"Mah, shampo merk X itu bagus ya?" tanya anak saya.
"Mengapa kamu berkata begitu?" saya balik bertanya.
"Ini. Katanya, 9 dari 10 orang memakai shampo X," ujarnya sambil menunjukkan sebuah leaflet.
Saya tersenyum.
"Apakah di situ tertulis, siapa saja yang ditanya?"
"Tidak."
"Shampo X mungkin bagus, tetapi kita tidak boleh mudah tergoda oleh tampilan angka."
Saya lanjutkan dengan memberi perbandingan berikut.
Seandainya mamah bertanya kepada teman-teman kamu yang baru selesai les di XXX, "Mana kursus bahasa Inggris yang paling bagus, XXX atau YY?", kira-kira jawaban mana yang terbanyak didapat?
"Ya XXX, dong."
Nah, itu dia kuncinya.
Membaca suatu statistik tidak bisa hanya berdasarkan angka. Kita harus jeli terhadap segala sesuatu di belakang munculnya angka tersebut, dan harus waspada tentang bagaimana angka tersebut disampaikan.
Diantaranya:
- Sumber data.
Sampel terbaik adalah sampel acak. Data yang diperoleh akan sangat representatif. Jika iklan tadi mendapatkan data secara acak, maka jika kita bertanya pada sembarang orang secara acak, akan diperoleh hasil yang serupa. 9 dari 10 orang yang kita tanya akan menjawab memakai shampo merk X tersebut.
Jika sampelnya benar-benar acak pun, ada aturan sendiri mengenai jumlah sampel dibandingkan populasi. Misalnya, 9 dari 10 murid SMA Z menggunakan shampo X. Informasi ini tidak memenuhi syarat jika pertanyaan hanya diajukan kepada 10 murid dari 1000 siswa sekolah tersebut.
Bahkan, kapan sampel diambil pun harus diungkap. Misalnya, murid SMA Z ini ditanya satu jam setelah ada pembagian gratis shampo X ukuran 200 ml dalam acara PORSENI tahun 2011.
Tentu, tidak banyak pemasang iklan mau membuat survei sempurna. Repot. Mahal. Dan hasilnya belum tentu sesuai yang diharapkan. Tak apa, itu urusan mereka.
Sebagai konsumen, kita hanya perlu waspada, tetap berpikir jernih, tidak mudah tergiur oleh iming-iming iklan yang seolah-olah intelek karena mengungkap data.
- Kriteria.
Pengelompokan data dalam suatu informasi harus jelas batasannya.
Batasan dari pembuat informasi harus eksplisit sehingga sama persepsi dengan yang membaca.
Ketika disampaikan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 31 juta sekian orang, harus jelas apa yang disebut miskin. Bisa saja pembaca yang belum sanggup membeli mobil, tetapi memiliki 2 sepeda motor, menyebut dirinya miskin. Jadi dia merasa berhak atas penerimaan BLT :)
-Metode.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar