Sabtu, 31 Mei 2014

BAWA BOTOL MINUM, YUK!



          Banyak manfaat jika kita membawa botol minum sendiri. 

          Kita tahu persis apa isi botolnya, kebersihannya, dan jumlah air yang sudah kita konsumsi. Ini berkaitan erat dengan kesehatan diri pribadi. Di perjalanan, kita tak perlu khawatir hadapi macet. Saat haus, tinggal minum. Banyak pedagang asongan menjual air minum kemasan, tetapi banyak kisah juga tentang pemalsuan. Jadi, selain mempengaruhi budget, kita juga mengurangi resiko tertipu. “Sakitnya itu disini (sambil memegang dada)” versi “lebay” ABG sekarang untuk menunjukkan rasa tak nyaman. :)

          Di kantor, di sekolah, atau di rumah teman, kita bisa isi ulang. Jika makan di restoran, kita tak perlu sakit hati membayar tinggi untuk sebotol air. Di restoran bagus, air putih saja harus membeli dengan harga berlipat dari harga warung. Di warung makan atau kaki lima, air masih banyak yang gratis, tetapi mungkin kita tak yakin kebersihan gelasnya. Jadi, membawa botol minum sendiri juga merupakan solusi yang baik.

          Membawa botol minum sendiri juga menunjukkan rasa cinta kita kepada keluarga. Banyak orang bekerja keras mengumpulkan harta agar anak cucunya terjamin secara materi. Mengurangi pembelian air minum kemasan menjadi bagian dari itu. Dengan berhemat, simpanan untuk tujuh turunan bisa lebih cepat terkumpul. 

          Kita bisa memberi “hadiah” kepada diri sendiri untuk membuktikannya. Setiap minum di luar rumah dari botol minum kita, sisihkan uang sejumlah harga minuman kemasan. Jika biasanya membeli air kemasan gelas, sisihkan Rp 500. Jika biasanya membeli air dalam botol, sisihkan Rp 3.000. Apalagi jika di restoran atau bandara, sisihkan Rp 10.000 pengganti harga air kemasan. Lakukan setiap kali minum, bisa beberapa kali sehari, kan? Kumpulkan di dompet/kotak khusus. 

          Hari ini tanggal 1 Juni. Mumpung awal bulan, kita bisa coba terapkan. Silakan kotaknya dibuka tanggal 9 Juli bersamaan dengan dibukanya kotak suara di TPS. Kita akan terkejut dengan jumlah rupiah yang berhasil kita hemat. Kebahagiaan kita akan sempurna jika capres pilihan kita menang, dan kita akan tetap terhibur walaupun capres pilihan kita kalah. Siapapun capres pilihannya, setiap orang akan tetap gembira, hanya gara-gara tak membeli air minum kemasan! 

          Selain harta, semua orang ingin hidup sehat. Untuk apa harta banyak tapi sakit-sakitan. Membawa botol minum sendiri juga menunjukkan bahwa kita sangat cinta keluarga. Tak hanya mewariskan materi, tetapi juga kita berusaha agar anak-cucu kita sehat tujuh turunan. Kok bisa? Sangat bisa!

          Membawa botol minum sendiri berarti mengurangi penggunaan botol plastik sekali pakai. Agar kesehatan terjaga, tubuh kita perlu minimal 2 liter air per hari. Jika dipenuhi dari air kemasan ukuran gelas, itu sama dengan 10 gelas. Jika terbiasa minum dari air kemasan botol, itu setara dengan 4 botol. 

          Jika kita ambil angka maksimal, berarti, dalam sebulan, kita menyisakan 300 gelas plastik atau 120 botol plastik. Dalam setahun, kita meninggalkan di muka bumi sebanyak 3600 gelas plastik atau 1440 botol plastik. Jika usia produktif keluar rumah (sekolah+kerja+dll.) 50 tahun dari usia “standar” 60-70 tahun hidup di dunia, maka kita mewariskan 180.000 gelas plastik atau 72.000 botol plastik saja! Ini hitungan satu orang lo. Di muka bumi ada sekitar 7 milyar manusia.

          Produk plastik adalah inovasi manusia yang memberi banyak kemudahan. Tetapi, di sisi lain meninggalkan bom waktu bagi keturunan kita. Satu gelas plastik baru akan terurai setelah bertahun-tahun. Saat kita wafat, gelas bekas minum kita itu mungkin baru melalui tahap menjadi serpihan. Untuk menjadi hancur dan menyatu dengan alam, perlu 100-200 tahun.

          Ada sih alat penghancur sampah yang sekarang mulai banyak digunakan  di Indonesia, insinerator. Ironisnya, alat ini justru sedang mulai ditinggalkan di negara-negara yang sudah memakainya lama. Plastiknya hancur, tapi gas buangan dari alat ini, mengandung zat beracun yang dikenal dengan nama dioksin. 

          Dioksin ikut terhirup saat bernafas, dan betah tinggal di tubuh kita. Dia tak ikut terbuang melalui keringat, air seni, ataupun pengeluaran lain. Seorang laki-laki lebih setia kepada dioksin daripada kepada istrinya, karena akan dibawa mati. Tetapi seorang wanita akan berbagi dioksin kepada anak yang dikandungnya.

          Akumulasi dioksin yang terhirup dapat berakibat fatal. Masih mending jika “hanya sekedar” kanker, karena itu hanya diri sendiri yang terpapar. Tetapi seorang wanita, berpotensi melahirkan anak-anak cacat. Kita tak pernah tahu dioksin dari seorang wanita akan mempengaruhi sel yang mana dari janin yang dikandungnya. Bisa mempengaruhi fisik, mental, atau bahkan keduanya. 

          Jika ini yang terjadi, jangan-jangan harta untuk tujuh turunan yang kita kumpulkan, hanya akan habis untuk pengobatan turunan pertama atau kedua. Dan kalaupun mereka masih bisa memberi kita turunan ketiga dan seterusnya, plastik yang kita gunakan hari ini akan menjadi tempat berpijak mereka. Sehingga lagu nasional kita akan berubah menjadi..... “Tanah plastik...ku tidak kulupakan...” cucu-cicit kita akan menyanyi sambil membayangkan eyang-canggahnya minum air dari botol plastik. Bernyanyi tidak dengan sikap sempurna  karena mungkin ketidaksempurnaan fisiknya, dan tangan di dada bukan menyatakan bangga, tapi....”sakitnya itu disini”.

          Na’udzubillah min dzalik. Tak ada yang mau seperti itu. Kalau begitu, mau ya kita mulai kurangi penggunaan gelas plastik dan botol plastik sekali pakai?

Jumat, 30 Mei 2014

PEMBUATAN JALAN LAYANG (+FOTO2)

 

         ***Tulisan 30 Mei 2014, malam ini telah saya lengkapi dengan beberapa informasi dari Ir. Didi Rustadi, Ir. Amer Faizal, dan foto-foto kiriman Ibu Luluk Nurohmah. Terima kasih.

          Hari ini, Jumat, 30 Mei 2014, perpanjangan jalan tol Lingkar Luar Bogor  akan diresmikan. Tak panjang.  Hanya menambah sekitar 3 km. Tapi menarik, karena menjadi jalan layang pertama di Bogor. Bahkan di satu sesi, menjadi jalan 3 susun. Jalan biasa yang kami sebut underpass. Di atasnya melintang rel kereta api yang diapit dua jalan lama. (Jalan lama ini dibentuk seperti tapal kuda berlawanan, hanya untuk memutar, tak bisa lagi melintasi rel kereta). Kini, di atas rel dan kawat listriknya, melintang jalan tol.

         Pembangunannya dimulai sekitar 1,5 tahun lalu. Mengakibatkan macet, tentu. Menambah macet, tepatnya. Jalan Soleh Iskandar, yang lebih populer sebagai Jalan Baru, sudah menjadi ikon macet sejak lama. Macet belakangan ini lebih dimaklumi, karena ada harapan kenyamanan setelahnya.  

         Macet yang membawa berkah, khususnya bagi saya. Karena banyak berhenti, sambil mengemudi saya leluasa melihat-lihat pemandangan sekitar. Terutama yang berkaitan dengan pembangunan jalan tol ini.
Jauh sebelum proses pembangunan dimulai, gosip sudah beredar lebih dulu. Bahwa, jalan tol lingkar luar yang direncanakan akan berujung di Darmaga itu, akan melayang di atas Jalan Baru. 

         Sejujurnya, saya termasuk yang skeptis. Jalan Barunya saja selalu bermasalah, terutama saat musim hujan. Bagian Jalan Baru  sebelum pertigaan Lotte Mart dibangun dari urugan. Setiap musim hujan, jalan hancur. Hanya yang bernyali tinggi yang berani lewat. Seperti sedang off-road. Hampir selalu truk nekad akan berakhir dengan patah as. Pemotor terjungkal itu rutinitas. 

         Jalan, baru akan diperbaiki setelah musim hujan lewat. Dan rusak parah lagi di musim hujan berikutnya. Gemas sekali menghadapi ini. Saya saja bisa memikirkan bahwa pasti ada cara untuk mengatasi air hujan, masa para pakarnya tidak berpikir ke sana sih? Jalan rusak ditambal, tapi saluran pembuangan air hujan takcukup diperhatikan.

         Dua-tiga tahun lalu, sebagian Jalan Baru dibeton. Urusan jalan rusak karena hujan selesai. Bahwa masalah sekarang adalah banjir meskipun hujan biasa, tidak akan saya ungkap saat ini J
Mengingat bertahun-tahun menghadapi cara tambal sulam Jalan Soleh Iskandar, wajar dong jika saya menyangsikan kemampuan “mereka” membangun jalan layang? Jika jalan yang di bawah saja tak kokoh, apalagi kelak jalan yang melayang di atasnya... 

         Sekitar 2 tahun lalu, mulai terlihat aktivitas. Ada yang mengukur dan memasang patok-patok di taman pemisah jalan setiap jarak tertentu. Benar akan dibangun jalan layang, ternyata. Cukup lama patok-patok itu hanya menjadi penanda. Tak terlihat langkah berikutnya.

         Beberapa bulan kemudian, baru lebih meyakinkan. Di kanan kiri taman pembatas  jalan dipasang dinding penutup. Pada dinding ini tertulis nama proyek dan pelaksananya. PT Wijaya Karya. Perusahaan level nasional. Saya mulai melihat ada harapan. Mulai percaya. Wika kan sudah terbiasa membuat jalan tol.
Harapan lainnya, lebih ajaib. Selain nama proyek, di dinding juga terpampang ilustrasi hasil pembangunannya kelak. Bahwa jalan tol akan melintang di atas rel yang berada di atas underpass. Jalan tol juga akan berada di atas perempatan. Di antara keduanya, jalan tol juga akan berada di atas jembatan sungai Ciliwung. Ini yang menarik. Sungai Ciliwung  digambarkan penuh dengan air berwarna biru bening. Jadi, saya berharap, proyek ini akan membuat jalan layang dan membeningkan sungai Ciliwungnya sekaligus. :)
 
         Alat-alat berat mulai didatangkan. Pada patok pertama, dipasang alat penggali. Kemudian digali sampai membentuk lubang yang dalam. Masih terbayang suara getarannya saat lewati wilayah ini. Seingat saya, di satu patok itu dibuat dua lubang berjarak berbentuk tabung. Alat penggali kemudian digeser ke patok berikutnya. Secara paralel, di 2 lubang pertama tadi mulai dipasang rangka dan kemudian diisi beton, menjadi tiang. Yang saya ingat, ini tak sekedar pekerjaan sehari-dua hari di satu lokasi. 

         Demikian seterusnya. Patok-patok yang terpasang ternyata penanda lokasi tiang penyangga jalan tol. Saya pernah sempat melihat ke bawah, ke kedalaman galian, dari jalan di samping rel. Ini bukan pekerjaan ringan. Salut  kepada para pekerja yang bergiliran selama 24 jam. 
         Seperti lari estafet. Saat 2 penyangga silinder siap, kemudian dibentuk menjadi satu tiang  kotak. Di patok kedua, mulai tahapan pembuatan silinder, dan di patok berikutnya baru mulai digali.

         Setelah itu, terlihat di atas setiap tiang kotak ini dipasang 2 rangka. Rangka dari beton ini berbentuk seperti penampang baskom bertutup rata. Rangka dengan lebar sekitar 1-1,5 meter dengan bagian terpanjang sekitar 4-5 meter. Setiap rangka dibawa ke Bogor menggunakan satu truk trailer  terbuka. Satu rangka satu truk.  Katanya rangka sudah dicetak di pabrik di wilayah Cikarang. Jadi hanya tinggal membawa ke lokasi. Biasanya malam hari. Saya hanya bisa menduga bahwa rangka ini dari beton dan sangat berat karena satu truk besar hanya membawa satu keping rangka. Ternyata memang berat, satu rangka sekitar 40 ton.

         Setelah rangka terpasang, kemudian ditutup dengan papan-papan sehingga berbentuk kotak. Ketika kelak papan-papan ini dilepas, yang terlihat adalah rangka tadi sudah terisi beton. Selain manggut-manggut menilai kecanggihan teknik ini, saya kok teringat agar-agar. Teknik ini seperti kita membuat agar-agar. Saat cair dimasukkan cetakan. Setelah dingin, keras, dilepas dari cetakan. Persis ini pun begitu.

         Ketika mulai ada 2 tiang dari 2 patok selesai urusan mencetak agar-agar, pembangunan jalan memasuki tahap berikutnya. Menghubungkan. 

         Ini pun proses luar biasa. Rangka-rangka yang seperti penampang baskom itu lebih banyak didatangkan. Tetap 1 truk 1 rangka. Kemudian disusun berbaris di antara 2 tiang. Lantas, dipasang alat berwarna biru, louncher. Sepenglihatan saya, louncher ini bertumpu pada satu tiang. Alat ini memiliki “belalai” yang panjang, membentang sampai ke tiang berikutnya. Terlihat dari bawah, belalai si biru ini seperti tak ada sambungan. Lurus panjang. Saya sempat takjub. Bagaimana alat sepanjang itu didatangkan? Jarak antar tiang kan bisa 100-200 meter.

 
         Pada kesempatan lain saya cukup beruntung kena macet lama di dekat alat biru berbelalai ini. Memandang ke atas, memperhatikan lebih teliti. Belalai ini rupanya sambungan dari banyak potongan. Menimbulkan kekaguman lain. Teknik menyambungnya luar biasa mengingat fungsi yang dikenakan kepadanya.

         Jadi, setiap rangka yang dibariskan tadi, dipasangi beberapa penggantung yang  “dicantolkan” ke belalai si biru. Satu demi satu dipasang. Rangka demi rangka. Setelah semua siap, secara bersamaan kesemua rangka ini ditarik oleh belalai biru. Sampai ke ketinggian yang diharapkan. Kemudian  si biru menyangga selama beberapa lama. Selama proses pengikatan antar rangka. Ini saya tak tahu pasti, apakah sekedar di”lem” antar rangka, atau ruang kosong di tengahnya diisi beton dan dipasang “paku panjang” penghubung rangka yang satu ke rangka yang lain. 

         Berhari-hari belalai biru ini berfungsi seperti tiang jemuran yang digantungi hanger. Sakti kan? Satu hangernya saja harus dibawa oleh satu truk trailer. Ini banyak! Setelah siap, tali-tali penggantung dilepas. Si biru pun dilepas, dan dipindahkan ke tiang berikutnya. Satu bagian jalan pun jadi. 

         Menghubungkan tiang tak dilakukan berurutan. Bergerak dari titik awal dan titik akhir proyek, menuju ke tengah. Sempat iseng berpikir, bagaimana kalau nanti ternyata tidak pas sambungannya? Sementara, saya juga menduga, cara ini ditempuh untuk menjaga lalu lintas agar terkendali,  dan melakukan bagian tersulit terakhir.

         Menurut saya, bagian tersulit adalah menghubungkan tiang di atas tiang listrik KRL dan di atas jembatan. Bagaimana menjejerkan rangka sebelum ditarik ke atas? Sayang saya tak sempat lewat saat bagian ini dilakukan. Saya duga, rangka dijajarkan di salah satu sisi sungai atau rel, dipasangkan ke belalai biru, lantas diangkat oleh si biru, kemudian digeser ke lokasi yang dimaksud. Tapi, kapan? Rel KRL selalu padat kesibukan. Kadang berjarak 5-10 menit antar kereta.
 

         Tingkat kesulitan yang tinggi dan prediksi macet luar biasa yang diakibatkannya membuat saya memilih jalur aman. Tak melewati jalan itu, memutar menggunakan jalan lain.

         Setelah rangka-rangka ini terhubung, mulai deh terlihat bahwa benar akan ada jalan layang. Tahap selanjutnya adalah pemasangan pagar, dll.



          Saat pembuatan tiang-tiang, saya ada pertanyaan tentang sebuah tiang yang disiapkan. Kok aneh?

 
 
     Setelah pembatas proyek dibuka, jaring pengaman serpihan diambil, saya baru paham mengapa ada posisi tiang yang tak lumrah. Di titik akhir tol, jalan melebar. Posisi untuk turun dari tol atau naik ke tol. Jalan butuh tiang penyangga, tetapi di bawah ada jalan biasa. Karenanya, tiang dibuat di pinggir jalan, sehingga jalan biasa tak terganggu.


         Proyek pun mencapai tahap akhir. Puing-puing dibersihkan, marka jalan disiapkan, tanda-tanda lalu-lintas mulai dipasang di jalur tol ini. Pralon-pralon besar dipasang sebagai jalan mengalirnya air hujan.

         Dengan dioperasikannya jalan tol itu hari ini, saya berterima kasih. Terima kasih karena dibuatkan jalan penghubung, dan karena mendapat banyak pengetahuan baru tentang proses pembuatan jalan layang. Saya merasa ini kemewahan. Di Jakarta berserakan jalan layang, tapi saya tak yakin kawan-kawan saya sempat mengikuti proses pembuatannya. Di Bogor,  ini yang pertama. Saya bersyukur bisa memperhatikan prosesnya secara berkala. Semoga membantu mengurai kepadatan di jam sibuk. Satu hal saja yang tampaknya tak sesuai “rencana”. Sungai Ciliwung masih seperti biasa, coklat susu, tak menjadi bening biru. :)

Rabu, 14 Mei 2014

HIDUP ITU SEPERTI AIR MENGALIR



          Pertama kali mengetahui kalimat ini ketika saling isi buku kenangan di SMP. Ada beberapa teman yang menuliskan bahwa motto hidup mereka adalah Mengalir Seperti Air. Saat itu, saya memahami kalimat “mengalir seperti air” sebagai tanda kepasrahan. Ikut saja kemana hidup akan mengarahkan kita, seperti air yang pasrah menuju tempat terendah. Saya jelas tidak sepakat dong, hehe. Tapi, itu kan motto orang lain, bukan saya. Jadi saya tidak ambil pusing.

          Dalam perjalanan hidup, saya banyak mendengar ungkapan ini digunakan orang lain juga. Dan, saya tetap belum merasa ini kalimat istimewa. 

          Sampai suatu hari sekitar 3 tahun lalu. Saya sedang menunggu suami shalat di mesjid Maissy. Itu nama beken dari mesjid At Ta’awun di daerah Puncak. Di samping mesjid ada air mengalir. Lebih lebar dari parit, tetapi terlalu kecil untuk disebut sungai. Berundak-undak dan berbatu-batu. Air berasal dari mata air, bening dan dingin. Tetapi saluran dan undakan tampak sengaja dibuat seperti alami. 

          Suasana di sana sangat menghanyutkan. Kesegaran udara Puncak, desir daun-daun yang bersentuhan, dan gemericik air mengalir saling melengkapi, di kompleks peribadatan pula. Saya pun larut. Pandangan saya tertuju pada gerak-gerik air saja. Walau sebenarnya di sana juga tak hening, karena banyak orang bermain air sambil bercanda  dengan kerabat masing-masing. Saya saja yang terlalu fokus pada air, sehingga mereka seolah tak ada. 

          Suara air berasal dari butiran-butiran yang jatuh karena perbedaan ketinggian undakan. Semacam air terjun pendek. Berirama. Ketika air bergerak bersama-sama, mereka melagukan simfoni luar biasa. Mereka patuh pada kesepakatan, yaitu bergerak menuju tempat yang lebih rendah. Karena itu dapat menghasilkan suara indah. Seolah hidup mereka tanpa masalah. Iyakah?

          Apakah memang setiap butiran air mengalir dengan mulus dalam perjalanan kebersamaannya itu? Ternyata tidak. Dasar tempat mengalir  ini tak  rata. Ada kerikil, ada pula batu besar. Berbagai ukuran.
Ada sebagian butiran air yang harus hadapi tantangan. Membentur batu. Bayangkan beratnya masalah yang harus dihadapi. Bahkan dibandingkan dengan kerikil pun, setetes air masih berukuran jauh lebih kecil. Apalagi jika yang ditemui adalah batu besar.

          Apa yang terjadi usai benturan? Air akan terpantul. Mundur. Benturan dan pantulan banyak air yang harus berhadapan dengan batu ini menimbulkan gelombang datar. Jika usai menabrak batu dia tak cukup kuat terpantul ke luar gelombang, air akan menabrak batu yang sama lagi. Bisa berulang-ulang. Sampai sebuah pantulan yang lebih kuat melemparkannya keluar dari gelombang. 

          Untuk bisa terlempar keluar dari gelombang, air harus membentur batu sangat keras, paling keras, agar terpantul paling jauh. Keluar dari gelombang.

          Air akan melanjutkan perjalanan menyusuri bagian luar gelombang. Mengejar ketertinggalan dari teman-teman semula. Apakah masalah dia selesai? Belum tentu. Karena mungkin saja dia harus berhadapan dengan kerikil atau bahkan batu lain yang lebih besar. Dan perjuangan keluar dari hambatan pun akan terulang. Lagi. Dan lagi. 

          Dari sudut pandang ini, saya jadi lebih memahami kalimat Mengalir Seperti Air. Bahwa, walaupun bagi air menuju tempat yang lebih rendah itu suatu sunatullah, itu tidak dia jalani dengan mudah, atau bahkan pasrah. Ada perjuangan besar dan tekad yang kuat di dalamnya.

Selasa, 13 Mei 2014

TUNAS INTEGRITAS



         Ada banyak cara mencegah korupsi. Salah satunya, membesarkan anak-anak yang berintegritas. Anak-anak yang mahir membedakan mana yang benar, mana yang  salah, dan bagaimana memilih sikap.

         Selain contoh nyata dari para dewasa di sekitarnya, anak juga dikenalkan dengan nilai-nilai kebaikan itu melalui buku.

         Sebagai lembaga pemberantasan korupsi, KPK bekerja sama dengan Forum Penulis Bacaan Anak, menerbitkan satu seri buku untuk  anak-anak. Cetakan pertama dan kedua  tahun 2012. Saya baru mendapatkan buku ini sekitar 1 bulan yang lalu.

         Seri yang diberi nama Tunas Integritas ini terdiri dari 6 buku bergambar berukuran 24,5x25 cm2 . Setiap buku  terdiri dari beberapa cerita, puisi, atau teka-teki. Total ada 36 judul karya 24 penulis. 

         Ada Sofie Dewayani, Triani Retno A., Ali Muakhir, Eva Y. Nukman, Ary Nilandari, Dianda Primalita, Nia Haryanto, Evi Z. Indriani, Tethy Ezokanzo, Intan Daswan, Ina Inong, Sari Wiryono, Asri Andarini, Dyah P. Rinni, Laksmi Puspokusumo, Maya Agustiana, Erna Fitriani, Dydie Prameswari, Dian Nafi,  Chitra Safitri,   Ammy Rhamdania Kudo, Lina Selin, Monica Anggen, danYang Putri Insani. 
        
         Ilustrasi oleh Pandu Sotya, Hutami Dwijayanti, Mukhlis  Nur, Ismirahma Fitria, Novian Rifai, Paula  Rosaline, dan Dianda Primalita. Sedangkan Desain dari Bang Aswi, Konsep Ryvafie Damani, supervisi oleh Sandri Justiana dari KPK dan Ali Muakhir dari FPBA. Penanggung jawab semuanya adalah Dedie A. Rachim.

         Para penulis mencoba mengenalkan integritas melalui caranya masing-masing, tetapi dalam satu buku dikumpulkan tema serupa. Berikut beberapa cerita dari seri ini.

         Puisi Rajarima. Sebuah cerita tentang Negeri Kata yang sedang berduka. Penyair Rajarima tak lagi berkata-kata. Rupanya karena huruf A tak mau mau lagi membuat rima. Bosan. Padahal, di depan, di belakang, atau di tengah, tak ada bedanya selama kita bisa bekerja sama menjalin kata, membuat rumah ceria. Huruf a penting, tapi dia juga tak berarti jika hanya berdiri sendiri. ----dari cerita ini dikenalkan pentingnya kebersamaan untuk mewujudkan sesuatu. Setiap kita mempunyai peran masing-masing. Tapi semua harus bergerak bersama untuk mencapai tujuan.

         Adakah keranjang untuk Osyi? Tak satupun teman mau meminjamkan keranjangnya saat Osyi kelinci perlu mengangkut wortel. Osyi pun mencari ke gudang. Di gudang Osyi menemukan banyak barang teman-teman yang pernah dipinjamnya. Ia lupa mengembalikan. Karena inikah teman-temannya enggan meminjamkan keranjang? Osyi pun berkeliling ke rumah teman-temannya mengembalikan barang-barang mereka. Akhirnya Osyi pun merasa lega. 

        Serbuk Ajaib  Flo. Tentang peri Flo dan neneknya. Setiap peri bisa terbang karena menggunakan serbuk peri. Serbuk Flo habis sebelum waktunya karena  dia boros. Saat ada serbuk untuk nenek yang diantar petugas padahal nenek sedang pergi, Flo mengambil sedikit. Saat pulang, nenek hendak melaporkan bahwa petugas itu jatuh  sehingga  serbuk yang  diantarnya tumpah. Flo segera saja mencegah, dan mengaku bahwa serbuk itu berkurang  karena dia ambil tanpa izin. Nenek memaafkan, tetapi  Flo harus menjalani aturan bagi peri yang kehabisan serbuk, yaitu harus berjalan kaki ke sana ke mari.

         Mobil-mobilan Dido. Dido ingin mobil-mobilan bagus yang dijual Beben lebih murah  dari harga toko. Tapi Dido tak punya cukup uang. Ibu Dido berjualan makanan. Setiap minggu membutuhkan 5 kg terigu. Dido selalu diminta membelikan ke warung Wak Rudi. Karena membeli rutin dan banyak, Wak Rudi memberi diskon. Apakah Dido jujur kepada ibunya bahwa ada potongan harga terigu atau tidak? Pembaca diminta membantu Dido mengambil keputusan. Tiap keputusan, ada cerita lanjutannya.

         Secukupnya Saja. Aldo ulang tahun. Dia ingin membawa makanan ulang tahunnya menjadi bekal sekolah. Semua. Akhirnya Ibu mengizinkan. Aldo memakan semuanya sendiri. Tak berbagi. Teman-temannya hanya bisa menatap. Tak lama, Aldo sakit perut. Makanan Aldo masih ada. Aldo merasa tak akan bisa makan lagi selamanya. Bu guru tertawa, “Tentu saja kamu masih bisa makan lagi.” Tapi secukupnya saja, pikir Aldo.

         Roket Harta Karun. Ini hasta karya. Dari botol minuman dan kotak karton bekas, dibuat celengan berbentuk roket.

         Ke Pasar Kaget. Hari Minggu kami sekeluarga ke pasar kaget. Kakak ingin pakaian. Aku ingin boneka. Adik ingin anak ayam. Semua dialarang Ibu. Tapi, Ibu memberi pengemis pincang. Ibu membeli kue dan pepes.Ibu juga membeli payung agar tak kehujanan.  Rupanya, Ibu bukan pelit, tapi cermat. Hanya membeli barang yang tepat. Hemat. Kami keluarga sederhana yang hebat.

         Begitulah, KPK dan para  penulis telah mencoba berbuat sesuatu untuk menularkan nilai-nilai integritas kepada generasi muda. Bagaimana dengan kita?