Kamis, 24 Desember 2015

Dude-ku



Tak sabar menunggu besok. Sabtu terakhir sebelum pergantian tahun, akan saya habiskan bersama idola. Tak jadi soal rentang itu begitu lama, sejak saya remaja hingga sekarang anak saya sudah remaja. Kedatangannya ke kota Bogor seolah sengaja untuk bercerita kepada saya. Tentang bagaimana mengunggah peristiwa ke dalam sebuah cerita.

Waktunya sangat tepat. Saya punya hutang tulisan kepada sahabat. Memfiksikan kisah nyata. Hampir 4 kali pesta tahun baru berlalu, saya belum sanggup melunasi. Banyak juga ide yang mencuat berdasarkan interaksi saya dengan teman-teman. Masih berupa file-file nyaris kosong, karena baru berisi beberapa kalimat uraian singkat kisah dengan judul yang saya jadikan nama file.

Sebagai gadis generasi Anita Cemerlang, waktu luang saya tidak banyak dihabiskan di depan televisi. Kalaupun akan nonton, TVRI juga  hanya siaran pukul 17.00 sampai 22.00. Saya lebih suka membaca. “Musim Gugur di Ganesha” Arya Gunawan memperkuat keinginan saya kuliah di ITB. Cerita-cerita Emji Alif membayar keinginan saya mendaki gunung yang merupakan aktivitas terlarang di keluarga. Buku “Malam Terakhir” Leila S. Chudori benar-benar seperti irigasi yang membantu mengalirkan pikiran dan pertanyaan liar saya tentang feminisme dan kebebasan berpendapat, barang langka saat itu. Dan, ada Nia Effendi yang membelai sisi romantis secara elegan dan tidak cengeng.  

Tahun-tahun berlalu. Dunia perbukuan di Indonesia lebih bergairah. Penulis dan tulisan makin beragam. Saya terjebak, dengan bangga, pada standar lama. Kualitas itu berkaitan erat tak hanya dengan tema, tetapi juga bahasa. Beruntung saya menjadi murid ibu Indartati di SMP, pemirsa setia acara J. S. Badudu di TVRI, dan “dibimbing” H. B. Yasin. Tak banyak karya yang pas dengan kriteria saya (siapa pula saya ini, sok membuat kriteria, hehe). Salah satunya, tulisan Kurnia Effendi.

Kef, begitu dia biasa dipanggil. Nama Nia Effendi rasanya sudah tak pernah dipakai lagi. Nama yang menyesatkan itu sekarang selalu ditulis lengkap. Kurnia Effendi. Sungguh, jauh di kemudian hari saya baru tahu, dia laki-laki. Judul cerita dan nama-nama tokohnya selalu puitis. Secara umum, penyampaian kisahnya cukup santun. Tokohnya saling menyukai secara elegan. Menghargai intelektualitas pembaca dengan selalu memberi ruang untuk kesimpulan mandiri. Dan, tulisan yang ringan dan enak dibaca itu, selalu dalam bingkai kaidah EYD. Nasionalisme saya merasa terwakili. Enak dibaca tanpa harus mengacak-acak bahasa.

Perkembangan teknologi membantu saya mengenal para penulis ini secara lebih pribadi. Saya berteman di Facebook dengan mereka. Walaupun senang bisa terhubung, tapi saya tahu diri. Hanya membaca tentang mereka jika pas muncul di layar ketika melihat-lihat resume aktivitas teman-teman. Jadi tetap saja perkenalannya maya dan tidak detil. Hanya dengan mas Emji Alif saya kenal cukup dekat karena dia seangkatan dengan suami di S3 UI.

Ketika akhirnya saya bertemu muka dengan mas Kef, peristiwanya membuat saya malu. Saat itu, peringatan 40 hari wafatnya pak Chudori, ayah Leila S. Chudori. Pak Chudori pensiunan di LKBN Antara, lembaga tempat suami saya mengabdi selama lima tahun penuh. Saya hadir mewakili suami yang sedang dinas ke luar kota. Sebelum acara resmi dimulai, saya memanfaatkan keleluasaan waktu mbak Leila untuk minta foto bersama. Saya minta tolong kepada seseorang yang dari tadi mengabadikan berbagai hal dengan kamera profesionalnya.

Setelah itu, kami sedikit berbincang-bincang. Saya dengan mbak Leila dan seorang temannya. Sang fotografer duduk tak jauh dari kami, sibuk dengan kameranya. Singkat kata, ketika tahu saya generasi pembaca tulisan Leila, dia bertanya, “Membaca tulisan Nia Effendi juga dong? Endah Sulwesi?”
Saya menjawab, “Endah saya ingat namanya. Tapi kalau Nia Effendi, saya sangat ingat. Karena saya suka sekali tulisan dia. Kumcer Burung Kolibri Merah Dadu saya baca berkali-kali.”
Mbak Leila dan perempuan itu tertawa. “Kamu tahu siapa yang tadi motret kita? Itu Nia Effendi!”
Waduh, malunya… Ternyata saya meminta tolong pada penulis idola saya sendiri! Dan perempuan disamping mbak Leila itu ternyata Endah Sulwesi. Oh, tidak… Antara senang dan ingin kabur.
“Beginilah nasib penulis zaman kita,” kata mbak Leila. “Nama boleh terkenal. Tapi wajah tak ada yang tahu.”

Setelah peristiwa itu, sesekali saya me-like atau berkomentar pada dinding FB mas Kef. Saya kirim buku Siwon Six kepadanya. Komentar mas Kef tentang cerpen saya membuat saya tersanjung dan percaya diri menulis. Sekitar 2 minggu lalu saya berkomentar tentang buku terbarunya, Teman Perjalanan. Saya tambahkan keinginan untuk menjadi peserta jika mas Kef punya acara tentang kepenulisan tak jauh dari Bogor.

Gayung bersambut. Secara kebetulan, mas Kef memang sudah ada rencana berbagi cara menulis kenangan menjadi karangan di Bogor. 26 Desember. Saya langsung menjadwalkan untuk hadir.

Membahas idola, mengingatkan pada sepupu saya Ajeng. Dia satu generasi di bawah saya. Generasi yang sudah punya pilihan saluran tivi lebih banyak dan lebih akrab dengan sinetron dan infotainment. Dari zaman dia ABG, satu nama yang akan dia sebut jika bicara tentang standar kombinasi baik, soleh, dan ganteng, yaitu Dude Herlino. Segala hal tentang kegantengan, tolok ukurnya Dude. Tak penting cerita sinetronnya apa, asal Dude yang main, akan ditonton. Miriplah dengan saya. Jika menemukan buku baru dengan penulis Kurnia Effendi, beli dulu, baca kemudian. Untungnya, sejauh ini, saya selalu puas dengan karya-karya khas mas Kef.