hadapan mata, saya tak lepas terkesima. Saat shalat, seringkali pandangan tak tertuju ke tempat sujud, tapi ke depan, menatap Ka’bah. Alasan logisnya, saat shalat di Indonesia, saya menatap Ka’bah di sajadah. Jadi, ketika Ka’bahnya di hadapan, kenapa saya hanya menatap lantai? Hampura, mungkin ini kelemahan haji di usia muda. Semangat dan tenaga berlimpah, kedalaman pemahaman agama belum sempurna.

Belakangan, sajadah semakin beragam. Kebanyakan malah tak menampilkan gambar Ka’bah lagi di tempat sujud. Jangan-jangan ini hasil investigasi para ulama, bahwa banyak ummat yang salah kaprah seperti saya.

Memang, shalat menghadap kiblat, dengan posisi Ka’bah sebagai penentu arah. Tapi, dalam tata tertib shalat, pandangan selalu tertuju kepada satu titik di tempat sujud, agar mata tak liar kemana-mana, lebih khusyuk.

Kondisi  bulan Desember 2014, tempat shalat –khususnya bagi perempuan- yang berhadapan dengan Ka’bah, hanya di satu sisi ka’bah sebelum rukun yamani, di bawah tempat tawaf darurat. Askar membatasi dengan tali wilayah khusus perempuan.

Tempat lain adalah di depan Multazam, lantai 1.

Tempat shalat lain bagi perempuan ada di bagian belakang di sebagian wilayah. Baik itu di lantai 1 maupun di lantai 2 di dalam masjid. Disini, wilayah yang diperuntukkan bagi perempuan dibatasi oleh rak Al Qur’an yang diletakkan berjajar membentuk wilayah persegi tertutup. Ada 2 persegi besar di lantai 1 dan 2 tempat  besar di lantai 2.

Tempat shalat di lantai 1 dan di lantai dasar depan Ka’bah selalu cepat sekali penuh. Mungkin karena lebih mudah dicapai, dan usai shalat bisa langsung ke tempat tawaf. Sementara, di lantai 2, kita hanya bisa shalat. Usai shalat, jika ingin tawaf harus turun dulu, keluar masjid, dan masuk lagi melalui pintu lain untuk menuju Ka’bah. Biasanya, jika shalat baru usai, yang akan masuk dihalangi petugas. Mereka mendahulukan yang akan keluar usai shalat.

Kecuali yang di depan Ka’bah lantai dasar, saya pernah mencoba shalat wajib di tempat-tempat lainnya. Paling nyaman buat saya adalah di lantai 2. Karena persaingan tak seketat di bawah. Begitupun, kita tetap harus sudah menuju masjid sekitar 1 jam sebelum waktu shalat agar masih bisa mencari tempat yang enak. Untuk subuh dan dzuhur, 2-3 jam sebelum waktu adzan, lebih memuaskan. Kita masih bisa memilih posisi paling kosong. Saya suka mengambil tempat paling depan dan pojok, sehingga shalat kita tak diganggu lalu lalang orang kemudian. 

Ada banyak shalat yang bisa kita lakukan sambil menunggu shalat wajib, selain tahajud atau dhuha. Shalat hajat, shalat istikharah, shalat taubat, bahkan shalat sunnah mutlak. Kalau tidak salah, shalat sunnah mutlak itu bisa diterjemahkan sebagai, shalat sunnah saja, just a pray. Jumlah rakaat tak dibatasi, tapi kita lakukan 2rakaat–2rakaat.

Menjelang subuh, jangan terkecoh oleh adzan. Di Makkah dan Madinah, adzan subuh dikumandangkan 2 kali. Adzan pertama, lebih ke ajakan untuk shalat tahajud atau membangunkan yang masih tidur. Satu jam-an dari situ, baru akan adzan Subuh untuk shalat. Jadi, jika kita sedang nikmat tahajud, atau shalat sunnah lainnya, tak perlu buru-buru menutup dengan shalat Witir kala adzan terdengar. Tenang saja. Masih bisa beberapa kali shalat 2 rakaat.

Indikator shalat subuh sudah dekat biasanya justru berupa...keramaian. Saat kita menoleh dan tiba-tiba sekitar kita sudah penuh orang, itu berarti sudah mepet waktu shalat.

Masuk mesjid lebih dini, juga menenangkan hati. Memangnya enak masuk mesjid kala sebagian besar lokasi sudah terisi? Selain mata lihat kiri kanan jauh dekat mencari tempat yang masih kosong, kita juga harus memperhatikan langkah, jangan sampai menginjak properti orang, atau bahkan menginjak kepala orang yang sedang sujud.

Beberapa kali saya mengalami, masih ada banyak tempat kosong di sekitar, tapi di luar rak Al Qur’an yang menjadi pembatas wilayah perempuan, sudah tampak berdesakan orang mencari tempat tersisa. Ternyata, saya sempat alami juga telat datang ke mesjid, ada batas waktu tertentu askar menutup akses ke dalam lokasi perempuan. Jika dia lihat sekilas sudah penuh, dan sudah banyak orang yang enggan mencari sampai ke dalam langsung gelar sajadah di jalanan, maka orang-orang yang datang berikutnya akan diarahkan ke tempat shalat lain yang lebih masuk ke dalam mesjid, atau bahkan diminta cari tempat lain di luar saja.

Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi, memiliki banyak sekali tiang. Jika kita sudah tak kebagian posisi pojok depan, maka posisi paling nyaman berikutnya adalah di belakang tiang. Bukan di samping. Kalau sudah kebagian lokasi ini, benar-benar bikin Pe-We. Mau shalat, ngaji, wirid sampai tiba saat shalat wajib, tak akan ada yang tiba-tiba andeprok di depan kita.