Minggu, 19 Mei 2013

Hujan dan Pelangi



Novel karya Idawati Zhang, Mikayla Fernanda, dan Ch. Marcia
Clara Ng Book Project
Penerbit Plot Point, April 2013               
                                                                 
            Senin pagiku yang cerah dihiasi Hujan dan Pelangi. Sebetulnya, baca novel ini jatah akhir pekan. Sayang tak sempat tersentuh. Tadi pagi saya paksakan memulai membaca. Dan saya terpaksa menunda urusan lain, karena kisah Sabrina dan Cammile memaksa saya membaca sampai tamat satu kali duduk. J
           
            Tokohnya typical anak sekarang, anak tunggal dari keluarga kaya yang semakin sempurna dengan segala prestasinya. Cantik pula. Punya pacar Ketua OSIS pula. Kurang apa lagi coba?
           
            Sampai hari itu. Hari ketika seorang murid baru dikenalkan di kelas pada pertengahan semester. Waktu yang tak wajar untuk pindah sekolah. Dan ternyata, tak hanya waktu, alasan dan kehidupan si murid baru ini juga tak umum. Cammile hadir dengan bekal selubung pergulatan emosi pribadinya.
            Teman-teman mungkin tak peduli. Tapi, bagi Sabrina, kehadiran Cammile justru menjadi awal bencana. 

            Sebenarnya, dari bab-bab awal sudah bisa diduga arah cerita. “Paling juga nanti terbuka fakta bahwa ternyata....” pikiran itu tak bisa terhindarkan dari kepala saat saya membaca. Saya melanjutkan membaca untuk membuktikan praduga itu.

            Sayang, saya lupa menjaga rasa. Jalinan kata menjerat emosi saya tanpa sempat saya pasang pengaman. Dua adegan utama sukses menghadirkan hujan dari kedua mata. Salut pada ketiga penulis. Berhasil menggiring pembaca ke puncak drama.

            Novel ini pun tak sekedar cerita. Ada pesan yang bisa dibawa pulang. Bagaimana bersikap saat harus makan buah simalakama. Dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati. Sikap yang diambil, ciptakanlah pilihan ketiga, rela mati agar bapak dan ibu tetap hidup.

            Novel ini juga mengajarkan bagaimana menyikapi masa lalu orang-orang di sekitar kita, dan meramunya agar justru menjadi manfaat bagi masa depan kita.

            Ada beberapa hal yang kurang tersampaikan dengan mulus. Saya mencoba memakluminya sebagai efek kerja tiga kepala. Tetapi, evolusi emosi sepanjang ceritanya dapet banget


            Novel Hujan dan Pelangi adalah hasil kerja sama tiga alumni kelas menulis novel secara online dari Plot Point, dibimbing oleh senpai Clara Ng. 

            Ini proyek luar biasa. Saya mendapat cerita tentang prosesnya, sebelum membaca bukunya. Jadi, sudah terbayang lebih dulu jungkir balik para penulisnya untuk menampilkan kata demi kata dalam novel 300-an halaman ini.

            Penyusunan plot, penulisan awal, dan terutama, bongkar pasang tulisan. Setelah plot detil disepakati, ketiganya mulai menulis bab demi bab secara paralel. Langsung tergambar di benak saya, bakal ajaib dong? Bukankah setiap orang punya gaya menulis yang berbeda?  Pilihan kata, gaya tutur, dan selera berbahasa pasti tak sama.

            Ternyata benar. Itu banget masalahnya. Proses bongkar pasang tulisan untuk menjahit sebuah cerita utuh ini yang paling menguras energi. Dan emosi.

            Dan perlu dicatat pula. Di awal proyek, 2 dari 3 penulis ini dalam kondisi hamil. Tahu sendiri dong emosi ibu hamil? Usai mereka melahirkan, apakah masalah selesai? Tentu tidak. Ada bayi yang harus diurus. Ada malam-malam harus begadang, ada saat-saat bayi tak mudah dimengerti. Belum lagi “anak sulung” dan kakak-kakak si bayi yang butuh perhatian tersendiri. Dilengkapi lagi dengan pekerjaan yang berkaitan dengan profesi selain sebagai penulis.

            Jadi, saya sudah angkat topi untuk Idawati Zhang, Mikayla Fernanda, dan Ch. Marcia sejak sebelum bukunya beredar di pasar. Benar yang dikatakan Clara Ng, bahwa mereka orang-orang yang “keras kepala” demi selesainya pekerjaan yang telah dimulai, melahirkan sebuah novel.

            Dan, setelah usai membaca sampai halaman terakhir, selain topi, saya angkat jempol juga. Keren!