Pendidikan Seks Usia Dini. Kalimat ini sekarang lebih seksi
daripada tujuan pendidikannya itu sendiri.
Terlepas dari topik yang
sedang marak, sebagai seorang ibu saya
belum layak berpendapat. Anak saya masih 13 tahun, justru baru memasuki masa
pancaroba. Saya masih harus fokus pada doa dan upaya menemani anak melewati
tahapan pendewasaannya.
Tulisan ini bertujuan
mendokumentasikan hasil ngobrol dengan beberapa ibu saat arisan RT Sabtu lalu.
Mereka sudah berhasil mengantar anak-anaknya melewati masa remaja. Saya ingin
menyimpan, dan membaca ulang jika suatu saat memerlukan. Semoga juga memberi
penguatan kepada ibu-ibu yang lain.
Ibu Mawar bercerita tentang
kenangan masa kecil yang tak pernah lupa. Orang tuanya sering mengingatkan bahwa kedua lututnya itu
bersahabat. Sebagai sahabat, mereka selalu ingin berdekatan, mereka tak nyaman
terpisahkan. Kapanpun, dimanapun, kedua lutut ini tak mau berjauhan.
Usia ibu Mawar bertambah, pesan
dari kedua orang tua semakin tampak mudah dan menjadi keseharian. Persahabatan sang
lutut tak lekang oleh waktu. Maunya berdekatan terus. Bahkan kelak setelah
menikah, setiap ke dokter kandungan selalu mendapat teguran. Kedua lututnya
seperti sepasang kutub magnet, saling menarik. Pun ketika dokter meyakinkan,
bahwa itu tidak apa-apa. Ibu Mawar selalu merasa malu dan tak nyaman.
Jargon yang sama dia kenalkan
kepada sang putri yang kini mahasiswi, sejak kecil.
Cerita Ibu Mawar mengingatkan saya
pada Ibu Melati. Ibu Melati yang tinggal di Jakarta, membekali jurus pergaulan
yang sederhana saat anaknya memasuki usia remaja. Pesan sang bunda kepada anak
gadisnya, jangan biarkan kancing kedua bajumu terbuka, apalagi dibuka orang
lain.
Itu saja. Tapi kalimat singkat
itu cukup efektif membentuk pola sikap sang anak. Anak-anak kita itu cerdas
kok, kata Ibu Melati. Kita tak perlu ajari detil, apalagi vulgar. Mereka dapat
menyerap, menerjemahkan, dan mengaplikasikan sendiri.
Justru dengan keterlibatan kita
yang seperti “sambil lalu” itu, sang anak lebih terpupuk rasa tanggung
jawabnya. Walau anak ini besar di Jakarta yang gaya bergaul ABGnya membuat
ketar-ketir orang tua, Putri Ibu Melati tidak membuat ortunya khawatir, dan selamat
melampaui masa pancarobanya.
Kisah ketiga datang dari ibu
Cempaka. Ibu tiga putri yang kini memulai masa dewasanya. Dia mengajari anak-anak gadisnya sejak kecil. Bagian tubuh
yang ditutupi pakaian, tak boleh disentuh apalagi dibuka oleh orang lain. Karena
ketiga anak perempuannya dipakaikan kerudung sejak kecil, jelas bagi sang anak, bahwa nyaris tak ada ruang yang bisa
digunakan untuk bersentuhan dengannya.
Ketiga kisah ini mengingatkan
saya, bahwa tak selalu perlu kata-kata eksplisit untuk menyampaikan hal
sensitif. Karena alih-alih membuat anak waspada, yang seringkali terjadi malah
dia semakin takterkendali.
Semoga anak-anak kita selalu berada di jalan yang benar dan setiap langkah mereka selalu dalam bimbingan-Nya.
Terima kasih catatannya mbak, sangat menggugah :)
BalasHapusSama-sama. Terima kasih sudah mampir.
Hapus