Rabu, 25 Januari 2012

MENJADI IBU SEIBU-IBUNYA

Judul Buku : Mother Bukan Monster
Penulis : Gol A Gong-Tias Tatanka, dan 15 penulis lain.
Penerbit : Glitzy, Kompas-Gramedia, 2011
Tebal 145 halaman.

Rabu, 25 Januari 2012 pagi. Ingin sekali gerak badan, jalan-jalan di taman kompleks, tetapi pemandangan di dalam rumah menuntut pengalihan rencana. Saya pun mencari keringat dari olah raga in door saja. Nyapu, ngepel, nyuci :)

Sambil menemani mesin cuci bekerja, saya menyambar Mother Bukan Monster dari lemari buku. Membaca kisah pertama, saya tersenyum dalam hati. Kok bisa pas. Mbak Tias ternyata menceritakan tentang mesin cucinya di salah satu bagian tulisan.

Urusan mencuci dan menyetrika memang keseruan tersendiri. Paling banyak menyita waktu dibandingkan urusan rumah yang lain. Mencuci bisa dilakukan secara massal, tetapi menyetrika harus satu demi satu. Saya senang menyetrika, tapi kadang terkendala waktu. Beruntung, saat ini jasa cuci atau setrika kiloan menjamur. Setidaknya saya punya alternatif ketika gunungan pakaian bersih sudah hampir meletus.

Kisah mesin cuci mbak Tias tidak berkaitan dengan waktu, tetapi berurusan dengan pembantu. Ini bukan masalah mbak Tias saja, karena saya sering mendengar dari teman-teman juga. Walaupun sudah diajari, sering kali pembantu tidak teliti. Selain mengaktifkan kedua fungsi bersamaan, kesalahan pembantu biasanya memasukkan terlalu banyak pakaian dan memutar balik timer untuk menghentikan mesin secara paksa.

Meminta pembantu mencuci manual pun berpeluang memunculkan masalah lain. Seperti yang dialami Triani Retno di halaman 103-112. Pembantunya hanya memerlukan 50x50x15 cm kubik air untuk mencuci pakaian dia, suami, dan seember popok bekas ompol bayi. Terbayang kan tidak berfungsinya Pewangi merk apa pun? Kisah ini bertentangan dengan banyak pengalaman tetangga. Keluhan mereka biasanya berkenaan dengan borosnya air dan sabun jika ada pembantu.

Di bagian lain, Nunik Utami menceritakan kisah yang berbeda. Dia mendapatkan maidpreneur, pembantu yang berjiwa pengusaha :). Sang pembantu mengoptimalkan rumah majikan tidak sebagai tempat kerja saja, tetapi juga sebagai pusat sosialisasi dan bisnis sampingan. Dia mengundang teman-teman dan saudaranya untuk bersenda gurau dan menonton TV. Dia juga mempersilakan mereka mandi dan mencuci pakaian dengan imbalan rupiah. Uang jasa ini untuknya, padahal listrik, air, dan sabun kan milik sang majikan.



Mbak Tias menceritakan juga tentang simfoni pagi di rumahnya. Ada nada bisik dari keyboard laptop Mas Gong, ada dengkur anak yang serupa bass menanti saat berperan, dan tentu ada sang komposer merangkap dirigen merangkap lain-lain, mbak Tias sendiri. Menyiapkan sarapan, mendidihkan air, membangunkan anak, memandikan si bungsu, dan membacakan koran untuk berita pagi kepada suami.

Membangunkan anak adalah seni tersendiri. Menemani mereka mengumpulkan nyawa di pagi hari adalah perjuangan sesungguhnya seorang ibu....terhadap kesabaran. Bahkan seorang mbak Tias pun, yang saya kenal sebagai putri Solo berwajah lembut dan selalu memancarkan keteduhan, bisa bertanduk dan taringnya memanjang :). Sungguh saya terhibur membaca bagian ini. Karena...ternyata saya punya teman seperjuangan...

Jadi teringat kisah beberapa teman. Ada yang disebut "mengonggong" oleh suaminya, ada juga yang disindir dengan pertanyaan, "Kok, serasa di terminal bis, ya?", atas kehebohan yang diciptakan seorang ibu di pagi hari. Saya sangat bisa memaklumi karena saya mengalami. Berbagai cara, trik, taktik, dan apa pun namanya, pernah saya coba. Volume terendah sampai maksimal pernah didengungkan. Main tangan dengan berbagai variasi juga sudah diterapkan. Mulai diusap-usap, dikelitiki, dipeluk, sampai dikepret (diperciki air dengan cara mengibaskan tangan basah kita).

Sampai saya mendapat kesimpulan, ini bukan tentang anak yang malas atau membangkang. Tetapi tentang nyawa yang belum terhubung. Anak masih setengah mimpi. Karena, begitu dia sadar penuh, biasanya setelah mandi, dia akan menjadi anak yang sangat manis dan ceria. Bahkan, jika dia menjadi tergesa-gesa menyiapkan diri karena sudah hampir terlambat, seringkali berkata, "Kok Mamah gak membangunkan aku dari pagi sih?" Hallooo, memangnya apa yang Mamah lakukan dari subuh tadi kepadamu?

Hubungan ibu dengan anak dibahas pada bagian pertama buku ini. Berbagai peristiwa bisa memunculkan momster di rumah maupun di tempat umum. Pada banyak kasus, perpanjangan cakar seorang ibu biasanya merupakan kombinasi berbagai variabel, bukan akumulasi kesalahan anak. Perbuatan yang sehari-hari kita anggap biasa, bahkan lucu, tiba-tiba bisa menjadi petaka dan mengubah kepala menjadi perebus telur. Mungkin saat itu sang ibu sedang lelah, panik, atau menjelang menstruasi.

Dalam kondisi demikian, seorang ibu tidak butuh nasihat atau brosur seminar pendidikan anak. Dia hanya minta dimengerti. Empati dari orang terdekat. Seperti saat Indah IP (halaman 12-20) refleks berteriak kepada Kira ( 5 tahun) yang berlari mendekati eskalator. Indah panik karena jarak mereka terlalu jauh. Jika Kira iseng menyentuh eskalator, Indah tak akan sempat menyelamatkannya. Kepanikan ini yang menyebabkannya berteriak marah. Kira terbelalak kaget, Indah pun menyesal. Melihat ini, sang suami segera meraih Zyla, saudara kembar Kira, dan menjauh. Indah tak perlu ditegur karena berteriak. Sikap suami yang memberi ruang bagi dia dan Kira untuk menetralkan suasana, sangat patut diapresiasi.

Dan, yang paling melambungkan perasaan seorang ibu adalah jika empati tersebut justru datang dari anak yang menjadi pemicu kemarahan. Ini dialami Anisa Widiyarti (halaman 3-11). Ihsan (2 tahun 7 bulan) dengan polosnya bertanya "Ibu kenapa?" saat sang ibu tiba-tiba menjadi Karate-Moms dengan mematahkan sapu usai disuguhi karya seni alami di ruang tamunya. Tebaran pup Ihsan.

Marah pada anak bukan dosa. Itu manusiawi. Apalagi jika setelahnya kita meminta maaf kepada anak sambil menjelaskan sebabnya. Kita hanya perlu melihat lingkungan. Kapan dan bagaimana menegur anak. Sedapat mungkin tidak di depan umum. Tempat favorit saya untuk menegur anak adalah di dalam mobil. Just the 2 of us. Bisa dengan banyak kata, atau justru dengan diam yang panjang. Setelahnya, kami biasa melakukan "cantel", saling mengaitkan kelingking kanan, tanda perdamaian. Berlanjut dengan senyuman, pelukan, dan penjelasan.

Penghargaan Nobel yang saya raih untuk ini adalah ungkapan anak di usianya yang ke-10. "Aku bersyukur punya Mamah yang jujur. Aku ditegur kalau salah, tetapi aku dipuji kalau baik. Mamah gak pernah pura-pura baik kalau memang tidak suka."



Di atas semua permasalahan dengan anak dan pembantu, tantangan seorang ibu paling utama adalah menghadapi si anak sulung, suami. Menghadapi anak sangat mudah karena bagaimanapun pernah ada placenta yang mengikat kita. Menghadapi pembantu lebih mudah lagi, karena mereka tak ada hubungan keluarga. Jika kesalahannya ekstrim, kita tinggal mengambil langkah ekstrim juga, pecat. Menghadapi suami, ini yang unik.

Suami adalah laki-laki dewasa yang "tiba-tiba" harus kita patuhi seumur hidup. Laki-laki baik, tampan, saleh yang membuat kita menjawab "Ya" saat dilamar itu, mengenalkan kita pada dengkur, sarung, dan sepak bola :) . Dan, padanya terletak pintu surga kita.

Luar biasanya tantangan berumah tangga membuat saya sempat "menganalisis hadits". Semua tentu pernah mendengar ungkapan "menikah adalah setengah ibadah". Saya tidak paham asal usul dan sahih tidaknya hadits ini. Tetapi saya memaklumi mengapa bisa ada ungkapan seperti itu.

Ada 5 kisah dalam buku ini, dan sebagian besar pernah saya alami juga dengan koefisien yang berbeda. Menulis surat (Jazimah Al Muhyi) untuk mengungkapkan perasaan, makan hati karena sepak bola (Aney Maysarah), dan jadwal liburan yang terganggu (Nunung Yuni Anggraeni). Bahkan bagi Dewi Ulfah, keramahan suami juga bisa memicu cemburu.

Proses memahami pasangan adalah proyek berkelanjutan. Saya belum bisa mengatakan kami berhasil, karena kami belum sampai ke tujuan. Selalu ada yang harus direvisi, ditambalsulamkan, dan direnovasi dari hubungan ini. Masih akan ada kerikil maupun batu besar di depan sana. Tetapi, memayungi semuanya, adalah kebahagiaan. Rasa syukur yang banyak, atas keberadaan pasangan hidup.

Membaca buku Mother bukan Monster membuat saya lega. Jejak hidup saya, serupa dengan tapak banyak orang. Menjadi ibu seibu-ibunya, menjadi sebenar-benarnya ibu.

Minggu, 22 Januari 2012

TROTOAR

Kami sedang menginap di sebuah hotel di Jalan Sudirman, jalan utama di kota Serang. Serang adalah ibukota propinsi Banten, propinsi yang "nempel" ke ibukota negara.

Hari Minggu pagi, 22 Januari 2012, kami jalan pagi. Di seberang hotel ada stadion yang berdampingan dengan Taman Makam Pahlawan. Kami pun menuju ke sana. Banyak warga masyarakat yang melakukan aktivitas serupa. Mengelilingi stadion. Ada yang berjalan, berlari, bersepatu roda, ataupun bersepeda.

Menjadi menarik karena semua melakukan olah raga di luar stadion olahraga. Bukan di dalam. Semua akses menuju bagian dalam stadion terkunci. Rumput dan beragam tanaman tumbuh subur di sekelilingnya, secara liar. Mungkin ini stadion yang sudah tidak dipakai, karena katanya ada stadion olah raga yang baru di tempat lain.

Setelah menuntaskan satu putaran, kami memutuskan berganti jalur, berharap menemukan pemandangan yang lebih menyehatkan mata. Kami pun kembali ke jalan utama tempat kantor-kantor pemerintah, lembaga besar, dan perusahaan-perusahaan kelas atas berada. Kami berencana menyusuri jalan Sudirman ini sampai ke pusat hiburan rakyat di hari libur. Alun-alun.

Trotoar pun menjadi jogging-track kami. Saya, suami, dan anak sangat menikmati kesempatan jalan santai bersama kali ini. Kondisi yang sangat jarang terjadi. Kami bisa jalan dengan rileks karena tidak ada acara apa-apa lagi selain libur. Tidak diburu waktu.

Setelah berjalan beberapa meter, sebagian indera saya terganggu. Pemandangan seperti di luar stadion tadi tampak pula di sini, rerumputan. Bahkan sekarang ada bonusnya, got di samping trotoar yang diisi genangan air hitam dengan topping sampah dan essens khasnya. Sebagian pavingblock pun melatih kejelian langkah.

Agar kebahagiaan hati tetap terjaga, saya terpaksa melanggar aturan dan menantang bahaya, berjalan di jalan raya. Beruntung kami berada di kanan jalan sehingga bisa waspada terhadap kendaraan dari depan.

Singkat cerita, kami kembali ke hotel naik angkot masih dengan emosi terjaga. Gembira. Berkeringat, tetapi senang. Kami langsung sarapan. Setelah beristirahat, sekitar pukul 11.00 anak berenang, saya dan suami menemani di tepi kolam. Kebahagiaan kami berlanjut menyaksikan anak bermain air dengan sangat lepas. Berganti-ganti gaya, menari di dalam air, bahkan mengambang tanpa beban. Free.

Sungguh, kami tak menyangka. Ketika kami di puncak kenikmatan libur panjang ini, pada jam yang sama, kebahagiaan keluarga lain direnggut tiba-tiba di trotoar yang berbeda. Padahal, trotoar yang mereka injak sangat terpelihara. Mereka tertib, tidak seperti kami yang terpaksa menantang maut. Mereka sedang menuju pusat hiburan rakyat ibukota di hari libur. Monas.

Selasa, 17 Januari 2012

DISIPLIN

Tahun baru, semangat baru

Jelang akhir tahun lalu, seperti banyak orang, saya mencoba membuat evaluasi tahun berjalan, dan merancang rencana untuk tahun yang akan datang.

Dari berbagai hal, saya menyimpulkan, tidak banyak yang perlu saya lakukan di tahun 2012. Hanya satu hal saja. Disiplin. Disiplin atas target yang sudah ditulis. Disiplin atas tujuan utama. Disiplin atas pemanfaatan waktu.

Tidak muluk mimpi saya di tahun ini. Meningkatkan nilai kedisiplinan diri. Itu saja.