Rabu, 16 Mei 2012

VCD BAJAKAN


Hari gini masih pakai VCD? Ssst, jangan tertawa dulu. Ini tentang VCD yang sudah saya beli lebih dari 5 tahun lalu.

Semalam, anak saya minta izin menonton Spongebob The Movie. Dia berdalih hari ini libur, jadi semalam boleh rileks. Agak heran juga, film yang sudah bertahun-tahun menganggur, tiba-tiba ingin dia lihat lagi.

Saya sempat membantunya mencari film yang dimaksud di antara tumpukan CD/VCD/DVD. Sudah bertahun-tahun tidak disentuh. Bahkan sebenarnya saya sedang berpikir untuk mengeluarkannya dari rumah.

Saya mengelompokkan film-film lama dalam empat kelompok besar. CD file pribadi, CD lagu-lagu yang hampir semua asli, VCD/DVD dari toko besar, dan VCD/DVD yang saya beli di kaki lima.

Jadi teringat, awalnya, saat dia Batita, saya membelikan Teletubbies. Saat itu ini tontonan bayi yang paling sederhana. Sempat membaca ulasan yang agak sensitif tentang dampak film yang tampaknya sederhana ini, tetapi saya belum menemukan film lain. Kami belum terpikir untuk memakai TV-berlangganan, karena itu berarti biaya tambahan. Dan idealisme saya saat itu, ingin mengenalkan sesuatu yang benar kepada anak. Jadi, saya belikan VCD asli. Walau tidak sederhana untuk dompet saya, saya pikir tak apa, toh sesekali saja.

Seiring waktu, saya pun membelikan lagi tontonan-tontonan lain. Seri Barney dan film-film Pixar maupun Disney. The Bug’s Life dan The Lion King adalah favorit anak saya (dan favorit saya juga). Hampir tiap hari Simba lagi, Simba lagi. Saya pernah bercerita tentang ini di salah satu tulisan saya “Merek Dagang Anakku”.

Mulai usia Taman Kanak-kanak, anak saya mengenal Barbie. Ini pun masih saya tunjang dengan film asli. Tapi ketika kebutuhan dia meningkat, mulai terasa berat. Ingin memberikan banyak pilihan kepada anak, tetapi kalau sering-sering membelikan film asli, tekor juga. Apalagi kalau itu film-film yang hanya akan dia tonton 1-2 kali saja.
Sampai suatu hari saya berbincang dengan teman. Saya yakin secara finansial, dia sangat mampu membeli film asli. Tapi dia bercerita, malas membeli yang asli. Mahal. Lagipula, kalau kita membeli yang bajakan di pinggir jalan, itu berarti ikut memberi makan para penjual. Anggap saja sedekah kepada mereka yang mungkin tak beruntung mendapatkan pekerjaan formal.

Bahwa ini merugikan pembuat film, iya. Bahwa ini  kriminal secara internasional, iya. Tetapi kita ambil sederhananya sajalah, katanya. Orang-orang asing pembuat film ini sudah banyak menangguk untung dari seluruh dunia. Mereka sudah sangat kaya raya atas hasil karyanya. Sementara, di sekitar kita, sangat banyak orang yang bahkan untuk makan nanti siang saja masih harus berpikir panjang. Para pengganda ini sudah punya urusannya sendiri dengan yang di atas. Tapi, para penjaja, untuk mereka ini berarti senyum anaknya, jalan menuju kenyang perutnya. Itu saja.

Kita pun dapat untungnya kok, biaya yang dikeluarkan untuk satu keping film asli, bisa kita gunakan untuk mendapat 10 film lain.

Saya pun terpengaruh. Secara sirkulasi dana rumah tangga, ini lebih masuk akal. Mulailah Spongebob dan Dora masuk rumah secara tidak sah...  Film-film pendidikan lokal, seperti Mrico dan kawan-kawan, tetapi saya dapatkan dari penjual resmi. Anak saya tak pernah berkomentar apa-apa. Namanya anak-anak, dia tak memperhatikan apakah yang dilihatnya film asli atau bukan.

Makin lama, saya makin terbiasa mendapatkan barang yang murah. Apalagi, di tahun-tahun terakhir, DVD bajakan kualitas gambarnya makin bagus. Tapi memang frekuensi belanja film sekarang jauh berkurang. Anak saya sudah mempunyai banyak teman, termasuk komputer. Menonton film tidak menarik hatinya lagi. VCD/DVD ini pun menganggur, yang asli maupun bajakan. Televisi kami pun awet, karena jarang sekali diminta bekerja.

Semalam dia tiba-tiba terpikir untuk menonton Spongebob karena di sekolah sempat bertukar cerita dengan teman-temannya. Dia jadi ingat punya filmnya di rumah. Begitu VCDnya ditemukan, dia bersyukur sekali. Saya menemaninya menonton sambil mondar-mandir ke mesin cuci. Berulang terdengar tawa lepasnya melihat adegan-adegan konyol Spongebob dan kawan-kawannya. Sesekali saya komentar juga, bahwa tidak semua candaan dalam film ini baik.

Saat cerita sedang seru-serunya, gambar tersendat, terputus-putus, dan tampilannya bergaris-garis. Dia keluarkan kepingannya, dibersihkan, kemudian diputar lagi langsung ke bagian ini. Rupanya masih kotor. Dia ulang lagi proses pembersihan.

Saya sedang menjemur pakaian di belakang ketika anak yang menjelang gadis ini bertanya sambil lalu dengan intonasi ringan tapi suara keras karena mengimbangi bunyi getaran mesin cuci, 
”Ini VCD bajakan ya, Mah?”

Tiba-tiba, bagai ada luka yang tersiram cuka jauh di dalam tubuh saya. Ada rasa yang tak berwujud, tak tersentuh, tak terdefinisi, tetapi nyata.

Inikah malu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar