Kamis, 03 Mei 2012

ANAS dan ANNIS, Beda Tipis



Persamaan keduanya banyak sekali. Tak terhitung. Bermata dua. Bernapas menghirup oksigen. WNI. Dan lain-lain.

Perbedaannya? Tidak banyak. Hanya di dua huruf. Yang satu cukup dengan 1 N, yang lain perlu 2 N. Serta beda A dan I saja. O ya, yang satu laki-laki, yang lain perempuan.

Selama ini saya menerimanya begitu saja. Saya dengan kehidupan saya, dia dengan kehidupannya. Kami hidup masing-masing, Indonesia luas kok.

Baru beberapa hari terakhir, saya merasakan bahwa ternyata perbedaan di antara kami jauh dari sedikit. Terasa lebih jauh dari jarak Sabang ke Merauke.

Saya merasa lebih beruntung darinya. Saya sudah mempunyai sepeda motor atas nama saya sendiri sejak SMA.  Dibeli dari hasil menabung lama (dan dilunasi orang tua :) ). Honda 800 yang baru saya jual 23 tahun kemudian. Saya sudah sangat terbiasa dihentikan Polisi jika mereka sedang mengadakan pemeriksaan. Pak Polisi akan meminjam STNK dan SIM . Setelah mencocokkan nomor kendaraan dan wajah di foto, SIM dan STNK saya akan dikembalikan dengan pesan “Hati-hati mengemudinya, ya.” 

Spion dan helm selalu terpasang dengan benar, sehingga tidak pernah ditilang. Pernah sih satu kali dihentikan karena membonceng teman kuliah yang tidak pakai helm. Toh hanya dari jalan Ganesha ke Jl. Tamansari. Ternyata di tengah-tengah ada Pak Polisi. Saya tidak jadi ditilang karena Pak Polisi kehilangan kata ketika saya bilang, “Kemarin saya lihat yang pakai helm tapi tidak pakai motor kok tidak ditilang...”

Jadi, sejak SMA saya sudah paham, nomor di STNK harus sama dengan nomor yang terpasang untuk menunjukkan bahwa kendaraan yang saya gunakan bukan hasil curian. Sekarang pun, di tempat parkir saya selalu memastikan tidak keliru naik mobil walau Avanza silver ada puluhan di sana, karena saya hapal nomor mobil saya.

Tampaknya, Anas tidak seberuntung saya. Dugaan saya, dia baru memiliki kendaraan pribadi setelah menjadi seseorang yang berhak dikawal polisi dan diantar sopir kemana-mana. Sehingga dia tidak pernah mempelajari peraturan lalu-lintas dan berkendaraan karena tidak punya SIM, dan tidak pernah mengalami dihentikan polisi di jalan untuk diperiksa kesesuaian nomor tertera dan di STNK.

Perbedaan terbesar yang membuat saya tergerak untuk menulis malam ini adalah peristiwa minggu lalu yang membuat ingatan saya kembali ke 9 Juli 2011. Malam Minggu yang tak terlupakan.

Pertama kalinya saya ditilang. Di Jakarta. Benar-benar karena ketidaktahuan saya. Daerah edar saya adalah di Bogor. Jika ke Jakarta, saya naik KRL atau menjadi penumpang. Malam itu saya dari Senayan akan masuk tol dalam kota. Tujuan saya masuk dari depan Plaza Semanggi. Ternyata tidak bisa karena telat mengambil jalur kanan. Saya pun menuju pintu masuk berikutnya. Begitu melihat plang dan lampu hijau, saya segera ke kanan, takut terlambat lagi. Tiba-tiba, di depan, berdiri pak polisi di tengah jalan. Oo, ternyata kali ini malah terlalu cepat. Ini masih jalan milik busway.

SIM saya diambil, dan diminta sidang 2 minggu kemudian. Malam sebelum sidang saya baru sadar, ada 2 pasal yang dituduhkan. Saya tanya kepada teman yang bertugas di Mabes POLRI, dia tidak tahu itu pasal tentang apa, tidak merasa perlu membantu menanyakan kepada teman-temannya sesama polisi, dan –maaf, ini yang paling berkesan- setelah dia tahu sebabnya dia hanya berkata, “Kamu apes saja”.

Keesokan harinya, dalam sidang yang untungnya boleh diwakilkan, saya merelakan Rp 350.000 melayang. Rp 300.000 untuk denda 2 pasal kesalahan yang dilanggar, dan Rp 50.000 untuk membayar orang yang membantu agar bisa dipanggil cepat karena ada 6000-an orang yang hari itu harus disidang tilang. Semoga yang Rp 300.000 tetap masuk ke kas negara karena saya tidak menerima bukti pembayarannya.

Perbedaannya dengan Anas? Untuk urusan ini, dia jauh lebih beruntung dari saya. Kapolda hanya memberitahunya bahwa mengganti plat nomor itu suatu kesalahan, Anas memasang kembali plat nomor yang asli, dan kasus selesai.

2 komentar:

  1. Kesimpulannya, di negeri ini, yang berkuasa akan membuat hukum tunduk padanya. Ironi.

    BalasHapus
  2. hi..hi..hi...tulisannya inspiratif dan 'menggelitik' Nis... Anas...Anas....katanya mau jadi generasi muda yang bisa menggantikan estafet kepemimpinan bangsa...Lha koq....??? Aku pilih Annis aja deh...yang n-nya 2 dan pake i....

    BalasHapus