Pertama kali mengetahui kalimat
ini ketika saling isi buku kenangan di SMP. Ada beberapa teman yang menuliskan
bahwa motto hidup mereka adalah Mengalir Seperti Air. Saat itu, saya memahami
kalimat “mengalir seperti air” sebagai tanda kepasrahan. Ikut saja kemana hidup
akan mengarahkan kita, seperti air yang pasrah menuju tempat terendah. Saya
jelas tidak sepakat dong, hehe. Tapi, itu kan motto orang lain, bukan saya.
Jadi saya tidak ambil pusing.
Dalam perjalanan hidup, saya
banyak mendengar ungkapan ini digunakan orang lain juga. Dan, saya tetap belum
merasa ini kalimat istimewa.
Sampai suatu hari sekitar 3
tahun lalu. Saya sedang menunggu suami shalat di mesjid Maissy. Itu nama beken
dari mesjid At Ta’awun di daerah Puncak. Di samping mesjid ada air mengalir.
Lebih lebar dari parit, tetapi terlalu kecil untuk disebut sungai. Berundak-undak
dan berbatu-batu. Air berasal dari mata air, bening dan dingin. Tetapi saluran
dan undakan tampak sengaja dibuat seperti alami.
Suasana di sana sangat
menghanyutkan. Kesegaran udara Puncak, desir daun-daun yang bersentuhan, dan
gemericik air mengalir saling melengkapi, di kompleks peribadatan pula. Saya pun
larut. Pandangan saya tertuju pada gerak-gerik air saja. Walau sebenarnya di
sana juga tak hening, karena banyak orang bermain air sambil bercanda dengan kerabat masing-masing. Saya saja yang
terlalu fokus pada air, sehingga mereka seolah tak ada.
Suara air berasal dari
butiran-butiran yang jatuh karena perbedaan ketinggian undakan. Semacam air
terjun pendek. Berirama. Ketika air bergerak bersama-sama, mereka melagukan
simfoni luar biasa. Mereka patuh pada kesepakatan, yaitu bergerak menuju tempat
yang lebih rendah. Karena itu dapat menghasilkan suara indah. Seolah hidup
mereka tanpa masalah. Iyakah?
Apakah memang setiap butiran
air mengalir dengan mulus dalam perjalanan kebersamaannya itu? Ternyata tidak. Dasar
tempat mengalir ini tak rata. Ada kerikil, ada pula batu besar. Berbagai
ukuran.
Ada sebagian butiran air yang
harus hadapi tantangan. Membentur batu. Bayangkan beratnya masalah yang harus
dihadapi. Bahkan dibandingkan dengan kerikil pun, setetes air masih berukuran
jauh lebih kecil. Apalagi jika yang ditemui adalah batu besar.
Apa yang terjadi usai benturan?
Air akan terpantul. Mundur. Benturan dan pantulan banyak air yang harus
berhadapan dengan batu ini menimbulkan gelombang datar. Jika usai menabrak batu
dia tak cukup kuat terpantul ke luar gelombang, air akan menabrak batu yang
sama lagi. Bisa berulang-ulang. Sampai sebuah pantulan yang lebih kuat
melemparkannya keluar dari gelombang.
Untuk bisa terlempar keluar
dari gelombang, air harus membentur batu sangat keras, paling keras, agar
terpantul paling jauh. Keluar dari gelombang.
Air akan melanjutkan perjalanan
menyusuri bagian luar gelombang. Mengejar ketertinggalan dari teman-teman
semula. Apakah masalah dia selesai? Belum tentu. Karena mungkin saja dia harus
berhadapan dengan kerikil atau bahkan batu lain yang lebih besar. Dan perjuangan
keluar dari hambatan pun akan terulang. Lagi. Dan lagi.
Dari sudut pandang ini, saya
jadi lebih memahami kalimat Mengalir Seperti Air. Bahwa, walaupun bagi air
menuju tempat yang lebih rendah itu suatu sunatullah, itu tidak dia jalani
dengan mudah, atau bahkan pasrah. Ada perjuangan besar dan tekad yang kuat di
dalamnya.
Insya Allah menemukan aliran yang jernih :)
BalasHapusAamiin...
HapusJernih tak berarti mulus juga kan? :)
Yang seumur-umur punya motto seperti ini pun tidak memiliki pemahaman sejauh yang mbak tuliskan :)
BalasHapusSalam kenal mbak, seneng deh dapet inspirasi malam" begini :)
Salam kenal juga, Dini. Alhamdulillah kalau tulisan ini memberi manfaat.
HapusPencerahan. Thanks, Mbak Annis. Izin ya, saya share link blog ini ke halaman FB saya. :)
BalasHapusDengan senang hati. Makasiiiih, Vira
HapusCeuk sayah geh, pecinta Math kudu nulis nopel XD *dijewer* xixixi
BalasHapusSsst, ulah ribut heula dak.... Algoritmana can beres :D
Hapusmaaf kalo boleh nambahin teh Anis.. :) terkadang perlu ditegaskan...mengalir seperti maunya Tuhan..atau mengalir seperti maunya sendirii...saya sering menemui banyak orang terjebak kepada mengalir namun menurut keinginannya sendiri..(karena tidak ingin dibenturkan dengan batu) ..sehingga tujuan hidup yg sesungguhnya tidak tercapai ...dan akhirnya cenderung menyalahkan Allah
BalasHapusOleh sebab itu saya setuju dengan sudut pandang teh Anis adalah mengalirlah seperti kehendak-Nya, jangan takut ngalami benturan..jangan takut ngalami rintangan hidup...jangan takut ngalami kegagalan.. percaya saja dan deklarasikan bahwa kekuatan Allah lebih besar dari setiap masalah kita..Amiin
Mas Uung, makasih masukannya. Melengkapi sudut pandang ini. *like
Hapus