Bi Sari adalah tukang sayur
pertama yang saya kenal. Sampai kelas 1 SD
saya tinggal di sebuah rumah panggung, di belakang rumah kakek, di Gg.
Ingi, jalan kecil penghubung Jl. Kalipah Apo dan Karang Anyar, Bandung. Bi Sari
biasanya masuk ke halaman rumah kakek. Ibu yang
ke depan jika ingin belanja.
Jika saya sedang di depan, Nenek atau Ibu biasanya membelikan kue
lapis yang dibawa bi Sari. Saya akan urai lapis demi lapis, dibariskan di
lengan kiri saya, kemudian dimakan satu demi satu. *alhamdulillah saya masih
hidup sampai sekarang, hehe, saat itu gak
mikir ada bakteri atau tidak di lengan saya.
Sosok bi Sari yang saya ingat,
ramai. Maksud saya, aktif mempromosikan dagangannya, tapi sambil bertahan di
harga yang dia tawarkan. Makanya, ibu saya lebih sering pergi ke pasar untuk
kebutuhan sehari-hari. Tapi nenek saya pelanggan setia Bi Sari. Varian dan kualitas barang yang dibawanya memang
lebih dari tukang sayur pada umumnya.
Bi Sari selalu memakai kostum
kebaya dan samping (kain batik
panjang dililit sebagai rok), rambut disanggul tanpa sasak. Barang dagangannya ditanggung kuli yang dia bayar untuk
itu. Sekarang sudah jarang sekali melihat tukang sayur yang seperti ini. Barang-barangnya
ditaruh di dua buah wadah besar dari anyaman bambu berkaki pendek untuk alas, tali dikaitkan di 4 titik pada
masing-masing wadah, ujung tali disatukan. Sebilah kayu digunakan untuk
mengangkatnya. Di kedua ujung kayu, ujung tali dikaitkan, dan bagian tengah kayu
disimpan di bahu kuli ini. Si kuli turut berkeliling kota, keluar masuk gang.
*maaf pakai istilah kota, bukan kampung, karena ini wilayah pusat kota
Bandung, dekat alun-alun. :)
Salah satu barang mewah yang
dijual bi Sari adalah kere. Ya, kere
yang saya maksud pada judul, bukan berarti miskin, tetapi nama jenis makanan. Itu
istilah bahasa Sunda. Terjemahannya mungkin dendeng-manis-basah.
Dibuat dari daging dan lemak
sapi, diiris tipis dan digeprek
(dipukul-pukul agar empuk), dilumuri bumbu bawang-gula-ketumbar, dijemur
beberapa hari. Kere yang dianggap enak di Bandung ada di pasar Kosambi. Tapi,
entahlah, menurut saya, masih lebih enak kere bi Sari. Seingat saya, kere tidak
digabung dengan barang jualan lain, tapi digantung. Mungkin sambil
diangin-angin agar awet dan tampilannya
tak rusak .
Kere digoreng dengan api kecil,
sebentar saja. Makannya pun tak perlu banyak-banyak karena rasanya kuat. Sekitar
1 cm2 cukup untuk sesuap besar nasi
hangat. Saya selalu lahap jika makan dengan lauk kere ini. Mungkin karena enak,
dan praktis, kere menjadi menu favorit untuk sahur. Kere menjadi salah satu
menu wajib Ramadhan di keluarga besar kami. Sampai sekarang.
Ya, betul, sampai Ramadhan kali
ini. 40 tahun-an kemudian!
Bi Sari sudah lama tak ada. Bahkan
kedua anaknya pun sudah wafat (semoga Allah memuliakan mereka). Tapi, kere
untuk Ramadhan hampir tak pernah putus tersaji di ruang makan saya.
Bi Sari menurunkan kepada anak
keduanya, perempuan, cara membuat kere. Putrinya tidak menjadikan ini profesi. Dia
hanya membuat kere jika ada pesanan. Dulu, setelah kakek meninggal dan rumahnya
dijual, Ayah saya sering menjadi kurir saudara-saudara Ibu yang pesan kere
untuk bulan puasa. Karena belum era ponsel dan ATM, pesan-ambilnya manual,
harus datang ke rumahnya di wilayah Karasak.
Karena proses membuat kere agak
rumit, biasanya putri bi Sari membuatkan jika pesanan lebih dari 4 kg. Makanya kami sering janjian agar
pesan sekalian banyak. Saat itu putri bi Sari masih repot membesarkan
anak-anaknya. Jangan-jangan, mereka hanya membuat kere saat kami pesan saja. Pernah
dengar, bahwa sang anak diwanti-wanti ibunya, jika anak-cucu nenek saya yang
pesan, harus dibuatkan. Konon, bi Sari mendapat resep kere dari nenek saya yang
memang jago masak.
Lebih dari 10 tahun terakhir, yang
membuat kere adalah cucu bi Sari. Sudah mulai generasi ketiga. Rasanya masih
sama. Sang cucu tampaknya lebih profesional dari ibunya untuk urusan kere. Dia
menjadwalkan kapan membuat kere. Biasanya seminggu sebelum membuat dia SMS saya
barangkali mau ikut dibuatkan. Seperti menjelang Ramadhan kali ini. Nanti saya
transfer bayarannya melalui ATM, dan kere akan dikirim dengan paket JNE. Praktis.
Bu Atin, nama sang cucu, punya
banyak pelanggan lain selain kami. Jadi, tahun ini dia bahkan khusus memotong
satu sapi untuk penuhi pesanan kere. Kebetulan salah satu pamannya pedagang
sapi di pasar.
Untuk bu Atin dan dan
saudara-saudaranya, membuat kere adalah usaha sampingan. Bu Atin sendiri
lulusan S2 Sastra UGM dan sekarang menjadi guru di SMPN 5. Adiknya, pak Diman,
adalah dosen Pendidikan Elektro di UPI, Bandung. Menarik? Ya.
Mereka hanya efek. Keberhasilan
di bidang pendidikan sudah didahului oleh Ua-nya, putra sulung bi Sari. DR.
Oman Karmana, MS (alm), seorang pakar
Biologi di Universitas Pajajaran. Pernah menjabat sebagai Kepala Laboratorium
Fisiologi Tumbuhan, menjadi pengurus Kebun Binatang Bandung (1998), dan
meninggalkan warisan banyak buku pelajaran Biologi untuk siswa SMP-SMA. Menurut
bu Atin, Pak Oman sempat mencapai penghargaan tertinggi, Profesor Biologi, dan
menjadi Dekan FMIPA Unpad (belum sempat tanya periode kapan).
Dari jejak yang saya dapatkan
di halaman Kang Google, salah satunya adalah testimoni para mahasiswa tentang
bimbingan Pak Oman, di berita wafatnya 21 Juni 2010. Beliau seorang guru yang
disegani, dianggap terlalu cepat wafat di usia 65.
Putra sulung Pak Oman, Ina (sayang saya juga belum mendapat nama
lengkapnya) menjadi dosen di University of California, USA, dan meraih gelar
profesor di usia 38 tahun. (saat googling, tanpa nama lengkap, informasi
yang tampil jadi unik. Kang Google menangkap permohonan saya “Professor Ina UC”
sebagai “Professor in UC”. Banyak
banget deh... Ketika saya ganti dengan “inna”,
lebih ajaib lagi... Judul yang muncul: Innalillahi... kabar duka wafatnya
seorang dosen Indonesia yang pernah kuliah di UC)
* Mudah-mudahan, setelah ditulis ini, teh Atin
atau bahkan teh Ina-nya langsung bisa segera bantu lengkapi info ya...Terima
kasih.
Intinya, saya ingin sampaikan
disini, sebuah kisah sukses seorang tukang sayur.
Tak sekedar ulet, bi Sari juga
menikmati profesinya. Sampai cukup sepuh bi Sari masih keluar masuk gang Ingi, Karang Anyar, gang Abuya, mangkal di Jl. Cibadak,
dan sekitarnya. Saat itu pak Oman sudah menjadi Doktor. Tak berhasil meminta
ibunya duduk manis saja di rumah.
Bi Sari bercita-cita
memperbaiki keturunan dalam bidang pendidikan. Jika melihat capaian anaknya,
dan profesi cucu-cucunya saat ini (dari 9 cucu, 5 dosen, 2 guru, dan 2 pedagang
grosir di pasar), cita-cita itu sudah sangat terwujud.
Bisa beli online tidak ,dan yg pesanluar kota
BalasHapusNo Hp nya bi Sari atuh mau pesen dendeng manis .
BalasHapusBu atin, cucu bi sari, 085221255834
HapusBu atin, cucu bi sari, 085221255834
HapusMaaaaaf, dok, baru buka2 komen. Saya sedang tanyakan, boleh tidak nomornya dishare di blog. Jika tidak, bisa minta nomor hp? Nanti saya japri.
BalasHapusMaaaaaf, dok, baru buka2 komen. Saya sedang tanyakan, boleh tidak nomornya dishare di blog. Jika tidak, bisa minta nomor hp? Nanti saya japri.
BalasHapus