Tampilkan postingan dengan label Profil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Profil. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 Desember 2015

Dude-ku



Tak sabar menunggu besok. Sabtu terakhir sebelum pergantian tahun, akan saya habiskan bersama idola. Tak jadi soal rentang itu begitu lama, sejak saya remaja hingga sekarang anak saya sudah remaja. Kedatangannya ke kota Bogor seolah sengaja untuk bercerita kepada saya. Tentang bagaimana mengunggah peristiwa ke dalam sebuah cerita.

Waktunya sangat tepat. Saya punya hutang tulisan kepada sahabat. Memfiksikan kisah nyata. Hampir 4 kali pesta tahun baru berlalu, saya belum sanggup melunasi. Banyak juga ide yang mencuat berdasarkan interaksi saya dengan teman-teman. Masih berupa file-file nyaris kosong, karena baru berisi beberapa kalimat uraian singkat kisah dengan judul yang saya jadikan nama file.

Sebagai gadis generasi Anita Cemerlang, waktu luang saya tidak banyak dihabiskan di depan televisi. Kalaupun akan nonton, TVRI juga  hanya siaran pukul 17.00 sampai 22.00. Saya lebih suka membaca. “Musim Gugur di Ganesha” Arya Gunawan memperkuat keinginan saya kuliah di ITB. Cerita-cerita Emji Alif membayar keinginan saya mendaki gunung yang merupakan aktivitas terlarang di keluarga. Buku “Malam Terakhir” Leila S. Chudori benar-benar seperti irigasi yang membantu mengalirkan pikiran dan pertanyaan liar saya tentang feminisme dan kebebasan berpendapat, barang langka saat itu. Dan, ada Nia Effendi yang membelai sisi romantis secara elegan dan tidak cengeng.  

Tahun-tahun berlalu. Dunia perbukuan di Indonesia lebih bergairah. Penulis dan tulisan makin beragam. Saya terjebak, dengan bangga, pada standar lama. Kualitas itu berkaitan erat tak hanya dengan tema, tetapi juga bahasa. Beruntung saya menjadi murid ibu Indartati di SMP, pemirsa setia acara J. S. Badudu di TVRI, dan “dibimbing” H. B. Yasin. Tak banyak karya yang pas dengan kriteria saya (siapa pula saya ini, sok membuat kriteria, hehe). Salah satunya, tulisan Kurnia Effendi.

Kef, begitu dia biasa dipanggil. Nama Nia Effendi rasanya sudah tak pernah dipakai lagi. Nama yang menyesatkan itu sekarang selalu ditulis lengkap. Kurnia Effendi. Sungguh, jauh di kemudian hari saya baru tahu, dia laki-laki. Judul cerita dan nama-nama tokohnya selalu puitis. Secara umum, penyampaian kisahnya cukup santun. Tokohnya saling menyukai secara elegan. Menghargai intelektualitas pembaca dengan selalu memberi ruang untuk kesimpulan mandiri. Dan, tulisan yang ringan dan enak dibaca itu, selalu dalam bingkai kaidah EYD. Nasionalisme saya merasa terwakili. Enak dibaca tanpa harus mengacak-acak bahasa.

Perkembangan teknologi membantu saya mengenal para penulis ini secara lebih pribadi. Saya berteman di Facebook dengan mereka. Walaupun senang bisa terhubung, tapi saya tahu diri. Hanya membaca tentang mereka jika pas muncul di layar ketika melihat-lihat resume aktivitas teman-teman. Jadi tetap saja perkenalannya maya dan tidak detil. Hanya dengan mas Emji Alif saya kenal cukup dekat karena dia seangkatan dengan suami di S3 UI.

Ketika akhirnya saya bertemu muka dengan mas Kef, peristiwanya membuat saya malu. Saat itu, peringatan 40 hari wafatnya pak Chudori, ayah Leila S. Chudori. Pak Chudori pensiunan di LKBN Antara, lembaga tempat suami saya mengabdi selama lima tahun penuh. Saya hadir mewakili suami yang sedang dinas ke luar kota. Sebelum acara resmi dimulai, saya memanfaatkan keleluasaan waktu mbak Leila untuk minta foto bersama. Saya minta tolong kepada seseorang yang dari tadi mengabadikan berbagai hal dengan kamera profesionalnya.

Setelah itu, kami sedikit berbincang-bincang. Saya dengan mbak Leila dan seorang temannya. Sang fotografer duduk tak jauh dari kami, sibuk dengan kameranya. Singkat kata, ketika tahu saya generasi pembaca tulisan Leila, dia bertanya, “Membaca tulisan Nia Effendi juga dong? Endah Sulwesi?”
Saya menjawab, “Endah saya ingat namanya. Tapi kalau Nia Effendi, saya sangat ingat. Karena saya suka sekali tulisan dia. Kumcer Burung Kolibri Merah Dadu saya baca berkali-kali.”
Mbak Leila dan perempuan itu tertawa. “Kamu tahu siapa yang tadi motret kita? Itu Nia Effendi!”
Waduh, malunya… Ternyata saya meminta tolong pada penulis idola saya sendiri! Dan perempuan disamping mbak Leila itu ternyata Endah Sulwesi. Oh, tidak… Antara senang dan ingin kabur.
“Beginilah nasib penulis zaman kita,” kata mbak Leila. “Nama boleh terkenal. Tapi wajah tak ada yang tahu.”

Setelah peristiwa itu, sesekali saya me-like atau berkomentar pada dinding FB mas Kef. Saya kirim buku Siwon Six kepadanya. Komentar mas Kef tentang cerpen saya membuat saya tersanjung dan percaya diri menulis. Sekitar 2 minggu lalu saya berkomentar tentang buku terbarunya, Teman Perjalanan. Saya tambahkan keinginan untuk menjadi peserta jika mas Kef punya acara tentang kepenulisan tak jauh dari Bogor.

Gayung bersambut. Secara kebetulan, mas Kef memang sudah ada rencana berbagi cara menulis kenangan menjadi karangan di Bogor. 26 Desember. Saya langsung menjadwalkan untuk hadir.

Membahas idola, mengingatkan pada sepupu saya Ajeng. Dia satu generasi di bawah saya. Generasi yang sudah punya pilihan saluran tivi lebih banyak dan lebih akrab dengan sinetron dan infotainment. Dari zaman dia ABG, satu nama yang akan dia sebut jika bicara tentang standar kombinasi baik, soleh, dan ganteng, yaitu Dude Herlino. Segala hal tentang kegantengan, tolok ukurnya Dude. Tak penting cerita sinetronnya apa, asal Dude yang main, akan ditonton. Miriplah dengan saya. Jika menemukan buku baru dengan penulis Kurnia Effendi, beli dulu, baca kemudian. Untungnya, sejauh ini, saya selalu puas dengan karya-karya khas mas Kef.

Jumat, 07 November 2014

SUDUT



          Seperti biasa, saat perjalanan pagi menuju sekolah, kami melewati wilayah Bina Insani, sekolah anak saya saat SD. Obrolan beralih ke serunya masa SD. Kali ini tentang guru Matematika sekaligus walikelas di kelas 6. Pak H. Sukarna. Pak Karna contoh guru yang mengajak murid berpikir kreatif. Mungkin, suasana seperti ini juga yang dimaksud oleh Kurikulum 13. Keterintegrasian bahasan.

          Ini topik ulangan. Maksud saya, sudah berulang kami bahas. Tapi selalu seru. Saya mencoba menggambarkan suasana kelas. Beberapa contoh mungkin tidak persis benar, maklum peristiwanya sudah 2 tahun lalu. Sebagian sudah lupa detilnya.



          Siang itu, masa awal kelas 6, pelajaran Matematika yang diajarkan Pak Karna memasuki bab SUDUT. Murid-murid kelas 6E yang sedang menikmati euforia menjadi anak tertua di sekolah, lupa mengingat bahwa masih ada yang lebih senior dari mereka. Guru. Mereka bersama-sama ingin “mengenal’ lebih baik wali kelasnya.

          Di sisi lain, anak-anak kelas 6E ini sudah kompak sejak kelas 4. Jadi, di mata para guru, mereka perlu berbekal materi khusus saat akan masuk kelas. Sabar. :)



Guru      :  Hari ini kita akan bahas tentang SUDUT. Kalian sudah paham kan apa yang disebut sudut?
Murid    :  Tahu, pak. Tapi....apa gunanya kita tahu sudut?
Guru      :  Oh, banyak. Banyak sekali.
Murid ke-1 : Misalnya?
Guru      : Misalnya, di kelas ini saja, kalian tentu melihat banyak sudut. Sudut ruangan, sudut di meja, sudut di lemari...
Murid ke-2 : O iya, ya... Tapi, apa gunanya sudut di pelajaran IPA?
Guru      : Wah, itu justru intinya.. Kalian perlu sudut untuk ukur elevasi/ketinggian gedung, kalian perlu sudut yang tepat saat menarik barang, misalnya.
Murid ke-3  : Baiklah, Pak. Kalau penggunaan Sudut di pelajaran IPS?
Guru      : Penting sekali. Raja-raja di masa lalu jika duduk harus tegak di kursi kebesarannya, membentuk sudut 90 derajat.
Murid ke-4  : Bagaimana kalau di pelajaran agama ?
Guru      : Oh, ini luar biasa. Puncak ibadahnya umat Islam itu di Masjidil Haram. Kita bisa berdoa sepuas-puasnya di salah satu sudut Ka’bah. Khusyuk. Nikmat...
Murid ke-5  : Tapi Sudut tak terpakai di rumah!
Guru      : Kata siapa? Memangnya kalian tak perlu menghitung, seberapa besar sudut yang harus dibentuk ketika duduk di kloset agar saat buang air besar kalian nyaman?
Sebagian murid teriak : Iiiih, Bapak jorok...
Guru      : Lho, ini ilmiah. Kalau sudut lutut kalian lebih besar dari 90 derajat, emang enak b.a.b.-nya?  Begini, mau? *sambil memeragakan posisi jongkok tapi lebih besar dari siku-siku.
Murid ke-6 : Sudut gak mungkin bisa dipakai di pelajaran bahasa Indonesia.
Guru      : O ya? Mau bukti?
*beliau ambil bunga dari vas di meja guru, berlari ke salah satu pojok kelas. Dan, sambil mata dikejap-kejapkan, beliau berpuisi penuh perasaan, “ Di sudut ini aku menunggumu...”
Sekelas pun teriak : Bapak lebaaay......

            Seingat saya, murid kelas 6E ini pun takluk. Tunduk dan hormat kepada Bapak Walikelas yang luar biasa ini. Suasana kelas semakin menyenangkan. Mereka tetap kritis, tetapi mereka tahu, guru selalu selangkah lebih dari mereka. Lebih pandai, lebih paham, dan lebih bijak.

Kamis, 03 Juli 2014

M. NATSIR : PESAN ISLAM TERHADAP ORANG MODERN (3)


                   
          Buku bagian ketiga tulisan saya tentang pak Natsir menampilkan ringkasan sambutannya pada pembukaan Konferensi Islam dan Tata Internasional Baru di Tokyo, Jepang tahun 1976. Serta ringkasan ceramah beliau di jakarta pada accara yang diselenggarakan yayasan Idayu, untuk menyampaikan pengalaman Pak Natsir di London, Inggris, menjadi pembicara pada World of Islamic Festival. Kepakaran beliau diakui banyak pihak. Seumur hidupnya, M. Natsir menerima 3 gelar Doktor Honoris Causa. 1 dari Libanon dan 2 dari Malaysia.

          Ketiga. Sambutan tahun 1981 di Jepang. Moral Islam untuk Solidaritas.  
 *saya pikir ini sambutan yang dibacakan saja. Karena berdasarkan data, M.. Natsir sebagai salah satu penandatangan petisi 50 tahun 1980, dicekal untuk ke luar negeri. tak ada keterangan dalam buku yang saya baca tentang ini.

          Inti sambutan pendek ini adalah, menyampaikan kembali sepuluh program aksi hasil KTT Taif yang menyertai Deklarasi Mekkah. Mengingatkan juga bahwa tantangan terbesar awal abad 15 H adalah penciptaan suatu orde ekonomi yang lebih berimbang. Dan, harapan serta apresiasi atas dukungan moral pemerintah Jepang terhadap kegiatan konferensi Islam di sana sebagai suatu prospek cerah bagi terbitnya era baru, suatu era kemauan dan  pengertian bersama, dimana yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, bersama-sama menyusuri jalan bagi akomodasi bersama sebagai ganti konfrontasi yang tak pernah selesai.

          Keempat. Ceramah di Jakarta 1976. World of Islam Festival Dalam Perspektif Sejarah.

          M. Natsir sempat hadir 10 hari di London menghadiri World of Islamic Festival. Acara ini sendiri berlangsung selama 3 bulan. Banyak hal dilakukan untuk mengenalkan Islam kepada dunia. Pameran, misalnya, mendatangkan koleksi dari puluhan negara Islam, termasuk Indonesia. 

          Ada 30 pameran selama festival. Pertunjukan-pertunjukan, walau ada 1-2 yang ternyata justru tidak Islami karena ketidaktahuan dan terlalu bersemangat mengenalkan Islam. Misalnya ada tari-tarian dengan pakaian terbuka, atau lukisan yang bersiluet Rasulullah. 

         Pemutaran film. Panitia membuat 6 film, yang diputar sebagai pengantar ceramah yang berkaitan dengan film tersebut. M. Natsir sendiri datang ke sana menjadi pembicara di salah satu sesi ceramah  dan konferensi. Ada 62 pembicara. 

          Publikasi, ada 8. Pelaksanaannya tentu tak hanya di satu tempat, tetapi menyebar, termasuk di kampus-kampus utama Inggris.

          Intinya, “Untuk menunjukkan kepada Dunia Barat betapa besarnya sumbangan yang telah diberikan Islam kepada kebudayaan-kebudayaan di seluruh dunia.”

          Sambutan dari pemrakarsa dan direktur acara ini, Paul Keeler, nonmuslim. Diantaranya, “Dewasa ini Islam sedang bangun dari penderitaan akibat dominasi Eropa selama 200 tahun atasnya. Sekarang sedang berlaku satu reformasi, satu proses perubahan yang pada hakikatnya di seluruh dunia. Menurut hemat saya, orang Barat belum lagi memahami rasa dan pemikiran orang Islam. Saya berpendapat, festival ini akan mempertemukan manusiamuslim dan manusia Eropa...” Natsir menulis, untung bukan saya atau seorang muslim yang mengatakan itu, karena akan dianggap melakukan apologi.

          Festival ini tentu dinilai beragam oleh berbagai pihak, termasuk organisasi yang bukan Islam. Setidaknya, sudah ada upaya yang dilakukan.

          Natsir menuliskan juga beberapa teman pembicara dan topiknya. Diantaranya Abul A’la Al-Maududi dan Muhammad Qutb. Subhanallah, tulisan mereka adalah bacaan wajib aktivis mesjid generasi saya, dan pak Natsir satu panggung dengan mereka.

          Demikianlah "salinan" saya dari sebagian buku M. Natsir, Peran Islam Terhadap Orang Modern. Orang besar yang lahir di Solok 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993 ini menginspirasi banyak orang, bagaimana cara berdakwah dalam politik dan berpolitik dalam dakwah. Hampir semua yang mengenalnya mengakui berlimpahnya contoh sifat mulia yang beliau punya.

          Buku ini hanya salah satu dari 45 buku yang M. Natsir tulis seumur hidupnya, di samping ratusan karya tulis lepas lain. 

          Pak Natsir adalah "lawan"  Bung  Karno secara ideologi, sehingga  mereka berdua sering berbeda pendapat. Satu hal yang sering menjadi pembeda mereka berdua, dalam nuansa canda, adalah urusan poligami. Pak Natsir sebagai pejuang nilai-nilai Islam, tentu termasuk di dalamnya topik poligami sebagai sesuatu yang dibenarkan dalam aturan agama. Tetapi, sampai akhir hayatnya, pak Natsir setia pada satu istri, Nurnahar, yang dinikahinya 20 Oktober 1934,  dan memberinya 6 anak. Sedangkan Bung Karno, tak pernah sekalipun kita mendengar pendapat beliau tentang  poligami, tetapi beliau adalah pelaku aktif. Maka, jika anda seorang perempuan ingin bersuamikan politisi, tanyakan dahulu, kepada siapa laki-laki ini berguru, Bung Karno atau Pak Natsir. :)

          Salah satu yang merupakan contoh langka pada masa kini adalah kesederhanaannya. M. Natsir dikenal sebagai menteri yang tak punya baju bagus, jasnya bertambal, tak punya rumah, dan menolak hadiah mobil mewah. puntak meninggalkan warisan banyak, sehingga rumah beliau di Menteng dijual keturunannya karena tak sanggup membayar pajak.

          Berikut petikan puisi Taufik Ismail dalam peringatan 100 tahun wafat M. Natsir. dan penetapan beliau sebagai pahlawan nasional Indonesia 10 November 2008.
"... Rabbana...Rabbana...Rabbana...
Jangan biarkan kami menunggu 100 tahun lagi untuk tibanya pemimpin-pemimpin bangsa yang mencerahkan, dan bercahaya kilau kemilau, serupa berlian... "

M. NATSIR : PESAN ISLAM TERHADAP ORANG MODERN (2)



          Buku saku tipis kumpulan 4 tulisan M. Natsir tak sanggup saya ringkas. Takut mengubah makna, atau salah tafsir akibat keterbatasan saya. Akhirnya, saya lebih banyak mengutip kalimat-kalimat utama dari semua kalimat yang sudah utama. Bagian kedua ini lanjutan, sebaiknya dibaca setelah membaca bagian pertama dari judul yang sama.

          Kedua. Ceramah 1976 di Pakistan. Pesan Islam Terhadap Orang Modern. 

          Kembali, dalam ceramah ini, M. Natsir menggunakan QS Ali Imran ayat 112 sebagai dasar. Sementara, penggunaan kata modern dalam judul, merujuk pada definisi orang modern menurut Profesor Alex Inkeles dari Universitas Harvard. Inkeles menyebutkan ada 9 ciri-ciri tentang orang yang modern. Dan  M. Natsir mencoba menyampaikan bahwa ke-9 ciri tersebut sebenarnya sudah sangat lazim bagi telinga kaum muslimin. M. Natsir membahasnya bagaimana pendapat Islam tentang itu, persamaan-persamaannya sampai batas tertentu, dan awal perbedaan.

1.      Inkeles : kesediaan untuk menerima pengalaman baru, dan keterbukaan bagi penciptaan baru dan perubahan.
Natsir : Islam pada asal mulanya adalah suatu revolusi terhadap kecanggungan dan kekakuan cara berpikir. Kisah Nabi Ibrahim menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Islam memajukan penggunaan akal pikiran, bahkan untuk mencari kebenaran tentang keberadaan Tuhan.

Inkeles : kesediaan untuk pembaharuan dan mengadakan perubahan haruslah menjadi “sikap jiwa”. Atau, need for achievement (Cavid C Mc Celland, Harvard).
Natsir : dalam Islam, itu harus menjadi sikap hidup. Salah satu penggambarannya, dari hadits “Jika kiamat sudah diambang pintu, dan ada sebutir biji korma di tangan, maka tanamlah. Engkau mendapat pahala karenanya.” Hadits ini menggiring kita pada jangkauan terjauh dalam mendorong orang untuk melakukan perbuatan benar, tak peduli apakah kita akan mendapat keuntungan dari perbuatan ini atau tidak, di dunia.

Inkeles : kemajuan kebendaan dan kepesatan teknologi haruslah dianggap sebagai batas akhir yang dicapai oleh modernisasi.
Natsir : Dalam pandangan Islam, kemajuan teknologi itu hanyalah suatu cara ke arah tujuan yang lebih tinggi, yaitu al ihsan—melakukan perbuatan yang benar, tanpa mengharapkan suatu imbalan (lihat QS Al Qashash ayat 77).

2.      Inkeles : mempunyai tanggapan untuk menyusun atau memiliki pendapat terhadap aneka persoalan yang luas serta terhadap pokok-pokok acara yang terbit tidak saja di lingkungannya yang dekat, tetapi juga di luarnya; dan tanggapannya terhadap lingkungan pendapat adalah lebih demokratis.
Natsir : Islam mengajarkan kepada pemeluk-pemeluknya untuk berpikir dalam ukuran jangkauan cakrawala sejarah yang luas. Lebih luas lagi adalah, tak hanya perhatian pada urusan keduniaan tetapi juga mencakup kehidupan akhirat.

Tentang demokratis, Natsir mencontohkan Rasulullah. Walaupun selalu dalam bimbingan Allah secara real, beliau membuat cara bermusyawarah dengan sahabat sebagai dasar basgi setiap laku sehari-hari, dari mulai hal remeh sehari-hari sampai ke penempatan pasukan tentara dalam perang.

Banyak orang menganggap diri “modern” dengan melekatkan kata “demokratik” pada perilakunya, padahal seringkali tak sesuai.

Seringkali ditemukan bahwa demokrasi dilekatkan lebih banyak kepada bentuk-bentuk struktural daripada kepada hakikatnya. Demokrasi dijabarkan dengan berdirinya berbagai cabang pemerintahan, seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Demokrasi dibuktikan dengan pemilihan umum setiap  waktu, dimana pemilih disuguhi dengan seorang, dua orang, atau lebih calon yang dipungut melalui cara yang samar-samar di ruang belakang, penuh dengan dagang sapi, basa-basi,  dan janji-janji yang tidak ditepati.

Menurut Natsir, saripati demokrasi bukanlahbentuk lahirnya serta strukturnya, melainkan keyakinan yang murni terhadap martabat orang per orang. Oleh karena itu, sukses setiap usaha demokratis, tidaklah dapat dinilai dari seringnya mengadakan pemilihan umum, tetapi haruslah dilihat dengan ukuran-ukuran tentang seberapa jauh tindakan-tindakan dan kelakuannya itu sesuai dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan menambah martabat manusia sebagai orang seorang..

3.      Inkeles : orientasinya kepada masa kini dan masa depan, melebihi kepada masa lampau.
Natsir : bagi umat Islam, waktu adalah keyakinan, perbuatan yang benar, dan saling memperingatkan satu dengan yang lainnya kepada yang haq dan kesabaran. (lihat QS Al ‘Ashr). Maksud shalat beberapa waktu bergantian, peredaran siang dan malam, semata-mata menanamkan kesadaran kepada kaum muslimin akan penghargaan terhadap waktu.

4.      Inkeles : mengarah kepada keterlibatan dalam perencanaan dan organisasi, dan percaya terhadapnya sebagai suatu cara untuk menangani kehidupan.
Natsir : kembali kepada al ihsan. Selain berarti memberikan sadaqah, kebaikan, dan belas kasih, al ihsan juga adalah melakukan suatu pekerjaan dengan cara yang sebaik-baiknya. Termsuk di dalamnya perencanaan dan pengorganisasian. Setelah melakukan sesuai dengan kemampuan kita, sepenuh daya dan usaha, kita serahkan segala urusan kembali kepada Allah Yang Mahakuasa.

5.      Inkeles : percaya bahwa manusia itu bisa belajar, dalam tingkat yang nyata, untuk menguasai alam lingkungan demi untuk memajukan tujuannya dan sasarannya sendiri, daripada sebaliknya dikuasai sepenuhnya oleh alam lingkungannya itu.
Natsir : dalam hal ini Inkeles agak terpeleset. Benar bahwa kemajuan ilmu pengetahuan sangat pesat dan mengesankan. Tetapi, itu hanya setitik jika dibandingkan dengan keluasan cakrawala yang hendak dijangkaunya. Selain itu, seringkali kita temukan, pemecahan terhadap suatu masalah menuntun kepada terungkapnya sejumlah persoalan baru akibat pemecahan masalah sebelumnya.

Ajaran Islam mengedepankan penggunaan pikiran, mendukung peningkatan ilmu pengetahuan, tetapi tidak diperkenankan untuk mengagung-agungkan alam pikiran itu, atau lebih buruk lagi mempertahankannya.
Seluruh alam semesta diciptakan bagi kemanfaatan manusia. Di sisi lain, alam semesta menjadi sarana bagi manusia untuk berterimakasih dan adil. Di balik kekuatan kita, keterampilan dan kecerdasan kita, ada kekuatan dan kemurahan dari Allah yang memberikan semua itu kepada kita.

6.      Inkeles : lebih yakin bahwa dunia dapat diperhitungkan; orang-orang dan lembaga-lembaga dapat dijadikan andalan untuk memenuhi atau mencukupi kewajiban serta tanggung jawabnya.
Natsir : menjadi keyakinan setiap muslim, bahwa kepercayaan kepada yang diperhitungkan dan diandalkan itu tidak mengurangi keyakinannya kepada Allah, bahwa semua itu hanya akan berjalan sepanjang Allah memperkenankan kepada manusia. Kemauan  dan kekuatan yang mutlak hanya ada pada-Nya.

7.      Semakin sadar  akan martabat orang lain dan semakin tanggap untuk menunjukkan penghargaan kepada mereka.
Natsir : kemuliaan orang sebagai manusia adalah titik pusat ajaran Islam. Tak ada pembedaan terhadapnya yang dibenarkan, baik berdasarkan warna kulit, bahasa, tradisi, kebudayaan, serta kepercayaan maupun keturunan. “Kita menghormati anak keturunan Adam”.

8.      Inkeles : percaya kepada ilmu dan teknologi
Natsir : bahwa capaian ilmu dan teknologi saat ini banyak berdasarkan penemuan ilmuwan muslim masa lampau. Mungkin benar bahwa kondisi saat ini, mayoritas penemuan bukan dilakukan kaum muslimin. Tetapi kita harus terus berupaya dan bekerja berkesinambungan, karena Allah sendiri menjanjikan: Dan masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan di antara manusia, agar mendapat pelajaran. (lihat QS Ali Imran ayat 49)

9.      Inkeles : Berpaham yang kuat tentang keadilan yang merata.
Natsir : dalam Islam, seseorang akan mendapatkan sesuatu buah hasil dari perbuatannya, baik ataupun buruk.

          Pada akhirnya, sebagai seorang muslim, Natsir berpendapat bahwa kita tak perlu terlalu memperdulikan label modern atau tradisional, karena tugas utama yang kita emban adalah mewujudkan ummat yang berkeseimbangan.


          Kembali, ini tulisan 30 tahunan lalu. Saya tak sempat mempelajari, bagaimana penerimaan ilmu pengetahuan tentang pendapat Inkeles itu hari ini. Karenanya, saya sama sekali tak hendak memberi suatu pendapat. Ini benar-benar hanya membaca buku, dan mencoba menyampaikan pemikiran M. Natsir dari apa yang saya baca.

Bersambung...