Selasa, 24 April 2012

Cupcake dan Seorang Guru Bijak

Hari Senin, tanggal 23 April 2012, Amira pulang sekolah dengan semangat. Tanpa ganti baju dulu, dia menyusuri tumpukan buku, mencari sesuatu. “Buku Cupcake-nya Lala dan Rara,” ujarnya ketika ditanya mencari apa.
“Aku mau bikin. Besok kan ultah geng aku.”

Rupanya, Geng Jahhat yang terdiri dari kumpulan beberapa anak perempuan yang baik ini sepakat untuk merayakan hari “jadian” mereka setiap bulan, setiap tanggal 24. Kali ini, mereka memutuskan masing-masing membawa sebuah cupcake untuk dimakan beramai-ramai.

Dan seperti biasa, buku yang dicari akan tidak menampakkan diri, padahal saya dan Amira ingat betul tak sampai 2 minggu lalu kami melihatnya saat membereskan lemari.

Akhirnya, saat sore itu Amira les di LIA selama 1,5 jam, saya mencoba berburu resep cupcake kepada dua orang teman yang memang sering membuat. Dibantu teknologi ponsel, sore itu saya mendapatkan beberapa resep, bahkan termasuk cara membuat butter creamnya. Saya melakukan ini untuk berjaga-jaga barangkali ada bahan yang tidak tersedia di rumah, saya masih punya waktu untuk membelinya.

Amira baru pulang les pukul 18.30. sesegera mungkin kami ke toko terdekat. Mencari telur, susu cair, dan cup.

Tiba di rumah tepat pukul 20.00. Amira tidak langsung memasak karena masih penasaran dengan buku resepnya. Padahal resep dari tante Mira dan Bunda Dipy oke punya semua. Akhirnya saya turunkan tumpukan buku resep, dan saya bongkar satu demi satu. Alhamdulillah, ternyata buku yang dia cari bersandar di sana, bukan di tumpukan buku anak-anak. Setelah itu, baru mulai segala proses. Sejak di Giant, Amira sudah wanti-wanti, kali ini Mamah tidak usah banyak menolong. Baiklah…

Resep di buku Lala dan Rara ini sangat praktis, karena memang tujuannya mengenalkan membuat kue kepada anak, dibingkai dalam sebuah cerita. Satu resep hanya untuk 3 buah cupcake. Semula dia hanya akan membuat satu resep, tetapi saya menyarankan 3. Ini lebih ke pertimbangan ibu-ibu :). Membuat 3 cup atau banyak, prosesnya akan sama, dan pemakaian LPG-nya juga sama.

Saya minta Amira mengambil loyang kue, dan hitung berapa cup yang muat di sana. Dia mendapatkan, 9 paling pas. Jadi, Amira sepakat untuk membuat 3 resep malam ini.

Setiap resep hanya memerlukan 1 butir telur, dikocok. Tambahkan 2 sdm gula pasir. Selanjutnya beri 50 ml susu cair. Terakhir masukkan 100 gr terigu yang sudah dicampur dengan 2 sdt Baking Powder. Sudah. Itu saja. Saya sempat khawatir, karena resep ini tidak menyebutkan mentega sama sekali, tapi saya tidak berkomentar karena sudah berjanji ini kue dia.

Amira memecahkan telur sendiri. Alhamdulillah sukses, tidak berceceran ke mana-mana. Saya sodorkan mixer, walau dalam petunjuknya cukup menggunakan kocokan telur biasa. “Pakai ini saja agar tidak terlalu lelah. Tapi sebaiknya siapkan dulu semua bahan sebelum mulai mengocok.” Dia sibuk menghitung angka di resep dikalikan 3. Ternyata untuk keperluan seperti ini, dia bisa kok menghitung dengan cepat…

Tepat pukul 21.00 semua bahan telah siap, termasuk terigu dan baking powder yang sudah disaring. Pukul 21.00 adalah batas psikologis Amira untuk tidur. Jika dia tidur lewat jam sembilan malam, besok paginya hampir selalu sulit dibangunkan. Dilema juga untuk saya, membiarkan dia membuat kue dengan resiko besok bangun telat, atau meminta dia tidur dan mengambil alih proses membuat kue.

Saya memilih membiarkan. Saya merasa, proses malam ini penting untuknya. Untuk banyak aspek dalam masa tumbuhnya. Kepercayaan diri, keterampilan, dan terutama persahabatan.

Adonan kental pun akhirnya siap. Dituangkan secara merata ke dalam 9 buah cup. Dan, seperti yang diceritakan di buku, ini adonan dasar saja. Di buku dikisahkan, setiap binatang di hutan yang menjadi pembeli toko kue Lala dan Rara memesan kue dengan rasa yang berbeda-beda. Amira pun ingin melakukan hal itu.

Untuk rasa coklat, tambahkan 2 sdt coklat parut, aduk, dan taburkan beberapa potongan dadu coklat untuk hiasan di atasnya. Ini yang untuk grupnya.Hal serupa untuk cupcake keju. Ini untuk Bu Guru dan Mamah. Amira membuat yang rasa kopi juga. 2 sdt kopi instan + gula + 2 sdt air panas diaduk, kemudian dicampurkan ke dalam adonan dalam cup. Ini untuk Papa. Dua terakhir, diberi 2 sdt remukan corn flake.

Saya membantu urusan pembakaran. Dalam buku hanya disebutkan waktu 1-2 menit saja. Saya sampaikan, mungkin mereka pakai microwave. Karena kita pakai oven biasa, butuh lebih lama, 15-20 menit. Amira tidur saja, saran saya. “Tapi kan aku ingin nyicip dulu,” katanya. Ya sudahlah…

Amira menunggu dengan tenang. Saya yang degdegan. Jadikah? Mengembangkah? Enakkah?

20 menit kemudian, kami cek kematangan dengan menusukkan sepotong lidi. Karena sudah tidak ada adonan basah yang menempel di lidi, api kompor dimatikan. Alhamdulillah kuenya mekar, wangi, dan enak… Amira pun tidur sekitar pukul 23.00.

Pagi harinya….seperti yang diduga…Amira tak kuasa membuka mata walau alarm jam yang dia pasang bersenandung terus-menerus. Diapa-apakanpun tak mempan. Hasilnya, baru pukul 7.10 kami keluar rumah. Padahal perlu 10-15 menit untuk sampai ke sekolah, itu pun kalau tidak macet. Dan info dari ayahnya, jalan baru pagi ini macet luar biasa. Saya memilih jalan kecil yang agak memutar tapi lancar. Cepat, tetapi tidak sampai ke gerbang sekolah. Amira harus berjalan kaki lagi sekitar 200 meter. Amira menyeberang dengan semangat, ditemani seseorang yang saya mintai tolong, karena Satpam yang biasanya membantu menyeberangkan murid sudah tidak ada. Di tasnya ada 5 buah cupcake. 1 untuk teman sekelompoknya, 1 untuk bu Ersi, wali kelasnya. 3 lagi tak bertuan, siapa tahu nanti ada yang mau.

Siang itu saya menanti Amira pulang dengan harap-harap cemas. Ingin tahu kisah ulang-bulannya. Dan tentu saja, ingin tahu hukuman apa yang dia dapat karena terlambat. Ternyata, cerita yang dia bawa diluar perkiraan saya. Saat Amira masuk kelas, teman-teman baru usai berdoa, dan Bu Erssi, wali kelas yang juga guru Matematika, sudah siap mengajar.

Di hadapan teman-temannya, dia ditanya, mengapa terlambat. Dua teman sekelas yang satu mobil jemputan kan sudah hadir dari tadi.
“Karena semalam saya membuat ini, Bu,” jawabnya sambil mengeluarkan sebuah cupcake.
“O ya? Boleh buat Ibu?” tanya Bu Erssi lagi.
“Boleh. Dan memang sengaja saya bawa itu untuk Ibu.”
“Terima kasih…”
Ketika murid-murid mengerjakan soal, Bu Erssi mencicipi kue dari Amira.
“Wah, kue buatan Amira enak lho…” kata beliau dari meja guru.
Akhirnya, saat jam istirahat 2 kue dimakan beramai-ramai oleh teman laki-laki, dan 1 untuk teman perempuan, karena promosi dari ibu guru.

Menjelang tidur malam itu, saya tanya apa yang paling Amira suka dari pengalaman sejak kemarin sore. “Waktu semua bilang kuenya enak,” jawabnya dengan berbinar. “Aku lihat semua jujur, bukan sekedar basa-basi.” “Ya, karena kue kamu memang enak. Punya Mamah habis. Punya Papa juga habis. Terima kasih ya…” Amira pun tidur cepat, membayar kekurangan semalam…

Saya dan suami, sepenuh hati berterima kasih juga kepada Bu Erssi Yurissa, guru Matematika SD Bina Insani Bogor, yang sangat bijak bertindak.

Tanpa dimarahi, toh Amira sudah tahu dia salah karena terlambat. Ketika teman-teman yang belum kebagian kue meminta agar keesokan harinya dibawakan cupcake juga, dia mengaku sangat tertolong oleh komentar Zahra, salah satu sahabatnya, yang mengatakan, “Kalau mau dibuatkan, berarti besok Amira harus boleh terlambat lagi dong…”

Senin, 16 April 2012

Memilih Wanita atau Perempuan?

“Wanita dijajah pria sejak dulu,
dijadikan perhiasan sangkar madu,
namun ada kala pria tak berdaya,
tekuk lutut di sudut kerling wanita…”
Masih ingat lagu di atas? Bagaimana kesan teman-teman atas wanita dalam lagu tersebut?

Saat lagu ini berjaya sekitar tahun 70-80an, situasi sosial masih memihak kepada penggunaan kata wanita. Sehingga tidak hanya lagu, istilah pun banyak dilekatkan kepada kata wanita. Darma Wanita, Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia, bahkan penamaan jabatan pun Menteri Peranan Wanita.

Kata wanita dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Jawa, wanito. Sebagaimana banyak kata lain, ada kirata (dikira-kira tapi nyata) dari kata wanita ini, yaitu wani ditoto. Berani diatur. Pengertian ini dipertegas dalam kamus Old Javanese Zoetmulder, 1982, bahwa wanita itu berarti yang diinginkan.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, kata ini bukan asli pula dari Jawa, melainkan kata serapan dari bahasa Sansakerta. Sebagaimana kita menggunakan Wijaya untuk Vijay, Wanita kita gunakan sebagai pengganti vanita, yang berarti lady (Inggris). Kata dasar wan, yang berarti menghormati, dan mendapat imbuhan hita/ita, sehingga wanita merujuk kepada sesuatu yang baik, mulia, sejahtera.

Rujukan yang lain lagi mengatakan bahwa kata wanita merupakan perubahan gaya metatistis dari kata batina (yang kini menjadi betina) ke watina, kemudian benjadi wanita. Penelusuran kata yang ini cenderung membatasi definisi dari sudut reproduksi.

Ternyata, wanita mengandung kontradiksi yang sangat lebar dari sisi arti dan rasa kata.

Penggunaan kata lain untuk menamai sosok yang sama adalah perempuan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan sebagai “orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui”. Sangat fisik.
Tetapi, Mohammad Yamin pernah mengungkapkan bahwa kata perempuan itu adalah bentukan dari kata dasar empu yang mendapat imbuhan per - … - an. Empu berarti seseorang yang sangat ahli dan dihormati. Sedangkan imbuhan “per - … - an” berarti “segala sesuatu tentang …” atau “yang berkaitan dengan …”. Contoh, persilatan berarti segala sesuatu tentang silat, perbukuan berarti segala yang berkaitan dengan buku.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa selain makna harfiah menurut kamus, kata perempuan juga dapat diterjemahkan sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengan keahlian dan kehormatan”.

Tampaknya, dari definisi terakhir ini, kita bisa paham mengapa sekarang kata perempuan yang lebih banyak digunakan dibandingkan wanita untuk menamai manusia yang bukan laki-laki. Tidak sekedar membedakan jenis kelamin, tetapi ada penghargaan yang lebih manusiawi dalam penggunaan kata tersebut. Termasuk dalam penamaan peristiwa atau jabatan, seperti Hari Perempuan, Penghargaan Perempuan Inspiratif, bahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan.

Dan, apakah kita bisa berharap akan hilangnya masalah pelecehan karena gender jika para penghasil devisa itu kita sebut sebagai Tenaga Kerja Perempuan, dan bukan sebagai Tenaga Kerja Wanita?

Salam Selasa Cinta Bahasa.

*Rujukan:
- Kamus Besar Bahasa Indonesia
- “Wanita atau Perempuan”, Qaris Tajudin, Majalah Tempo 20 April 2009
- “Arti Wanita”, I Ketut Merta Mupu, Kompasiana, 13 Desember 2011.

Selasa, 03 April 2012

Lumpia Basah Bandung




Lumpia basah pertama kali saya temukan bertahun-tahun lalu di antara jalan penghubung Cipaganti dan RS Advent. Setahu saya, ini penjual pertama. Saya belum pernah menemukan penjual makanan serupa di lokasi lain di daerah edar saya. Belakangan, lumpia basah menjadi favorit. Penjualnya bertebaran di banyak tempat. Selain yang di dekat Advent ini, lumpia basah yang pernah saya cicip dan enak adalah di samping Jonas foto jalan Banda. Dan terakhir beli, hari Senin lalu, di jl. Purnawarman, seberang TB Gramedia.Enak juga.

Dua hari di Bandung, anak saya dua kali makan lumpia basah dengan lahap. Senangnya melihat dia antusias terhadap makanan. Kembali ke Bogor, saya pun berusaha menghadirkan menu favorit baru ini. Setelah bertanya kepada Dian (dipycorner.wordpress.com)dan Rita (dapurbunda.blogspot.com), sobat-sobatku yang tinggal di Bandung dan hobi masak, dan tentu berguru kepada Mang Google (dapur-cantik.blogspot.com), saya mencoba mengkombinasikan semuanya, dilengkapi dengan memori rasa dan bentuk yang saya punya. Menurut anak saya sih...rasanya enak, mirip dengan yang kami beli, dan tentu saja yang ini lebih istimewa karena ada cinta di dalamnya. Huhuy....terbang deh si Mamah...

Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat 5-6 porsi lumpia basah:

1/2 kg bengkuang, diiris bentuk korek.
1/4 kg toge, dibuang ekornya.
125 gr gula aren/merah (2 buah), diiris halus.
500 ml air
5 butir telur ayam

10-20 lembar kulit lumpia siap pakai

bawang putih, saus tiram, merica, garam, gula pasir, maizena/tepung kanji, dan minyak goreng.



Cara membuat:

Haluskan 10-15 siung bawang putih.

Didihkan air. Larutkan gula aren. Tambahkan sepertiga bagian bawang putih halus. Setelah beberapa saat, angkat dan saring, kemudian dijerang kembali. Tambahkan 1 sendok teh saus tiram, dan sedikit saja garam.

Masukkan irisan bengkuang. Setelah mendidih ulang, kecilkan api. Jerang selama 30-45 menit, sampai air kira-kira tinggal 100-200 ml.

Angkat bengkuang. Sisa air tetap di atas api. Tambahkan 2 sdm maizena yang telah dicairkan. Aduk sampai adonan mengental. Angkat dari api.


Membuat isi:

Panaskan minyak goreng secukupnya. Buat orak-arik telur.

Tumis sisa bawang putih halus.
Masukkan telur dan bengkuang.
Tambahkan 1-2 sdt garam, 1-2 sdt merica halus, dan sejumput gula pasir jika suka, untuk menggantikan gurih penyedap rasa.
Jika ingin pedas, tambahkan cabe rawit iris/halus.
Terakhir masukkan toge.
Aduk-aduk sampai toge layu.


Cara menyajikan :
Letakkan 1-2 lembar kulit lumpia di atas piring ceper.
Oleskan cairan kental yang dibuat di awal.
Tuangkan tumisan panas ke atasnya.
Lipat, bungkus.

Taraaaa..... jadi deh.



Keuntungan membuat sendiri, jumlah kulit lumpianya bisa suka-suka untuk porsi isi yang sama.

Di saat hujan deras sore hari, sepiring lumpia basah dan segelas teh panas, sungguh merupakan paduan sempurna.