Jumat, 22 Juni 2012

TELEGRAM


“Bapak sakit – titik – cepat pulang – titik”
“Kakek meninggal Rabu malam – titik”
Begitulah mayoritas kabar yang dibawa telegram. Tak heran kedatangan petugas khusus telegram selalu membuat degdegan. Dulu.

Kini, pertanyaan anak menyadarkan saya bahwa sudah sangat banyak oksigen yang saya hirup. 
“Telegram itu apa?”.

Semalam kami menonton lagi VCD The Sounds of Music untuk yang ketiga kalinya dalam sebulan. Film yang dibuat sebelum saya lahir ini tak pernah membosankan untuk dilihat ulang. Saya membongkar koleksi lama karena bulan lalu anak saya main angklung membawakan lagu Do-re-mi, salah satu lagu dalam film musikal legendaris ini.

Rupanya ada yang membingungkan dia dari awal. Gambarnya pengantar surat, tapi istilah yang dipakai telegram. Dan, kebingungan pun berbalik kepada saya. Bagaimana menjelaskan bahwa saat itu telegram adalah cara tercepat bertukar kabar di era gadget yang bisa mengantarkan suara, surat, dan gambar pada detik itu juga dari dan ke genggaman tangan kita?

Akhirnya saya mencoba menjelaskan dengan cara berikut.

“Kamu tahu proses terkirimnya surat?”
“ Iya”, jawabnya.
Kita menulis surat, mengantarkan ke kantor pos. Nanti petugas pos akan membawa surat itu ke kantor pos tujuan menggunakan mobil, kereta api, atau pesawat terbang. Kemudian petugas pos di sana akan menyerahkan surat itu ke alamat yang tercantum di amplop.

Ada waktu yang dibutuhkan. Secepat-cepatnya pun, perjalanan dari satu kota ke kota lain, proses seleksi dan pemilahan di kantor pos, dan pengantaran ke alamat, tak bisa sekejap mata. Sementara, ada berita-berita yang perlu disampaikan dengan segera. Sangat segera. Seperti berita sakit atau kematian. Bisa juga urusan pekerjaan atau menjawab lamaran. Untuk itu, ada layanan telegram.

“Cara kerjanya kurang lebih seperti kamu mengirim SMS”, kata saya. “Kamu mengetik beritanya, kamu kirimkan, dan orang di tujuan akan membaca segera. Hanya, saat itu, tak ada fasilitas SMS. Telepon genggam belum ada.”

Orang tetap harus pergi ke kantor telepon atau Wartel, warung telepon. Disana mengisi alamat tujuan dan berita yang akan disampaikan. Ada harga untuk setiap karakter yang dituliskan. Karenanya, orang menulis telegram sesingkat mungkin agar biaya yang harus dibayar tak terlalu mahal.

Petugas wartel akan secepatnya mengetikkan berita itu pada mesin teleks, yang terhubung ke kantor telepon pusat. Dan kantor telepon pusat akan mengirimkannya ke kantor telepon tujuan. Di kantor telepon tujuan, berita ini dicetak, baru kemudian diantarkan ke alamat penerima. Waktu yang dibutuhkan singkat, 1-2 jam saja.

Anak saya tampaknya mulai paham. Walau mungkin dia tak habis pikir mengapa waktu 1-2 jam untuk mengirim kabar sependek itu disebut singkat. Sementara, dia bisa bertukar apa saja,  kapan saja, dengan siapa saja di seluruh dunia tanpa harus turun dari tempat tidur.


Pembicaraan ini mengingatkan saya pada obrolan tahun lalu. Saat itu kami sedang di jalan tol. Saya memulai perbincangan dengan pertanyaan.
“Apakah kamu bisa membayangkan bagaimana orang berkomunikasi sebelum adanya telepon genggam?”
“...e... pakai Ipad?” jawabnya.
Saya tak bisa menahan tawa.
“Ipad kan baru, Neng... Pertanyaanku kan sebelum ada HP.”
Anakku diam. Saya pun bercerita.

Dulu hanya ada telepon rumah. Itu pun tidak semua orang punya, karena biaya pasang telepon mahal. Akibatnya, seringkali orang memberikan nomor tetangga terdekat yang memiliki telepon. Jadi, saat kita ada perlu, kita telepon nomor tersebut.

“Apakah ini dengan rumah Bapak X?”
“Iya, saya sendiri.”
“Maaf, Pak, saya Z, ada perlu dengan Y yang rumahnya di seberang rumah Bapak. Boleh ikut bicara?”
“Silakan. Tutup dulu saja. 5 menit telepon lagi. Saya panggilkan dulu.”
Telepon ditutup. Pak X memanggil Y. Dia lakukan sendiri atau minta tolong anak atau pembantu. Y datang. Saat 5 menit kemudian kita telepon lagi, Y yang mengangkat.
Pembicaraan akan mulai dengan, “Ada apa? Jangan lama-lama ya. Gak enak sama Pak X...”
Pemilik telepon rumah seperti ini banyak pahalanya...

Tapi, kalimat Y tadi tak akan terucap jika pemilik telepon berjiwa enterpreneur. Ada rupiah yang harus dibayar setiap tetangga yang menerima panggilan telepon. Bahkan, ada juga yang pesawat teleponnya dipasangi alat bayar seperti telepon umum. Agar jika ada tetangga yang numpang menelepon keluar, bisa tertutup biaya pulsanya tanpa harus sungkan menagih...