Ketiga. Sambutan tahun 1981 di Jepang. Moral Islam untuk Solidaritas.
*saya pikir ini sambutan yang dibacakan saja. Karena
berdasarkan data, M.. Natsir sebagai salah satu penandatangan petisi 50 tahun
1980, dicekal untuk ke luar negeri. tak ada keterangan dalam buku yang saya
baca tentang ini.
Inti sambutan pendek ini
adalah, menyampaikan kembali sepuluh program aksi hasil KTT Taif yang menyertai
Deklarasi Mekkah. Mengingatkan juga bahwa tantangan terbesar awal abad 15 H
adalah penciptaan suatu orde ekonomi yang lebih berimbang. Dan, harapan serta
apresiasi atas dukungan moral pemerintah Jepang terhadap kegiatan konferensi
Islam di sana sebagai suatu prospek cerah bagi terbitnya era baru, suatu era
kemauan dan pengertian bersama, dimana
yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, bersama-sama menyusuri
jalan bagi akomodasi bersama sebagai ganti konfrontasi yang tak pernah selesai.
Keempat. Ceramah
di Jakarta 1976. World of Islam Festival Dalam Perspektif Sejarah.
M. Natsir sempat hadir 10 hari
di London menghadiri World of Islamic Festival. Acara ini sendiri berlangsung
selama 3 bulan. Banyak hal dilakukan untuk mengenalkan Islam kepada dunia.
Pameran, misalnya, mendatangkan koleksi dari puluhan negara Islam, termasuk
Indonesia.
Ada 30 pameran selama festival. Pertunjukan-pertunjukan, walau ada
1-2 yang ternyata justru tidak Islami karena ketidaktahuan dan terlalu
bersemangat mengenalkan Islam. Misalnya ada tari-tarian dengan pakaian terbuka,
atau lukisan yang bersiluet Rasulullah.
Pemutaran film. Panitia membuat 6 film,
yang diputar sebagai pengantar ceramah yang berkaitan dengan film tersebut. M.
Natsir sendiri datang ke sana menjadi pembicara di salah satu sesi ceramah dan konferensi. Ada 62 pembicara.
Publikasi,
ada 8. Pelaksanaannya tentu tak hanya di satu tempat, tetapi menyebar, termasuk
di kampus-kampus utama Inggris.
Intinya, “Untuk menunjukkan
kepada Dunia Barat betapa besarnya sumbangan yang telah diberikan Islam kepada
kebudayaan-kebudayaan di seluruh dunia.”
Sambutan dari pemrakarsa dan
direktur acara ini, Paul Keeler, nonmuslim. Diantaranya, “Dewasa ini Islam
sedang bangun dari penderitaan akibat dominasi Eropa selama 200 tahun atasnya. Sekarang
sedang berlaku satu reformasi, satu proses perubahan yang pada hakikatnya di seluruh
dunia. Menurut hemat saya, orang Barat belum lagi memahami rasa dan pemikiran
orang Islam. Saya berpendapat, festival ini akan mempertemukan manusiamuslim
dan manusia Eropa...” Natsir menulis, untung bukan saya atau seorang muslim yang
mengatakan itu, karena akan dianggap melakukan apologi.
Festival ini tentu dinilai
beragam oleh berbagai pihak, termasuk organisasi yang bukan Islam. Setidaknya,
sudah ada upaya yang dilakukan.
Natsir menuliskan juga beberapa
teman pembicara dan topiknya. Diantaranya Abul A’la Al-Maududi dan Muhammad
Qutb. Subhanallah, tulisan mereka adalah bacaan wajib aktivis mesjid generasi
saya, dan pak Natsir satu panggung dengan mereka.
Demikianlah "salinan" saya dari sebagian buku M. Natsir, Peran Islam Terhadap Orang Modern. Orang besar yang lahir di Solok 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993 ini menginspirasi banyak orang, bagaimana cara berdakwah dalam politik dan berpolitik dalam dakwah. Hampir semua yang mengenalnya mengakui berlimpahnya contoh sifat mulia yang beliau punya.
Buku ini hanya salah satu dari 45 buku yang M. Natsir tulis seumur hidupnya, di samping ratusan karya tulis lepas lain.
Pak Natsir adalah "lawan" Bung Karno secara ideologi, sehingga mereka berdua sering berbeda pendapat. Satu hal yang sering menjadi pembeda mereka berdua, dalam nuansa canda, adalah urusan poligami. Pak Natsir sebagai pejuang nilai-nilai Islam, tentu termasuk di dalamnya topik poligami sebagai sesuatu yang dibenarkan dalam aturan agama. Tetapi, sampai akhir hayatnya, pak Natsir setia pada satu istri, Nurnahar, yang dinikahinya 20 Oktober 1934, dan memberinya 6 anak. Sedangkan Bung Karno, tak pernah sekalipun kita mendengar pendapat beliau tentang poligami, tetapi beliau adalah pelaku aktif. Maka, jika anda seorang perempuan ingin bersuamikan politisi, tanyakan dahulu, kepada siapa laki-laki ini berguru, Bung Karno atau Pak Natsir. :)
Buku ini hanya salah satu dari 45 buku yang M. Natsir tulis seumur hidupnya, di samping ratusan karya tulis lepas lain.
Pak Natsir adalah "lawan" Bung Karno secara ideologi, sehingga mereka berdua sering berbeda pendapat. Satu hal yang sering menjadi pembeda mereka berdua, dalam nuansa canda, adalah urusan poligami. Pak Natsir sebagai pejuang nilai-nilai Islam, tentu termasuk di dalamnya topik poligami sebagai sesuatu yang dibenarkan dalam aturan agama. Tetapi, sampai akhir hayatnya, pak Natsir setia pada satu istri, Nurnahar, yang dinikahinya 20 Oktober 1934, dan memberinya 6 anak. Sedangkan Bung Karno, tak pernah sekalipun kita mendengar pendapat beliau tentang poligami, tetapi beliau adalah pelaku aktif. Maka, jika anda seorang perempuan ingin bersuamikan politisi, tanyakan dahulu, kepada siapa laki-laki ini berguru, Bung Karno atau Pak Natsir. :)
Salah satu yang merupakan contoh langka pada masa kini adalah kesederhanaannya. M. Natsir dikenal sebagai menteri yang tak punya baju bagus, jasnya bertambal, tak punya rumah, dan menolak hadiah mobil mewah. puntak meninggalkan warisan banyak, sehingga rumah beliau di Menteng dijual keturunannya karena tak sanggup membayar pajak.
Berikut petikan puisi Taufik Ismail dalam peringatan 100 tahun wafat M. Natsir. dan penetapan beliau sebagai pahlawan nasional Indonesia 10 November 2008.
"... Rabbana...Rabbana...Rabbana...
Jangan biarkan kami menunggu 100 tahun lagi untuk tibanya pemimpin-pemimpin bangsa yang mencerahkan, dan bercahaya kilau kemilau, serupa berlian... "
M. Natsir adalah politikus yang sekaligus juga seorang ulama yang lurus, termasuk orang langka pada masa itu bahkan langka juga di masa sekarang.
BalasHapusTidak banyak yang bisa saya komentari dari ringkasan2nya selain bahwa saya menangkap pesan2 beliau agar kita tidak terbuai dengan kemoderenan karena nilai2 yg dimiliki Islam melampaui konsep modern.
Menarik!! :))
BalasHapus