Hari gini masih pakai VCD?
Ssst, jangan tertawa dulu. Ini tentang VCD yang sudah saya beli lebih dari 5
tahun lalu.
Semalam, anak saya minta izin
menonton Spongebob The Movie. Dia berdalih hari ini libur, jadi semalam boleh
rileks. Agak heran juga, film yang sudah bertahun-tahun menganggur, tiba-tiba
ingin dia lihat lagi.
Saya sempat membantunya mencari
film yang dimaksud di antara tumpukan CD/VCD/DVD. Sudah bertahun-tahun tidak
disentuh. Bahkan sebenarnya saya sedang berpikir untuk mengeluarkannya dari
rumah.
Saya mengelompokkan film-film
lama dalam empat kelompok besar. CD file pribadi, CD lagu-lagu yang hampir semua
asli, VCD/DVD dari toko besar, dan VCD/DVD yang saya beli di kaki lima.
Jadi teringat, awalnya, saat
dia Batita, saya membelikan Teletubbies. Saat itu ini tontonan bayi yang paling
sederhana. Sempat membaca ulasan yang agak sensitif tentang dampak film yang
tampaknya sederhana ini, tetapi saya belum menemukan film lain. Kami belum
terpikir untuk memakai TV-berlangganan, karena itu berarti biaya tambahan. Dan
idealisme saya saat itu, ingin mengenalkan sesuatu yang benar kepada anak.
Jadi, saya belikan VCD asli. Walau tidak sederhana untuk dompet saya, saya
pikir tak apa, toh sesekali saja.
Seiring waktu, saya pun
membelikan lagi tontonan-tontonan lain. Seri Barney dan film-film Pixar maupun
Disney. The Bug’s Life dan The Lion King adalah favorit anak saya (dan favorit
saya juga). Hampir tiap hari Simba lagi, Simba lagi. Saya pernah bercerita
tentang ini di salah satu tulisan saya “Merek Dagang Anakku”.
Mulai usia Taman Kanak-kanak,
anak saya mengenal Barbie. Ini pun masih saya tunjang dengan film asli. Tapi
ketika kebutuhan dia meningkat, mulai terasa berat. Ingin memberikan banyak
pilihan kepada anak, tetapi kalau sering-sering membelikan film asli, tekor
juga. Apalagi kalau itu film-film yang hanya akan dia tonton 1-2 kali saja.
Sampai suatu hari saya
berbincang dengan teman. Saya yakin secara finansial, dia
sangat mampu membeli film asli. Tapi dia bercerita, malas membeli yang asli. Mahal.
Lagipula, kalau kita membeli yang bajakan di pinggir jalan, itu berarti ikut
memberi makan para penjual. Anggap saja sedekah kepada mereka yang mungkin tak
beruntung mendapatkan pekerjaan formal.
Bahwa ini merugikan pembuat
film, iya. Bahwa ini kriminal secara
internasional, iya. Tetapi kita ambil sederhananya sajalah, katanya. Orang-orang
asing pembuat film ini sudah banyak menangguk untung dari seluruh dunia. Mereka
sudah sangat kaya raya atas hasil karyanya. Sementara, di sekitar kita, sangat
banyak orang yang bahkan untuk makan nanti siang saja masih harus berpikir
panjang. Para pengganda ini sudah punya urusannya sendiri dengan yang di atas. Tapi,
para penjaja, untuk mereka ini berarti senyum anaknya, jalan menuju kenyang
perutnya. Itu saja.
Kita pun dapat untungnya kok,
biaya yang dikeluarkan untuk satu keping film asli, bisa kita gunakan untuk
mendapat 10 film lain.
Saya pun terpengaruh. Secara
sirkulasi dana rumah tangga, ini lebih masuk akal. Mulailah Spongebob dan Dora
masuk rumah secara tidak sah...
Film-film pendidikan lokal, seperti Mrico dan kawan-kawan, tetapi saya
dapatkan dari penjual resmi. Anak saya tak pernah berkomentar apa-apa. Namanya
anak-anak, dia tak memperhatikan apakah yang dilihatnya film asli atau bukan.
Makin lama, saya makin terbiasa
mendapatkan barang yang murah. Apalagi, di tahun-tahun terakhir, DVD bajakan
kualitas gambarnya makin bagus. Tapi memang frekuensi belanja film sekarang
jauh berkurang. Anak saya sudah mempunyai banyak teman, termasuk komputer.
Menonton film tidak menarik hatinya lagi. VCD/DVD ini pun menganggur, yang asli
maupun bajakan. Televisi kami pun awet, karena jarang sekali diminta bekerja.
Semalam dia tiba-tiba terpikir
untuk menonton Spongebob karena di sekolah sempat bertukar cerita dengan
teman-temannya. Dia jadi ingat punya filmnya di rumah. Begitu VCDnya ditemukan,
dia bersyukur sekali. Saya menemaninya menonton sambil mondar-mandir ke mesin
cuci. Berulang terdengar tawa lepasnya melihat adegan-adegan konyol Spongebob
dan kawan-kawannya. Sesekali saya komentar juga, bahwa tidak semua candaan
dalam film ini baik.
Saat cerita sedang
seru-serunya, gambar tersendat, terputus-putus, dan tampilannya bergaris-garis.
Dia keluarkan kepingannya, dibersihkan, kemudian diputar lagi langsung ke
bagian ini. Rupanya masih kotor. Dia ulang lagi proses pembersihan.
Saya sedang menjemur pakaian di
belakang ketika anak yang menjelang gadis ini bertanya sambil lalu dengan intonasi ringan tapi suara keras karena
mengimbangi bunyi getaran mesin cuci,
”Ini VCD bajakan ya, Mah?”
Tiba-tiba, bagai ada luka yang
tersiram cuka jauh di dalam tubuh saya. Ada rasa yang tak berwujud, tak
tersentuh, tak terdefinisi, tetapi nyata.
Inikah malu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar