Menulis dengan tenggat waktu dan tema tertentu, tidak mudah. Apalagi yang menentukannya orang lain. Tema “Kampung halamanku juga seru” malah membuat saya kelimpungan. Kampung mana yang bisa saya klaim?
Saya mengawali hidup di pusat kota Bandung, sampai
usia 6 tahun. Menurut KBBI, daerah ini yang secara resmi menjadi kampung
halaman saya. Tapi, tak banyak yang bisa saya ceritakan, apalagi harus ada
embel-embel seru. Jadinya, saya
melirik potongan hidup saya yang lain. 12 tahun di Cirebon, dari SD sampai SMA.
Masa kuliah dan awal kerja, kembali lagi ke Bandung, tetapi bukan di tempat
semula. Setelah menikah, saya dan suami memutuskan Bogor sebagai tempat kami
merangkai hari. 22 tahun sudah kami lalui di kota yang dulu dikenal sebagai kota
hujan ini.
Semakin dipikirkan temanya, semakin banyak kenangan
bermunculan, malah semakin bingung mana yang akan dituliskan. Tak mungkin semua
diceritakan. Sangat acak. Di sisi lain, ada satu kata yang berulang terlintas
tapi tak berkaitan dengan seru. Akar.
Ya, akar.
Jika hidup kita digambarkan sebagai pohon, maka kampung halaman adalah akar.
Penyangga. Peletak dasar keberadaan kita hari ini. Di nu kiwari, ngancik nu bihari. Pada yang kita jalani sekarang,
terdapat jejak dari masa lalu. Jejak itulah yang saya coba telusuri muaranya. Mengingat
saya tidak menetap lama di tempat saya dilahirkan, saya yakin tak bisa
mengibaratkan akar itu akar tunjang. Jejak saya tak menghujam ke dalam di kota
pertama. Saya juga tak merasa terwakili oleh akar serabut. Karena perpindahan
saya bukan sesaat sesaat. Agak lama menetap di satu tempat.
Saya menemukan, apa yang sering menjadi sikap saya,
banyak dipengaruhi pengalaman saya di ketiga kota yang pernah saya tinggali itu.
Saat menggambarkan situasi ini, terbayang sebuah tripod, yang menyangga kamera agar bisa diam, dan karenanya bisa
berfungsi maksimal.
Baiklah, saya urai satu-satu.
Bandung
Rumah tempat kami tinggal adalah rumah panggung kecil
dengan dinding anyaman bambu dan lantai papan. Jika sesekali ikut masuk ke
kolong rumah, paling senang saat menemukan uang logam yang tercecer di sana,
jatuh dari celah antar lempengan papan. Kami hanya punya satu tetangga di kiri,
Ua, dan di depan agak ke atas, kakek dan nenek. Di belakang, ada halaman luas
berisi pohon jambu bol. Setelah besar, saya baru tahu itu tanah hak Ua lain
yang kebetulan belum dibangun. Melintas di samping kanan sampai ke belakang,
sungai Cikakak. Antara rumah dan sungai ada halaman yang dipakai untuk beternak
ayam. Dari rumah ke jalan kecil di depan, hanya bisa melalui jalan setapak
selebar 1 meter di antara rumah kakek dan sungai. Ada jendela 50cm x 100 cm
yang bisa dipakai mengintip pada dinding setinggi 3 meter, pembatas lahan
keluarga dengan sungai (baru terpikir sekarang, jangan-jangan jendela ini untuk
membuang sampah). Gang Ingi namanya, jalan kecil di depan rumah kakek itu.
Meski rumah panggung, lokasinya bukan di kampung.
Hanya 2 km di sebelah Selatan tonggak yang ditancapkan
Daendels. Km 0 Bandung. Dekat Gedung Merdeka, tempat peristiwa bersejarah
Konferensi Asia Afrika diselenggarakan.
Sekitar 1,5 km dari rumah ke arah Timur, ada rumah
kediaman ibu Inggit Ganarsih. Rumah tempat kos Sukarno muda saat pertama kali
ke Bandung. Di kemudian hari bung Karno menikahi ibu kosnya. Ibu Inggit dikenal
sebagai pembuat bedak dingin. Beliau masih jumeneng
saat itu.
Sementara itu, selama 1 tahun 4 bulan saya berjalan
kaki ke sekolah, TK-SD Assalam di Jl. Sasakgantung. Sekitar 1,2 km ke arah Timur
Laut. Melewati apotik Eureka di Jl. Kalipah Apo, Jl. Oto Iskandardinata, dan menyusuri
Jl. Kautamaan Istri tempat sekolah yang didirikan ibu Dewi Sartika berada.
Sedangkan 500m di Barat rumah, ada pemakaman Karang Anyar. Disitulah jenazah ibu Rd. Dewi Sartika dikebumikan bersama para Dalem Bandung dan keluarganya.
Pentingkah info sedetil ini saya sampaikan? Menurut
saya, iya. Karena, ketika tiba masanya belajar sejarah dan IPA di sekolah
menengah, saya merasa seperti mengalami de
ja vu. Bukan mempelajari hal baru, tapi sekedar mengulang kata-kata kunci
yang sudah akrab di telinga. Bahkan termasuk di dalamnya, kata Eureka yang diteriakkan Archimides
ketika menemukan jawaban dari pertanyaan rajanya. Kata ini semula hanya
bermakna nama apotik yang menjadi patokan untuk belok kalau mau ke rumah kakek. :)
Keakraban nama ini membuat saya tertarik membaca kisah
mereka di masa dewasa saya. Dan, saya menjadi paham, mengapa sejak SMP saya
termasuk pemudi yang tidak kagum kepada ibu Kartini maupun ibu Fatmawati (tanpa
mengurangi rasa hormat kepada mereka yang telah ditetapkan negara sebagai
pahlawan nasional). Bagi saya, ibu Dewi Sartika karyanya lebih nyata. Walaupun
beliau wafat jauh sebelum ibu saya lahir, sekolah yang didirikannya masih ada
dan dulu saya saksikan aktivitasnya setiap hari. Sedangkan ibu Inggit, di mata
saya, bersikap sangat menjaga prinsip. “Cadu
aing dimadu” adalah kalimat beliau yang sangat mengesankan. Pantang saya
diduakan. Tak peduli Kusno, nama kecil bung Karno, yang telah didampinginya 19
tahun, berpeluang besar menjadi presiden jika Indonesia merdeka dan tanda-tanda
kemerdekaan sudah di depan mata, ketika dia tahu suaminya berniat menikah lagi
dengan perempuan yang sudah diperlakukannya seperti anak sendiri, ibu Inggit
memilih mundur, pulang ke Bandung, dan kembali menjadi pembuat pupur.
Cirebon
Kota kedua, kota utama. Di kota tepi pantai ini saya
mengenal teman. Belajar berteman. Tidak mudah, dan tak selalu berhasil.
Bagaimanapun, di kota ini proses tumbuh kembang saya terjadi.
Saya masuk SD yang berlokasi di belakang pasar.
Gedungnya hanya memiliki 5 kelas, satu ruang guru, 1 ruang kepala sekolah, dan
satu aula. Sekolah sekecil ini, di aulanya tergeletak satu rak besar angklung,
1 set peralatan degung, 1 set perlengkapan calung, dan tak pernah sepi dari aktivitas seni.
Selain yang menggunakan alat musik tadi, ada juga latihan rampak sekar, menari,
dan lain-lain. Saya pernah menjadi pemain angklung dan degung. Pelajaran keterampilan juga variatif. Yang saya ingat saja ada membuat lukisan
di kaca, mengukir di batu gips, dan tentu saja yang standar di sekolah lain juga,
menggambar dan sejenisnya. Ketika terjadi perubahan kurikulum, seluruh SD
disamakan program pendidikannya, saya baru tahu bahwa SD Pamitran 3 itu semula
memang sekolah khusus berbasis kesenian.
Walaupun sekolah khusus, muridnya umum. Teman-teman
dari sekitar sekolah banyak. Sangat variatif. Dari cucu ulama sampai anak
penjaga sekolah. Anak polisi, anak tentara, semua sama.
Di SMP dan SMA, teman semakin beragam. Dari yang Arab
asli sampai yang Cina totok, ada. Orang Aceh, Batak, Minang, Palembang, sampai
Ambon, Bali, dan Timor, berserakan. Dan, kami asyik-asyik saja. Mungkin karena Cirebon
kota pelabuhan, banyak pendatang yang kemudian menetap dan berbaur dengan
masyarakat asli.
Lokasi Cirebon di perbatasan Jawa Barat dan Jawa
Tengah juga membawa aura berbeda. Terpinggirkan dari kiri, tak sama dengan
kanan, tapi eksis dengan jatidirinya sendiri. Sunda sanes, Jawa lain. Pendek
kata, di Cirebonlah saya menemukan, Bhinneka Tunggal Ika tak sekedar kata-kata.
Bogor
Awal pernikahan, saya hanya pendatang. Tapi kini,
Bogor menjadi kampung halaman ketiga. Disini saya dan suami sama-sama
ber-evolusi, saling mempengaruhi. Langkah dan pemikiran saya ada rasa suami di dalamnya. Pun dia. Di tanah
Pakuan ini anak saya lahir dan dibesarkan. Jika saat di Bandung saudara menjadi
tetangga, maka di Bogor ini tetangga-tetangga telah menjadi saudara. Tempat curhat
sampai saling minta bumbu masak. Jika dulu saya dikelilingi simbol dan tokoh
sejarah, maka kini saya sedang mengukir sejarah. Menyiapkan warisan nilai (value) kepada anak saya.
Tentang situasi Bogor terbaru, silakan lihat di Bugar di Bogor.
Demikianlah. Bandung, Cirebon, dan Bogor. Tiga kota
ini menjadikan kata pulang mempunyai
makna. Tripod yang membuat kamera
hidup saya berfungsi sebaik-baiknya hari ini, untuk dinikmati hari nanti.
Bukankah, seja ayeuna, sampeureun jaga.
Apa yang kita lakukan sekarang, adalah bekal bagi masa depan.
Menarik sekali cerita "akarnya" teh..baru tau kalo tidak jauh dari Gedung Merdeka masih ada suasana kampung yang tenang :)
BalasHapusTerimakasih sudah mampir. Iya, masih ada kampung di dekat alun-alun Bandung ini. Rumah panggung kami sudah lama tak ada, tapi suasana kampung di belakang jalan-jalan utama kota, masih banyak.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDududu.. ini kenapa tulisan kampung halaman jadi dalem gini ditulisnya.. baguuss..
BalasHapusSalam kenal Teh :)
Salam kenal juga, Irly. Makasih ya sudah mampir.
HapusKalo sudah menikah kampung halaman akan bertambah ya? Hehe
BalasHapusSalam kenal ya sy dr Lombok!
Salam kenal jhga, Reni. Terimakasih sudah mampir. Haha, itu belum memasukkan kampung halaman suami lho... :)
HapusWah gila!!!
BalasHapusMenarik banget ceritanya teh. Bisaan membawakan ceritanya membuat yang membaca menjadi terngiang-ngiang akan bayangan suasananya. This is a cool post.
Terimakasih, mas Jabbar. Seumur hidup, walau di tiga kota, semuanya ada di Jabar. :)
HapusAlhamdulillah kalau yang membaca merasa ikut dibawa "pulang kampung" bersama saya.
Bagus kisahnya. Saya juga ga punya kampung halaman, tapi dah puluhan tahun tinggal di Bandung. Salam kenal...
BalasHapusSalam kenal juga, mbak Tri. Terimakasih sudah singgah. Sekarang saya ke Bandung pulang, ke Bogor pulang. Kapan perginya...:)
HapusJadi nambah tahu tentang Bandung teh..nuhun.salam kenal...
BalasHapusNuhun, teh Novya. Alhamdulillah kalau bermanfaat. Yuk, jalan-jalan ke Bandung.
HapusTulisannya meuni keren teh
BalasHapusHatur nuhun, Nirmala. Alhamdulillah kalau yang baca suka, dan ada manfaat.
BalasHapusWaaa.. Alumni TK Assalaam nih. Ayo mason ingat ga nama Ibu gurunya? Ibu guru paling senior di TK Assalaam itu Bu Imas Popoh.
BalasHapus😆😆
Tapi ke-3 tempat masih sekitaran jawa baray ya teh. Tapi PR banget nih buat saya, susah banget belajar bahasa sunda, padahal suami orang sunda.
BalasHapusSalam kenal teh.
www.feriyana.com