Rabu, 14 Mei 2014

HIDUP ITU SEPERTI AIR MENGALIR



          Pertama kali mengetahui kalimat ini ketika saling isi buku kenangan di SMP. Ada beberapa teman yang menuliskan bahwa motto hidup mereka adalah Mengalir Seperti Air. Saat itu, saya memahami kalimat “mengalir seperti air” sebagai tanda kepasrahan. Ikut saja kemana hidup akan mengarahkan kita, seperti air yang pasrah menuju tempat terendah. Saya jelas tidak sepakat dong, hehe. Tapi, itu kan motto orang lain, bukan saya. Jadi saya tidak ambil pusing.

          Dalam perjalanan hidup, saya banyak mendengar ungkapan ini digunakan orang lain juga. Dan, saya tetap belum merasa ini kalimat istimewa. 

          Sampai suatu hari sekitar 3 tahun lalu. Saya sedang menunggu suami shalat di mesjid Maissy. Itu nama beken dari mesjid At Ta’awun di daerah Puncak. Di samping mesjid ada air mengalir. Lebih lebar dari parit, tetapi terlalu kecil untuk disebut sungai. Berundak-undak dan berbatu-batu. Air berasal dari mata air, bening dan dingin. Tetapi saluran dan undakan tampak sengaja dibuat seperti alami. 

          Suasana di sana sangat menghanyutkan. Kesegaran udara Puncak, desir daun-daun yang bersentuhan, dan gemericik air mengalir saling melengkapi, di kompleks peribadatan pula. Saya pun larut. Pandangan saya tertuju pada gerak-gerik air saja. Walau sebenarnya di sana juga tak hening, karena banyak orang bermain air sambil bercanda  dengan kerabat masing-masing. Saya saja yang terlalu fokus pada air, sehingga mereka seolah tak ada. 

          Suara air berasal dari butiran-butiran yang jatuh karena perbedaan ketinggian undakan. Semacam air terjun pendek. Berirama. Ketika air bergerak bersama-sama, mereka melagukan simfoni luar biasa. Mereka patuh pada kesepakatan, yaitu bergerak menuju tempat yang lebih rendah. Karena itu dapat menghasilkan suara indah. Seolah hidup mereka tanpa masalah. Iyakah?

          Apakah memang setiap butiran air mengalir dengan mulus dalam perjalanan kebersamaannya itu? Ternyata tidak. Dasar tempat mengalir  ini tak  rata. Ada kerikil, ada pula batu besar. Berbagai ukuran.
Ada sebagian butiran air yang harus hadapi tantangan. Membentur batu. Bayangkan beratnya masalah yang harus dihadapi. Bahkan dibandingkan dengan kerikil pun, setetes air masih berukuran jauh lebih kecil. Apalagi jika yang ditemui adalah batu besar.

          Apa yang terjadi usai benturan? Air akan terpantul. Mundur. Benturan dan pantulan banyak air yang harus berhadapan dengan batu ini menimbulkan gelombang datar. Jika usai menabrak batu dia tak cukup kuat terpantul ke luar gelombang, air akan menabrak batu yang sama lagi. Bisa berulang-ulang. Sampai sebuah pantulan yang lebih kuat melemparkannya keluar dari gelombang. 

          Untuk bisa terlempar keluar dari gelombang, air harus membentur batu sangat keras, paling keras, agar terpantul paling jauh. Keluar dari gelombang.

          Air akan melanjutkan perjalanan menyusuri bagian luar gelombang. Mengejar ketertinggalan dari teman-teman semula. Apakah masalah dia selesai? Belum tentu. Karena mungkin saja dia harus berhadapan dengan kerikil atau bahkan batu lain yang lebih besar. Dan perjuangan keluar dari hambatan pun akan terulang. Lagi. Dan lagi. 

          Dari sudut pandang ini, saya jadi lebih memahami kalimat Mengalir Seperti Air. Bahwa, walaupun bagi air menuju tempat yang lebih rendah itu suatu sunatullah, itu tidak dia jalani dengan mudah, atau bahkan pasrah. Ada perjuangan besar dan tekad yang kuat di dalamnya.

10 komentar:

  1. Insya Allah menemukan aliran yang jernih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin...
      Jernih tak berarti mulus juga kan? :)

      Hapus
  2. Yang seumur-umur punya motto seperti ini pun tidak memiliki pemahaman sejauh yang mbak tuliskan :)
    Salam kenal mbak, seneng deh dapet inspirasi malam" begini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga, Dini. Alhamdulillah kalau tulisan ini memberi manfaat.

      Hapus
  3. Pencerahan. Thanks, Mbak Annis. Izin ya, saya share link blog ini ke halaman FB saya. :)

    BalasHapus
  4. Ceuk sayah geh, pecinta Math kudu nulis nopel XD *dijewer* xixixi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ssst, ulah ribut heula dak.... Algoritmana can beres :D

      Hapus
  5. maaf kalo boleh nambahin teh Anis.. :) terkadang perlu ditegaskan...mengalir seperti maunya Tuhan..atau mengalir seperti maunya sendirii...saya sering menemui banyak orang terjebak kepada mengalir namun menurut keinginannya sendiri..(karena tidak ingin dibenturkan dengan batu) ..sehingga tujuan hidup yg sesungguhnya tidak tercapai ...dan akhirnya cenderung menyalahkan Allah
    Oleh sebab itu saya setuju dengan sudut pandang teh Anis adalah mengalirlah seperti kehendak-Nya, jangan takut ngalami benturan..jangan takut ngalami rintangan hidup...jangan takut ngalami kegagalan.. percaya saja dan deklarasikan bahwa kekuatan Allah lebih besar dari setiap masalah kita..Amiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Uung, makasih masukannya. Melengkapi sudut pandang ini. *like

      Hapus