Tak sabar
menunggu besok. Sabtu terakhir sebelum pergantian tahun, akan saya habiskan
bersama idola. Tak jadi soal rentang itu begitu lama, sejak saya remaja hingga
sekarang anak saya sudah remaja. Kedatangannya ke kota Bogor seolah sengaja untuk
bercerita kepada saya. Tentang bagaimana mengunggah peristiwa ke dalam sebuah
cerita.
Waktunya
sangat tepat. Saya punya hutang tulisan kepada sahabat. Memfiksikan kisah
nyata. Hampir 4 kali pesta tahun baru berlalu, saya belum sanggup melunasi. Banyak
juga ide yang mencuat berdasarkan interaksi saya dengan teman-teman. Masih berupa
file-file nyaris kosong, karena baru
berisi beberapa kalimat uraian singkat kisah dengan judul yang saya jadikan
nama file.
Sebagai gadis generasi Anita
Cemerlang, waktu luang saya tidak banyak dihabiskan di depan televisi. Kalaupun
akan nonton, TVRI juga hanya siaran
pukul 17.00 sampai 22.00. Saya lebih suka membaca. “Musim Gugur di Ganesha”
Arya Gunawan memperkuat keinginan saya kuliah di ITB. Cerita-cerita Emji Alif
membayar keinginan saya mendaki gunung yang merupakan aktivitas terlarang di
keluarga. Buku “Malam Terakhir” Leila S. Chudori benar-benar seperti irigasi
yang membantu mengalirkan pikiran dan pertanyaan liar saya tentang feminisme
dan kebebasan berpendapat, barang langka saat itu. Dan, ada Nia Effendi yang
membelai sisi romantis secara elegan dan tidak cengeng.
Tahun-tahun berlalu. Dunia perbukuan
di Indonesia lebih bergairah. Penulis dan tulisan makin beragam. Saya terjebak,
dengan bangga, pada standar lama. Kualitas itu berkaitan erat tak hanya dengan
tema, tetapi juga bahasa. Beruntung saya menjadi murid ibu Indartati di SMP, pemirsa
setia acara J. S. Badudu di TVRI, dan “dibimbing” H. B. Yasin. Tak banyak karya
yang pas dengan kriteria saya (siapa pula saya ini, sok membuat kriteria, hehe).
Salah satunya, tulisan Kurnia Effendi.
Kef, begitu dia biasa dipanggil. Nama
Nia Effendi rasanya sudah tak pernah dipakai lagi. Nama yang menyesatkan itu
sekarang selalu ditulis lengkap. Kurnia Effendi. Sungguh, jauh di kemudian hari
saya baru tahu, dia laki-laki. Judul cerita dan nama-nama tokohnya selalu
puitis. Secara umum, penyampaian kisahnya cukup santun. Tokohnya saling
menyukai secara elegan. Menghargai intelektualitas pembaca dengan selalu
memberi ruang untuk kesimpulan mandiri. Dan, tulisan yang ringan dan enak
dibaca itu, selalu dalam bingkai kaidah EYD. Nasionalisme saya merasa
terwakili. Enak dibaca tanpa harus mengacak-acak bahasa.
Perkembangan teknologi membantu saya
mengenal para penulis ini secara lebih pribadi. Saya berteman di Facebook
dengan mereka. Walaupun senang bisa terhubung, tapi saya tahu diri. Hanya membaca
tentang mereka jika pas muncul di layar ketika melihat-lihat resume aktivitas
teman-teman. Jadi tetap saja perkenalannya maya dan tidak detil. Hanya dengan
mas Emji Alif saya kenal cukup dekat karena dia seangkatan dengan suami di S3
UI.
Ketika akhirnya saya bertemu muka
dengan mas Kef, peristiwanya membuat saya malu. Saat itu, peringatan 40 hari
wafatnya pak Chudori, ayah Leila S. Chudori. Pak Chudori pensiunan di LKBN
Antara, lembaga tempat suami saya mengabdi selama lima tahun penuh. Saya hadir
mewakili suami yang sedang dinas ke luar kota. Sebelum acara resmi dimulai, saya
memanfaatkan keleluasaan waktu mbak Leila untuk minta foto bersama. Saya minta
tolong kepada seseorang yang dari tadi mengabadikan berbagai hal dengan kamera
profesionalnya.
Setelah itu, kami sedikit
berbincang-bincang. Saya dengan mbak Leila dan seorang temannya. Sang fotografer
duduk tak jauh dari kami, sibuk dengan kameranya. Singkat kata, ketika tahu
saya generasi pembaca tulisan Leila, dia bertanya, “Membaca tulisan Nia Effendi
juga dong? Endah Sulwesi?”
Saya menjawab, “Endah saya ingat
namanya. Tapi kalau Nia Effendi, saya sangat ingat. Karena saya suka sekali
tulisan dia. Kumcer Burung Kolibri Merah Dadu saya baca berkali-kali.”
Mbak Leila dan perempuan itu tertawa.
“Kamu tahu siapa yang tadi motret kita? Itu Nia Effendi!”
Waduh, malunya… Ternyata saya meminta
tolong pada penulis idola saya sendiri! Dan perempuan disamping mbak Leila itu
ternyata Endah Sulwesi. Oh, tidak… Antara senang dan ingin kabur.
“Beginilah nasib penulis zaman kita,”
kata mbak Leila. “Nama boleh terkenal. Tapi wajah tak ada yang tahu.”
Setelah peristiwa itu, sesekali saya
me-like atau berkomentar pada dinding
FB mas Kef. Saya kirim buku Siwon Six kepadanya. Komentar mas Kef tentang
cerpen saya membuat saya tersanjung dan percaya diri menulis. Sekitar 2 minggu
lalu saya berkomentar tentang buku terbarunya, Teman Perjalanan. Saya tambahkan
keinginan untuk menjadi peserta jika mas Kef punya acara tentang kepenulisan tak
jauh dari Bogor.
Gayung bersambut. Secara kebetulan,
mas Kef memang sudah ada rencana berbagi cara menulis kenangan menjadi karangan
di Bogor. 26 Desember. Saya langsung menjadwalkan untuk hadir.
Membahas idola, mengingatkan pada sepupu saya Ajeng. Dia satu generasi di bawah saya. Generasi
yang sudah punya pilihan saluran tivi lebih banyak dan lebih akrab dengan
sinetron dan infotainment. Dari zaman dia ABG, satu nama yang akan dia sebut
jika bicara tentang standar kombinasi baik, soleh, dan ganteng, yaitu Dude
Herlino. Segala hal tentang kegantengan, tolok ukurnya Dude. Tak penting cerita
sinetronnya apa, asal Dude yang main, akan ditonton. Miriplah dengan saya. Jika
menemukan buku baru dengan penulis Kurnia Effendi, beli dulu, baca kemudian. Untungnya,
sejauh ini, saya selalu puas dengan karya-karya khas mas Kef.
Terima kasih atas apresiasi terhadap tulisan-tulisan saya. Semoga saya tak berhenti menulis, mumpung selalu muda.
BalasHapusAamiin.
BalasHapusIya, ini dalam rangka selalu muda saya sedang mengumpulksn tilisan-tulisan yang bertebaran.
Tadi membongkar laptop jadul yang bahkan sudah tidak disupport Google pun tidak bisa di-upgrade karena hardware-nya tidak mendukung versi terbaru windows. Alhamdulillah ada banyak tulisan yang masih bisa diselamatkan.