Sabtu, 08 April 2017

Menerapkan Ide Memahirkan Anak Memilih Nilai


Tak sekedar membaca tulisan lama, tapi juga menemukan bahwa apa yang dulu ditulis itu ternyata menjadi benang merah cara kami mendidik anak dan sangat memudahkan kami di masa kini. Membudayakan kemahiran memilih nilai, itu judulnya.

Ditulis saat saya masih gadis, sebagai salah satu makalah dalam pertemuan 3 bulanan Forum Dialog Indonesia. Dibukukan satu tahun kemudian setelah saya menikah dengan salah satu penggagas forum ini. Katanya sih, dia memberi perhatian lebih setelah membaca tulisan saya itu.


Terserahlah alasan naksirnya mah, tapi tulisan saya menjadi perhatian dia  mungkin karena berbeda arah dari tulisan lain. Saat itu, 1993, asli minder dengan gagasan teman-teman yang luar biasa tentang Indonesia 2020. Ekonominya mesti beginilah, pemerintahannya mesti begitulah... Saya tidak menyentuh itu.

Saya menulis tentang pendidikan dari rumah. Dasar pemikirannya, melihat perkembangan teknologi saat itu. Televisi mulai ada lebih dari satu saluran dan seharian (sebelumnya, hanya ada TVRI, itu pun hanya tayang beberapa jam sehari). Internet mulai dikenal, tapi masih jarang dan mahal, dan perangkat yang dipakai adalah desktop computer yang segede gaban. (Fyi, gaban itu nama biskuit klasik, kotak, besar, bertekstur lubang tusukan seperti pada kue marie, beraroma roombuter, dan enak. ~Gak penting, abaikan). Telepon genggam? Belum ada, atau mungkin saya saja yang belum tahu.

Dalam situasi "sesederhana" itu, saya melihat ada potensi kerepotan orang tua di masa depan dibandingkan yang dihadapi orang tua generasi sebelumnya. Dulu, cara paling umum bagi orangtua dalam menjaga informasi yang sampai kepada anaknya adalah dengan "memilihkan".

Rumah adalah tempat paling steril. TVRI tayangannya terseleksi dari sononya, dan masa tayangnya adalah jam orangtua sudah di rumah. Buku bacaan, majalah mingguan, dan koran harian yang boleh ada di rumah, bisa dipilihkan. Teman anak bisa dipantau siapa orangtuanya, dimana rumahnya. Korespondensi bisa diketahui dari alamat surat yang diantarkan pak Pos.

Begitupun, anak-anak selalu saja punya akal untuk mendapatkan yang tidak boleh, untuk mengetahui yang dilarang. Tak perlu ditulis rinci ya, takut nanti jadi ide. 😃

Berdasarkan perkembangan teknologi dan cara mendidik yang umum inilah, saat itu saya membayangkan di masa depan orangtua akan sangat repot.

Informasi tak lagi datang sepihak, bertahap dan berjenjang. Jumlahnya lebih banyak, waktunya tak berbatas, dan datangnya dari segala arah.

Ketika ada beberapa saluran televisi, dan jam tayang masing-masing seharian, misalnya. Apakah orangtua akan tetap membatasi jam menonton dan menyeleksi saluran? Memasang pengatur saluran, atau bahkan meniadakan televisi dari rumah?

Menurut saya, itu tidak bermanfaat. Saat di rumah, mungkin anak tak bisa melihat. Apakah ada yang menjamin dia tak bisa melihat juga di luar rumah? Larangan di dalam rumah, berbanding lurus dengan rasa penasaran yang akan dicari jawabannya di luar rumah. Semakin tidak boleh menikmati sesuatu, ada "sense of jahiliyah" dalam diri anak yang membuatnya lebih keras berupaya menemukan apa sih yang berbahaya itu.

Dan... Saya melihat ada satu hal mendasar yang sangat kasat mata dari cara orangtua yang seperti ini. Ketidakpercayaan. Tidak percaya bahwa sang anak bisa melakukan hal baik untuk dirinya sendiri. Ini sebuah siklus. Dia tidak percaya anaknya bisa, karena mungkin memang dari kecil dikondisikan bahwa anak adalah makhluk yang tidak bisa segala sesuatu sehingga perlu diajari segala hal. Ini itu harus diberi tahu. Baik buruk harus dijelaskan. Benar salah harus diarahkan.

Lebih dalam lagi, ini menunjukkan kurangnya penghargaan kita pada kemampuan anak. Tak ada respek kita pada mereka.

Ya ampun, masa sih urusan nonton tivi saja kok bisa dianggap tidak respek pada anak? Itu kan justru menunjukkan bahwa kita orangtua yang bertanggungjawab, berbuat sesuatu untuk menjaga anak agar tidak ketelanjuran. Dll.
Pastinya banyak yang bakal komplen saya. Gak apa-apalah.  Bikin analisis sendiri saja ya. Ini kan analisis saya. Hehe.

Nah, ide yang saya tawarkan adalah, bagaimana kalau kita melangkah sebelum tahapan itu. Mengganti siasat. Bukan memilihkan, tetapi menyiapkan anak untuk bisa memilih sendiri. Bukan mempertimbangkan baik buruknya bagi anak, tapi menyiapkan agar anak terbiasa memutuskan sendiri ini baik itu buruk. Dan, ini sama sekali tidak bisa instan. Butuh waktu. Butuh telaten. Dan butuh niat kuat.

Sejak awal sekali, sejak batita. Ok, saya bahkan memulai sebelum itu. Saya memilihkan bapak calon anak saya lebih dulu. Saya gadis penuh kriteria. Saya ingin begini begitu, saya tak ingin begini begitu. Ups, kembali ke topik... fokus... fokus...

Jadi,
Sejak batita, latihan memilih ini sudah dimulai.
Pilihan teratur. Pilihan yang sudah kita atur, maksudnya. Misalnya, mau mandi sekarang atau setelah ambil bola? Mau baju yg biru atau yang kuning? Mau pisang atau alpukat? Mau dibacakan buku yang ini atau yang itu? Apapun respon dia, dua pilihan yang disajikan adalah dua hal yang kita ridho dia pilih. 😀

Pada prakteknya, ini tidak sederhana. Karena, anak adalah pembelajar yang luar biasa. Setelah satu dua kali sukses, kesempatan berikutnya seringkali dia memilih pilihan ke...tiga! Sebagai ibu, yang merasa paling maha tahu kebutuhan anak, ini bikin sedih. Tapi setelah tarik nafas panjang, biasanya justru bersyukur. Berarti anak kita sudah lebih pandai dari yang kita ajarkan. Dia memilih pilihannya sendiri. Mau mandi sama bonekalah, mau baju yang dari kakeklah, dll.

Respon kita atas setiap detil keputusan anak ini, yang -menurut saya- menentukan ke depannya. Bahwa, keputusan dia penting, bahwa dia telah mempertimbangkan segala sesuatunya demi kebaikan dia. Kok mau mandi sama boneka? Kan biar bonekanya sehat juga. Kenapa pakai baju dari kakek lagi? Dingin. Dll.

Kebiasaan begini ngefek juga. Lain kali, saat anak diminta mandi, dia akan mengajukan pertanyaan. Mengapa harus mandi? Mengapa sekarang? Boneka juga gak mandi gak jadi sakit. Dll. Kadang berbalas pantunnya lebih lama dari waktu yang dibutuhkan untuk mandi.

Saat-saat itu, sama sekali tidak ada kepastian tentang hasil apa yang akan saya tuai nanti. Apakah saya hanya buang-buang waktu melayani pertanyaan dan argumentasi anak? Saya meyakinkan diri, ini proses yang harus dilalui. Tak selalu berhasil. Kadang kalau buru-buru, ancaman khas ibu-ibu mulai keluar. Mandi sekarang atau ditinggal sendiri di rumah! Ah, ancaman hanya tahan 1-2 kali juga. Dengan wajah-lugu-tapi-tahu-mama-dalam-genggamanku, dia akan senyum-senyum jahil. Makin besar, makin jelas alasannya, karena sudah bisa mengungkapkan. Katanya, gak mungkin mama ninggalin aku, karena aku anak satu-satunya. Mmm...


Makin besar, triknya tentu makin banyak. Trik orang tua, maupun trik anak. Pelan-pelan mulai kita sebarkan batasan-batasan.

Terkait tontonan, misalnya. Seingat saya, hanya memberi batasan. Jika yang tampak dilayar "aneh-aneh", palingkan muka. Atau, jika di komputer, pindah laman.

Jadi, seiring waktu, seleksi sendiri ini menjadi refleks saja untuk dia.

Sesekali saya tanya tentang hal ini. Dari dia saya tahu, laman aneh-aneh tak perlu dicari. Membuka laman dengan nama-nama disney saja bisa muncul kok. Dan rasanya sering sekali kami berbincang yang diakhiri dengan ungkapan semacam, "alhamdulillah anakku sangat bisa dipercaya."

Mulai SMP kamarnya dilengkapi meja belajar sesuai permintaannya. Termasuk laptop juga. Dan, sejak dia gadis, saya mengajarkan untuk selalu  mengunci pintu kamar. Jadi, saya sangat berbeda dengan anjuran para pakar pendidikan anak yang meminta kita sering-sering memantau apa yang dibuka anak di komputernya, melarang anak main komputer di kamar, dll.

Saya yakin, dan saya sampaikan.juga krpada anak saya, bahwa dia anak yang bisa dipercaya. Saya ibu yang beruntung, tidak perlu mengawasi anak dengan cara memantau terus menerus.

Perkembangan teknologi ternyata jauh lebih luar biasa daripada yang terbayangkan oleh saya dulu. Tak sekedar saluran tivi lebih banyak dan kemampuan internet yang macam-macam saja, ternyata. Tetapi sekarang bahkan semua hal itu ada dalam genggaman anak kita dan ikut dia kemana saja.

Dan saya bersyukur, sangat bersyukur, melatih anak memilih sejak dini. Dia terbiasa mengambil keputusan sendiri, dia terlatih memilih. Dia paham nilai-nilai, mana yang baik mana yang tidak. Dia tahu nilai esensi atas sesuatu. Kadang bikin urut dada sih. Misalnya, saat melaporkan nilai ulangan yang di bawah KKM. Aku remed, Ma, katanya. Tapi, aku jujur gak nyontek, lanjutnya. Hehe. Saya di posisi senyum-senyum saja, karena dari kalimat inti saja dia sudah tahu kok, harus meningkatkan usahanya. Bukankah lebih keren kalau jujur dan bagus nilainya? Dst.

Maaf, agak melantur kesana kemari. Ini nulis di ponsel, sangat tidak nyaman untuk ngedit. Nanti saya edit setelah pulang ke rumah, minggu depan. Sekarang sedang di luar kota.

Intinya, dengan membiasakan anak memilih sendiri hal-hal sederhana yang terkait hidupnya sejak kecil, seiring waktu latihan memilih ini meningkat pada nilai-nilai, dan lama kelamaan menjadi sebuah sistem dalam dirinya sendiri. Dia akan menyaring sendiri info mana yang perlu, yang baik, yang benar. Tapi dia sama sekali  tidak diisolasi dari yang salah. Tidak perlu dijauhkan dari yang tidak benar. Dia bisa membedakan sendiri, dia bisa merasakan sendiri.

Hasil akhirnya, anak merasa dipercaya, dan karenanya akan berusaha untuk menunjukkan kepercayaan itu tidak sia-sia. Anak senang karena orangtuanya tidak "rese" sebentar-sebentar menelepon, sedikit-sedikit bertanya, bahkan mengintip ponsel maupun laptopnya. Dan, ketika dalam pergaulan dia menemukan teman yang dibegitukan orangtuanya, dia sangat merasa bersyukur tidak mengalami hal yang sama.

Jika, apa yang menjadi dasar ide saya ini bisa kita jadikan langkah bersama para orang tua, alangkah serunya masa depan bangsa ini. Anak-anak tumbuh dalam pendidikan rumah yang berlandaskan sikap respek pada kapasitasmya sebagai manusia.






Minggu, 02 April 2017

SERUNYA MELAPORKAN SPT TAHUNAN





Akhir Maret tidak hanya masa sibuk bagi pegawai Kantor Pajak, tetapi juga masa rumit Wajib Pajak. Maaf, tepatnya, masa rumit bagi saya saja selaku kokonsultanpajakan (bertindak seperti konsultan pajak 😊 ) dari suami. Sudah bertahun-tahun saya melakukannya dan gak pinter-pinter. Tiap jatuh tempo laporan, tiap kali pula saya harus banyak bertanya.

Setiap tahun ada saja yang saya perlu tanyakan. Setiap tahun pula heboh di detik-detik menuju saat April Mop. Ada kesadaran untuk tidak mepet lapor. Dari awal Januari sudah wanti-wanti ke suami untuk minta bukti potong pajak dari para pemberi kerja. Pada prakteknya, ada saja data yang baru diterima di hari-hari terakhir masa pelaporan. Jadi, tetap lapornya hari terakhir.

Karena berulang dan saya tahu semua orang di Kantor Pajak sibuk pada masa-masa ini, biasanya saya bertanya pada orang-orang yang berbeda antar tahunnya. Beruntung ada beberapa teman maupun saudara yang mengabdi di sana, dengan penempatan di kota yang berbeda-beda. Tahun ini, langkah pertama saya adalah ke loket konsultasi dengan membawa selembar catatan. Saya mencoba menuliskan data yang saya punya, baik itu tentang pemberi kerja, maupun hal-hal lain yang bagi saya kurang jelas. Poin-demi-poin telah saya tanyakan dan merasa yakin kali ini akan lebih mudah mengisi formulir.

Saat tiba waktunya melengkapi data, tetap saja bingung. Saya merasa akan tidak pas kalau data ini masuk ke kolom itu, sesuai arahan pas konsultasi. Saya pun perlu bertanya pada yang mengerti. Tahun ini yang saya ganggu adalah sepupu dan teman kuliah saya. Terima kasih ya bersedia ditambah kerepotannya…

Mengapa isian laporan pajak saya rumit? Sementara, orang lain merasa mudah-mudah saja melakukannya.
Wajib Pajak paling beruntung adalah mereka yang bekerja di satu kantor saja, dengan gaji bulanan, dan tidak punya penghasilan tambahan. Kantor-kantor biasanya sudah membuatkan bukti potong pajak dalam format Formulir 1721-A1. Mereka tinggal mengambil formulir laporan 1770S atau 1770SS di Kantor Pajak. Menyalin data dari 1721-A1 ke halaman pertama formulir laporan. Halaman-halaman berikutnya tinggal mengisi data pribadi dan daftar harta tidak bergerak ataupun penghasilan tidak kena pajak. Selesai.

Pekerja kantoran yang mempunyai penghasilan tambahan, mulai butuh usaha dalam melaporkan SPTnya. Halaman pertama 1770S maupun 1770SS tidak lagi diisi sama dengan data di 1721-A1. Wajib Pajak harus mengisi formulir mulai dari halaman belakang, mundur menuju ke halaman pertama. Mengapa? Karena halaman pertama adalah kesimpulan informasi dari data di halaman-halaman dalam. Tidak perlu khawatir masalah pengisian data di halaman pertama. Di setiap barisnya ada keterangan. Data diambil dari halaman mana kolom berapa, atau dari hasil perhitungan baris yang ini dengan baris yang itu.

Yang sering membingungkan justru karena detilnya formulir tersebut dan kita tidak tahu penghasilan yang ini masuk ke kelompok yang mana. Selain itu, pada lembar potong pajak yang kita terima dan bukan final, ada kolom penghasilan bruto dan kolom dasar pengenaan pajak. Sementara, dalam formulir, ada kelompok penghasilan neto. Apakah dasar pengenaan pajak sama dengan penghasilan neto, tidak begitu saja orang awam paham.

Setelah halaman 2 sampai akhir terisi, beberapa baris halaman pertama tinggal diisi berdasarkan data yang sudah ada. Beberapa baris berikutnya didapat dari hasil perhitungan. Tambah, kurang, kali. Ada unsur Penghasilan tidak kena pajak. Ini harus lihat tabel. Angkanya sudah tetap, sesuai dengan kondisi keluarga. Apakah sendiri, ada istri/suami, dan dari jumlah anak. Sisa pengurangan penghasilan total dan penghasilan tidak kena pajak, akan dikalikan dengan persentase tertentu, sesuai dengan angkanya. Misalnya, jika sisa di bawah Rp 50.000.000, maka pajak yang harus dibayar adalah 5%nya. 



Pengisian Bagian A dari 1770S-I, penghasilan yang pemotongan pajaknya tidak final, akan berakibat tidak nol-nya selisih pajak yang harus dibayar dan yang telah dibayar. Artinya, bisa lebih bayar atau kurang bayar.
Jika kurang bayar, kita harus mendaftar dulu untuk mendapat id-billing, membayar kekurangan itu ke bank atau dari kantor pos, baru kemudian bisa melaporkan SPTnya dengan melampirkan bukti bayar tadi.
Tetapi, jika lebih bayar, jangan harap uang kita kembali segera. Kita harus melaporkan SPTnya dulu. Pihak Kantor Pajak akan memeriksa data kita lebih detil untuk memastikan benar ada kelebihan bayar. Jika benar, baru akan dilaporkan ke pusat untuk dibayarkan. Masa tunggunya tidak 1-2 hari. Tahap pemeriksaan ini yang bisa makan waktu. Data yang diperiksa tak hanya data yang sudah tercantum saja. Akan ditanya juga penerimaan-penerimaan lain yang mungkin sebelumnya tidak kita perhitungkan untuk dilaporkan. Tidak selalu orang tidak melaporkan sesuatu itu karena keinginan menyembunyikan. Bisa saja karena memang tidak tahu bahwa itu termasuk objek pajak.

Karena rumitnya proses pengembalian kelebihan bayar pajak ini, para petugas di lapangan seringkali meminta kita memeriksa ulang data sebelum laporan diterima. Maksudnya baik, agar kita tidak rumit sendiri mengurus pengembaliannya. Kadang mereka menyarankan menuliskan selisih sama dengan nol jika terjadi kelebihan bayar artinya, kita menganggap selesai urusan. Saya pernah mendapatkan hasil perhitungan yang menghasilkan lebih bayar tapi tidak banyak. AR saya waktu itu menyarankan menjadikan nol. Saya mempertanyakan kebijakan ini. Apalagi, 2 petugas sebelumnya menjelaskan cara menjawab yang berbeda sehingga hasilnya adalah kurang bayar. Tapi akhirnya tahun itu saya hanya melaporkan pembayaran pajak dari 1 pemberi kerja yang buktinya dalam format 1721-A1 saja, agar praktis. Toh para petugas juga berbeda pendapat tentang kasus saya.

Tahun berikutnya, pekerjaan suami saya lebih “lepas” lagi. Tidak ada yang bisa diklaim sebagai kantor utamanya. Demi kepraktisan, kembali saya hanya melaporkan 1 instansi yang bukti potongnya sudah dalam format 1721-A1.

Di tahun itulah, 2016, pemerintah menggalakkan Tax Amnesty. Saya sempat degdegan. Tapi saya merasa tidak bersalah. Tax Amnesty kan lebih ke aspek asset. Tentang asset yang kami miliki, datanya tidak ada yang ditutupi. Tahun lalu itu saya hanya tidak melaporkan semua, dan ini berarti ada pajak yang sudah dibayarkan tapi tidak diklaim melalui laporan SPT. Posisi kami jadi seperti memberi sedekah ke negara kan? Hehe.

Tahun ini, saya bertekad melaporkan SPT Tahunan dengan benar. Tidak mengambil gampangnya saja. Dari Januari saya sudah minta suami mengumpulkan bukti-bukti potong pajak ke para pemberi kerjanya. Tetap saja ujung-ujungnya mepet. 31 Maret pagi masih menerima e-mail kiriman file bukti potong pajak.

Awal Maret saya sudah ambil formulir. Baru 30 Maret saya ke kantor pajak dengan bukti potong belum lengkap. Tidak ke loket laporan, tapi konsultasi dulu. Saya sudah membuat daftar informasi. Data yang saya punya apa saja. Saat konsultasi, saya tanyakan data ini diapakan. Masuk kolom mana, tergolong unsur apa, dll. Saat itu saya merasa jelas. Sesampainya di rumah, saya coba isikan. Ternyata angkanya tidak pas. Oya, tahun ini saya ambil formulirnya 1770 karena sifat kerja suami yang “lepasan”. Formulir 1770 ini lebih rumit dari 1770S, menurut saya. Karena mepet dan bingung, saya konsultasi lagi melalui telepon dengan saudara di Pekalongan dan teman di Balikpapan. Terimakasih sekali mereka tetap bersedia membantu walau sedang sibuk.

Ada perbedaan petunjuk cara mengisi. Ini berakibat kebeda jumlah kurang bayar. Dan hari itu saya sudah di batas lelah. Lelah fisik karena beberapa hari terakhir banyak beredar antar kota antar provinsi (sebetulnya hanya antara Bogor Jakarta sih 😊) dan lelah mental karena kesal pada diri sendiri, gak pinter-pinter aja bikin laporan pajak. Jumat siang itu, setelah sepagian antri untuk dapat id-billing, bertanya-tanya, dan berusaha melengkapi laporan di rumah, saya malah tertidur lama. Tubuh tak bisa dipaksa. Niat memejamkan mata 15 menit jadi keterusan berjam-jam. Lalu saya pun menyerah. Tidak menyelesaikan proses pelaporan hari itu.

Saya mau memikirkan yang lain dulu. Apalagi ini akhir pekan. Memasak dan bercengkrama dengan anak dan suami saja. Minggu depan saja saya selesaikan dan laporkan. Biarlah didenda, daripada saya muntah darah, eh muntah pajak. Tapi rupanya sistem masih berpihak pada saya. Gosip perpanjangan masa pelaporan ternyata fakta, bukan hoax. Jadi, saya tidak harus menyelesaikan malam ini. Karenanya, saya bisa menuliskan ini dulu, komitmen 1 minggu 1 cerita.