Terngiang suara Achmad Albar, "Dunia ini, panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah..."
Kata-kata ini menjadi lebih dari sekedar lagu, ketika kita dihadapkan pada situasi yang di luar skenario. Perubahan mendadak. Dari sehat ke sakit, bahkan berkemungkinan lewat.
Hari itu, Minggu, 1 Mei 2016. Tepat saat adzan Magrib
sedang dikumandangkan suami saya masuk rumah setelah marathon aktivitas dari beberapa
hari, eh minggu, sebelumnya. Pergi ke sana, terbang ke sini. Nyaris tak putus,
bahkan di hari Sabtu Minggu. Saya lupa Senin ke mana. Selasa ke Cibubur, Rabu
ke Depok, Kamis ke Bandung, Jumat ke Ciwidey, Sabtu Bengkulu, Minggu ke
Pandeglang. Malam Jumat menginap di Bandung, pulang Jumat malam. Sabtu Subuh ke bandara, malam
Minggu setahu saya menginap di Bengkulu.
Saat suami datang, bu Yuli tetangga sedang pamit
pulang. Kami bertiga sempat berpapasan sejenak di pintu pagar, dengan latar
suara adzan. Suamiku tampak lelah. Kami tak banyak bercakap, karena suami hanya
menyimpan tas, dan bergegas pergi lagi ke masjid. Shalat berjamaah.
Kembali dari masjid, kami ngobrol sebentar di kamar
anak, di tempat tidur. Suamiku menarik kasur bawah dan lantas duduk selonjoran
di sana, bersandar pada pinggiran kasur atas. Baru ngobrol sedikit, dia
mengusulkan untuk makan malam di luar. Mungkin karena belakangan ini jarang di
rumah, dia ingin kami pergi bertiga. Saya mengusulkan makan mi ayam saja di
restoran dekat kompleks, sekitar 1 km dari rumah.
Saya pun bersiap-siap seadanya. Toh hanya makan ke
depan. Suamiku rupanya gerah, maklum baru perjalanan dari Banten pakai bis,
jadi dia ke kamar mandi. Terdengar kucuran dari shower. Tiba-tiba, dari dalam terdengar teriakan, “Allahu akbar, Allahu
akbar!” Ini bukan ungkapan wajar. Saya bergegas ke kamar mandi, mengetuk pintu sambil
bertanya “Ada apa?”. Tak ada jawaban. Saya coba buka pintu kamar mandi,
terkunci. Deg! Sempat khawatir dan menyesal tak pernah mengajak melakukan hal
yang sama, tidak mengunci kamar mandi. Sejak Yoga kawan SD saya kena stroke ketika
sedang mandi, saya agak paranoid. Tak pernah mengunci kamar mandi saat di
rumah.
Beberapa saat tak ada suara dari dalam. Detik-detik
yang menegangkan, karena saya tak tahu apa yang sedang berlangsung di dalam. Hanya
bisa berdoa, semoga suami tidak pingsan.
Perlahan, terdengar kunci diputar, pintu kamar mandipun terbuka. Suami berjalan
keluar. Lega. Tak terjadi apapun yang salah. Suami langsung menuju ke kamar,
tak menghiraukan keberadaan saya di depan pintu. Terlihat dia sempat duduk di
ujung tempat tidur sebelum kemudian berganti pakaian pergi. Saya tidak menyusul
ke dalam kamar, jadi saya tidak tahu pasti, dia shalat Isya atau hanya duduk
saja. Yang jelas, cukup lama saya menunggu di luar kamar.
Ketika akhirnya dia muncul, siap berangkat, saya
mengajukan usul. “Kita ke Hermina dulu yuk sebelum makan?”. RS Hermina hanya
berjarak dua bangunan di sebelah kavling tempat restoran mi ayam tujuan kami
berada. Saya sudah siap dengan penolakan, makanya kaget ketika dia menjawab, “Hayu.”
Sesuatu nih. Berarti suamiku sudah merasa tidak nyaman. Kalau dia masih merasa
kuat, mana mau diajak ke dokter. Apalagi tujuan utama kami kan mau makan malam
saja.
Bertiga kami menuju mobil. Saya yang mengemudi. Suami duduk
di kiri depan, anak saya di belakang. Di Hermina, setelah parkir, kami ke
bagian pendaftaran. Dari situ baru menuju ruang IGD. Di depan IGD ada banyak
orang menunggu. Antri. Minggu sore kan klinik dokter spesialis tutup, sementara
tingkat orang sakit meningkat karena usai liburan. Jadilah kami menunggu. Masih
ada beberap orang lagi yang belum dipanggil.
Suamiku berdiri, mau ke toilet, tampaknya. Di Hermina
Bogor, toilet berada di ujung yang berlawanan dengan IGD. Jadi, agak jauh. Anak
saya bilang , “Mama temani Papa saja”. Ya sudah, saya menyusul suami. Saya minta
anak menunggu disitu, dan panggil kami jika sudah waktunya diperiksa. Di toilet,
suamiku tampak seperti ingin muntah. Untung dia tidak menutup pintu, jadi saya
bisa berjaga-jaga di belakangnya. Berkali-kali dia seperti muntah tapi tidak
mengeluarkan apa-apa. Kemudian, dia berjalan sempoyongan ke kursi di depan
toilet. Disitu dia terlihat kesakitan, meraba dan memegang kepalanya seperti
mencari sumber rasa sakit, sambil setengah berteriak, “Sakit…sakit…!”
Tak berhasil menemukan posisi yang sakit, dia mulai
berbaring di kursi panjang itu. Sudah tidak peduli lagi dengan lingkungan. Mungkin
dia tidak sadar juga ada saya. Dan saya bingung sendiri. Ingin segera minta dia
diperiksa, tapi kami berada jauh dari IGD. Mengajaknya jalan, tak mungkin, dia
seperti berguling-guling begitu di kursi. Mau minta pertolongan, tak ada orang
yang lewat, dan saya juga tak mungkin meninggalkan dia sendirian walau sesaat,
untuk mencari bantuan.
Pada saat itu, alhamdulillah, anak saya muncul dan
mengatakan giliran ayahnya diperiksa sudah tiba. Saya minta tolong ambilkan
kursi roda. Anak saya sigap sekali. Dia juga melihat ayahnya sedang kesakitan,
dia bertindak cepat. Kursi roda sudah ada, masalah berikutnya muncul. Bagaimana
memindahkan suami dari kursi ke kursi roda. Dia sedang kesakitan, tidak bisa
ditanya, apalagi diminta melakukan sesuatu. Bersyukur, ada bapak-bapak lewat. Dan
dia berkenan membantu. Dengan susah payah, suami berhasil duduk, dan sayapun
mendorongnya hati-hati tapi berusaha cepat ke arah IGD. Baru beberapa meter,
saya lihat anak saya datang dengan perawat. Saya tadi sampai tidak tahu, anak
saya berjalan lebih dulu dan memanggil perawat. Selanjutnya, perawat yang
mendorong kursi roda, langsung ke dalam IGD.
Seperti yang disebutkan di awal, IGD penuh. Pun di
dalam. Semua tempat tidur di posisi normal (bertirai) terisi. Suami saya
ditempatkan di tempat tidur tambahan dekat pintu. Dia segera mendapatkan
pertolongan pertama, dipasang oksigen dan diberi infus. Perawat sempat
mengatakan, biasanya sakit kepala terjadi karena ada masalah suplai oksigen,
makanya itu langkah pertama yang dia lakukan. Suamiku memang tampak menjadi
lebih tenang. Dia pun berusaha tidur. Tetapi, pintu di samping tempat tidur itu
rupanya tempat lalu lalang keluarga pasien. Dan, berderit setiap ada yang
membuka atau menutup. Bunyi derit ini mengganggu kenyamanan suami. Dia gelisah
lagi. Begitu saya lihat ada pasien yang tuntas diperiksa, tempatnya kosong,
saya segera minta suami dipindahkan ke situ. Perawat mengizinkan, karena
alasannya jelas.
Singkat cerita, saat dokter memeriksa suami, tiba-tiba
terjadi kehebohan. Semua perawat IGD mengerubungi suami saya. Masing-masing
melakukan tugasnya, menyiapkan dan memasang ini itu. Saya mulai merasa ada yang
salah.
Setelah semua terkendali, alat-alat sudah terpasang,
saya dipanggil dokter. Dokter bilang, “Suami ibu mengalami penurunan kesadaran.
Dia tidak merespon. Saya menduga, dia mengalami stroke, pendarahan di kepala. Pertolongan
pertama telah kami lakukan. Tapi, suami ibu harus dirawat di ICU. Kami tidak
punya perawatan untuk stroke. Jadi, ibu harus mencari rumah sakit lain.”
Stroke? Ini serius! Saya mulai berpikir, harus memberi
tahu orang lain. Dari tadi, ini hanya urusan kami bertiga saja. Kami kan hanya
ke IGD karena suami sakit kepala. Tapi, stroke, itu bukan penyakit sederhana. Perasaan
saya berkata, harus memberi tahu orang lain. Ini bisa saja jadi apa-apa, walau tetap ingin tidak ada apa-apa.
Ketika dokter memeriksa suami saya lagi, saya
mengeluarkan ponsel. Untung bawa ponsel, karena kami kan hanya keluar rumah sebentar.
Pada layar ponsel hanya ada 3 strip. Ya Allah… hanya 3 strip umur batere,
padahal saya mulai merasa ini akan menjadi malam yang panjang, akan ada banyak
urusan. Saya menghela nafas, mencoba memikirkan langkah yang efektif. Dengan kondisi
batere ponsel terbatas, tak membawa charger, saya harus sangat berhitung.
Saya pun memutuskan menghubungi 3 pihak. Tetangga,
saudara, dan teman. Tetangga, saya kontak bu Yuli, yang tadi terakhir bertemu
saat Magrib. Saudara, saya hubungi adik perempuan saya yang di Laladon. Dia yang
terdekat rumahnya dari Hermina. Teman, saya berniat menghubungi pak Bambang,
orang terakhir yang seharusnya tahu kondisi kesehatan suami karena mereka bersama-sama ke Bengkulu. Ternyata,
di ponsel ini belum tersimpan nomor pak Bambang. Saya cari lagi, ada nomor
istrinya. Saya telepon bu Dewi. Ternyata, pak Bambang baru mendarat, masih di
perjalanan ke Bogor dari Bandara Soetta. Plan B. Saya pun menghubungi Elia. Terhubung.
Sudah, 3 pihak cukup. Setidaknya, ada orang lain yang tahu kalau kami sedang di
RS. Itu saja tujuan saya mengabari ketiga orang ini.
Dokter meminta saya mencari rumah sakit lain yang
minimal punya alat CT Scan. Saya segera mengontak kawan saya, dokter bedah di
RS Azra. Ternyata, CT Scan Azra sedang rusak. Perawat sempat bilang, kalua ibu
punya kenalan orang rumah sakit, mungkin bisa lebih mudah. Saya hanya bisa
menghela nafas. Paman saya dokter senior di Bogor, pasti bisa membantu. Tapi,
dia sedang ke Eropa. Saya teringat teman lain yang dokter di RS Pertamina. Siapa
tahu dia bisa bantu mengontak Pertamedika Sentul. Beberapa kali saya coba
hubungi, tidak terjawab. Belakangan, ketika akhirnya dia menelepon balik
setelah semua urusan selesai, dia minta maaf karena ponsel sedang dicas di
kereta. Tak apa, bukan salah dia, tak perlu minta maaf.
Hari semakin malam, saya mulai khawatir mengganggu
orang yang ditelepon, tapi saya perlu. Saya hubungi teman yang lain, dokter
syaraf di Siloam Karawaci. Alhamdulillah, dia menjawab segera. Dia langsung
merasa, ada apa-apa. Saya kan tidak terbiasa mengontak dia, apalagi menjelang
tengah malam begini. Untungnya kalau kita tidak pernah atau jarang meminta
bantuan orang adalah, ketika kita menghubungi dia tahu ada sesuatu yang sedang
terjadi dan dengan sigap dia menolong. Dokter ini melarang saya membawa suami
ke Karawaci, terlalu jauh. Stroke hanya butuh kecepatan penanganan. Cari RS
sekitar Bogor saja. dia membantu dengan menghubungi rekannya, dokter Syaraf di
Bogor dan Cibinong. Tapi, kedua RS tempat praktek temannya teman saya ini tak
bisa menerima suami karena ruang ICU penuh.
Sementara itu, tak sampai 15 menit dari saya mengabari
teman, tiba-tiba sudah masuk ke ruang IGD bang Udin. Rupanya dia membaca di
grup, yang infonya disampaikan Elia, lantas segera datang. Rumah bang Udin di
seberang Hermina. Saya minta maaf karena sama sekali tidak terpikir menghubungi
dia, lupa bahwa ada teman yang rumahnya terdekat. Setelah bang Udin, entah
bagaimana, tiba-tiba saja di sekitar IGD sudah ramai teman-teman suami, buYuli
sekeluarga, dan adik kakak saya. Alhamdulillah, teman-teman benar-benar
bergerak cepat. Begitu mendapat informasi, segera merapat.
Dan, rupanya teman-teman suami yang bergerak tak
sekedar yang menemani di RS. Malam itu, grup-grup WA teman-teman suami dari
berbagai komunitas, heboh. Luar biasa. Salah satu yang menguat adalah, usulan
membawa suami ke Jakarta. Bahkan beberapa orang eksplisit memaksa agar suami
dibawa ke RS PON di Cawang. Asli saya bingung, karena saya memang baru malam
itu mendengar nama rumah sakit PON. Apa urusannya stroke dibawa ke RS Olahraga?
Makanya, ketika semula RS PON agak sulit dihubungi, saya mengiyakan saja ketika
ada usulan pokoknya cari RS yang bisa dulu.
Sambil proses mencari RS yang punya CT Scan dan ada
ICU kosong, dokter berbicara kepada saya. Dia bilang, karena suami akan dibawa
jauh, khawatir di perjalanan tiba-tiba tubuhnya drop dan harus dipasang
ventilator, maka terhadap suami akan dilakukan intubasi. Intubasi itu kurang lebih artinya pemasangan alat yang
nantinya tinggal dihubungkan ke ventilator jika diperlukan. Dokter butuh izin
keluarga, karena intubasi yang bisa dilakukan dari mulut atau dada atas ini, ada
resiko alatnya menusuk paru-paru sehingga paru-paru berhenti.
Sebentar… sampai disini, saya mulai berpikir. Ada apa
ini? Tadi kami hanya akan makan malam, ini kok tiba-tiba ada kemungkinan
paru-paru suami berhenti… Itu kan berarti, suami bisa saja tiba-tiba lewat. Saya hanya bisa membatin, “Ya
Allah… rentannya hidup ini. Tadi kami masih ngobrol, hanya mau beli mi ayam,
dan sekarang tiba-tiba suami sakit dengan kemungkinan paru-paru berhenti. Wafat.
*Malam masih panjang. Proses memindahkan suami ke RS
lain tidak sederhana. Akan saya lanjutkan pada tulisan kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar