Minggu, 07 Mei 2017

SANCAKLAR. Ke Masjid Ini Saya Ingin Kembali


Huruf Wau. Inspirasi dan Filosofi masjid ini.
Sejak menerima tautannya di awal 2015, saya sudah jatuh cinta pada foto-foto yang tersaji. Saya mendapat kiriman dari seorang Arsitek. Dia mengabarkan bahwa masjid ini baru saja mendapat Aga Khan Award. Penghargaan internasional untuk karya Arsitektur.

Beberapa bulan kemudian, kami mendapat undangan ke Turki. Kunjungan ke masjid ini pun ada di daftar keinginan paling atas. Saya mencatat detil apa yang didapat dari internet. Alamat, dan lain-lain. Saya tak berani berharap banyak, karena kepergian kami ke sana bukan wisata. Walau demikian, saya menyampaikan keinginan ini kepada teman Turki yang menemani kami. Dia sendiri belum pernah tahu. Ini memang masjid baru. Resmi dipakai tahun 2014.

Kesempatan datang ketika kami melakukan kunjungan ke Universitas Fatih. Lokasinya searah dengan Buyukcekmece, alamat masjid tersebut. Siang itu kami tidak diberi acara lain. Setelah makan di Kantin Kampus, kami memulai perjalanan. Teman Turki kami belum pernah ke sana, jadi dia minta tolong Google Map. Dan Google pun saat itu belum kenal dengan masjid ini. Jadi, kami dibawa berputar-putar wilayah Buyukcekmece. Tanya sana, tanya sini. Hampir 2 jam. Sudah nyaris menyerah, ketika tanda-tanda keberadaan masjid mulai terlihat. Ternyata...masjid ini hanya berjarak 5 menit saja dari Universitas Fatih, ke arah kiri. Sementara, tadi kami mengambil jalan ke kanan.

Menara batu


Usaha pencarian ini sangat tidak sia-sia. Nama masjid tertera di luar. Tetapi, sampai parkir pun, kami masih mencari-cari, di mana masjidnya? Hanya tampak sebuah menara batu dan segundukan tanah berumput dengan sederet kotak seperti kaca. Di dekat menara, ada tangga turun. Kami telusuri undakan demi undakan. Posisi tangga melengkung ke kanan.

Pemandangan dari tangga turun

Di kanan kami ada dinding batu, sedangkan di kiri, jalur turun memutar untuk kursi roda.

Dinding batu. 
Sampai di ujung tangga, ada selasar. Tak ada tanda-tanda masjid. Saya malah membayangkan seperti bagian luar ruang seminar. Lorong terbuka, dua pintu besar di dinding, dan toilet di ujung.

Ujung tangga ada di belakang kanan. Dinding di kiri diapit dua pintu masuk.

Berhadapan dengan pintu ada semacam teras beratap, ruangan terbuka, ada batu kerikil melapisi kolam pendek. Pemandangan di kiri sangat indah. Lembah dan angin, bagai menjadi pengiring. Di salah satu dinding teras ini, ada semacam papan pengumuman. Ternyata itu adalah maklumat Arsiteknya. Tentang sejarah, makna, dan kebijakan masjid.

Setelah berwudhu, rasa dingin dan segar sudah mulai mempengaruhi hati. Apalagi saat itu bulan April, angin kencang menyapa. Wilayah masjid termasuk dataran tinggi dan masih sepi pula.

Sebelum ke sini, saya pernah ke masjid-masjid terkenal di Istanbul. Masjid Sultan Ahmet, Masjid Sulaimaniye, termasuk Hagia Sophia. Sempat juga ke Masjid Baru (Yeni Camii). Dan tentu saja, berbagai mushala dimana kami berhenti untuk shalat saat dalam perjalanan. Salah satunya adalah Masjid Firuz Aga yang didirikan tahun 1400an ini.

Masjid Firuz Aga





Masjid-masjid terkenal itu memang luar biasa cantiknya. Kubah setengah bola yang menjadi ciri khas, terasa istimewa karena menunjukkan kemampuan teknis tinggi para insinyur mereka di masa lalu. Rata-rata usia masjid sudah ratusan tahun. Tetapi, entahlah, setelah melihat beberapa masjid besar itu, saya merasa biasa. Di luar teknik membuat kubahnya, saya melihat semua seragam. Interior terbuat dari keramik bermotif. Lampu di dalam, bentuknya kurang lebih sama dengan lampu gantung di masjid Firuz Aga ini, hanya lebih besar dan lebih banyak. Karpet. mimbar, bahkan menara. Satu masjid bisa mempunyai beberapa menara.

Apalagi setelah mengetahui sejarah awal keberadaan masjid-masjid besar di lokasi-lokasi utama, khususnya di kota Istanbul, ada nilai yang mengganggu kekaguman saya. Masjid dibangun oleh penguasa wilayah Turki pada zamannya. Masjid Sulaimaniye, dibangun oleh Sulltan Sulaiman, misalnya. Dipilih satu puncak bukit, lalu dibangun masjid di sana. Masjid dari penguasa yang lebih baru akan lebih besar dan mewah dari penguasa sebelumnya. Mendirikan masjid di lokasi eye catching menjadi penanda seberapa besar pengaruh dan kuasanya. Berlomba-lomba membuat rumah ibadah sebagai legacy. Dan, sebagai sumber devisa juga, dari para turis. (Tentang ini, jika kita hanya punya waktu dua jam di Istanbul dan ingin menikmati seluruh icon kota, maka minumlah kopi di *buck yang di tepian sungai. Sejauh mata memandang, dari kiri ke kanan, dari dekat ke kejauhan, semua simbol kota itu akan terlihat.) 


Masjid Sancaklar (dibaca: Sanjaklar) berbeda tak hanya dari sisi tampilan fisik, tapi juga dari alasan pendirian, dan filosofi bangunan. Sama sekali berbeda. Huruf wau di dinding kaca hitam pekat menjadi satu-satunya hiasan di dalam masjid, dan menyatakan segalanya.

Huruf wau cukup dipahami secara sakral sebagai simbol. Pernyataan tawadhu. Merunduk. Juga pernyataan tentang ibu sebagai tiang segalanya. Bentuk huruf ini ditafsirkan sebagai ibu dengan rahim, kasih, dan pelukannya. Dan ini menjadi dasar sikap muslim Turki. Dan, puncak dari semuanya. masjid ini menjadi simbol saat shalat adalah saat kita berpulang ke Rahim-Nya, ke Pelukan-Nya. Sujud dalam kehangatan perut rumah Tuhan.

Masjid ini dibangun untuk itu. Dengan cita-cita ingin melakukan itu. Sehingga seluruh bangunan secara kesatuan melambangkan itu. Wau.

Karenanya, tak dibutuhkan pernak pernik lain, gemerlap kilau lain. Hanya Tuhan. Sang Cahaya. Sang Maha Cahaya. Aksen keren dari masjid ini hanya dari permainan cahaya. Cahaya alami dari luar dimanfaatkan secara maksimal dalam segala aspek. Contohnya, pada dinding pemisah tempat shalat laki-laki dan perempuan ini.





Dinding berlubang pemisah jamaah laki-laki dan perempuan

Foto di atas adalah pemandangan dari ruang shalat perempuan. Dinding pemisah jamaah perempuan dan laki-laki terbuat dari logam stainless berlubang-lubang secara teratur. Pembatas ini mempunyai dua muka. Sisi lainnya juga sama, berlubang-lubang. Ini pasti by design, bukan kebetulan. Pendaran cahaya yang kita lihat akan berbeda-beda dari setiap titik yang berbeda di ruang shalat perempuan ini. Dan jika kita berjalan, maka pergerakan cahaya yag kita tangkap akan bagai alunan ombak.

Permainan cahaya lebih besar melingkupi seluruh ruang ibadah. Pada gambar di bawah terlihat, cahaya matahari yang masuk dari celah antara dinding dan langit-langit diatur sedemikian sehingga menjadi ornamen cantik. tangga melingkar itu menuju mimbar, sedang lekukan kecil di kiri adalah tempat imam. Disitu pun ada permainan cahaya.

Di antara kaca-kaca dan di lantai dekat dinding-dinding, tersebar lampu kecil. Yang akan memendarkan cahaya indah pada malam hari. Sungguh, sujud disini, rasanya masuk sekali ke hati. Serasa sedang mengadu pada Paha-Nya, dan Lengan-Nya mengusap-usap punggung kita yang sedang merunduk.

Keheningan, kesyahduan, dan kekhusyuan yang dibangun oleh suasana masjid, menimbulkan rindu tak terperi. Saya ingin sekali ke sini lagi. Mencecap rasa itu.













2 komentar:

  1. Masya Allah..semoga bisa keliling ke masjid2 hebat kaya mbaaa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah mampir. Alhamdulillah mendapat kesempatan ini.

      Hapus