Beberapa tahun terakhir,
Masjidil Haram sedang bebenah. Saya ingat, pernah ada yang memberi foto-foto
rencana perluasan. Saat itu, agak sangsi. Betulkah? Karena perluasan
besar-besaran ini tentu harus meruntuhkan banyak bangunan sekitar mesjid yang
menurut saya masih sangat bagus. Bahkan saya ingat saat haji tahun 2000, ada
2-3 hotel besar sedang dibangun dekat pelataran mesjid. Perluasan ini pasti
akan menggusur hotel tersebut. Sayang sekali kan?
Pada saat umroh 2011, saya
melihat ada proses pembangunan di kejauhan, tetapi tidak terlalu memperhatikan.
Mungkin karena saat itu, wilayah aktivitas jamaah tidak terganggu. Sekitar Ka’bah
masih aman. Tawaf utama di lantai dasar. Lantai 1 tawaf untuk yang berkursi
roda. Lantai 2 bisa dipakai tawaf oleh laki-laki, karena saat itu perempuan
sudah tidak boleh ke atas. Kalau tidak salah, karena sebagian sedang
diperbaiki.
Pada kunjungan Desember 2014,
pekerjaan pembangunan sedang di bagian utama. Tak bisa tawaf di wilayah
bangunan masjid, karena bangunan terputus-putus oleh renovasi. Dibuatkan tempat
sementara untuk tawaf, dua lantai. Ini sangat mengurangi kapasitas tawaf di
lantai dasar.
Saat melihat di televisi, saya
sempat berpikir, asyik juga tawaf di bawah lintasan darurat ini karena akan
terlindung dari panas. Pada kenyataannya, orang hanya tawaf di bagian terbuka
sekitar Ka’bah saja. Bagian bawah lintasan tawaf darurat, hanya dimanfaatkan
untuk shalat, atau aktivitas ibadah lain.
Di lantai 1 tempat tawaf
sementara, cukup banyak peminatnya. Mungkin karena tempat ini nyaman sepanjang
hari. Beratap tempat tawaf lantai 2. Kendala yang terasa adalah, bercampurnya
orang yang tawaf berkursi roda dan yang biasa di setiap lantai. Kadang-kadang pendorong kursi roda, apalagi yang bayaran,
sering tak mau tahu suasana. Main ngebut saja.
Menurut mbak Wulan, pemilik
travel, perubahan kondisi Masjidil Haram sangat cepat. Terakhir dia ke sana adalah
saat Ramadhan. 3 bulan kemudian sudah banyak perubahan. Jadi, jika saya menulis
tentang Masjidil Haram Desember 2014, suasana yang akan dihadapi teman-teman
jika umrah/haji di bulan-bulan mendatang, pasti berbeda lagi. Katanya sih,
diharapkan 2017 semua proses perluasan ini selesai.
Dulu, sebelum renovasi, sering
mendengar masalah orang yang ke Masjidil Haram adalah tersesat. Bingung
menemukan pintu mana yang harus dituju. Sebenarnya kebingungan itu tak perlu
karena setiap pintu ada nomornya. Mungkin karena bentuknya yang serupa,
banyaknya orang, dan larut dengan emosi ibadah, kadang jamaah teralihkan
fokusnya dan berakibat “hilang”.
Kondisi renovasi saat ini, dari
sisi peluang tidak tersesat, sebenarnya sangat menguntungkan. Sekitar separuh
pintu sedang tak bisa digunakan. Sehingga, jumlah akses masuk dan keluar Mesjid
jauh lebih sedikit. Lebih mudah bagi kita mengingat dari mana kita tadi masuk
dan ke mana harus keluar.
Situasi di bulan Desember 2014,
jauh lebih memudahkan. Akses ke Ka’bah, tempat tawaf lantai dasar, hanya ada 2.
Dari arah pintu King Fahd, dan dari arah tempat Sa’i. Memang menjadi sangat
padat di waktu-waktu usai shalat, karena semua orang melewati rute yang sama. Kabar
baiknya, sangat kecil peluang tersesat.
Saya pernah berkesempatan
shalat dzuhur di lantai 1, tepat di lurusan antara Hajar aswad dan pintu Ka’bah.
Ini posisi favorit, karena ada hadits yang mengatakan tentang kepastian doa
diijabah jika dipanjatkan dari lokasi ini. Karena favorit, peminatnya pun
banyak.
Usai shalat, untuk keluar ke
tempat makan siang, saya harus turun
dulu ke lantai dasar yang ada Ka’bah, lalu naik lagi menuju pintu King Fahd. Saya
melihat, jalur naik nyaris tak bergerak saking padatnya. Sementara orang yang
tawaf pun banyak sekali walau panas terik. Disisi lain, saya tahu, kantin
tempat makan sangat penuh sesaat usai dzuhur.
Dalam situasi tak ada harapan ke
segala tujuan, saya ambil keputusan melakukan tawaf sunnah saja dulu. Tak apa
berdesak-desakan dan panas, kan sambil ibadah. Sementara kalau saya langsung
keluar pun saya akan banyak diam tertahan dalam 2 antrian. Antri keluar mesjid,
dan antri di kantin. Alhamdulillah, tak terasa 7 putaran usai, 1 siklus tawaf
sunnah terlalui, sempat menikmati shalat di Hijir Ismail, jalan menuju keluar
sudah leluasa, dan saat tiba di kantin, sudah lengang. Nyaman.
Meniru pengalaman teman saat
haji, pada kunjungan ke tanah suci kali ini saya bertekad mencoba semua jalur
tawaf. Lantai dasar sudah saat pertama kali masuk Makkah dan umroh. Lantai 1
saya jajal dengan suami saat tawaf sunnah usai shalat Dhuha keesokan harinya.
Malam, usai Isya saya ajak teman seperjalanan untuk mencoba tawaf di lantai
paling atas.
Dengan penuh perjuangan, kami
bisa sampai ke tempat tawaf teratas ini. Tak mudah. Bahkan bisa dikatakan,
sebelum tawaf, saya sudah setengah tawaf. Menempuh jalan yang cukup panjang. Bertanya
kepada setiap askar di tikungan, akhirnya kami sampai juga. Dari tempat shalat
kami harus turun dulu ke lokasi tawaf lantai dasar, melipir setengah putaran ke
arah tempat Sa’i, naik, kemudian menyeberangi tempat Sa’i lantai 1, keluar dari
pintu Ali, naik eskalator, masuk dan menyeberangi tempat Sa’i lantai 2, baru
deh sampai ke lintasan tawaf di lantai 2.
Kami tawaf tanpa membawa buku. Berdoa
bertasbih sesuai kata hati saja, kecuali di antara rukun Yamani sampai ke Hajar
Aswad, membaca “doa sapu jagat”. Demikian sampai 7 putaran. Lantas kami mencari
tempat kosong untuk shalat 2 rakaat. Dapat. Di depan kami pagar, jadi tak ada
yang lalu lalang di hadapan. 2 rakaat shalat sunnah usai tawaf kami akhiri
dengan sujud panjaaang....selama yang kami kehendaki, sepuas hati mencumbu
Ilahi. Kelak, saat kami meninggalkan Mekkah, teman berujar bahwa tawaf malam
ini yang paling khusyuk dan berkesan.
Usai shalat, kami tak buru-buru
pulang. Memandang ke bawah. Tak hentinya orang tawaf. Usai yang satu, datang
yang lain. Terus-menerus. Mengitari Ka’bah. Sebagaimana semua makhluk yang
sedang bertasbih kepada-Nya. Seperti bulan yang mengelilingi bumi. Bumi yang
mengelilingi matahari, bersama planet-planet lain. Tata surya yang bergerak
berputar di galaksi. Galaksi kita yang juga berputar di semesta.
Jika boleh jujur, berkali-kali
tawaf, sebagian besar saya tak sanggup berdoa. Hanya tasbih. Hanya takbir. Tahmid
dan istigfar. Rasanya tak pantas diri berharap apa-apa. Mengingat segala
kebesaran-Nya saja. Saya merasa, tawaf adalah
persembahan bagi-Nya. Pengakuan atas ke-Maha-an-Nya. Bahwa tawaf adalah bukti
kehambaan kita sebagai makhluk.
Dari ketinggian ini pula, saya
bisa melihat dengan jelas yang terjadi di sekitar hajar aswad. Luar biasa upaya
orang-orang untuk menyentuh dan menciumnya. Luar biasa pula kerja penjaga di
sana untuk mengatur arus dan mengawasi agar tak sampai ada yang cedera.
Jika tawaf saya lakukan
berkali-kali selama di tanah suci, Sa’i hanya saya lakukan 2 kali. Saat umroh
pertama ketika baru datang. Dan umroh kedua di malam terakhir di Mekkah.
2 kali Sa’i saya merasa tak
melakukan dengan sempurna. Yang pertama dilakukan setelah menempuh perjalanan
panjang, lebih dari 24 jam. Lelah dan ngantuk luar biasa. Ada masa-masa saya
merasa melayang. Tapi tak boleh berhenti di tengah jalan, 7 putaran harus
dituntaskan. Saya menghibur diri, sa’i tetap sah selama jalurnya ditempuh
sejumlah yang disyaratkan. Tak berdoa tak apa.
Yang kedua, sudah tinggal sisa
tenaga. Kaki beraaat sekali dipakai melangkah. Saya memaksakan diri sambil
mengingat, bahwa saya hanya tinggal berjalan saja 7 kali bolak-balik dari Shafa
ke Marwah. Titik. Lantai marmer, udara sejuk ber-AC. Santai. Sementara, Siti
Hajar dulu melakukannya di terik gurun, antara 2 bukit tandus terbuka, lengkap
dengan segala kekhawatiran seorang ibu atas bayinya yang kehausan dan tak ada
setetespun air di sekitar. Tanpa suami ada disana pula. Benar-benar luar biasa
perjuangan istri nabi Ibrahim ini.
Empat hari di Mekkah, telinga
sudah terbiasa. Kapanpun shalat, terutama saat sujud, doa dipanjatkan dengan iringan
backsound...bunyi alat berat yang sedang bekerja. Ritual ini menjadi sensasi
tersendiri. Mungkin tak akan dinikmati lagi oleh peziarah setelah tahun 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar