Akhirnya menjadi berita juga. Persaingan di gerbong
wanita. Sudah lama auranya terasa. Hanya butuh pemicu, sehingga praduga ini
menjadi fakta.
Saya sering menggunakan jasa Commuter Line, tapi bukan
pengguna rutin, karena saya bukan pekerja kantoran. Saya tidak mewajibkan diri
naik di gerbong perempuan. Tapi, naik di gerbong manapun ada konsekuensi.
Ketika gerbong perempuan baru diadakan, saya termasuk
yang biasa saja, tidak bersuka cita. Pada dasarnya, ketika seorang perempuan
memutuskan berani keluar rumah, pada saat yang sama dia sudah paham segala
konsekuensinya.
Ketika seorang perempuan meminta haknya untuk bekerja
seperti yang didapat laki-laki, ketika itulah ada kewajiban lain yang melekat
padanya. Sebagai warga negara umum. Ada norma-norma umum yang harus dipatuhi.
Ada etika yang harus dipahami.
Saat dunia kerja hanya milik laki-laki, perempuan
mendapat keistimewaan sebagai lady.
Diperlakukan sebagai putri. Ketika sebagian ruang laki-laki itu diminta perempuan
untuk eksistensinya, perempuan harusnya menyadari, tak perlu lagi laki-laki
memberi ekstra atensi.
Suasana di kereta api hanya satu gambaran kecil. Pada
jam sibuk, hampir bisa dipastikan semua penumpang ada urusan dengan pekerjaan
atau sekolah. Berarti, perempuan yang ada di situ adalah mereka yang mengambil
haknya untuk keluar rumah. Sepatutnyalah, mereka juga tahu diri. Sudah sangat
istimewa perlakuan PT KAI dengan menyediakan gerbong khusus perempuan. Ini
bukan kewajiban mereka lho. Setelah segala keistimewaan ini, mestinya,
perempuan juga tidak merasa perlu mendapat simpati pada saat naik di gerbong
umum.
Jika ada laki-laki yang memberikan kursinya, itu
rezeki bagi si perempuan. Tapi ketika tidak ada yang memberi kursi, bukan hak
si perempuan untuk ngomel atau menuduh para lelaki di situ tidak sopan.
Bukankah, mereka sudah menerima didiskriminasi PT KAI, tak disediakan gerbong
khusus laki-laki. Andai ada keadilan, disediakan dua gerbong khusus perempuan
dan empat gerbong khusus laki-laki, maka di gerbong sisanya yang bisa diisi
siapa saja, bolehlah para perempuan berharap mendapat perlakuan khusus. Toh
laki-laki yang ingin duduk nyaman tanpa harus rikuh kepada perempuan yang
berdiri, bisa masuk ke gerbong khusus laki-laki.
Secara umum, sesuatu yang bernama hak itu untuk
diterima, sedangkan kewajiban untuk dilaksanakan. Kadang kita lupa, terlena
pada hak yang kita anggap harus kita nikmati, sementara hal yang menjadi
kewajiban terpinggirkan. Bukankah, hak kita adalah bagian dari kewajiban orang
lain? Jadi, biarkan orang lain yang menjalankan kewajibannya, bukan kita yang
menuntut dia agar hak kita diterima. Sebaliknya, lakukan kewajiban kita
sesempurna-sempurnanya, karena disitu ada hak orang lain.
Contoh, sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Tak
perlu yang lebih tua meminta atau memposisikan diri untuk dihormati anak muda. Jika
mereka melakukan hal yang benar, toh anak-anak muda akan dengan sendirinya
menghormati, dan memperlakukan mereka dengan santun. Atau antara anak dan orang
tua. Begitu juga urusan perempuan dan laki-laki. Dan pada akhirnya, antara kita
dengan orang lain, siapa pun. Bahkan, antara kita, dengan apa pun.
Waaah.
BalasHapusSetuju banget mbak sama statement "Ketika seorang perempuan meminta haknya untuk bekerja seperti yang didapat laki-laki, ketika itulah ada kewajiban lain yang melekat padanya".
Kadang perempuan teriak emansipasi kalo uda nuntut hak, tapi minta dispesialkan kalo uda menyangkut kewajiban.
Aaah...ternyata ada yang sependapat. Terimakasih. Degdegan upload tulisan ini, takut dibully seperti yang di gerbong perempuan, hehe.
Hapus