Buku saku tipis kumpulan 4
tulisan M. Natsir tak sanggup saya ringkas. Takut mengubah makna, atau salah
tafsir akibat keterbatasan saya. Akhirnya, saya lebih banyak mengutip kalimat-kalimat
utama dari semua kalimat yang sudah utama. Bagian kedua ini lanjutan, sebaiknya
dibaca setelah membaca bagian pertama dari judul yang sama.
Kedua. Ceramah 1976
di Pakistan. Pesan Islam Terhadap Orang Modern.
Kembali, dalam ceramah ini, M.
Natsir menggunakan QS Ali Imran ayat 112 sebagai dasar. Sementara, penggunaan
kata modern dalam judul, merujuk
pada definisi orang modern menurut Profesor Alex Inkeles dari Universitas
Harvard. Inkeles menyebutkan ada 9 ciri-ciri tentang orang yang modern. Dan M. Natsir mencoba menyampaikan bahwa ke-9 ciri
tersebut sebenarnya sudah sangat lazim bagi telinga kaum muslimin. M. Natsir
membahasnya bagaimana pendapat Islam tentang itu, persamaan-persamaannya sampai
batas tertentu, dan awal perbedaan.
1.
Inkeles : kesediaan
untuk menerima pengalaman baru, dan keterbukaan bagi penciptaan baru dan
perubahan.
Natsir : Islam pada
asal mulanya adalah suatu revolusi terhadap kecanggungan dan kekakuan cara
berpikir. Kisah Nabi Ibrahim menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Islam
memajukan penggunaan akal pikiran, bahkan untuk mencari kebenaran tentang
keberadaan Tuhan.
Inkeles : kesediaan
untuk pembaharuan dan mengadakan perubahan haruslah menjadi “sikap jiwa”. Atau,
need for achievement (Cavid C Mc Celland, Harvard).
Natsir : dalam
Islam, itu harus menjadi sikap hidup. Salah satu penggambarannya, dari hadits “Jika
kiamat sudah diambang pintu, dan ada sebutir biji korma di tangan, maka
tanamlah. Engkau mendapat pahala karenanya.” Hadits ini menggiring kita pada
jangkauan terjauh dalam mendorong orang untuk melakukan perbuatan benar, tak
peduli apakah kita akan mendapat keuntungan dari perbuatan ini atau tidak, di
dunia.
Inkeles : kemajuan
kebendaan dan kepesatan teknologi haruslah dianggap sebagai batas akhir yang
dicapai oleh modernisasi.
Natsir : Dalam pandangan
Islam, kemajuan teknologi itu hanyalah suatu cara ke arah tujuan yang lebih
tinggi, yaitu al ihsan—melakukan perbuatan
yang benar, tanpa mengharapkan suatu imbalan (lihat QS Al Qashash ayat 77).
2.
Inkeles : mempunyai
tanggapan untuk menyusun atau memiliki pendapat terhadap aneka persoalan yang
luas serta terhadap pokok-pokok acara yang terbit tidak saja di lingkungannya
yang dekat, tetapi juga di luarnya; dan tanggapannya terhadap lingkungan pendapat
adalah lebih demokratis.
Natsir : Islam
mengajarkan kepada pemeluk-pemeluknya untuk berpikir dalam ukuran jangkauan
cakrawala sejarah yang luas. Lebih luas lagi adalah, tak hanya perhatian pada
urusan keduniaan tetapi juga mencakup kehidupan akhirat.
Tentang demokratis,
Natsir mencontohkan Rasulullah. Walaupun selalu dalam bimbingan Allah secara
real, beliau membuat cara bermusyawarah dengan sahabat sebagai dasar basgi
setiap laku sehari-hari, dari mulai hal remeh sehari-hari sampai ke penempatan
pasukan tentara dalam perang.
Banyak orang menganggap
diri “modern” dengan melekatkan kata “demokratik” pada perilakunya, padahal
seringkali tak sesuai.
Seringkali ditemukan
bahwa demokrasi dilekatkan lebih banyak kepada bentuk-bentuk struktural
daripada kepada hakikatnya. Demokrasi dijabarkan dengan berdirinya berbagai
cabang pemerintahan, seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Demokrasi
dibuktikan dengan pemilihan umum setiap
waktu, dimana pemilih disuguhi dengan seorang, dua orang, atau lebih
calon yang dipungut melalui cara yang samar-samar di ruang belakang, penuh
dengan dagang sapi, basa-basi, dan
janji-janji yang tidak ditepati.
Menurut Natsir,
saripati demokrasi bukanlahbentuk lahirnya serta strukturnya, melainkan
keyakinan yang murni terhadap martabat orang per orang. Oleh karena itu, sukses
setiap usaha demokratis, tidaklah dapat dinilai dari seringnya mengadakan
pemilihan umum, tetapi haruslah dilihat dengan ukuran-ukuran tentang seberapa
jauh tindakan-tindakan dan kelakuannya itu sesuai dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, dan menambah martabat manusia sebagai orang seorang..
3.
Inkeles : orientasinya
kepada masa kini dan masa depan, melebihi kepada masa lampau.
Natsir : bagi umat
Islam, waktu adalah keyakinan, perbuatan yang benar, dan saling memperingatkan
satu dengan yang lainnya kepada yang haq dan kesabaran. (lihat QS Al ‘Ashr).
Maksud shalat beberapa waktu bergantian, peredaran siang dan malam, semata-mata
menanamkan kesadaran kepada kaum muslimin akan penghargaan terhadap waktu.
4.
Inkeles : mengarah
kepada keterlibatan dalam perencanaan dan organisasi, dan percaya terhadapnya
sebagai suatu cara untuk menangani kehidupan.
Natsir : kembali
kepada al ihsan. Selain berarti memberikan sadaqah, kebaikan, dan belas kasih,
al ihsan juga adalah melakukan suatu pekerjaan dengan cara yang sebaik-baiknya.
Termsuk di dalamnya perencanaan dan pengorganisasian. Setelah melakukan sesuai
dengan kemampuan kita, sepenuh daya dan usaha, kita serahkan segala urusan
kembali kepada Allah Yang Mahakuasa.
5.
Inkeles : percaya
bahwa manusia itu bisa belajar, dalam tingkat yang nyata, untuk menguasai alam
lingkungan demi untuk memajukan tujuannya dan sasarannya sendiri, daripada
sebaliknya dikuasai sepenuhnya oleh alam lingkungannya itu.
Natsir : dalam hal
ini Inkeles agak terpeleset. Benar bahwa kemajuan ilmu pengetahuan sangat pesat
dan mengesankan. Tetapi, itu hanya setitik jika dibandingkan dengan keluasan
cakrawala yang hendak dijangkaunya. Selain itu, seringkali kita temukan,
pemecahan terhadap suatu masalah menuntun kepada terungkapnya sejumlah
persoalan baru akibat pemecahan masalah sebelumnya.
Ajaran Islam
mengedepankan penggunaan pikiran, mendukung peningkatan ilmu pengetahuan,
tetapi tidak diperkenankan untuk mengagung-agungkan alam pikiran itu, atau
lebih buruk lagi mempertahankannya.
Seluruh alam
semesta diciptakan bagi kemanfaatan manusia. Di sisi lain, alam semesta menjadi
sarana bagi manusia untuk berterimakasih dan adil. Di balik kekuatan kita,
keterampilan dan kecerdasan kita, ada kekuatan dan kemurahan dari Allah yang
memberikan semua itu kepada kita.
6.
Inkeles : lebih
yakin bahwa dunia dapat diperhitungkan; orang-orang dan lembaga-lembaga dapat
dijadikan andalan untuk memenuhi atau mencukupi kewajiban serta tanggung
jawabnya.
Natsir : menjadi
keyakinan setiap muslim, bahwa kepercayaan kepada yang diperhitungkan dan
diandalkan itu tidak mengurangi keyakinannya kepada Allah, bahwa semua itu
hanya akan berjalan sepanjang Allah memperkenankan kepada manusia. Kemauan dan kekuatan yang mutlak hanya ada pada-Nya.
7.
Semakin sadar akan martabat orang lain dan semakin tanggap
untuk menunjukkan penghargaan kepada mereka.
Natsir : kemuliaan
orang sebagai manusia adalah titik pusat ajaran Islam. Tak ada pembedaan
terhadapnya yang dibenarkan, baik berdasarkan warna kulit, bahasa, tradisi,
kebudayaan, serta kepercayaan maupun keturunan. “Kita menghormati anak
keturunan Adam”.
8.
Inkeles : percaya
kepada ilmu dan teknologi
Natsir : bahwa
capaian ilmu dan teknologi saat ini banyak berdasarkan penemuan ilmuwan muslim
masa lampau. Mungkin benar bahwa kondisi saat ini, mayoritas penemuan bukan
dilakukan kaum muslimin. Tetapi kita harus terus berupaya dan bekerja
berkesinambungan, karena Allah sendiri menjanjikan: Dan masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan di antara
manusia, agar mendapat pelajaran. (lihat QS Ali Imran ayat 49)
9.
Inkeles : Berpaham yang
kuat tentang keadilan yang merata.
Natsir : dalam Islam, seseorang
akan mendapatkan sesuatu buah hasil dari perbuatannya, baik ataupun buruk.
Pada akhirnya, sebagai seorang
muslim, Natsir berpendapat bahwa kita tak perlu terlalu memperdulikan label
modern atau tradisional, karena tugas utama yang kita emban adalah mewujudkan
ummat yang berkeseimbangan.
Kembali, ini tulisan 30 tahunan
lalu. Saya tak sempat mempelajari, bagaimana penerimaan ilmu pengetahuan
tentang pendapat Inkeles itu hari ini. Karenanya, saya sama sekali tak hendak
memberi suatu pendapat. Ini benar-benar hanya membaca buku, dan mencoba
menyampaikan pemikiran M. Natsir dari apa yang saya baca.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar