Vierta lelah sekali. Usai
menidurkan Rene dan Haya, dia melangkah pelan menuju
dapur. Sangat perlahan. Telapak
kakinya nyaris tak beranjak dari lantai. Terseret-seret.
Andai kata hati diikuti, Vierta pasti sudah ikut bermimpi di samping kedua
bayinya. Sejak pagi tak henti Vierta bergerak. Menyiapkan nasi goreng untuk sarapan dia dengan Rounti,
suaminya. Membuat bubur beras merah
untuk Rene dan Haya. Memasukkan
pakaian kotor ke mesin cuci. Dan, mengaktifkan robot pengepel lantai.
Vierta tahu, seharusnya Haya masih dalam masa ASI eksklusif. Belum tepat
makan bubur beras merah, walaupun diencerkan. Sayangnya air susu Vierta kurang, karena asupan gizinya harus dipilah
tubuh untuk perkembangan janin yang sudah 7 bulan di
dalam perut.
Keberadaan calon adik Haya inilah yang membuat fisik Vierta tidak prima.
Mudah mengantuk. Tetapi, kondisi rumah memaksanya menguatkan diri. Vierta masih harus memasukkan peralatan masak dan piring kotor ke
mesin pencuci piring dan memindahkan
pakaian yang sudah dicuci tadi pagi ke mesin pengering.
Satu tendangan mendorong perut gendutnya dari dalam. Refleks tangan kanan
Vierta mengusap gelembung di bawah dada, menenangkan sang janin. Senyum ironis
pun terbentuk, ujung bibirnya terangkat sebelah. Sang penabuh tambur
marchingband kebanggaan sekolah itu kini bertahan memanggul tambur kehamilannya
selama hampir 20 bulan.
Sejak mulai mengandung Rene sampai hari ini, 19 bulan sudah Vierta hamil.
Dua bayi sudah dilahirkan 10 dan 5 bulan lalu. Kini, janin ketiga berusia 7
bulan. Senyum Vierta berubah menjadi senyum lega membayangkan dua bulan lagi
semua ini akan usai. Kehamilan tumpuk yang melelahkan lahir maupun batin.
Kehamilan yang bagai kepulauan Nusantara, sambung menyambung menjadi satu.
Sambil memasukkan piring dan panci ke dalam mesin pencuci, Vierta mengenang
hari-harinya satu setengah tahun
terakhir. Pada awalnya Vierta mengalami gangguan mual parah. Mungkin itu reaksi
psikis atas kehamilan yang diintervensi negara.
Vierta mendapat panggilan dari Puskesmas saat memasuki bulan ketujuh
pernikahan. Karena belum hamil setelah 6 bulan menikah, Vierta dan Rounti terkena
pasal percepatan kehamilan. Ada semacam hormon yang disuntikkan kepada para
Pengantin Setengah Tahun, istilah untuk mereka yang sudah menikah 6 bulan
tetapi istri belum hamil.
Pemerintah menetapkan aturan ini sebagai bagian dari langkah terpadu
memutus masalah bangsa yang saling lilit selama puluhan tahun. Sebelumnya, berbagai
pihak dilibatkan untuk menganalisis dan mempertimbangkan segala aspek.
Hasil evaluasi komprehensif menyatakan bahwa segala tindak kejahatan
manusia dewasa, termasuk korupsi dan narkoba, dapat direduksi secara signifikan
jika pada 5 tahun awal hidupnya seorang anak dibesarkan oleh tangan ibu
kandung. Karena itu perempuan wajib mengurus anak sendiri
di masa emas mereka.
Untuk mengatasi kesempatan aktualisasi diri, kampanye menikah di awal usia
20 tahun pun digalakkan. Jika 6 bulan belum hamil, pasangan pengantin itu akan
mendapat perlakuan seperti Vierta. Tujuannya baik, agar pihak istri tidak
membuang usia dalam penantian datangnya anak.
Sedangkan pembatasan dua anak karena pertimbangan demografi, budaya, daya
dukung lingkungan, dan hak perempuan bekerja. Andai jarak kedua anak ini 5
tahun pun, kewajiban mengurus anak sendiri ini akan usai dalam 10 tahun, saat
sang ibu masih di awal 30-an. Masih sangat panjang peluang berkarir. Pengambil
keputusan sangat memperhitungkan tingkat kenyamanan seluruh warga negara.
Sebagai bentuk keadilan, mereka yang mempunyai anak lebih dari dua, harus
rela membayar pajak progresif kelahiran. Dalam arti, pajak kelahiran anak ke-4
lebih besar dari pajak kelahiran anak ke-3. Aplikasi turunan dari aturan ini
berantai, misalnya untuk biaya pendidikan maupun asuransi kesehatan.
Pendekatan yang pas tapi tegas dari pemerintah disukai banyak penduduk.
Termasuk Vierta. Dia sangat mendukung. Apalagi Vierta menyukai sejarah. Dia
sangat paham betapa carut marutnya negeri ini sejak para perempuan bebas
beraktivitas demi haknya semata.
Sambil melipat pakaian yang sudah kering di ruang televisi, Vierta mengajak
janinnya berbincang-bincang.
“Pagi, Sayang.” Sebuah tendangan ringan terasa. Segera ditangkapnya sisa
tonjolan itu. “Ini kakimukah? Atau tangan? Wah, langsung hilang lelah Mamah.”
Ajaibnya kehamilan! Rasa berat, lelah, ingin marah atau menangis entah untuk
apa, selalu hilang saat sang calon bayi memberi perhatian kepada bundanya.
Satu demi satu pakaian terlipat, dan kenyamanan Vierta tetap terjaga karena
sesekali dia sapa perutnya untuk mendapatkan penguatan diri. Dengan cara
seperti ini dia bisa bertahan naik roller-coaster
hampir 3x9 bulan!
Kenangan Vierta membayang. Empat bulan pertama paling menyiksa. Mual dan
muntah tanpa alasan. Dokter mengatakan dia hamil, tapi kan tidak ada tanda apa
pun. Baru setelah janin mulai memberi tanda kejutan ringan seperti tersetrum
listrik, dan semakin hari gerakannya semakin kuat, Vierta menikmati
kehamilannya. Bangga, bahagia, dan penuh cinta.
Sampai tiba hari itu. Pemeriksaan USG di bulan ke-7. Gambaran di monitor membuat
kening dokter berkerut. Calon orang tua ini heran, karena yang mereka rasakan
justru tersanjung luar biasa. Dokter mengarahkan cursor ke satu titik yang tampak berdenyut-denyut. Bukan dari
janin.
Setelah
berkali-kali melihat, akhirnya dokter memastikan bahwa ada sebuah kantung
kehamilan lain, dengan janin yang jauh lebih kecil dari calon bayi pertama.
Sungguh fenomena yang tak terduga.
Saat seorang
perempuan hamil, kadar hormon progesteronnya tinggi. Sedangkan hormon estrogen
lemah, sehingga tidak ada produksi dan pematangan sel telur. Jadi, tidak
mungkin ada kehamilan baru selama hamil. Kasus Vierta segera menjadi perhatian
dunia kedokteran. Vierta pun diminta bolak-balik ke rumah sakit menjalani
pemeriksaan. Akhirnya diperoleh kesimpulan, bahwa ini adalah efek dari
penyuntikan hormon pemercepat kehamilan.
Vierta mempunyai
gen kembar dari keluarga ibunya. Pada generasi sebelumnya, ibu dan nenek Vierta
meminum pil KB untuk mencegah kehamilan sesudah memiliki 2 anak. Produsen
hormon di tubuh Vierta sudah terganggu sebagai efek obat yang diminum ibu dan
neneknya itu.
Penyuntikan hormon pemercepat kehamilan, menciptakan reaksi unik di tubuh
Vierta, yaitu hormon progesteron dan hormon estrogen diproduksi sama tinggi. Sehingga tetap ada proses pematangan sel telur di tubuh
Vierta selama dia hamil. Dan si telur yang dibuahi ini matang serta menjejakkan
diri di kantong kehamilan baru di rahim Vierta.
Walau sempat kaget, Vierta kemudian bersyukur. Kehamilan tumpuk ini membuat
dia tidak perlu mengalami mual tanpa hiburan. Saat janin baru belum terasa
keberadaannya, ada sang kakak yang sudah banyak bergerak. Gerakan yang selalu
berhasil meredakan segala ketegangan Vierta, seperti yang dirasakan seluruh ibu
hamil. Dengan hamil bersambung seperti ini pun, masa grounded Vierta untuk membesarkan anak menjadi singkat. 5 tahun 7
bulan saja dua anak usai ditimang. Dia bisa segera menekuni cita-citanya
menjadi peneliti benda purbakala.
“Sayang, kita lihat kakak Rene dan Haya yuk, sambil memasukkan pakaian ke
lemari,” ujar Vierta sambil bangkit perlahan. Langkahnya masih pelan, tetapi
tidak lunglai seperti tadi. Wajah bayi yang damai dalam tidur pun menjadi obat
penenang lain. Bersihnya wajah anak-anakku, Vierta bersyukur dalam hati.
Perlahan Vierta berbaring di samping Rene dan Haya. Diusap perlahan
perutnya, “Kita temani kakak tidur, yuk.”
Mata Vierta pun terpejam, tetapi pikirannya malah terjaga. Teringat saat proses serupa terjadi pada kehamilan ketiga ini. Terdeteksi ada janin baru saat janin Haya berusia
7 bulan. Dilema mulai muncul pada diri Vierta, mengingat peraturan untuk anak ketiga. Vierta tidak lagi menikmati kehamilan seperti saat hamil Rene dan
Haya. Pajak yang akan ditarik pemerintah setiap tahun sejak bayi dilahirkan
sampai usia 20
tahun selalu terbayang di pelupuk mata. Bagaimana dia harus menghemat
pengeluaran untuk menyiapkan dana pembayar pajak? Tiba-tiba dia teringat untuk menelepon Rounti.
Vierta tak jadi tidur. Denyut jantung yang cepat tak bisa mengimbangi
langkah berat. Tak sabar Vierta ingin segera sampai di ruang tengah. Dengan
terengah, dia menjatuhkan diri di sofa lembut hijau tua favoritnya.
Vierta menelepon
Rounti melalui I-is. Sosok hologram Rounti pun segera muncul di hadapan Vierta,
berasal dari pancaran layar I-is-nya. Ini saja sudah melegakan napas Vierta. “Tenang,” ujar Rounti, “Surat yang kita ajukan kan sedang
diproses. Dan menurut penasihat hukum, besar sekali kemungkinan kita menang.”
Dengan
melampirkan data dari pihak dokter, PUSKESMAS, dan rumah sakit, Rounti sedang
meminta pemerintah agar tidak menerapkan aturan pajak progresif itu kepada anak
ketiganya. Proses
kehamilan Vierta kan di luar kekuasaannya. Bahkan merupakan efek dari program
pemerintah. Proses hamil yang bahkan para dokter pun baru mengetahui peristiwa
seperti ini bisa terjadi.
“Iya,” jawab
Vierta, “Tetapi kan dokter sudah menyarankan kita puasa dulu selama belum
diketahui cara penyelesaiannya?” Terngiang di telinga Vierta ucapan dokter, “Sementara, satu-satunya
cara sederhana menghentikan kehamilan beruntun ini adalah dengan tidak
melakukan hubungan suami istri.”
“Saya kan sudah
sampaikan juga kepada dokter itu, ‘Yang benar saja…kita kan pengantin baru’,” Rounti mengingatkan Vierta akan jawabannya
kepada dokter, sambil tertawa.
“Bahkan, siang ini suratnya akan direvisi. Permohonan itu tidak hanya untuk anak ketiga, tetapi juga untuk
anak-anak selanjutnya, sampai pihak kedokteran menemukan terapi yang paling
tepat untuk kasus kita.”
“Hah?” Vierta
ternganga memahami makna ucapan suaminya. Terdengar Rounti tertawa terrbahak-bahak.
Puas sekali.
“Sungguh, saya
malah bersyukur. Ini jalan yang diberi Tuhan. Mimpi punya anak setim bola voli
bisa terwujud tanpa harus membayar pajak berlipat-lipat.”
“Dasar!” Vierta
mengakhiri perbincangan dengan suaminya. Antara lega, geli, dan pasrah. Dari
sofa, tampak kedua bayinya masih pulas. Senyum bahagia seorang ibu memancar di
wajah lembut Vierta. Terlebih ketika tatapannya beralih ke perut. Dielus-elus dengan lembut perut gendutnya
sambil berguman, “Kamu dengar tadi,
Nak? Papamu jahil, ya? Kita minum susu saja dulu, sambil menunggu kak Rene dan
kak Haya bangun”
Vierta sempat diam di depan kulkas yang sudah dia buka. “Kamu mau yang rasa
coklat atau vanili, Sayang,” sambil menunduk menatap tonjolan dibalik pakaian
longgarnya. “Coklat saja, ya, segar di udara panas seperti ini. Tak sabar Mamah
menanti 2 bulan lagi untuk bertemu kamu, dan puas bermain dengan kalian
bertiga.” Vierta teringat saat Rene mulai bisa mengucap “Mama” dengan jelas, Haya berhasil
menggulingkan tubuhnya di tempat tidur, dan si kecil mulai terasa tonjokan
sayangnya di perut Vierta. Kebahagiaan apalagi yang harus dicari? Belum ada
perempuan lain yang merasakan tiga hal itu secara bersamaan di satu waktu.
Baru saja Vierta menusukkan sedotan ke kotak susu, I-is nya bergetar. Ada
pesan masuk. Dari laboratorium.
Jantung Vierta serentak berdebar lebih
cepat. Sejenak dia ragu, dilanjutkan atau tidak membaca pesan yang diterima. Ketika akhirnya tombol
“terima” ditekan, muncullah di
layar data hasil pemeriksaan kemarin.
Napas Vierta tertahan,
dadanya nyaris meledak. Tiba-tiba saja benda-benda di rumahnya tampak
berputar-putar. Lemari es di
hadapannya seolah-olah membesar, mendekat, dan menabraknya, mengantarkan sebuah
keranjang bayi. Vierta refleks mundur selangkah, tetapi kakinya terantuk kursi makan. Sedetik
sebelum jeritan kaget dan putus asa siap keluar dari mulutnya, dia sadar.
Dihempaskan tubuh ke kursi tersebut. Gemuruh degup
jantung berlomba mengirim sinyal. Bertalu-talu, saling susul, semakin lekas dan
bertambah cepat. Udara dihembuskan dari kedua hidungnya. Lama. Dan panjang sekali.
Vierta sempat
berharap napasnya
tinggal itu saja.
Laboratorium melaporkan keberadaan satu janin tambahan lagi, berusia 2 bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar