Sabtu, 28 Desember 2013

HATTA DI PERANCIS




Bulan Desember 2013 bioskop dibanjiri film bagus. Saya yang jarang menonton pun, dalam beberapa minggu ini berkali-kali ke studio XXI. Setiap kali selalu mengajak anak gadis saya. Tak selalu dia ikhlas saat diajak pergi, tetapi tak pernah pulang tanpa membawa kesan tentang film yang ditonton.

Film pertama, Frozen. Ini film yang memang ingin dia lihat. Terutama setelah membaca berita yang mengatakan Frozen sebagai film fenomenal lagi setelah Lion King. Status menontonnya menjadi wajib, karena Lion King sangat berkesan baginya. Bahkan, di hari pertama masuk Play Group, kepada guru dan teman-teman dia mengenalkan dirinya bernama Simba :).

“Let it go” adalah ungkapan yang dia suka dari film Frozen. Kalimat-kalimat yang digunakan, terutama dalam lagu-lagu, sangat cantik. Pemilihan kata-katanya mewakili makna, berima, namun mudah dicerna. Di rumah dia mengunduh lagu Let It Go, dan memutarnya berulang-ulang.

Film kedua, 99 Cahaya di Langit Eropa. Usai UAS, saya jemput dan langsung melihat pertunjukan siang. Dia agak enggan, tapi saya merasa dia harus menonton film ini. Anak saya Jepang-mania. Jadi saya merasa perlu mengenalkannya dengan sisi lain dunia. Eropa. Dan dari novel, Hanum Rais mengisahkan bahwa justru di Eropa dia menemukan pemahaman lebih dalam tentang Islam.

Kami memasuki ruangan bioskop saat film sudah hampir mulai. Lampu sudah dipadamkan. Pemandangan yang terlihat oleh anak saya adalah...penontonnya semua ibu-ibu! Proteslah dia. Mengapa aku harus menonton film ibu-ibu, katanya. Saya jawab, ini film umum. Dalam hati, saya mengajukan pertanyaan yang sama juga, mengapa yang terlihat perempuan berkerudung semua. Ketika film usai, ternyata mata kami tadi tak sepenuhnya benar. Yang berkerudung bukan hanya ibu-ibu, jauh lebih banyak remaja. Dan ternyata banyak juga laki-laki di kursi penonton.  

Dua hal yang dia garisbawahi dari film ini. Pertama, ungkapan Aysha, “Hai masalah besar, aku punya Tuhan yang lebih besar”. Kedua, pernyataan Ibu Aysha, Fatma, bahwa setiap diri kita adalah agen Islam. Jadi setiap tingkah laku kita, akan dinilai publik sebagai perbuatan orang Islam secara umum. 

Saya kurang puas dengan beberapa adegan. Misalnya keberadaan Fathin serta potongan gambar sekuel filmnya nanti. Mestinya kan begini, jangan begitu. Analisis saya dikomentari telak oleh anak. “Kalau memang film ini tidak bagus, mengapa saya dipaksa nonton?” Jleb! Saya pun jadi ‘terpaksa’ menjelaskan lebih detil mengapa dia saya anggap perlu menonton. 

Berikutnya, film Soekarno. Kami menonton bertiga. Anak saya duduk di tengah, di antara saya dan suami. Saya sangat puas karena Hanung Bramantyo menyampaikan pandangannya tentang kisah sejarah ini dengan cara yang sama seperti yang saya pahami dari berbagai bacaan. 

Kami menonton di hari kedua pemutaran. Sengaja. Khawatir masa edarnya tak lama karena ada pihak yang tak nyaman dengan isi film dan menggugatnya ke pengadilan.

Saya berharap semangat nasionalisme yang disebarkan sepanjang film, menular kepada anak saya. Saya merasa, tak hanya anak saya, tetapi seluruh caleg 2014 dan politisi secara umum harus menonton agar berkaca pada sejarah. Bahwa, para pejuang bersikap sebagai negarawan sejati. Cara boleh beda, tapi respek satu sama lain tetap ada, karena semua punya tujuan yang sama. Untuk Indonesia. 

Usai menonton film ini, yang kena ‘jleb’adalah suami. “Papa kan dosen. Jaga pandangan ya...” Rupanya, anak saya menilai rusaknya hubungan Bung Karno dengan Bu Inggit bermula dari pandangan guru kepada murid yang tak terjaga :) *anak baik, puji mamahnya dalam hati, hehe.

Malam Minggu terakhir di 2013 kami ngapelin XXI lagi. Kali ini Edensor yang jadi pilihan. Lanjutan kisah Laskar Pelangi yang mengambil lokasi di Perancis, yaitu saat Arai dan Ikal studi S2.

Dalam perjalanan pulang, kami bahas film ini. Nilai-nilai apa yang didapat. Adegan mana yang paling berkesan. Dan lain-lain.
Saya mengulang kalimat dalam film yang saya ingin diingat anak, “Gantungkan mimpimu setinggi langit, agar Tuhan dapat memeluknya.”
Suami menekankan unsur persahabatan dengan mengatakan, “Ikal dan Arai saling mendukung. That’s the friends are for...”
“...Hatta di Perancis,” anak saya melanjutkan ucapan ayahnya.
Saya dan suami terpesona.
“Keren sekali bahasamu, Nak.”
“O ya?” respon dia.
“Itu pilihan kata tingkat tinggi.” 
Hatta = meskipun. Tak umum digunakan dalam bahasa sehari-hari, saat ini, dan oleh anak SMP pula.
Mendengar uraian ini, giliran anak saya yang terpesona.
Dia lantas berkata, “Ikal itu kan Bung Hatta.”
Ternyata, dia hanya bermaksud bicara tentang Lukman Sardi.... :)

Rabu, 11 Desember 2013

11.12.13



                 TANGGAL CANTIK. 11 Desember 2013. Sejak jauh hari sebelumnya, saya banyak menerima pesan tentang keunikan tanggal ini.Ada yang mengatakan ini adalah tanggal cantik berurutan yang terakhir, setelah sejak awal 2000 kita banyak melalui tanggal-tanggal yang menarik. Entah itu berurutan (misalnya 6 Juli 2008 = 06.07.08, sepupu saya Vanti menjadikan hari nikahnya), berulang (misalnya 8 Agustus 2008. Ingat Olimpiade Beijing yang dibuka secara resmi pukul 08 08’ tanggal 08.08.08), atau simetris (misalnya 30 November 2003, ditulis 30.11.03).

                Buat keluarga saya, tanggal 11 Desember 2013 memang cantik. Sangat cantik. Tanggal itu bertepatan dengan ulang tahun nikah kami ke-19. Perkenalan seumur jagung kami ternyata bisa kami jaga sampai hampir menginjak 2 dasawarsa pernikahan. Menjadi menarik, karena dulu kami menikah tanpa memperhitungkan tanggal  ini cantik atau tidak. Baik itu cantik dari sisi “penampilan”, maupun cantik dari sisi “kebudayaan”.

                Tanggal 11 Desember 1994 kami pilih karena...itu satu-satunya tanggal kosong perias pengantin kami sebelum pergantian tahun. Ibu Tati Roni, perias pengantin di Bandung, yang saya inginkan. Beliau telah merias beberapa saudara saya. Saya suka riasan khas Sunda garapan tangannya. Sejak jauh hari sebelumnya, saya hanya ingin dirias beliau saat menikah, entah pernikahannya dirayakan atau sekedar di KUA.
                 
                Seperti yang selalu saya bayangkan, proses pernikahan itu tidak perlu rumit.

    Kepraktisan saya benar-benar mewujud bahkan sampai ke proses mengenal calon suami.Kami kenal tak sampai setahun sebelum dia mengajak menikah. Dalam setahun itu pun, bertemu tak sampai 10 kali. Itu pun di forum diskusi. Bukan pertemuan pribadi. Agustus pertama kali ke rumah, September mengajak menikah, Oktober melamar resmi, Desember ijab kabul. :) Tapi saya tak merasa terburu-buru, karena saya menyiapkan diri sudah dari jauh hari sebelumnya. Saya sangat menjaga pergaulan dengan lawan jenis, karena ingin memberi semua yang terbaik untuk suami saya kelak. Jadi ketika terasa "kereteg hate", saya yakin dia orangnya, bismillah, langkah tegap maju...jalan! hehe

   Setelah mengantongi tanggal kesiapan perias, saya menghubungi tetangga yang biasa masak dan aula kampus di dekat rumah. Semua bisa. Alhamdulillah. Baru kemudian urusan berikutnya. 

   Saat melamar, (calon) suami memberi uang Rp 500.000. Berarti, dia bisa membantu biaya pernikahan sebesar Rp 5 juta. Sebelumnya saya sudah sampaikan bahwa biasanya pihak laki-laki memberi tanda seberapa besar dia bisa membantu untuk resepsi pernikahan dengan cara memberi sepersepuluhnya saat lamaran. Saya menyiapkan biaya yang sama dari tabungan. Jadi langkah berikutnya adalah menghitung mundur. Dengan biaya sepuluh juta rupiah, resepsi pernikahan seperti apa yang bisa kami siapkan.

   Sejak remaja saya tahu saya tidak mau pacaran. Dan konsekuensinya, saya akan menikah secara “mendadak”. Untuk itu, sejak awal saya menabung, agar jika tiba-tiba menikah, saya tidak perlu membuat panik orang tua. 

   Di luar biaya cetak undangan, makanan, gedung, perias, dan acara, ternyata tetap ada biaya lain-lain di luar budget. Total sekitar 13 juta rupiah terpakai. Tabungan saya benar-benar menjadi nol. :)

   Upacara pernikahannya sendiri pun berlangsung praktis. Selain acara ijab kabul, acara adat yang dijalani hanya sungkem dan sawer. Saweran hanya berisi uang dan permen, tidak pakai beras karena  menurut saya itu akan menjadi mubazir, terbuang. Sedangkan rangkaian acara adat yang lain, dengan sengaja tidak dilaksanakan. Menginjak telur dan mencuci kaki suami. Itu simbol dari ketaatan istri, dan semacam arahan tentang berkeluarga. Bagus. Tapi di sisi lain, itu saya lihat sebagai pelecehan perempuan, hehe...

Mengenai pelaksana acara, saya beruntung memiliki banyak saudara. Kebetulan 3 bulan sebelumnya baru ada sepupu menikah, jadi panitianya sama. Bedanya, saya tidak menyediakan pakaian seragam. (Terima kasih semua atas keikhlasannya...)

3 hari setelah resepsi, saya ikut suami ke Jakarta, karena dia sudah harus masuk kerja. Di Jakarta, kami tinggal sementara di kamar kosnya, sambil mencari tempat yang lebih nyaman untuk berdua.

Saat berbincang-bincang tentang rumah, apakah kami akan kontrak paviliun, kontrak atau membeli rumah, saya baru tahu. Uang 5 juta rupiah yang dia serahkan untuk resepsi pernikahan, ternyata adalah keseluruhan uang tabungan yang dia punya. O....o...

Jadi, saat hari Rabu, pukul 08 09' 10", 11-12-13, kami rayakan dengan ngopi berdua di rest area tol Jagorawi dengan pemandangan di luar kafe adalah SPBU Pertamina, kami tersenyum. Napak tilas. Perjalanan yang kami lalui 19 tahun ini, benar-benar seperti mengisi bensin....dimulai dari nol.

Minggu, 19 Mei 2013

Hujan dan Pelangi



Novel karya Idawati Zhang, Mikayla Fernanda, dan Ch. Marcia
Clara Ng Book Project
Penerbit Plot Point, April 2013               
                                                                 
            Senin pagiku yang cerah dihiasi Hujan dan Pelangi. Sebetulnya, baca novel ini jatah akhir pekan. Sayang tak sempat tersentuh. Tadi pagi saya paksakan memulai membaca. Dan saya terpaksa menunda urusan lain, karena kisah Sabrina dan Cammile memaksa saya membaca sampai tamat satu kali duduk. J
           
            Tokohnya typical anak sekarang, anak tunggal dari keluarga kaya yang semakin sempurna dengan segala prestasinya. Cantik pula. Punya pacar Ketua OSIS pula. Kurang apa lagi coba?
           
            Sampai hari itu. Hari ketika seorang murid baru dikenalkan di kelas pada pertengahan semester. Waktu yang tak wajar untuk pindah sekolah. Dan ternyata, tak hanya waktu, alasan dan kehidupan si murid baru ini juga tak umum. Cammile hadir dengan bekal selubung pergulatan emosi pribadinya.
            Teman-teman mungkin tak peduli. Tapi, bagi Sabrina, kehadiran Cammile justru menjadi awal bencana. 

            Sebenarnya, dari bab-bab awal sudah bisa diduga arah cerita. “Paling juga nanti terbuka fakta bahwa ternyata....” pikiran itu tak bisa terhindarkan dari kepala saat saya membaca. Saya melanjutkan membaca untuk membuktikan praduga itu.

            Sayang, saya lupa menjaga rasa. Jalinan kata menjerat emosi saya tanpa sempat saya pasang pengaman. Dua adegan utama sukses menghadirkan hujan dari kedua mata. Salut pada ketiga penulis. Berhasil menggiring pembaca ke puncak drama.

            Novel ini pun tak sekedar cerita. Ada pesan yang bisa dibawa pulang. Bagaimana bersikap saat harus makan buah simalakama. Dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati. Sikap yang diambil, ciptakanlah pilihan ketiga, rela mati agar bapak dan ibu tetap hidup.

            Novel ini juga mengajarkan bagaimana menyikapi masa lalu orang-orang di sekitar kita, dan meramunya agar justru menjadi manfaat bagi masa depan kita.

            Ada beberapa hal yang kurang tersampaikan dengan mulus. Saya mencoba memakluminya sebagai efek kerja tiga kepala. Tetapi, evolusi emosi sepanjang ceritanya dapet banget


            Novel Hujan dan Pelangi adalah hasil kerja sama tiga alumni kelas menulis novel secara online dari Plot Point, dibimbing oleh senpai Clara Ng. 

            Ini proyek luar biasa. Saya mendapat cerita tentang prosesnya, sebelum membaca bukunya. Jadi, sudah terbayang lebih dulu jungkir balik para penulisnya untuk menampilkan kata demi kata dalam novel 300-an halaman ini.

            Penyusunan plot, penulisan awal, dan terutama, bongkar pasang tulisan. Setelah plot detil disepakati, ketiganya mulai menulis bab demi bab secara paralel. Langsung tergambar di benak saya, bakal ajaib dong? Bukankah setiap orang punya gaya menulis yang berbeda?  Pilihan kata, gaya tutur, dan selera berbahasa pasti tak sama.

            Ternyata benar. Itu banget masalahnya. Proses bongkar pasang tulisan untuk menjahit sebuah cerita utuh ini yang paling menguras energi. Dan emosi.

            Dan perlu dicatat pula. Di awal proyek, 2 dari 3 penulis ini dalam kondisi hamil. Tahu sendiri dong emosi ibu hamil? Usai mereka melahirkan, apakah masalah selesai? Tentu tidak. Ada bayi yang harus diurus. Ada malam-malam harus begadang, ada saat-saat bayi tak mudah dimengerti. Belum lagi “anak sulung” dan kakak-kakak si bayi yang butuh perhatian tersendiri. Dilengkapi lagi dengan pekerjaan yang berkaitan dengan profesi selain sebagai penulis.

            Jadi, saya sudah angkat topi untuk Idawati Zhang, Mikayla Fernanda, dan Ch. Marcia sejak sebelum bukunya beredar di pasar. Benar yang dikatakan Clara Ng, bahwa mereka orang-orang yang “keras kepala” demi selesainya pekerjaan yang telah dimulai, melahirkan sebuah novel.

            Dan, setelah usai membaca sampai halaman terakhir, selain topi, saya angkat jempol juga. Keren! 

Sabtu, 20 April 2013

MENERBANGKAN MIMPI TIGA BURUNG KECIL



Tentang Novel Tiga Burung Kecil, produk Clara Ng Book Project
Karya Mikha Ramadewi, Tjatursari Oetoro, dan Josefine Yaputri
Diterbitkan Plot Point, Maret 2013


Sebuah perusahaan penerbangan internasional melakukan penerimaan pramugara-pramugari dengan cara yang tidak biasa. Melalui sebuah kompetisi, dicari calon kru yang paham isu ramah lingkungan.

Seleksi berjenjang. Diawali dari tingkat provinsi. Setelah terpilih tiga orang, mereka berjuang pada tingkat selanjutnya sebagai sebuah tim. Pemenang tingkat nasional, bersaing lagi di tingkat benua, dan terakhir tingkat dunia.

Bukan hal mudah untuk lolos tahap lanjutan. Penilaian berdasarkan aktivitas tim, padahal mereka mendaftar secara perseorangan. Tak saling kenal sebelumnya. Apalagi, masing-masing ingin menjadi kru pesawat dengan membawa alasan dan masalah pribadi yang berbeda-beda. Hal itu bertambah dengan masalah baru akibat interaksi mereka di tim ini.

Pemilihan lokasi seleksi di tiga tempat indah yang berbeda, melengkapi kenyamanan rasa pembaca. Penggambaran yang tak berlebihan, memberi ruang imajinasi kita berkembang. Demikian juga dengan emosi yang tak terlalu dieksploitasi, menyisakan sisi hati untuk diisi logika.


Tak banyak yang bisa saya sampaikan dari isi novel. Karena, akan mengganggu kenyamanan pembacanya kelak jika sudah terlalu banyak informasi dibuka. Kenikmatan membaca novel kan justru di rasa penasaran atas apa-apa yang akan terjadi di halaman berikutnya.

Saya lebih tertarik menyoroti bagaimana penerbangan yang dilakukan “tiga burung kecil” lain. Para penulis novel Tiga Burung Kecil ini.

Mikha, TJ, dan Josefine tak saling kenal sebelumnya. Novel ini tanda kelulusan  mereka atas kelas tak tatap muka bersama guru yang tak berdiri tapi sanggup memaksa murid-muridnya berlari. Kelas novel on-line dari PlotPoint dengan senpai Clara Ng.

Seperti para calon pramugarinya, ketiga penulis ini mengikuti berbagai tahapan untuk bisa melakukan “penerbangan perdana”, menerbitkan sebuah buku novel. Mimpi semua peserta kursus! Tahapan yag tak mudah. Maraton menulis, menyatukan nyawa yang dihidupkan tiga orang berbeda, dan menjaga semangat.


Buku ini hadir sebagai bukti kemenangan mereka atas pergulatan melahirkan ide, berkompromi, dan perjuangan menjaga nafas agar tiba di garis finish.

Buku ini menjadi simbol, Tiga Burung Kecil bisa menerbangkan mimpi di benak penulisnya agar ide hinggap di kepala khalayak.

Buku ini bagai mesin pesawat, mempunyai daya angkat tinggi bagi siapa saja. Daya angkat keyakinan, bahwa kita bisa. Bisa menerbangkan apa saja dalam genggaman, asal sabar dan konsisten menyusuri landasan. Bagi Mikha, TJ, dan Josefine, pasti. Bagi kita, juga.


Untuk saya sendiri, membaca novel ini seperti membaca skripsi karya teman se-dosen pembimbing. Saya mencoba membedah mundur. Membaca sambil mencatat point dari tiap bab. Memperhatikan prolog dan epilog. Tuntas membaca, saya coba pahami plotnya. Dari sana membayangkan bagaimana ide mulai muncul dan dikembangkan. Tak lupa saya pelajari juga pilihan kata, dan bagaimana efek kalimat pada pembaca.

Saya hanya penasaran pada satu hal. Sam dan Odette terinspirasi tiga burung kecil dari lagu karya Jess. Lantas apa yang menjadi inspirator Jess sehingga lagu itu tercipta? Sam, Odette, dan Jess adalah tiga tokoh utama di dalam novel.


Jika burung anis didengar karena kekhasan suaranya dibanding jenis burung lain, semoga Tiga Burung Kecil memberi kesan khas pada pembaca lain, seperti yang sudah saya rasakan. 

Selamat membaca!