Masih
tentang Pak Karna, dan ilustrasi suasana kelas saat pelajaran Matematikanya.
Ini peristiwa lain. Kalau tidak salah, lebih awal dari materi Sudut. Sama
serperti Sudut, isi kisahnya tidak persis benar. Sudah lama berlalu. Nuansa nya
yang ingin saya sampaikan.
Murid
ke-1 : Kenapa sih, Pak, kita harus belajar Matematika?
Murid
ke-2 : Iya, Pak. Matematika kan susah, tapi gak ada gunanya.
Guru
: Begitu ya? Matematika penting lo. Untuk diri kamu sendiri saja dulu. Yuk kita
lihat.
Guru
: Berapa tahun umur kamu? *sambil menunjuk salah satu murid.
Murid
ke-3 : 11 tahun, Pak
Guru
: Berapa bulan umur kamu?
Murid
ke-3 : mmm.... 11 tahun x 12....132 bulan, Pak.
Guru
: Berapa jam umur kamu? Berapa detik? Kamu hanya bisa jawab jika bisa
Matematika.
-----
Guru
: Berapa berat badan kamu?
Murid
ke-4 : 35 kg, Pak.
Guru
: Itu sama dengan berapa ons?
-----
Guru
: Berapa tinggi badan kamu?
Murid
ke-5 : 140 cm, Pak.
Guru
: Berapa desimeter tinggi kamu? Berapa kilometerkah itu?
-----
Guru
: berapa persen kamu lebih tinggi dari dia?
-----
Guru
: Nah, itu baru tentang tubuh kalian sendiri. Kalian tak akan bisa jawab jika
tak bisa Matematika.
Guru
: Berapa jarak dari rumahmu ke sekolah? Berapa lama waktu yang kamu butuhkan
untuk sampai ke sekolah jika berjalan kaki? Jika naik mobil? Berapa
perbandingan kecepatannya?
Guru
: Kalian sudah lihat, kan? Dari tubuh kita sendiri saja, begitu banyak ilmu
Matematika yang diperlukan. Apalagi dalam urusan lain.
Lagipula,
kalian tak akan bisa masuk surga jika tak bisa Matematika!
Murid
: Kenapa? Kok bisa?
Guru
: Di akhirat nanti kita akan dihisab. Hisab itu perhitungan, perbandingan kebaikan
dan keburukan. Kalian harus bisa berhitung tentang ini, agar tak menyesal di
akhirat nanti, hanya gara-gara tak mau belajar Matematika.
Murid-murid
pun lebih paham, bagaimana menggunakan hitungan-hitungan yang diajarkan di
kelas. Agak lebay, tapi okay :D Setidaknya, murid mau memperhatikan materi yang
diajarkan Pak Karna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar