Minggu, 08 Januari 2017

(1) Berawal di Akhir Hari Minggu



Terngiang suara Achmad Albar, "Dunia ini, panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah..." 
Kata-kata ini menjadi lebih dari sekedar lagu, ketika kita dihadapkan pada situasi yang di luar skenario. Perubahan mendadak. Dari sehat ke sakit,  bahkan berkemungkinan lewat.


Hari itu, Minggu, 1 Mei 2016. Tepat saat adzan Magrib sedang dikumandangkan suami saya masuk rumah setelah marathon aktivitas dari beberapa hari, eh minggu, sebelumnya. Pergi ke sana, terbang ke sini. Nyaris tak putus, bahkan di hari Sabtu Minggu. Saya lupa Senin ke mana. Selasa ke Cibubur, Rabu ke Depok, Kamis ke Bandung, Jumat ke Ciwidey, Sabtu Bengkulu, Minggu ke Pandeglang. Malam Jumat menginap di Bandung, pulang  Jumat malam. Sabtu Subuh ke bandara, malam Minggu setahu saya menginap di Bengkulu.

Saat suami datang, bu Yuli tetangga sedang pamit pulang. Kami bertiga sempat berpapasan sejenak di pintu pagar, dengan latar suara adzan. Suamiku tampak lelah. Kami tak banyak bercakap, karena suami hanya menyimpan tas, dan bergegas pergi lagi ke masjid. Shalat berjamaah.

Kembali dari masjid, kami ngobrol sebentar di kamar anak, di tempat tidur. Suamiku menarik kasur bawah dan lantas duduk selonjoran di sana, bersandar pada pinggiran kasur atas. Baru ngobrol sedikit, dia mengusulkan untuk makan malam di luar. Mungkin karena belakangan ini jarang di rumah, dia ingin kami pergi bertiga. Saya mengusulkan makan mi ayam saja di restoran dekat kompleks, sekitar 1 km dari rumah.

Saya pun bersiap-siap seadanya. Toh hanya makan ke depan. Suamiku rupanya gerah, maklum baru perjalanan dari Banten pakai bis, jadi dia ke kamar mandi. Terdengar kucuran dari shower. Tiba-tiba, dari dalam terdengar teriakan, “Allahu akbar, Allahu akbar!” Ini bukan ungkapan wajar. Saya bergegas ke kamar mandi, mengetuk pintu sambil bertanya “Ada apa?”. Tak ada jawaban. Saya coba buka pintu kamar mandi, terkunci. Deg! Sempat khawatir dan menyesal tak pernah mengajak melakukan hal yang sama, tidak mengunci kamar mandi. Sejak Yoga kawan SD saya kena stroke ketika sedang mandi, saya agak paranoid. Tak pernah mengunci kamar mandi saat di rumah.

Beberapa saat tak ada suara dari dalam. Detik-detik yang menegangkan, karena saya tak tahu apa yang sedang berlangsung di dalam. Hanya bisa berdoa, semoga suami tidak  pingsan. Perlahan, terdengar kunci diputar, pintu kamar mandipun terbuka. Suami berjalan keluar. Lega. Tak terjadi apapun yang salah. Suami langsung menuju ke kamar, tak menghiraukan keberadaan saya di depan pintu. Terlihat dia sempat duduk di ujung tempat tidur sebelum kemudian berganti pakaian pergi. Saya tidak menyusul ke dalam kamar, jadi saya tidak tahu pasti, dia shalat Isya atau hanya duduk saja. Yang jelas, cukup lama saya menunggu di luar kamar.

Ketika akhirnya dia muncul, siap berangkat, saya mengajukan usul. “Kita ke Hermina dulu yuk sebelum makan?”. RS Hermina hanya berjarak dua bangunan di sebelah kavling tempat restoran mi ayam tujuan kami berada. Saya sudah siap dengan penolakan, makanya kaget ketika dia menjawab, “Hayu.” Sesuatu nih. Berarti suamiku sudah merasa tidak nyaman. Kalau dia masih merasa kuat, mana mau diajak ke dokter. Apalagi tujuan utama kami kan mau makan malam saja.

Bertiga kami menuju mobil. Saya yang mengemudi. Suami duduk di kiri depan, anak saya di belakang. Di Hermina, setelah parkir, kami ke bagian pendaftaran. Dari situ baru menuju ruang IGD. Di depan IGD ada banyak orang menunggu. Antri. Minggu sore kan klinik dokter spesialis tutup, sementara tingkat orang sakit meningkat karena usai liburan. Jadilah kami menunggu. Masih ada beberap orang lagi yang belum dipanggil.

Suamiku berdiri, mau ke toilet, tampaknya. Di Hermina Bogor, toilet berada di ujung yang berlawanan dengan IGD. Jadi, agak jauh. Anak saya bilang , “Mama temani Papa saja”. Ya sudah, saya menyusul suami. Saya minta anak menunggu disitu, dan panggil kami jika sudah waktunya diperiksa. Di toilet, suamiku tampak seperti ingin muntah. Untung dia tidak menutup pintu, jadi saya bisa berjaga-jaga di belakangnya. Berkali-kali dia seperti muntah tapi tidak mengeluarkan apa-apa. Kemudian, dia berjalan sempoyongan ke kursi di depan toilet. Disitu dia terlihat kesakitan, meraba dan memegang kepalanya seperti mencari sumber rasa sakit, sambil setengah berteriak, “Sakit…sakit…!”

Tak berhasil menemukan posisi yang sakit, dia mulai berbaring di kursi panjang itu. Sudah tidak peduli lagi dengan lingkungan. Mungkin dia tidak sadar juga ada saya. Dan saya bingung sendiri. Ingin segera minta dia diperiksa, tapi kami berada jauh dari IGD. Mengajaknya jalan, tak mungkin, dia seperti berguling-guling begitu di kursi. Mau minta pertolongan, tak ada orang yang lewat, dan saya juga tak mungkin meninggalkan dia sendirian walau sesaat, untuk mencari bantuan.

Pada saat itu, alhamdulillah, anak saya muncul dan mengatakan giliran ayahnya diperiksa sudah tiba. Saya minta tolong ambilkan kursi roda. Anak saya sigap sekali. Dia juga melihat ayahnya sedang kesakitan, dia bertindak cepat. Kursi roda sudah ada, masalah berikutnya muncul. Bagaimana memindahkan suami dari kursi ke kursi roda. Dia sedang kesakitan, tidak bisa ditanya, apalagi diminta melakukan sesuatu. Bersyukur, ada bapak-bapak lewat. Dan dia berkenan membantu. Dengan susah payah, suami berhasil duduk, dan sayapun mendorongnya hati-hati tapi berusaha cepat ke arah IGD. Baru beberapa meter, saya lihat anak saya datang dengan perawat. Saya tadi sampai tidak tahu, anak saya berjalan lebih dulu dan memanggil perawat. Selanjutnya, perawat yang mendorong kursi roda, langsung ke dalam IGD.

Seperti yang disebutkan di awal, IGD penuh. Pun di dalam. Semua tempat tidur di posisi normal (bertirai) terisi. Suami saya ditempatkan di tempat tidur tambahan dekat pintu. Dia segera mendapatkan pertolongan pertama, dipasang oksigen dan diberi infus. Perawat sempat mengatakan, biasanya sakit kepala terjadi karena ada masalah suplai oksigen, makanya itu langkah pertama yang dia lakukan. Suamiku memang tampak menjadi lebih tenang. Dia pun berusaha tidur. Tetapi, pintu di samping tempat tidur itu rupanya tempat lalu lalang keluarga pasien. Dan, berderit setiap ada yang membuka atau menutup. Bunyi derit ini mengganggu kenyamanan suami. Dia gelisah lagi. Begitu saya lihat ada pasien yang tuntas diperiksa, tempatnya kosong, saya segera minta suami dipindahkan ke situ. Perawat mengizinkan, karena alasannya jelas.

Singkat cerita, saat dokter memeriksa suami, tiba-tiba terjadi kehebohan. Semua perawat IGD mengerubungi suami saya. Masing-masing melakukan tugasnya, menyiapkan dan memasang ini itu. Saya mulai merasa ada yang salah.

Setelah semua terkendali, alat-alat sudah terpasang, saya dipanggil dokter. Dokter bilang, “Suami ibu mengalami penurunan kesadaran. Dia tidak merespon. Saya menduga, dia mengalami stroke, pendarahan di kepala. Pertolongan pertama telah kami lakukan. Tapi, suami ibu harus dirawat di ICU. Kami tidak punya perawatan untuk stroke. Jadi, ibu harus mencari rumah sakit lain.”

Stroke? Ini serius! Saya mulai berpikir, harus memberi tahu orang lain. Dari tadi, ini hanya urusan kami bertiga saja. Kami kan hanya ke IGD karena suami sakit kepala. Tapi, stroke, itu bukan penyakit sederhana. Perasaan saya berkata, harus memberi tahu orang lain. Ini bisa saja jadi apa-apa, walau tetap ingin tidak ada apa-apa.

Ketika dokter memeriksa suami saya lagi, saya mengeluarkan ponsel. Untung bawa ponsel, karena kami kan hanya keluar rumah sebentar. Pada layar ponsel hanya ada 3 strip. Ya Allah… hanya 3 strip umur batere, padahal saya mulai merasa ini akan menjadi malam yang panjang, akan ada banyak urusan. Saya menghela nafas, mencoba memikirkan langkah yang efektif. Dengan kondisi batere ponsel terbatas, tak membawa charger, saya harus sangat berhitung.

Saya pun memutuskan menghubungi 3 pihak. Tetangga, saudara, dan teman. Tetangga, saya kontak bu Yuli, yang tadi terakhir bertemu saat Magrib. Saudara, saya hubungi adik perempuan saya yang di Laladon. Dia yang terdekat rumahnya dari Hermina. Teman, saya berniat menghubungi pak Bambang, orang terakhir yang seharusnya tahu kondisi kesehatan  suami karena mereka bersama-sama ke Bengkulu. Ternyata, di ponsel ini belum tersimpan nomor pak Bambang. Saya cari lagi, ada nomor istrinya. Saya telepon bu Dewi. Ternyata, pak Bambang baru mendarat, masih di perjalanan ke Bogor dari Bandara Soetta. Plan B. Saya pun menghubungi Elia. Terhubung. Sudah, 3 pihak cukup. Setidaknya, ada orang lain yang tahu kalau kami sedang di RS. Itu saja tujuan saya mengabari ketiga orang ini.

Dokter meminta saya mencari rumah sakit lain yang minimal punya alat CT Scan. Saya segera mengontak kawan saya, dokter bedah di RS Azra. Ternyata, CT Scan Azra sedang rusak. Perawat sempat bilang, kalua ibu punya kenalan orang rumah sakit, mungkin bisa lebih mudah. Saya hanya bisa menghela nafas. Paman saya dokter senior di Bogor, pasti bisa membantu. Tapi, dia sedang ke Eropa. Saya teringat teman lain yang dokter di RS Pertamina. Siapa tahu dia bisa bantu mengontak Pertamedika Sentul. Beberapa kali saya coba hubungi, tidak terjawab. Belakangan, ketika akhirnya dia menelepon balik setelah semua urusan selesai, dia minta maaf karena ponsel sedang dicas di kereta. Tak apa, bukan salah dia, tak perlu minta maaf.

Hari semakin malam, saya mulai khawatir mengganggu orang yang ditelepon, tapi saya perlu. Saya hubungi teman yang lain, dokter syaraf di Siloam Karawaci. Alhamdulillah, dia menjawab segera. Dia langsung merasa, ada apa-apa. Saya kan tidak terbiasa mengontak dia, apalagi menjelang tengah malam begini. Untungnya kalau kita tidak pernah atau jarang meminta bantuan orang adalah, ketika kita menghubungi dia tahu ada sesuatu yang sedang terjadi dan dengan sigap dia menolong. Dokter ini melarang saya membawa suami ke Karawaci, terlalu jauh. Stroke hanya butuh kecepatan penanganan. Cari RS sekitar Bogor saja. dia membantu dengan menghubungi rekannya, dokter Syaraf di Bogor dan Cibinong. Tapi, kedua RS tempat praktek temannya teman saya ini tak bisa menerima suami karena ruang ICU penuh.

Sementara itu, tak sampai 15 menit dari saya mengabari teman, tiba-tiba sudah masuk ke ruang IGD bang Udin. Rupanya dia membaca di grup, yang infonya disampaikan Elia, lantas segera datang. Rumah bang Udin di seberang Hermina. Saya minta maaf karena sama sekali tidak terpikir menghubungi dia, lupa bahwa ada teman yang rumahnya terdekat. Setelah bang Udin, entah bagaimana, tiba-tiba saja di sekitar IGD sudah ramai teman-teman suami, buYuli sekeluarga, dan adik kakak saya. Alhamdulillah, teman-teman benar-benar bergerak cepat. Begitu mendapat informasi, segera merapat.

Dan, rupanya teman-teman suami yang bergerak tak sekedar yang menemani di RS. Malam itu, grup-grup WA teman-teman suami dari berbagai komunitas, heboh. Luar biasa. Salah satu yang menguat adalah, usulan membawa suami ke Jakarta. Bahkan beberapa orang eksplisit memaksa agar suami dibawa ke RS PON di Cawang. Asli saya bingung, karena saya memang baru malam itu mendengar nama rumah sakit PON. Apa urusannya stroke dibawa ke RS Olahraga? Makanya, ketika semula RS PON agak sulit dihubungi, saya mengiyakan saja ketika ada usulan pokoknya cari RS yang bisa dulu.

Sambil proses mencari RS yang punya CT Scan dan ada ICU kosong, dokter berbicara kepada saya. Dia bilang, karena suami akan dibawa jauh, khawatir di perjalanan tiba-tiba tubuhnya drop dan harus dipasang ventilator, maka terhadap suami akan dilakukan intubasi. Intubasi itu kurang lebih artinya pemasangan alat yang nantinya tinggal dihubungkan ke ventilator jika diperlukan. Dokter butuh izin keluarga, karena intubasi yang bisa dilakukan dari mulut atau dada atas ini, ada resiko alatnya menusuk paru-paru sehingga paru-paru berhenti.

Sebentar… sampai disini, saya mulai berpikir. Ada apa ini? Tadi kami hanya akan makan malam, ini kok tiba-tiba ada kemungkinan paru-paru suami berhenti… Itu kan berarti, suami bisa saja tiba-tiba lewat. Saya hanya bisa membatin, “Ya Allah… rentannya hidup ini. Tadi kami masih ngobrol, hanya mau beli mi ayam, dan sekarang tiba-tiba suami sakit dengan kemungkinan paru-paru berhenti. Wafat.

*Malam masih panjang. Proses memindahkan suami ke RS lain tidak sederhana. Akan saya lanjutkan pada tulisan kedua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar