Rabu, 11 Desember 2013

11.12.13



                 TANGGAL CANTIK. 11 Desember 2013. Sejak jauh hari sebelumnya, saya banyak menerima pesan tentang keunikan tanggal ini.Ada yang mengatakan ini adalah tanggal cantik berurutan yang terakhir, setelah sejak awal 2000 kita banyak melalui tanggal-tanggal yang menarik. Entah itu berurutan (misalnya 6 Juli 2008 = 06.07.08, sepupu saya Vanti menjadikan hari nikahnya), berulang (misalnya 8 Agustus 2008. Ingat Olimpiade Beijing yang dibuka secara resmi pukul 08 08’ tanggal 08.08.08), atau simetris (misalnya 30 November 2003, ditulis 30.11.03).

                Buat keluarga saya, tanggal 11 Desember 2013 memang cantik. Sangat cantik. Tanggal itu bertepatan dengan ulang tahun nikah kami ke-19. Perkenalan seumur jagung kami ternyata bisa kami jaga sampai hampir menginjak 2 dasawarsa pernikahan. Menjadi menarik, karena dulu kami menikah tanpa memperhitungkan tanggal  ini cantik atau tidak. Baik itu cantik dari sisi “penampilan”, maupun cantik dari sisi “kebudayaan”.

                Tanggal 11 Desember 1994 kami pilih karena...itu satu-satunya tanggal kosong perias pengantin kami sebelum pergantian tahun. Ibu Tati Roni, perias pengantin di Bandung, yang saya inginkan. Beliau telah merias beberapa saudara saya. Saya suka riasan khas Sunda garapan tangannya. Sejak jauh hari sebelumnya, saya hanya ingin dirias beliau saat menikah, entah pernikahannya dirayakan atau sekedar di KUA.
                 
                Seperti yang selalu saya bayangkan, proses pernikahan itu tidak perlu rumit.

    Kepraktisan saya benar-benar mewujud bahkan sampai ke proses mengenal calon suami.Kami kenal tak sampai setahun sebelum dia mengajak menikah. Dalam setahun itu pun, bertemu tak sampai 10 kali. Itu pun di forum diskusi. Bukan pertemuan pribadi. Agustus pertama kali ke rumah, September mengajak menikah, Oktober melamar resmi, Desember ijab kabul. :) Tapi saya tak merasa terburu-buru, karena saya menyiapkan diri sudah dari jauh hari sebelumnya. Saya sangat menjaga pergaulan dengan lawan jenis, karena ingin memberi semua yang terbaik untuk suami saya kelak. Jadi ketika terasa "kereteg hate", saya yakin dia orangnya, bismillah, langkah tegap maju...jalan! hehe

   Setelah mengantongi tanggal kesiapan perias, saya menghubungi tetangga yang biasa masak dan aula kampus di dekat rumah. Semua bisa. Alhamdulillah. Baru kemudian urusan berikutnya. 

   Saat melamar, (calon) suami memberi uang Rp 500.000. Berarti, dia bisa membantu biaya pernikahan sebesar Rp 5 juta. Sebelumnya saya sudah sampaikan bahwa biasanya pihak laki-laki memberi tanda seberapa besar dia bisa membantu untuk resepsi pernikahan dengan cara memberi sepersepuluhnya saat lamaran. Saya menyiapkan biaya yang sama dari tabungan. Jadi langkah berikutnya adalah menghitung mundur. Dengan biaya sepuluh juta rupiah, resepsi pernikahan seperti apa yang bisa kami siapkan.

   Sejak remaja saya tahu saya tidak mau pacaran. Dan konsekuensinya, saya akan menikah secara “mendadak”. Untuk itu, sejak awal saya menabung, agar jika tiba-tiba menikah, saya tidak perlu membuat panik orang tua. 

   Di luar biaya cetak undangan, makanan, gedung, perias, dan acara, ternyata tetap ada biaya lain-lain di luar budget. Total sekitar 13 juta rupiah terpakai. Tabungan saya benar-benar menjadi nol. :)

   Upacara pernikahannya sendiri pun berlangsung praktis. Selain acara ijab kabul, acara adat yang dijalani hanya sungkem dan sawer. Saweran hanya berisi uang dan permen, tidak pakai beras karena  menurut saya itu akan menjadi mubazir, terbuang. Sedangkan rangkaian acara adat yang lain, dengan sengaja tidak dilaksanakan. Menginjak telur dan mencuci kaki suami. Itu simbol dari ketaatan istri, dan semacam arahan tentang berkeluarga. Bagus. Tapi di sisi lain, itu saya lihat sebagai pelecehan perempuan, hehe...

Mengenai pelaksana acara, saya beruntung memiliki banyak saudara. Kebetulan 3 bulan sebelumnya baru ada sepupu menikah, jadi panitianya sama. Bedanya, saya tidak menyediakan pakaian seragam. (Terima kasih semua atas keikhlasannya...)

3 hari setelah resepsi, saya ikut suami ke Jakarta, karena dia sudah harus masuk kerja. Di Jakarta, kami tinggal sementara di kamar kosnya, sambil mencari tempat yang lebih nyaman untuk berdua.

Saat berbincang-bincang tentang rumah, apakah kami akan kontrak paviliun, kontrak atau membeli rumah, saya baru tahu. Uang 5 juta rupiah yang dia serahkan untuk resepsi pernikahan, ternyata adalah keseluruhan uang tabungan yang dia punya. O....o...

Jadi, saat hari Rabu, pukul 08 09' 10", 11-12-13, kami rayakan dengan ngopi berdua di rest area tol Jagorawi dengan pemandangan di luar kafe adalah SPBU Pertamina, kami tersenyum. Napak tilas. Perjalanan yang kami lalui 19 tahun ini, benar-benar seperti mengisi bensin....dimulai dari nol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar