Pertama-tama, mohon maaf kepada
semua pihak yang berkaitan dengan musibah MH370, terutama keluarga penumpang
dan kru pesawat. Turut prihatin atas gelisah panjang yang terjadi, karena tak
hanya tak sampai ke tujuan, melainkan juga ketakjelasan peristiwa maupun
keberadaan mereka kini.
Saya hanya ingin menuliskan
dialog dengan anak berkaitan dengan berita hilangnya pesawat 8 Maret 2014 lalu.
-----
Obrolan pertama, pada hari
pesawat Boeing 777 ini menghilang. Malam Minggu itu kami menyalakan TV tepat
pada saat berita tentang pesawat Malaysia Airlines tersebut. Reporter televisi
mengatakan, “ Pesawat yang hilang kontak itu berpenumpang xx orang China, 1
orang bayi, xx orang Malaysia, dan xx orang Indonesia.
“Ada yang aneh?” tanya saya kepada anak.
“Iya. Kok ada 1 orang bayi
disitu?”
“Seharusnya bagaimana?”
“xx orang China, xx orang
Malaysia, dan xx orang Indonesia. Atau, xx bayi, xx anak-anak, dan xx dewasa.”
“Ya. Saat memilah sejumlah obyek
menjadi himpunan, harus antar sesuatu yang sejenis atau setara. Tidak bisa
dicampuradukkan, meskipun itu sama-sama tentang manusia.”
Malam Minggu pun berlalu dengan
secara tak sengaja menambah satu penguatan konsep Matematika.
-----
Hari-hari terlewati, keberadaan
pesawat berpenumpang 239 orang itu tak juga pasti. Wilayah pencarian diperluas.
Ada kabar pesawat pemindai mendeteksi benda yang diduga serpihan pesawat di
suatu titik di Samudera Hindia. Media menyebutkan koordinatnya. Penasaran, saya
mencari buku atlas di kamar anak.
“Ada apa, Mah, nyari-nyari
peta?”
“Ini, penasaran saja dengan apa
yang ditulis koran.”
Kami pun membuka peta bersama-sama dan
memperkirakan posisi terpindainya kepingan logam.
“Lihat! Pesawat ini kan
bergerak dari Kuala Lumpur menuju Beijing. Komunikasi tercatat hanya sampai di
suatu posisi menjelang Vietnam. Kurang lebih di sini,” saya menunjuk sebuah
titik pada peta.
“Semula, pencarian hanya
difokuskan di wilayah ini,” saya menggambarkan sebuah lingkaran kecil di peta
dengan telunjuk.
Asumsinya kan pesawat mengalami kerusakan mesin atau
kehilangan daya terbang. Maka dengan melihat catatan di ketinggian berapa
pesawat seharusnya berada, kecepatannya,
dan berat fisiknya, bisa dihitung radius kemungkinan jatuhnya. Pun jika pesawat
meledak, maka bisa diperkirakan sejauh mana serpihannya bisa menyebar. Di
wilayah cakupan dugaan itulah dilakukan pencarian.
Satu minggu pertama,
bertahan di lokasi itu karena diperhitungkan juga bahwa jika pesawatnya
terhempas ke laut, maka akan butuh waktu untuk muncul kembali ke permukaan.
“Seperti saat kamu berenang.
Setelah melompat ke dalam kolam, kamu kan akan terdorong lagi ke permukaan
setelah beberapa saat. Bayangkan ini dari ketinggian yang besar, masuk ke
lautan yang dalam. Pasti butuh waktu lebih lama lagi untuk mengapung.”
Belakangan, ditengarai
kemungkinan pesawat berubah arah. Mungkin dibajak, atau ada alasan lain yang
belum diketahui. Akibatnya, wilayah pencarian jadi sangat luas.
“Kok bisa jadi luas?” tanya
anak saya.
“Pesawat ini terpantau di 2 jam
pertama, kemudian hilang kontak mulai di suatu titik menjelang Vietnam. Pesawat
memuat bahan bakar untuk penerbangan selama 7,5 jam. Ini lebih banyak dari yang
dibutuhkan karena dia direncanakan terbang 6 jam saja.”
“Jadi, pesawat ini masih bisa
terbang selama 5,5 jam dari titik
terakhir tadi. Kemana? Nah, ini yang membuat wilayah pencarian menjadi lebih
luas. Pesawat ini bisa terbang ke arah mana saja. Dengan menghitung konsumsi
bahan bakar per kilometernya pada
kecepatan tertentu, kita bisa mendapatkan jarak terjauh yang mungkin
ditempuh jika pesawat bergerak lurus,” lanjut saya.
Saya menunjukkan jarak terjauh
ini sebagai jarak antara ujung ibu jari dan ujung telunjuk. Saya tempelkan ibu
jari di titik pesawat mulai tak terlacak, dan telunjuk di tempat lain.
“Lihat, ini jarak yang bisa
ditempuh pesawat. Jadi, kita harus mencari pesawat itu di rentang antara titik
awal hilang sampai titik terjauh yang mungkin.”
“Lebih jauh dari Beijing dong?”
“Iya banget. Padahal, pesawat
berubah arah. Bisa ke sini, atau ke sini,” sambil saya gerakkan posisi
telunjuk, dengan jarak yang tetap terhadap ibu jari. “Apa yang kita dapat?”
“Lingkaran!”
“Tepat sekali. Semua titik yang
dilewati sisi lingkaran ini merupakan jarak terjauh yang mungkin. Dan, semua
wilayah yang tercakup dalam lingkaran tadi mungkin menjadi tempat jatuh atau
mendaratnya pesawat itu.”
“Luas sekali!”
“Yup. Amat sangat luas. Jika di
darat, pasti akan ada laporan penduduk yang melihat atau mendengar sesuatu.
Sayangnya, tak ada laporan seperti itu. Jadi, kemungkinan besar jatuh ke laut.
Kamu ingat saat di selat Pelawangan Lombok? Sekitar kita ombak dan laut yang
gelap. Padahal itu hanya satu titik kecil di peta kita,” saya menunjuk perairan
di atas pulau Lombok.
“Bayangkan, mayoritas wilayah
yang harus diperiksa adalah samudera,” kami memperhatikan warna biru yang
seperti alas peta saja. Lautan yang sangat luas dan sangat dalam. Bagaimana
tidak menggetarkan hati para pencari.
“Makanya, citra satelit yang
menunjukkan ada benda asing terapung di koordinat tertentu ini menyemangatkan
kembali upaya pencarian. Lokasi penelusuran jejak bisa dipersempit.”
-----
Sampai 2 minggu kemudian, serpihan
yang terpindai satelit itu belum juga ditemukan secara fisik. Bahkan di lokasi
yang sudah dipersempit ini saja, medan pencarian masih sangat terasa luas dan
ganas. Saya sempat melihat tayangan yang diambil dari salah satu kapal pencari.
Ombak-ombak tinggi sebesar gaban. Mengerikan.
“Heran ya, Mah. Pesawat sebesar
itu kok bisa tak terlacak. Seperti hilang ditelan bumi.”
“Benar, nak. Dari peristiwa ini
kita bisa melihat juga bahwa memang bumi kita sangat luas. Pesawat sebesar itu
pun ternyata kecil sekali dibandingkan
ukuran bumi.”
“Itu yang disebut relativitas?”
“Ya, kurang lebih begitu.
Perbandingan suatu benda terhadap benda
lain, membuat ukuran menjadi relatif. Tapi kalau yang kamu maksud adalah
teori relativitas Einstein, itu lebih berkaitan ke kecepatan. Saat di dalam pesawat,
kita kan merasa diam. Sementara, kalau dari darat, kita melihat pesawat
bergerak perlahan di udara. Padahal, sesungguhnya pesawat bergerak dengan
kecepatan yang sangat tinggi, 3-4 kali lebih cepat dari mobil di jalan tol.”
“ O iya...”
-----
Alhamdulillah, ada sedikit
pelajaran yang turut kami petik dari musibah internasional ini. Kami hanya bisa
membantu mendoakan, semoga segera bisa didapat kepastian, apa yang terjadi pada
pesawat MH370 yang sudah hampir sebulan hilang.
terima kasih teh annis. tulisannya sangat inspiratif.
BalasHapusSama-sama, Kang. Nuhun sudah mampir.
Hapus