Persamaan keduanya banyak
sekali. Tak terhitung. Bermata dua. Bernapas menghirup oksigen. WNI. Dan
lain-lain.
Perbedaannya? Tidak banyak.
Hanya di dua huruf. Yang satu cukup dengan 1 N, yang lain perlu 2 N. Serta beda
A dan I saja. O ya, yang satu laki-laki, yang lain perempuan.
Selama ini saya menerimanya
begitu saja. Saya dengan kehidupan saya, dia dengan kehidupannya. Kami hidup
masing-masing, Indonesia luas kok.
Baru beberapa hari terakhir,
saya merasakan bahwa ternyata perbedaan di antara kami jauh dari sedikit.
Terasa lebih jauh dari jarak Sabang ke Merauke.
Saya merasa lebih beruntung
darinya. Saya sudah mempunyai sepeda motor atas nama saya sendiri sejak SMA. Dibeli dari hasil menabung lama (dan dilunasi
orang tua :) ). Honda 800 yang baru saya jual 23 tahun kemudian. Saya
sudah sangat terbiasa dihentikan Polisi jika mereka sedang mengadakan
pemeriksaan. Pak Polisi akan meminjam STNK dan SIM . Setelah mencocokkan nomor
kendaraan dan wajah di foto, SIM dan STNK saya akan dikembalikan dengan pesan “Hati-hati
mengemudinya, ya.”
Spion dan helm selalu terpasang
dengan benar, sehingga tidak pernah ditilang. Pernah sih satu kali dihentikan
karena membonceng teman kuliah yang tidak pakai helm. Toh hanya dari jalan
Ganesha ke Jl. Tamansari. Ternyata di tengah-tengah ada Pak Polisi. Saya tidak
jadi ditilang karena Pak Polisi kehilangan kata ketika saya bilang, “Kemarin
saya lihat yang pakai helm tapi tidak pakai motor kok tidak ditilang...”
Jadi, sejak SMA saya sudah
paham, nomor di STNK harus sama dengan nomor yang terpasang untuk menunjukkan
bahwa kendaraan yang saya gunakan bukan hasil curian. Sekarang pun, di tempat
parkir saya selalu memastikan tidak keliru naik mobil walau Avanza silver ada
puluhan di sana, karena saya hapal nomor mobil saya.
Tampaknya, Anas tidak
seberuntung saya. Dugaan saya, dia baru memiliki kendaraan pribadi setelah
menjadi seseorang yang berhak dikawal polisi dan diantar sopir kemana-mana.
Sehingga dia tidak pernah mempelajari peraturan lalu-lintas dan berkendaraan
karena tidak punya SIM, dan tidak pernah mengalami dihentikan polisi di jalan
untuk diperiksa kesesuaian nomor tertera dan di STNK.
Perbedaan terbesar yang membuat
saya tergerak untuk menulis malam ini adalah peristiwa minggu lalu yang membuat
ingatan saya kembali ke 9 Juli 2011. Malam Minggu yang tak terlupakan.
Pertama kalinya saya ditilang.
Di Jakarta. Benar-benar karena ketidaktahuan saya. Daerah edar saya adalah di
Bogor. Jika ke Jakarta, saya naik KRL atau menjadi penumpang. Malam itu saya
dari Senayan akan masuk tol dalam kota. Tujuan saya masuk dari depan Plaza
Semanggi. Ternyata tidak bisa karena telat mengambil jalur kanan. Saya pun
menuju pintu masuk berikutnya. Begitu melihat plang dan lampu hijau, saya
segera ke kanan, takut terlambat lagi. Tiba-tiba, di depan, berdiri pak polisi
di tengah jalan. Oo, ternyata kali ini malah terlalu cepat. Ini masih jalan
milik busway.
SIM saya diambil, dan diminta
sidang 2 minggu kemudian. Malam sebelum sidang saya baru sadar, ada 2 pasal
yang dituduhkan. Saya tanya kepada teman yang bertugas di Mabes POLRI, dia
tidak tahu itu pasal tentang apa, tidak merasa perlu membantu menanyakan kepada
teman-temannya sesama polisi, dan –maaf, ini yang paling berkesan- setelah dia
tahu sebabnya dia hanya berkata, “Kamu apes saja”.
Keesokan harinya, dalam sidang
yang untungnya boleh diwakilkan, saya merelakan Rp 350.000 melayang. Rp 300.000
untuk denda 2 pasal kesalahan yang dilanggar, dan Rp 50.000 untuk membayar
orang yang membantu agar bisa dipanggil cepat karena ada 6000-an orang yang
hari itu harus disidang tilang. Semoga yang Rp 300.000 tetap masuk ke kas
negara karena saya tidak menerima bukti pembayarannya.
Perbedaannya dengan Anas? Untuk
urusan ini, dia jauh lebih beruntung dari saya. Kapolda hanya memberitahunya
bahwa mengganti plat nomor itu suatu kesalahan, Anas memasang kembali plat
nomor yang asli, dan kasus selesai.
Kesimpulannya, di negeri ini, yang berkuasa akan membuat hukum tunduk padanya. Ironi.
BalasHapushi..hi..hi...tulisannya inspiratif dan 'menggelitik' Nis... Anas...Anas....katanya mau jadi generasi muda yang bisa menggantikan estafet kepemimpinan bangsa...Lha koq....??? Aku pilih Annis aja deh...yang n-nya 2 dan pake i....
BalasHapus