Pertama-tama, mohon maaf kepada
bapak-bapak yang berharap-harap senang. Judul di atas tidak berkaitan sama
sekali dengan jumlah istri. :)
Saya tergelitik untuk menulis
tentang 3 mengingat pengalaman belakangan ini berkaitan dengan pesta besar bangsa kita, memilih presiden. Mungkin teman-teman
juga mengalami peristiwa yang sama atau serupa.
Komunitas-komunitas di sekitar
kita dengan semangat berpartisipasi aktif dalam mempromosikan calon presiden
jagoannya. Baik komunitas di dunia maya ataupun nyata. Berbagai jaringan media
sosial dipenuhi status menjual kelebihan pujaannya dan mengorek kelemahan
lawannya. Kelakuan ini tidak merujuk ke satu pihak saja, tetapi kedua tim
pendukung capres. Mohon maaf, tak ada yang berhak mengklaim pihak lawan tak
sopan, karena dari yang saya alami, kedua kelompok pendukung melakukan
over-fanatisme yang setara.
Saya tidak berencana membahas
isi kampanyenya, tetapi lebih tertarik untuk menghitung jumlah pernyataan. Di satu grup pertemanan BBG, pernah ada yang
mengirim data kelebihan-kelebihan capres andalan dia. Tak kira-kira, sampai 3
kali pengiriman. Saking banyaknya point hebat dari calon dia. 14 point-an. Tahu
apa yang saya rasa? Berlebihan. Kelebihan sang calon menjadi tak menarik lagi
di mata saya karena promosi yang berlebihan dari sang pendukung. Walau dia
bilang tak bermaksud memaksakan kehendak, kiriman sebanyak itu memberi kesan
intimidasi. Itu di dunia maya.
Di alam nyata, minggu lalu saya mendapat daftar 25 kesalahan aliran
tertentu dalam agama saya di sebuah pengajian. Dari awal saya sudah dipihak
yang tidak sepakat dengan aliran itu. Tetapi
ketika sang pembicara merasa tak cukup
menjelaskan dengan point-point utama kesalahannya saja, saya tak suka. Apalagi saat
saya baca, beberapa point terkesan memaksakan. Misalnya, kesalahan cetak di sebuah buku kok dimasukkan ke dalam daftar kesalahan aliran
tersebut.
Di Facebook, ada beberapa teman
yang berulang-ulang membuat status tendensius. 1x okelah. 2x, “ngapain nih
orang”. 3x, “Oh, dia pendukung A”. 4x? Unfriend :D
Saya jadi teringat pelajaran
dari 2 orang guru saya. Pelajaran yang “sangat
sedikit” tapi berefek besar. Sama sekali bukan mengecilkan arti
pelajarannya, tapi ini memang asli pelajaran tentang sesuatu yang sangat
sedikit, 3.
Pertama, dari Clara Ng. Penulis
yang karyanya selalu menarik. Saya sempat berguru pada beliau di sebuah kelas online. Salah satu tugas saya, yang
menurut saya sangat kuat karena ada
unsur pengulangannya, dinilai jelek oleh beliau. Berlebihan. Setelah ditelisik,
rupanya karena ada pengulangan informasi hingga 5x. Mbak Clara bilang, ada yang
disebut aturan 3. Sesuatu yang
diulang, cukup 3 kali. Lebih dari itu,
efeknya tak cantik lagi.
Awalnya ada rasa sedih karena
karya hasil jerih payah ini harus diedit dengan cara membuangnya, bukan
mengganti dengan kalimat lain. Pilih 3 saja. Sulit, karena sebagai penulisnya,
saya merasa semua tulisan saya sudah
pas. Tetapi, setelah berhasil memenuhi saran mbak Clara, saat tulisan itu saya
baca ulang, terasa jauuuh lebih bagus
(u-nya cukup 3, hehe). Efek aturan 3 kali pengulangan itu luar biasa, ternyata.
Ini berlaku untuk banyak bagian
lain dari tulisan. Misalnya, menulis
titik-titik. 3 titik saja cukup. Itu sudah menunjukkan banyak. Jika kita tulis
titik lebih dari 3, sudah tak ada artinya lagi, bahkan berlebihan. Pengulangan sering
muncul juga pada puisi. Kata pertama
atau kalimat pertama yang diulang-ulang. Dulu saya membaca puisi yang banyak
pengulangan biasa-biasa saja. Tak kagum, tapi juga tak mengapresiasi. Sekarang,
jika menghadiri acara dan diberi hiburan puisi, saya menyimak. Ada beberapa
pujangga yang suka memainkan ulangan kalimat atau kata. Kini, jika itu
dilakukan sang penyair lebih dari 3x, respek saya berkurang.
Guru lain yang menekankan
pentingnya angka 3 adalah mas Jamil Azzaini. Para trainer/writer yang
dilatihnya, diberi penekanan besar tentang pentingnya 3.
Pertama, dari perjalanan
kelasnya. Materi disajikan dalam 3 kelompok besar. Pembuka – isi – penutup.
Isi, dibagi dalam 3 bagian lagi. Tentang yang harus dilakukan seorang trainer:
persiapan – pelaksanaan – evaluasi. Untuk masing-masing bagian, diberi 3 kata
kunci. Sehingga, saat usai pelatihan, peserta pulang dengan membawa materi yang sudah nempel di benak, tak perlu membuka
diktat lagi untuk sekedar mengingat point utama yang diajarkan.
Kedua, para peserta diminta berlatih menuliskan atau merencanakan materi pelatihan yang biasa mereka sampaikan dalam 3 point utama, menurunkan 3 sub bagian untuk setiap point, dan demikian terus ke bawah.
Sebagai efek dari pelatihan
tersebut, saat menulis, saya sangat memperhatikan pengulangan dan pembagian
jumlah bahasan. Karena saya memperhatikan betul, kenyamanan yang harus dirasakan
pembaca. Jika pun bahasannya memang banyak, saya coba pilah-pilah dan kelompokkan
per-3 item. Tentu tak kentara dalam tulisan akhir. Saya rangkai dalam sebuah
alinea saja.
Dari pengalaman ini, saya
belajar. Jika ingin mempengaruhi orang lain secara optimal, mulailah dengan
menyederhanakan materi menjadi 3 point saja
untuk sekali sesi. Dan jangan ulangi lebih dari 3x.
Mau dong temenan di Facebook. *out of topic*
BalasHapus