Sabtu, 08 November 2014

Perusahaan Bernama Unik



“Hari ini kita akan makan siang dimana?”
“Di Tempat Biasa.”

          Ini percakapan yang sangat biasa. Kita pasti sering pula melakukannya. Pada umumnya orang sudah punya tempat makan favorit masing-masing. Tempat biasa ini bisa di warteg, resto fastfood, atau apa saja.
Tetapi, bagi teman-teman di Jalan Raya Hankam, Bekasi, percakapan ini mengacu ke satu tempat tertentu saja. Cafe Tempat Biasa, namanya.

          Kemarin saya lewat, dan tertarik. Saya tidak mampir, karena memang bukan jam makan. Tetapi namanya begitu berkesan. Ini nama yang unik, dan mudah diingat, sering diucapkan. Jika pelayanan dan kualitas makanan menunjang, menjadi besar tinggal menunggu waktu saja.


          Cafe Tempat Biasa, mengingatkan saya pada nama lain. Kawan Lama. Sejak tahun 80-an akhir, saya tinggal di kompleks perumahan di belakang jalan Cipaganti. Ada satu rumah yang dijadikan kantor di jalan Cipaganti, di depannya terpampang plang bertuliskan PT Kawan Lama Sejahtera. Setiap akan pulang ke rumah, saya melewati kantor ini. Secara fisik, biasa saja. Rumah biasa, tidak mencrang. Saya ingat karena namanya yang unik. Kawan Lama Sejahtera.


          Pernah saya bercanda dengan suami, betapa staf Marketing perusahaan ini dimudahkan dalam melakukan kontak kepada calon klien. Jika mereka menelepon, misalnya, percakapan bisa seperti ini:

Calon klien : Selamat siang, PT XX disini. Ada yang bisa kami bantu?
Marketing KLS :Selamat siang. Bisa bicara dengan Pak AA, direktur anda?
Calon klien yang waspada : Maaf, ini dari siapa?
Marketing KLS : Ini dari Kawan Lama
Calon klien : Baiklah, sebentar, Pak.
Calon Klien menghubungi atasannya : Ada telepon, katanya dari kawan lama Bapak. Apakah akan diterima?
Atasan : Oh, ok, sambungkan saja. *sambil menduga ini kawan lama relasinya.
Calon klien kepada Marketing KLS : silakan langsung saja dengan Bapak.
...

          Minggu lalu, saya mampir ke Ace Hardware, dan sempat ngobrol dengan seseorang. Saya duga dia staf dari kantor pusat yang sedang melakukan blusukan, cek toko cabang Bogor. Awalnya sih hanya menanyakan satu barang yang saya cari saja, tapi kemudian obrolan melebar. Sampai ke informasi bahwa Ace Hardware ini salah satu unit usaha milik PT Kawan Lama.

          Saya langsung teringat PT Kawan Lama Sejahtera yang dahulu saya lewati hampir tiap hari. Kantor kusam di jalan Cipaganti. Apakah mungkin ini perusahaan yang sama? Aa Google pun kembali jadi andalan.

          Ternyata benar. Kawan Lama Sejahtera, perusahaan yang didirikan sejak 1955. Awalnya perusahaan penyedia alat-alat berat. Pada masa kejayaannya, mungkin ini memang jenis usaha yang tepat. Indonesia banyak membangun infrastruktur dalam beberapa dekade. Perusahaan ini cerdas membaca zaman. Ketika era pembangunan mulai bergeser, mereka mengubah usaha dasar. PT KLS membuat beberapa anak usaha dan mengubah target. Mereka mencanangkan akan menjadi perusahaan ritel kelas dunia. Nama Ace Hardware, Informa, Krisbow...kini mulai familier sebagai penyedia barang utama di katagorinya. Nama perusahaan induk pun lebih singkat, PT Kawan Lama saja. Kantor cabang Bandung pun tak di Cipaganti lagi, plangnya merah ceria di jalan Pungkur.

          Maaf menyebut merk. Tapi ini asli bukan iklan. Saya tak ada urusan apa-apa dengan perusahaan ini kecuali sebagai pembeli sesekali. Saya hanya tertarik dengan namanya.

          Dua contoh ini, siapa tahu bisa menjadi ide menarik bagi pembuatan nama unik lain. Sederhana, mudah diingat, bahkan biasa didengar, tapi spesifik.

Jumat, 07 November 2014

Ilmu Ukur dan Perbandingan di kelas6



Masih tentang Pak Karna, dan ilustrasi suasana kelas saat pelajaran Matematikanya. Ini peristiwa lain. Kalau tidak salah, lebih awal dari materi Sudut. Sama serperti Sudut, isi kisahnya tidak persis benar. Sudah lama berlalu. Nuansa nya yang ingin saya sampaikan.

Murid ke-1 : Kenapa sih, Pak, kita harus belajar Matematika?
Murid ke-2 : Iya, Pak. Matematika kan susah, tapi gak ada gunanya.
Guru : Begitu ya? Matematika penting lo. Untuk diri kamu sendiri saja dulu. Yuk kita lihat.

Guru : Berapa tahun umur kamu? *sambil menunjuk salah satu murid.
Murid ke-3 : 11 tahun, Pak
Guru : Berapa bulan umur kamu?
Murid ke-3 : mmm.... 11 tahun x 12....132 bulan, Pak.
Guru : Berapa jam umur kamu? Berapa detik? Kamu hanya bisa jawab jika bisa Matematika.
-----
Guru : Berapa berat badan kamu?
Murid ke-4 : 35 kg, Pak.
Guru : Itu sama dengan berapa ons?
-----
Guru : Berapa tinggi badan kamu?
Murid ke-5 : 140 cm, Pak.
Guru : Berapa desimeter tinggi kamu? Berapa kilometerkah itu?
-----
Guru : berapa persen kamu lebih tinggi dari dia?
-----
Guru : Nah, itu baru tentang tubuh kalian sendiri. Kalian tak akan bisa jawab jika tak bisa Matematika.

Guru : Berapa jarak dari rumahmu ke sekolah? Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk sampai ke sekolah jika berjalan kaki? Jika naik mobil? Berapa perbandingan kecepatannya?

Guru : Kalian sudah lihat, kan? Dari tubuh kita sendiri saja, begitu banyak ilmu Matematika yang diperlukan. Apalagi dalam urusan lain.
Lagipula, kalian tak akan bisa masuk surga jika tak bisa Matematika!

Murid : Kenapa? Kok bisa?
Guru : Di akhirat nanti kita akan dihisab. Hisab itu perhitungan, perbandingan kebaikan dan keburukan. Kalian harus bisa berhitung tentang ini, agar tak menyesal di akhirat nanti, hanya gara-gara tak mau belajar Matematika.

Murid-murid pun lebih paham, bagaimana menggunakan hitungan-hitungan yang diajarkan di kelas. Agak lebay, tapi okay :D Setidaknya, murid mau memperhatikan materi yang diajarkan Pak Karna.

SUDUT



          Seperti biasa, saat perjalanan pagi menuju sekolah, kami melewati wilayah Bina Insani, sekolah anak saya saat SD. Obrolan beralih ke serunya masa SD. Kali ini tentang guru Matematika sekaligus walikelas di kelas 6. Pak H. Sukarna. Pak Karna contoh guru yang mengajak murid berpikir kreatif. Mungkin, suasana seperti ini juga yang dimaksud oleh Kurikulum 13. Keterintegrasian bahasan.

          Ini topik ulangan. Maksud saya, sudah berulang kami bahas. Tapi selalu seru. Saya mencoba menggambarkan suasana kelas. Beberapa contoh mungkin tidak persis benar, maklum peristiwanya sudah 2 tahun lalu. Sebagian sudah lupa detilnya.



          Siang itu, masa awal kelas 6, pelajaran Matematika yang diajarkan Pak Karna memasuki bab SUDUT. Murid-murid kelas 6E yang sedang menikmati euforia menjadi anak tertua di sekolah, lupa mengingat bahwa masih ada yang lebih senior dari mereka. Guru. Mereka bersama-sama ingin “mengenal’ lebih baik wali kelasnya.

          Di sisi lain, anak-anak kelas 6E ini sudah kompak sejak kelas 4. Jadi, di mata para guru, mereka perlu berbekal materi khusus saat akan masuk kelas. Sabar. :)



Guru      :  Hari ini kita akan bahas tentang SUDUT. Kalian sudah paham kan apa yang disebut sudut?
Murid    :  Tahu, pak. Tapi....apa gunanya kita tahu sudut?
Guru      :  Oh, banyak. Banyak sekali.
Murid ke-1 : Misalnya?
Guru      : Misalnya, di kelas ini saja, kalian tentu melihat banyak sudut. Sudut ruangan, sudut di meja, sudut di lemari...
Murid ke-2 : O iya, ya... Tapi, apa gunanya sudut di pelajaran IPA?
Guru      : Wah, itu justru intinya.. Kalian perlu sudut untuk ukur elevasi/ketinggian gedung, kalian perlu sudut yang tepat saat menarik barang, misalnya.
Murid ke-3  : Baiklah, Pak. Kalau penggunaan Sudut di pelajaran IPS?
Guru      : Penting sekali. Raja-raja di masa lalu jika duduk harus tegak di kursi kebesarannya, membentuk sudut 90 derajat.
Murid ke-4  : Bagaimana kalau di pelajaran agama ?
Guru      : Oh, ini luar biasa. Puncak ibadahnya umat Islam itu di Masjidil Haram. Kita bisa berdoa sepuas-puasnya di salah satu sudut Ka’bah. Khusyuk. Nikmat...
Murid ke-5  : Tapi Sudut tak terpakai di rumah!
Guru      : Kata siapa? Memangnya kalian tak perlu menghitung, seberapa besar sudut yang harus dibentuk ketika duduk di kloset agar saat buang air besar kalian nyaman?
Sebagian murid teriak : Iiiih, Bapak jorok...
Guru      : Lho, ini ilmiah. Kalau sudut lutut kalian lebih besar dari 90 derajat, emang enak b.a.b.-nya?  Begini, mau? *sambil memeragakan posisi jongkok tapi lebih besar dari siku-siku.
Murid ke-6 : Sudut gak mungkin bisa dipakai di pelajaran bahasa Indonesia.
Guru      : O ya? Mau bukti?
*beliau ambil bunga dari vas di meja guru, berlari ke salah satu pojok kelas. Dan, sambil mata dikejap-kejapkan, beliau berpuisi penuh perasaan, “ Di sudut ini aku menunggumu...”
Sekelas pun teriak : Bapak lebaaay......

            Seingat saya, murid kelas 6E ini pun takluk. Tunduk dan hormat kepada Bapak Walikelas yang luar biasa ini. Suasana kelas semakin menyenangkan. Mereka tetap kritis, tetapi mereka tahu, guru selalu selangkah lebih dari mereka. Lebih pandai, lebih paham, dan lebih bijak.