Kamis, 18 Mei 2017

Perlunya Gerbong Khusus Laki-laki




Akhirnya menjadi berita juga. Persaingan di gerbong wanita. Sudah lama auranya terasa. Hanya butuh pemicu, sehingga praduga ini menjadi fakta.

Saya sering menggunakan jasa Commuter Line, tapi bukan pengguna rutin, karena saya bukan pekerja kantoran. Saya tidak mewajibkan diri naik di gerbong perempuan. Tapi, naik di gerbong manapun ada konsekuensi.

Ketika gerbong perempuan baru diadakan, saya termasuk yang biasa saja, tidak bersuka cita. Pada dasarnya, ketika seorang perempuan memutuskan berani keluar rumah, pada saat yang sama dia sudah paham segala konsekuensinya.

Ketika seorang perempuan meminta haknya untuk bekerja seperti yang didapat laki-laki, ketika itulah ada kewajiban lain yang melekat padanya. Sebagai warga negara umum. Ada norma-norma umum yang harus dipatuhi. Ada etika yang harus dipahami.
Saat dunia kerja hanya milik laki-laki, perempuan mendapat keistimewaan sebagai lady. Diperlakukan sebagai putri. Ketika sebagian ruang laki-laki itu diminta perempuan untuk eksistensinya, perempuan harusnya menyadari, tak perlu lagi laki-laki memberi ekstra atensi.

Suasana di kereta api hanya satu gambaran kecil. Pada jam sibuk, hampir bisa dipastikan semua penumpang ada urusan dengan pekerjaan atau sekolah. Berarti, perempuan yang ada di situ adalah mereka yang mengambil haknya untuk keluar rumah. Sepatutnyalah, mereka juga tahu diri. Sudah sangat istimewa perlakuan PT KAI dengan menyediakan gerbong khusus perempuan. Ini bukan kewajiban mereka lho. Setelah segala keistimewaan ini, mestinya, perempuan juga tidak merasa perlu mendapat simpati pada saat naik di gerbong umum.

Jika ada laki-laki yang memberikan kursinya, itu rezeki bagi si perempuan. Tapi ketika tidak ada yang memberi kursi, bukan hak si perempuan untuk ngomel atau menuduh para lelaki di situ tidak sopan. Bukankah, mereka sudah menerima didiskriminasi PT KAI, tak disediakan gerbong khusus laki-laki. Andai ada keadilan, disediakan dua gerbong khusus perempuan dan empat gerbong khusus laki-laki, maka di gerbong sisanya yang bisa diisi siapa saja, bolehlah para perempuan berharap mendapat perlakuan khusus. Toh laki-laki yang ingin duduk nyaman tanpa harus rikuh kepada perempuan yang berdiri, bisa masuk ke gerbong khusus laki-laki.

Secara umum, sesuatu yang bernama hak itu untuk diterima, sedangkan kewajiban untuk dilaksanakan. Kadang kita lupa, terlena pada hak yang kita anggap harus kita nikmati, sementara hal yang menjadi kewajiban terpinggirkan. Bukankah, hak kita adalah bagian dari kewajiban orang lain? Jadi, biarkan orang lain yang menjalankan kewajibannya, bukan kita yang menuntut dia agar hak kita diterima. Sebaliknya, lakukan kewajiban kita sesempurna-sempurnanya, karena disitu ada hak orang lain.

Contoh, sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Tak perlu yang lebih tua meminta atau memposisikan diri untuk dihormati anak muda. Jika mereka melakukan hal yang benar, toh anak-anak muda akan dengan sendirinya menghormati, dan memperlakukan mereka dengan santun. Atau antara anak dan orang tua. Begitu juga urusan perempuan dan laki-laki. Dan pada akhirnya, antara kita dengan orang lain, siapa pun. Bahkan, antara kita, dengan apa pun. 


2 komentar:

  1. Waaah.
    Setuju banget mbak sama statement "Ketika seorang perempuan meminta haknya untuk bekerja seperti yang didapat laki-laki, ketika itulah ada kewajiban lain yang melekat padanya".
    Kadang perempuan teriak emansipasi kalo uda nuntut hak, tapi minta dispesialkan kalo uda menyangkut kewajiban.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaah...ternyata ada yang sependapat. Terimakasih. Degdegan upload tulisan ini, takut dibully seperti yang di gerbong perempuan, hehe.

      Hapus