Jumat, 05 Oktober 2012

BERHARAP PADA GAJI JOKOWI


               Korupsi berkembang menjadi kata sehari-hari. Tidak eksklusif lagi. Upaya kampanye antikorupsi yang sangat gencar,  justru mempopulerkan kata “korupsi”. Istilah ini menjadi jargon. Lambang kejahatan. Orang yang berani berteriak melawan korupsi, langsung dicap lambang kebaikan. Sayangnya, pemahaman terhadap arti kata ini secara detil tidak banyak dilakukan. Banyak yang merasa bersih, seringkali justru pelaku tindakan koruptif. Bagaimana sebaiknya kita memutus rantai korupsi? Berikut ini adalah sebuah tawaran solusi.
            Tanggal 20 September 2012 Jakarta membuat sejarah. KPU telah menempatkan Joko Widodo, yang lebih dikenal sebagai Jokowi, menjadi gubernur baru DKI. Pelantikan akan dilangsungkan 8 Oktober 2012. Penulis tidak ber-KTP DKI, jadi tidak berkepentingan apa pun atas kemenangan siapa pun.
Paparan ini hanya mencoba menaruh harap atas suatu peluang kebaikan. Mencoba melihat kemungkinan aksi nyata upaya menghindari tindakan koruptif secara berantai. Karena korupsi yang sesungguhnya bukan saat berjumlah milyar atau trilyun rupiah, melainkan akumulasi tindakan koruptif kecil-kecilan, dalam jangka waktu lama, bersama-sama, sehingga menjadi sesuatu yang dianggap biasa.
            Penulis tertarik mengajak Pak Jokowi untuk memanfaatkan jabatan Gubernur sebagai titik pemutus rantai korupsi. Menurut beberapa media, Jokowi punya komitmen khusus tentang gaji selama menjadi walikota Solo. Sejak awal menjabat, Jokowi  memilih tidak mengambil gajinya sebagai walikota Solo. Dia ingin menunjukkan kepada rakyat, bahwa dia hanya ingin bekerja, mengabdi, dan melayani warga Solo.
            Tentu menjadi pertanyaan, darimana dia hidup. Sebelum menjadi walikota, Jokowi sudah menjadi pengusaha meubel terkenal di Solo. Penghasilannya sebagai “tukang kayu” sangat cukup digunakan untuk menghidupi keluarga. Meskipun kini dikelola orang lain, bisnis meubelnya tetap mengalirkan rupiah ke rumah Jokowi.
            Pada sebuah surat kabar setelah kemenangannya, Jokowi sempat menyatakan akan melakukan hal yang sama di Jakarta. Niat yang bagus. Tapi, izinkan penulis menawarkan sesuatu yang sedikit berbeda.
Sebagai gubernur DKI nanti, akan sangat terpuji jika Jokowi tetap berpegang pada satu sumber penghasilan saja. Harapan penulis, kali ini Jokowi mau melakukan kebalikan dari langkahnya di Solo. Yaitu, dengan tidak memanfaatkan hak dari keuntungan usahanya sebagai eksportir. Uang itu simpan saja di tabungan.
            Untuk hidup dia dan keluarga di Jakarta, ambillah seluruh gaji yang diberikan DKI. Gaji gubernur adalah hak dia sebagai gubernur. Upah atas kerja yang dilakukan gubernur. Penentu besaran gaji tentu telah memperhitungkan kelayakannya. Cukup , pasti. Tinggal usaha Jokowi dan keluarga menyesuaikan gaya hidup dengan besarnya penghasilan.
            Hidup sederhana dengan penghasilan sebagai eksportir, baik. Tetapi, hidup sesuai penghasilan resmi sebagai gubernur DKI, baik dan terukur.
            Keberanian Jokowi sebagai gubernur mengambil langkah ini, akan sangat bermanfaat. Dua manfaat utama adalah:
            Pertama, mengajarkan secara langsung kepada masyarakat, bahwa setiap orang mempunyai kewajiban, tetapi juga mempunyai hak. Menjalankan tugas sebagai gubernur adalah kewajiban, dan menerima gaji adalah hak yang berkaitan dengan kewajiban tersebut. Tak ada yang salah dengan menerima gaji, karena itu sesuai dengan peraturan.
            Kedua, mencontohkan sikap merasa cukup. Jika diikuti, nafsu tak akan pernah terpuaskan. Jika kita mau hidup sesuai penghasilan, maka kita harus merancang gaya hidup yang tepat. Joko Widodo dan keluarga, dapat menjadi contoh nyata bahwa dengan gaji yang halal, tanpa harus bertindak koruptif, keluarga dapat hidup.
            Contoh ini penting bagi masyarakat maupun tim kerja di bawahnya. Secara struktur penghasilan, gaji gubernur tentu paling tinggi dibandingkan anak buahnya. Jika pimpinan dapat menunjukkan bahwa penghasilan sesuai aturan bisa untuk hidup sekeluarga, maka pegawai pemerintah propinsi DKI lainnya, akan sungkan untuk mencari-cari tambahan secara tidak halal. Sebagai pimpinan, dia akan lebih rileks menjalankan program bersihnya dengan cara menegur staf yang nakal, tanpa harus khawatir akan diserang balik karyawan atas gaya hidupnya.
            Jokowi akan mudah mengingatkan tak boleh ada pungutan untuk setiap urusan warga dengan kelurahan. Tak akan ada yang bisa berkata, langsung ataupun bisik-bisik tetangga, seperti “Ya iyalah dia sih gak punya urusan kekurangan uang dapur. Eksportir gitu lho...” atau “Hidup di Jakarta mahal, bo...” :). Karena, Jokowi akan dengan ringan menjawab, “Semua bisa diatur, secara benar.”
            Ketika melihat bahwa bukan hanya Gubernurnya yang berubah, tetapi juga sikap serupa ditunjukkan oleh seluruh jajaran pegawai Pemda DKI, maka pegawai dinas-dinas lain pun akan tergerak untuk mengikuti. Demikian juga pihak legislatif. Minimal, akan muncul rasa malu dalam hati jika melakukan hal-hal tak terpuji. Efek domino akan menyentuh masyarakat umum. Tingkat kepercayaan masyarakat yang meningkat atas “kebersihan” pelayannya, akan membuat mereka juga menjaga diri.
            Posisi DKI sebagai ibukota negara, akan menjadikannya pusat sorot mata pemirsa media. Efek domino diharapkan bisa berlanjut. Rakyat di daerah bisa mengingatkan pemimpinnya agar meniru Jokowi. Pemimpin di daerah akan malu terlihat “berbeda” di era keterbukaan seperti saat ini. Dan, terutama, para pejabat pusat yang berkantor di Jakarta, entah itu legislatif atau eksekutif, akan berpikir ulang untuk curang.
            Jika banyak pihak sudah hanyut dalam gelombang sikap merasa cukup dengan gaji yang memang sudah haknya dan berkomitmen penuh untuk menjalankan kewajibannya, maka dana-dana proyek akan sepenuhnya untuk pelaksanaan kegiatan, dan hanya biaya administrasi resmi saja yang perlu rakyat bayar dalam berbagai urusan.
            Dalam situasi demikian, penulis yakin tindakan koruptif akan jauh berkurang. Indonesia gemilang siap menjelang.
Bagaimana Pak Jokowi, berani mencoba?