Kamis, 15 Januari 2015

Umroh3 - Tips Nyaman Shalat di dalam Masjid





Mulai bulan September, kami melakukan renovasi rumah. Atap dan kusen yang hancur oleh rayap, kami ganti. Untuk itu, semua barang dan kehidupan di rumah lama, kami pindahkan ke rumah sebelah. Jika untuk perbaiki atap di rumah seluas 55 m2 saja kami harus pindah, bagaimana pula dengan pembongkaran dinding dan 3 lantai kemudian membangun baru? Ternyata, aktivitas di dalamnya tetap berlangsung.

Begitulah yang terjadi di Masjidil Haram. Pembongkaran dan pembangunan besar-besaran boleh saja dilakukan, tapi aktivitas ratusan ribu, bahkan jutaan, orang didalamnya tetap berlangsung seperti biasa. 

Suami saya pernah membaca komentar seorang kontraktor bangunan. Katanya, proyek perluasan Masjidil Haram ini secara teknis paling sulit, karena kehidupan di dalamnya tak boleh terganggu. Pemerintah Saudi tak bisa melarang orang beribadah. Mereka hanya dapat mengurangi volume saja. Membatasi izin umroh dan haji dari setiap negara, sehingga secara total jumlah orang tak terlalu banyak.

Saya tak yakin jumlah orang berkurang. Hampir semua peziarah, tak hanya ke Makkah. Mereka mampir juga ke Madinah. Jumlah orang yang shalat di Masjid Nabawi, selalu berlimpah. Bahkan ada askar perempuan yang berkata bahwa dia melihat yang umroh kali ini lebih banyak daripada saat musim haji lalu.

Di bandara Doha saat antri boarding, saya mendengar 2 laki-laki berbincang. Yang satu menanyakan kepada yang lain. Dari rambutnya, saya yakin dia baru umroh juga seperti kami. Dia berkata, bahwa dalam analisisnya, kapasitas Masjidil Haram saat ini hanya 45% yang bisa dipakai ibadah.

Bisa jadi. 

Jika tak mencermati, jamaah mungkin tak menyadari bahwa banyak bagian masjid yang tak bisa dipakai. Mereka hanya akan melihat itu sebagai dinding pembatas saja. Ya, bagian yang sedang dibongkar/diperbaiki dan bagian yang dipakai, dibatasi dinding penuh sampai atas dan dicat rapi. Seolah-olah memang begitu adanya.

Teringat ziarah saya yang pertama tahun 2000. Masjidil haram adalah masjid terbuka yang sangat luas, melingkari Ka’bah. Melihat ke depan, ke belakang, ke kiri dan ke kanan, tempat shalat semata diselang-seling jajaran tiang. Dinding belakang adalah dinding terluar, tempat pintu melekat.

Shalat di bagian manapun, di depan kita adalah Ka’bah. Kini, sebagian besar tempat shalat, berhadapan dengan dinding. Sensasi shalat di Masjidil Haramnya tak terlalu terasa. 

Saya ingat saat-saat norak dulu tahun 2000. Ka’bah adalah bangunan yang selalu dibayangkan, muncul dalam mimpi-mimpi, terlihat di tempat sujud. Mengunjungi Baitullah adalah cita-cita tertinggi. Jadi, saat bangunan Ka’bah ada di hadapan mata, saya tak lepas terkesima. Saat shalat, seringkali pandangan tak tertuju ke tempat sujud, tapi ke depan, menatap Ka’bah. Alasan logisnya, saat shalat di Indonesia, saya menatap Ka’bah di sajadah. Jadi, ketika Ka’bahnya di hadapan, kenapa saya hanya menatap lantai? Hampura, mungkin ini kelemahan haji di usia muda. Semangat dan tenaga berlimpah, kedalaman pemahaman agama belum sempurna.

Belakangan, sajadah semakin beragam. Kebanyakan malah tak menampilkan gambar Ka’bah lagi di tempat sujud. Jangan-jangan ini hasil investigasi para ulama, bahwa banyak ummat yang salah kaprah seperti saya.

Memang, shalat menghadap kiblat, dengan posisi Ka’bah sebagai penentu arah. Tapi, dalam tata tertib shalat, pandangan selalu tertuju kepada satu titik di tempat sujud, agar mata tak liar kemana-mana, lebih khusyuk.

Kondisi  bulan Desember 2014, tempat shalat –khususnya bagi perempuan- yang berhadapan dengan Ka’bah, hanya di satu sisi ka’bah sebelum rukun yamani, di bawah tempat tawaf darurat. Askar membatasi dengan tali wilayah khusus perempuan.

Tempat lain adalah di depan Multazam, lantai 1.

Tempat shalat lain bagi perempuan ada di bagian belakang di sebagian wilayah. Baik itu di lantai 1 maupun di lantai 2 di dalam masjid. Disini, wilayah yang diperuntukkan bagi perempuan dibatasi oleh rak Al Qur’an yang diletakkan berjajar membentuk wilayah persegi tertutup. Ada 2 persegi besar di lantai 1 dan 2 tempat  besar di lantai 2.

Tempat shalat di lantai 1 dan di lantai dasar depan Ka’bah selalu cepat sekali penuh. Mungkin karena lebih mudah dicapai, dan usai shalat bisa langsung ke tempat tawaf. Sementara, di lantai 2, kita hanya bisa shalat. Usai shalat, jika ingin tawaf harus turun dulu, keluar masjid, dan masuk lagi melalui pintu lain untuk menuju Ka’bah. Biasanya, jika shalat baru usai, yang akan masuk dihalangi petugas. Mereka mendahulukan yang akan keluar usai shalat.

Kecuali yang di depan Ka’bah lantai dasar, saya pernah mencoba shalat wajib di tempat-tempat lainnya. Paling nyaman buat saya adalah di lantai 2. Karena persaingan tak seketat di bawah. Begitupun, kita tetap harus sudah menuju masjid sekitar 1 jam sebelum waktu shalat agar masih bisa mencari tempat yang enak. Untuk subuh dan dzuhur, 2-3 jam sebelum waktu adzan, lebih memuaskan. Kita masih bisa memilih posisi paling kosong. Saya suka mengambil tempat paling depan dan pojok, sehingga shalat kita tak diganggu lalu lalang orang kemudian. 

Ada banyak shalat yang bisa kita lakukan sambil menunggu shalat wajib, selain tahajud atau dhuha. Shalat hajat, shalat istikharah, shalat taubat, bahkan shalat sunnah mutlak. Kalau tidak salah, shalat sunnah mutlak itu bisa diterjemahkan sebagai, shalat sunnah saja, just a pray. Jumlah rakaat tak dibatasi, tapi kita lakukan 2rakaat–2rakaat.

Menjelang subuh, jangan terkecoh oleh adzan. Di Makkah dan Madinah, adzan subuh dikumandangkan 2 kali. Adzan pertama, lebih ke ajakan untuk shalat tahajud atau membangunkan yang masih tidur. Satu jam-an dari situ, baru akan adzan Subuh untuk shalat. Jadi, jika kita sedang nikmat tahajud, atau shalat sunnah lainnya, tak perlu buru-buru menutup dengan shalat Witir kala adzan terdengar. Tenang saja. Masih bisa beberapa kali shalat 2 rakaat.

Indikator shalat subuh sudah dekat biasanya justru berupa...keramaian. Saat kita menoleh dan tiba-tiba sekitar kita sudah penuh orang, itu berarti sudah mepet waktu shalat.

Masuk mesjid lebih dini, juga menenangkan hati. Memangnya enak masuk mesjid kala sebagian besar lokasi sudah terisi? Selain mata lihat kiri kanan jauh dekat mencari tempat yang masih kosong, kita juga harus memperhatikan langkah, jangan sampai menginjak properti orang, atau bahkan menginjak kepala orang yang sedang sujud.

Beberapa kali saya mengalami, masih ada banyak tempat kosong di sekitar, tapi di luar rak Al Qur’an yang menjadi pembatas wilayah perempuan, sudah tampak berdesakan orang mencari tempat tersisa. Ternyata, saya sempat alami juga telat datang ke mesjid, ada batas waktu tertentu askar menutup akses ke dalam lokasi perempuan. Jika dia lihat sekilas sudah penuh, dan sudah banyak orang yang enggan mencari sampai ke dalam langsung gelar sajadah di jalanan, maka orang-orang yang datang berikutnya akan diarahkan ke tempat shalat lain yang lebih masuk ke dalam mesjid, atau bahkan diminta cari tempat lain di luar saja.

Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi, memiliki banyak sekali tiang. Jika kita sudah tak kebagian posisi pojok depan, maka posisi paling nyaman berikutnya adalah di belakang tiang. Bukan di samping. Kalau sudah kebagian lokasi ini, benar-benar bikin Pe-We. Mau shalat, ngaji, wirid sampai tiba saat shalat wajib, tak akan ada yang tiba-tiba andeprok di depan kita.



2 komentar:

  1. Terimakasih Ibu untuk sharingnya.....Semoga saya segera kesana Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... Sama-sama, bu Yuni. Semoga melengkapi gambaran tentang tanah suci.

      Hapus