“Bapak sakit – titik – cepat
pulang – titik”
“Kakek meninggal Rabu malam –
titik”
Begitulah mayoritas kabar yang
dibawa telegram. Tak heran kedatangan petugas khusus telegram selalu membuat
degdegan. Dulu.
Kini, pertanyaan anak
menyadarkan saya bahwa sudah sangat banyak oksigen yang saya hirup.
“Telegram
itu apa?”.
Semalam kami menonton lagi VCD
The Sounds of Music untuk yang ketiga kalinya dalam sebulan. Film yang dibuat
sebelum saya lahir ini tak pernah membosankan untuk dilihat ulang. Saya membongkar
koleksi lama karena bulan lalu anak saya main angklung membawakan lagu
Do-re-mi, salah satu lagu dalam film musikal legendaris ini.
Rupanya ada yang membingungkan
dia dari awal. Gambarnya pengantar surat, tapi istilah yang dipakai telegram.
Dan, kebingungan pun berbalik kepada saya. Bagaimana menjelaskan bahwa saat itu
telegram adalah cara tercepat bertukar kabar di era gadget yang bisa mengantarkan suara, surat, dan gambar pada detik
itu juga dari dan ke genggaman tangan kita?
Akhirnya saya mencoba
menjelaskan dengan cara berikut.
“Kamu tahu proses terkirimnya
surat?”
“ Iya”, jawabnya.
Kita menulis surat,
mengantarkan ke kantor pos. Nanti petugas pos akan membawa surat itu ke kantor
pos tujuan menggunakan mobil, kereta api, atau pesawat terbang. Kemudian petugas
pos di sana akan menyerahkan surat itu ke alamat yang tercantum di amplop.
Ada waktu yang dibutuhkan.
Secepat-cepatnya pun, perjalanan dari satu kota ke kota lain, proses seleksi
dan pemilahan di kantor pos, dan pengantaran ke alamat, tak bisa sekejap mata.
Sementara, ada berita-berita yang perlu disampaikan dengan segera. Sangat
segera. Seperti berita sakit atau kematian. Bisa juga urusan pekerjaan atau
menjawab lamaran. Untuk itu, ada layanan telegram.
“Cara kerjanya kurang lebih
seperti kamu mengirim SMS”, kata saya. “Kamu mengetik beritanya, kamu kirimkan,
dan orang di tujuan akan membaca segera. Hanya, saat itu, tak ada fasilitas
SMS. Telepon genggam belum ada.”
Orang tetap harus pergi ke kantor
telepon atau Wartel, warung telepon. Disana mengisi alamat tujuan dan berita
yang akan disampaikan. Ada harga untuk setiap karakter yang dituliskan.
Karenanya, orang menulis telegram sesingkat mungkin agar biaya yang harus
dibayar tak terlalu mahal.
Petugas wartel akan secepatnya
mengetikkan berita itu pada mesin teleks, yang terhubung ke kantor telepon
pusat. Dan kantor telepon pusat akan mengirimkannya ke kantor telepon tujuan.
Di kantor telepon tujuan, berita ini dicetak, baru kemudian diantarkan ke
alamat penerima. Waktu yang dibutuhkan singkat, 1-2 jam saja.
Anak saya tampaknya mulai
paham. Walau mungkin dia tak habis pikir mengapa waktu 1-2 jam untuk mengirim
kabar sependek itu disebut singkat. Sementara, dia bisa bertukar apa saja, kapan saja, dengan siapa saja di seluruh
dunia tanpa harus turun dari tempat tidur.
Pembicaraan ini mengingatkan
saya pada obrolan tahun lalu. Saat itu kami sedang di jalan tol. Saya memulai
perbincangan dengan pertanyaan.
“Apakah kamu bisa membayangkan
bagaimana orang berkomunikasi sebelum adanya telepon genggam?”
“...e... pakai Ipad?” jawabnya.
Saya tak bisa menahan tawa.
“Ipad kan baru, Neng...
Pertanyaanku kan sebelum ada HP.”
Anakku diam. Saya pun
bercerita.
Dulu hanya ada telepon rumah.
Itu pun tidak semua orang punya, karena biaya pasang telepon mahal. Akibatnya,
seringkali orang memberikan nomor tetangga terdekat yang memiliki telepon.
Jadi, saat kita ada perlu, kita telepon nomor tersebut.
“Apakah ini dengan rumah Bapak
X?”
“Iya, saya sendiri.”
“Maaf, Pak, saya Z, ada perlu
dengan Y yang rumahnya di seberang rumah Bapak. Boleh ikut bicara?”
“Silakan. Tutup dulu saja. 5
menit telepon lagi. Saya panggilkan dulu.”
Telepon ditutup. Pak X
memanggil Y. Dia lakukan sendiri atau minta tolong anak atau pembantu. Y
datang. Saat 5 menit kemudian kita telepon lagi, Y yang mengangkat.
Pembicaraan akan mulai dengan, “Ada
apa? Jangan lama-lama ya. Gak enak sama Pak X...”
Pemilik telepon rumah seperti
ini banyak pahalanya...
Tapi, kalimat Y tadi tak akan
terucap jika pemilik telepon berjiwa enterpreneur. Ada rupiah yang harus
dibayar setiap tetangga yang menerima panggilan telepon. Bahkan, ada juga yang pesawat
teleponnya dipasangi alat bayar seperti telepon umum. Agar jika ada tetangga
yang numpang menelepon keluar, bisa tertutup biaya pulsanya tanpa harus sungkan
menagih...
Saya baru saja memikirkan tentang telegram. Zaman skrg, telegram sdh tdk ada lagi, bahkan wktu saya sekolahpun, saya blm pernah mengirimkan telegram, hanya pernah satu kali mengirimkan itu pun krn ada mata pelajaran di sekolah yg mengharuskan tiap murid mengirimkan telegram ke siapa saja. Tapi utk anak skrg, mereka akan sama sekali tdk tahu apa itu telegram, karena di sekolah pun mereka tdk mempelajarinya. Telegram sekarang hanya jadi sejarah.
BalasHapusTerima kasih, mbak Santi. Maaf baru lihat-lihat komen. Iya, sudah tak ada lagi wartelnya juga :) Tapi belakangan ini telegram muncul lagi, sebagai sebuah medsos....:)
HapusSaya pernah kirim telegram sekitar tahun 1981an
BalasHapusMengirim telegram dari semarang ke saudara di pelosok kaki gunung lawu mengabarkan kl ada saudara dekat meninggal.
Agar khabar ini bisa sampai, di double dg orang berangkat naik bis.
Telegram datang 2 harian, orang yg naik bis sdh balik dg menjemput saudara dari kaki gunung lawu.
2 hari termasuk cepat waktu itu.