Buku Kumpulan Cerpen “Mati Baik-baik, Kawan”
Penerbit Akar Indonesia, 2009
dan
Cerpen Melarung Bro di Nantalu, Nova 13 Desember 2010
Penulis : Martin Aleida
Membaca cerpen di Nova terbaru hari ini, karya Martin Aleida, mengingatkan saya kepada buku kumpulan cerpen dari penulis yang sama. Saya memang sedang berniat menuliskan kesan saya terhadap buku tersebut. Munculnya cerpen sang penulis buku di tabloid yang saya terima tadi pagi menguatkan rencana. Sekalian saja saya bahas dua-duanya.
Buku “Mati Baik-baik, Kawan” memuat 9 cerita pendek. Saya mendapat hadiah buku ini dari Ibu Maria Andriana tahun lalu, saat baru diterbitkan. Buku yang ditandatangani penulisnya ini langsung menjadi penghuni lemari karena, sejujurnya, saat itu saya kurang tertarik untuk membacanya. Melihat ilustrasi sampul dan membaca halaman pertama dari cerita pembuka, saya langsung menyimpulkan ini buku sastra politik, berat. Nanti saja dibaca saat leluasa.
Buku setebal 144 halaman ini mungkin masih akan terus nyenyak tidur di rak paling atas lemari buku saya andai saya tidak mengikuti pelatihan menulis feature di LPJA dengan Pak Martin sebagai salah seorang pengajar, pada pertengahan 2010. Saya sungguh terkesan dengan keteraturan bahasa lisan beliau. Saya tertegun mendengar kisah-kisah bermakna darinya tentang profesi wartawan yang sempat dia tekuni pada tahun 70-80-an. Pak Martin mengatakan, betapa keterikatan seorang jurnalis saat itu terhadap kombinasi bunyi tuts mesin tik dan suara teleks yang berpadu dengan tenggat sangat mempengaruhi pengeluaran potensi diri. Suasana itu hilang ketika era komputer dan internet datang, walaupun teknologi ini membawa berbagai kemudahan, ujarnya pula.
Cerita pertama berkisah tentang Mangku yang pergi dari tanah kelahirannya, Bali. Mangku trauma. Ayahnya, yang semula petani bukan pemilik sawah, mati dibunuh secara kejam hanya karena menjadi penerima tanah yang dibagikan oleh organisasi tani. Mangku tak ingin mati nelangsa seperti itu, dia ingin mati terhormat. Dia tahu, di Lampung dia bisa mendapat itu.
Mangku beranjak dari Bali ditemani seekor anjing dan seekor monyet. Dengan mengandalkan atraksi sang anjing dan sang monyet Mangku mendapat cara untuk bertahan hidup sambil terus bergerak menyusuri kota-kota sepanjang pulau Jawa. Di Jakarta anjingnya disita petugas dengan alasan pencegahan rabies, walau beberapa hari kemudian Mangku menemukannya terikat di halaman rumah mewah. Dengan hati luka dia melanjutkan perjalanan.
Di pelabuhan di ujung Barat Jawa, saat beristirahat, giliran sang monyet mati digigit anjing rabies. Mangku dengan hati yang semakin luka melanjutkan perjalanan sambil memangku mayat monyetnya. Di Lampung, di tanah tujuan, tempat dia ingin dimakamkan secara terhormat, dia menuju puncak bukit. Menggali sendiri, memakamkan monyetnya dengan cara seterhormat mungkin, ironis jika dibandingkan dengan proses penguburan ayahnya dulu, yang hanya bisa dia intip dari balik pintu.
Cerita kedua tentang kematian orang yang selama tiga puluh tahun menjadi sumber informasi bagi penguasa sehingga berakibat mengantar tukang jagal ke leher sahabat dan orang-orang di sekitarnya. Untuk karirnya tersebut, dia sempat melangkah sampai ke Paris, mampir ke sebuah restoran milik kawan lamanya yang tak mungkin kembali ke tanah air, berusaha menginap di salah seorang karyawan restoran, tapi misinya tak berhasil karena di Paris hukumnya berbeda dengan di tanah air.
Kisah sepenggal ini, dikembangkan penulis menjadi satu cerita lain, dimuat di Nova minggu ini, yang dilihat dari sudut pandang sang pemilik restoran. Bro, si tokoh, seorang guru besar yang ke Tiongkok untuk menjadi pengajar bahasa Indonesia. Tak lama, karena ada Revolusi Kebudayaan di sana yang membuatnya tak leluasa hidup di Tiongkok, tapi juga tak mungkin pulang ke tanah air. Dia melarikan diri ke Eropa, terdampar di Paris. Membuka restoran. Setelah wafat, sesuai permintaannya, sang anak mengkremasikan, mengirim ke tanah air, dan meminta abu sang ayah dilarungkan di pusaran air di hulu sungai di Nantalu kepada sahabat ayahnya, tokoh aku dalam cerpen ini yang memimpikan jasadnya berakhir persis seperti itu.
Kembali ke kisah di cerita kedua dalam buku. Mayat dalam peti itu hanya diantarkan secara terpaksa oleh petugas sampai ke tanah pemakaman. Hanya satu orang yang mengantar, istrinya yang seumur hidup perkawinan menanggung derita akibat profesi suami sebagai pengkhianat. Di pemakaman, sang istri menangis, sedih dan bingung. Tak ada penggali kubur yang bersedia menggalikan lubang untuk mayat suaminya. Dari kisah ini kita belajar bahwa perbuatan nista seseorang karmanya kadang tidak ke yang bersangkutan, melainkan kepada orang-orang di sekitarnya, orang-orang tercintanya.
Cerita ketiga tentang seorang pemuda Sumatra yang dengan antusias turun di stasiun Balapan, Solo, untuk menemui calon istri di Sosroyudan. Beriringan dengan seseorang yang ternyata carik di kampung tersebut. Mereka pun berjalan bersama. Perbincangan selama perjalanan menguak fakta bahwa sang gadis adalah anak seseorang yang membela Barisan Tani di pengadilan, padahal sang carik adalah salah seorang pemilik tanah yang direbut dan kemudian dibagi-bagikan oleh Barisan Tani. Ayah sang gadis diadili massa, dan keluarganya dikucilkan. Menarik, betapa semangat menggebu menjemput cinta berhadapan dengan realita keterasingan sang pujaan dari lingkungan sekitar.
Cerita keempat tentang suami yang sedang menunggui istri yang sekarat karena kanker. Suami bertekad menguak rahasia yang 30 tahun disimpannya sebelum sang istri dijemput ajal. Dengan berbisik di telinga istri, dari kejauhan tampak seperti bercumbu rayu, si suami menceritakan kisah lamanya. Bahwa saat mereka bertemu dulu, dia sedang luntang lantung selepas dari tahanan. Dia bisa bebas karena mengantungi surat wasiat ortunya yang sedang menunaikan ibadah haji.
Dia tak berani mengungkap pandangan politiknya kepada sang istri, karena takut melukai dan melibatkan sang istri dalam kesulitan. Betapa, sepasang suami istri yang sedemikian menyatunya pun ternyata masih mempunyai rahasia yang sangat mendasar. Karena tak ingin kehilangan cinta, suami rela bersandiwara dalam tiga dasawarsa berumah tangga.
Cerita kelima tentang seorang istri yang 30 tahun lalu ditinggal suaminya menghilang, hanya menyisakan anak-anak yang perlu dibesarkan. Betapa kesulitan menghadang sepanjang perjalanan, karena tanda penyakit lepra di ujung kanan KTPnya, kode ET. Dua huruf yang mempunyai implikasi sangat luas, berkaitan dengan penerimaan lingkungan, kehormatan, bahkan peluang berbuat.
Cerita keenam juga tentang seorang istri. Saat pengantin baru pada tahun 1965, suaminya tiba-tiba menghilang, dan dia dipaksa untuk mengungkap keberadaan suaminya. Sesuatu yang dia tahu pasti, bahwa dia tak tahu jawabnya. Suatu hari dia diselamatkan seorang kapten, dibawa ke suatu rumah, dijadikan budak. Siang mengerjakan pekerjaan rumah, malam dikerjai tuan rumah. Tanpa bayaran. Tanpa ikatan. Sampai suatu saat dia berbadan dua, sang kapten menghilang entah kemana.
Tak ada anak haram untuk seorang ibu, yang ada hanya bapak yang jadah. Dibesarkannya sang anak dengan segala upaya. Saat sudah cukup modal, dia membuka kursus bahasa Inggris. Hingga hari ini, saat satu demi satu muridnya mengundurkan diri, karena hanya disini kursus masih “manual”. Ada laptop, ada in focus, tapi bu guru ini tak berupaya untuk menggunakan. Tetap menggunakan mesin tik sebagai ungkapan setia, pada diri, pada profesi, pada masa lalu.
Cerita ketujuh tentang seorang perempuan yang tersakiti oleh pamannya. Sang pamanlah yang menjadi penyebab ayahnya meninggal dengan tidak bernisan. Sang pamanlah yang secara terus menerus selama empat puluh tahun sedikit demi sedikit mengurangi luas sawah mereka yang bersebelahan dengan sawahnya. Ketiadaan nisan ayahnyalah yang menyebabkan rumah tangga bahagianya bubar begitu saja, karena nisan bernilai penting bagi suku bangsa mantan suaminya.
Marahnya perempuan itu telah berkembang menjadi dendam, dendam yang membawa sumpah, sumpah yang mempersulit pamannya berkalang tanah.
Cerita kedelapan tentang kematian seorang haji pedagang kopiah, yang berdakwah dengan lelucon. Saat hidupnya dia disegani dan dikangeni warga. Dia seorang hafiz Qur'an. Hidup berjalan mulus-mulus saja. Kalaupun ada kendala, hanya di akhir 60-an. Haji Johansyah, begitulah namanya, sempat ditahan beberapa bulan karena dianggap sebagai penyedia kopiah dalam pertunjukan teater saat peringatan ulang tahun PKI. Cerita ini yang tampaknya paling "ringan", tak ada pemenggalan kepala, tak ada penodongan senjata. Tetapi, kisah ini tampaknya untuk menggambarkan langkah membabi buta pihak berwenang. Bahkan seorang hafiz Qur'an pun dikategorikan komunis.
Cerita pamungkas saya duga sebagian besarnya merupakan penceritaan kisah pribadi penulis saat bekerja di majalah Tempo selama 13 tahun. Sebagai salah seorang yang turut membidani kelahiran Tempo, Martin -tokoh di cerpen ini sama dengan nama penulis- digantung statusnya secara administratif maupun pemberian kerja, tak lama setelah orang-orang tahu bahwa dia eks tapol. Tampaknya, sudut yang ingin dibidik penulis dari cerpen ini adalah bahwa profesionalitas, hubungan pertemanan, dan kapasitas diri tidak ada hubungannya dengan kesempatan berkarya, jika kamu punya cap dua huruf di KTP.
Itulah penggalan kisah dan ilustrasi dari kesembilan cerpen dalam buku ini. Saat membaca, dan setelahnya, saya larut dalam suasana yang dibentuk penulis. Saya terhenyak, karena semua yang diceritakan menggambarkan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan.
Sebagai kelahiran akhir 60-an, saya hanya kenal 2 zaman sepanjang masa sekolah saya. Masa Orla sebelum saya lahir, dan Orba setelah saya lahir. Itu saja. Saya mengetahui tentang peristiwa 1965 hanya dari pelajaran sekolah, film, dan bacaan yang boleh dibaca saat itu. Saya terbentuk dengan masukan seperti itu. Saya bukan petualang yang berani mencari-cari yang tidak ada di permukaan, kebetulan pula saya memang tidak punya ketertarikan ke arah itu.
Saya menjadi dewasa dengan gambaran betapa mengerikan kekejaman yang dilakukan PKI. Sadis. Saya tidak pernah memikirkan ada kemungkinan lain.
Membaca buku ini, saya seperti mengetahui hal baru. Teringatkan. Iya ya ada kemungkinan seperti ini. Ada orang-orang yang berada pada situasi tragis, berada pada tempat yang salah pada saat yang salah. Bahwa, organisasi yang pimpinannya komunis, anggotanya belum tentu komunis, bahkan mungkin saja kehadirannya di organisasi tersebut hanya karena kesamaan minat dan profesi, tak ada hubungan sama sekali dengan sikap politik. Bahwa walaupun komunis itu salah, orang per orangnya adalah manusia biasa, yang butuh cinta dan kasih sayang, yang punya urusan sosial sehari-hari, seperti manusia lainnya.
Mudah-mudahan ini bukan efek pendidikan…. Jujur, saya masih punya kekhawatiran dianggap sebagai pendukung paham kiri dengan mengirim tulisan ini…
Terima kasih berkenan singgah di Ruang Eksplorasi saya. Rumah lintas "bahasa": b.Matematika, b.Literer, b.Kuliner, b.Qolbu, dan, tentu, bahasa seorang ibu. Semoga bermanfaat.
Minggu, 12 Desember 2010
Senin, 22 November 2010
Dokter Perempuan
Dari tiga nama berikut ini, yang mana dokter perempuan, dr. Surahman Hakim, SpOG, dr. Tuti Atikah, SpA, atau dr. Yusak M. Siahaan, SpS ?
Tidak mengherankan jika yang dipilih adalah dr. Tuti Atikah, karena hanya ini nama perempuan. Tetapi dia bukan dokter perempuan. Tuti Atikah adalah perempuan dokter. Dokter perempuan yang benar adalah Surahman Hakim. Dia seorang laki-laki yang mendalami ilmu kedokteran tentang perempuan, tentang kandungan.
Mungkin terasa janggal, tetapi itulah susunan kata yang benar. Padanan kata 'dokter perempuan' sering kita gunakan untuk menunjuk seorang perempuan yang menjadi dokter, padahal seharusnya disebut 'perempuan dokter'.
Aturan ini berlaku juga untuk padanan kata yang lain. Misalnya, petani cabai menyatakan petani yang bertanam cabai. Andai kita memaksakan dokter perempuan digunakan untuk menyebut dr. Tuti, maka petani cabai berarti cabai yang menjadi petani.
Kehati-hatian dalam memberi sebutan kepada seseorang diperlukan agar tidak salah kaprah, atau bahkan menyakiti pihak yang disebut. Ibu Elia yang berjualan kain bordir dari Tasik tentu akan tersinggung jika dia disebut sebagai pedagang perempuan alih-alih sebagai perempuan pedagang...
Tidak mengherankan jika yang dipilih adalah dr. Tuti Atikah, karena hanya ini nama perempuan. Tetapi dia bukan dokter perempuan. Tuti Atikah adalah perempuan dokter. Dokter perempuan yang benar adalah Surahman Hakim. Dia seorang laki-laki yang mendalami ilmu kedokteran tentang perempuan, tentang kandungan.
Mungkin terasa janggal, tetapi itulah susunan kata yang benar. Padanan kata 'dokter perempuan' sering kita gunakan untuk menunjuk seorang perempuan yang menjadi dokter, padahal seharusnya disebut 'perempuan dokter'.
Aturan ini berlaku juga untuk padanan kata yang lain. Misalnya, petani cabai menyatakan petani yang bertanam cabai. Andai kita memaksakan dokter perempuan digunakan untuk menyebut dr. Tuti, maka petani cabai berarti cabai yang menjadi petani.
Kehati-hatian dalam memberi sebutan kepada seseorang diperlukan agar tidak salah kaprah, atau bahkan menyakiti pihak yang disebut. Ibu Elia yang berjualan kain bordir dari Tasik tentu akan tersinggung jika dia disebut sebagai pedagang perempuan alih-alih sebagai perempuan pedagang...
Minggu, 21 November 2010
Selamat Jalan Rafi...
"Bangun tidur, saya datangi Rafi di kamarnya. Saya dengar nafasnya berbunyi. Mungkin karena pilek yang diidap sejak Rabu, Rafi kan tidak bisa mengeluarkan dahak sendiri. Tapi...saya merasakan nafas yang berbeda. Saya pegang tangannya. Biasanya, dia akan mengepal kaget, tapi pagi itu tidak. Tangannya lemas sehingga bisa diluruskan.
Saya pegang nadi di pergelangan tangannya. Masih ada. Tapi kemudian hilang. Tak lama, tiba-tiba saja bagian tengah dada seperti tersedot ke dalam oleh tarikan nafas yang agak kencang. Membentuk lekukan. Kemudian saya lihat nadi di lehernya mulai menghilang. Dan kedipan mata mengakhiri semuanya,
Innalillahi...." tutur Tini, sang ibu, menceritakan bagaimana dia menyaksikan putra keduanya menghadapi sakaratul maut...
Rafi Hasidi, engkau hadir 1 April 2001 di Bogor sebagai putra yang ditunggu-tunggu oleh papa Mul, mamah Tini, dan teh Febi. Sehat. Lucu. Sampai tiba hari itu, engkau panas, dan kemudian kejang-kejang. Engkau dibawa ke rumah sakit terdekat yang cukup jauh (kini, ada Hermina yang bisa dicapai tak sampai 10 menit). 7 bulan usiamu saat itu.
Engkau dibawa ke UGD rumah sakit umum yang tidak siap dengan peralatan emergency untuk bayi. Mereka merawatmu, tapi tidak semaksimal yang seharusnya bisa engkau terima jika di rumah sakit khusus anak. Keesokan harinya, engkau dipindahkan ke RSIA Harapan Kita dalam keadaan koma. 10 hari, yang tentu terasa 10 tahun bagi papa - mamahmu. Alhamdulillah engkau sadar, walau dengan kondisi yang berbeda dengan sebelumnya.
Mulailah hari-hari panjang yang harus Rafi dan keluarga hadapi. Bolak-balik ke dokter, pulang pergi ke tukang pijat, sinshe, dan siapa saja yang diketahui mempunyai kemampuan lebih dalam menyembuhkan. Sedikit demi sedikit kemajuan terlihat.
Tentu tidak mudah bagi keluargamu menerima ini. Mereka merawatmu seperti merawat bayi baru lahir. Dan terus seperti itu. Sampai tak terasa telah 9 tahun umurmu. Tetangga kita, Kensha, yang lahir 2 minggu setelah kelahiranmu kini telah kelas 3 SD. Berlari kesana kemari. Sementara Rafi tetap berbaring, seperti bayi berukuran besar.
Luar biasa keluargamu menghadapi semua ini. Papa, mamah dan teh Febi bergantian melakukan hal-hal yang kauperlukan. Betapa kesabaran dan keikhlasan mereka diuji. Engkau pun tentu begitu.
Kadang saya selaku tetangga bertanya-tanya, apa yang kaupikirkan. Fisikmu tak berdaya, tapi saya yakin pikiranmu bekerja, dan emosi mu sempurna.
Walau tak bisa bicara, engkau toh punya rasa. Tertawa senang, menangis sedih, bahkan marah dan cemburu. Ya, cemburu. Saat engkau 4 tahun, adikmu lahir. Mamahmu pun berbagi perhatian. Ketika engkau merasa waktu mamah tidak sebanyak sebelumnya, engkau tunjukkan bahwa engkau cemburu. Subhanallah.
Seperti anak-anak lainnya, engkau pun memasuki masa pergantian gigi. Mamahmu sempat khawatir gigi yang lepas akan tertelan, karena Rafi kan terlentang sepanjang hari. Alhamdulillah Allah Maha Baik ... darah yang keluar dari gusi, tidak tertelan, tetapi mengental seperti jelly. Sehingga mudah dikeluarkan. Dan gigi yang lepas pun tiba-tiba saja bisa kau dorong ke luar.
Setahun lalu, keluargamu pindah ke rumah yang lebih nyaman. Kita pun tak lagi bersua. Tak ada lagi Rafi yang antusias mendengarkan kawan-kawan berlarian dan berteriak di taman dari balik dinding kamar.
Sampai sehari menjelang Ramadhan tahun ini. Saya dan beberapa tetangga sedang ngobrol di taman ketika tiba-tiba saja terlintas untuk cucurak di rumahmu. Cucurak adalah istilah khas di Bogor, berkumpul dan makan-makan menjelang memasuki bulan puasa.
Kami bergegas pulang dan tak lama berkumpul lagi. Anak-anak pun ikut. Jadilah kami ke rumah Rafi dengan satu mobil penuh. Kami mencari-cari dulu rumahmu, karena yang diketahui adalah posisi ketika masih berupa tanah.
Kami menyapamu. Kau tampak senang dengan suasana ramai. Anak-anak pun antusias menujumu. Mereka mungkin lebih terpancing rasa ingin tahu melihat kondisi yang berbeda dari diri mereka. Setelah melihatmu tertawa-tawa bahagia, kami pun pulang.
Ternyata, itulah pertemuan terakhir kita.
Hari Sabtu 20 Nopember 2010 saya baru tiba di rumah pukul 21.00 setelah bepergian sejak pagi. Telepon genggam tertinggal di mobil sejak magrib. Saat menutup pintu pagar, saya didatangi Bu Makmun, tetangga depan rumah. Beliau pun baru datang. Rupanya mereka baru kembali dari melayat Rafi. Disampaikanlah kabar itu, engkau berpulang tadi pagi, dan telah dimakamkan siang. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...
Saya baru sempat melayat tadi, setelah isya. Alhamdulillah, yang tahlilan masih di sana. Saya pun sempat berbincang dengan mamah Tini di belakang. Beliau banyak bercerita tentangmu.
Rafi, sungguh saya iri, betapa ibumu bercerita.... jasadmu bening bersinar, seperti bayi baru lahir...
Rafi, di tempatmu kini, tentu engkau bisa berlari-lari sepuas hati, bermain sepanjang hari... hal yang tidak dapat kaulakukan saat disini. Engkau bisa berteriak-teriak dengan bahagia... bersepeda.... bahkan terbang kesana kemari.
Waktu yang kemarin terasa panjang dan melelahkan bersamamu, kini terlihat sangat singkat. Tentu belum puas kalian bercengkrama bersama. Semoga, kebeninganmu dan keikhlasan keluargamu, akan dapat membawa kalian berkumpul lagi di tempat terindahNya kelak. Insya Allah...
Saya pegang nadi di pergelangan tangannya. Masih ada. Tapi kemudian hilang. Tak lama, tiba-tiba saja bagian tengah dada seperti tersedot ke dalam oleh tarikan nafas yang agak kencang. Membentuk lekukan. Kemudian saya lihat nadi di lehernya mulai menghilang. Dan kedipan mata mengakhiri semuanya,
Innalillahi...." tutur Tini, sang ibu, menceritakan bagaimana dia menyaksikan putra keduanya menghadapi sakaratul maut...
Rafi Hasidi, engkau hadir 1 April 2001 di Bogor sebagai putra yang ditunggu-tunggu oleh papa Mul, mamah Tini, dan teh Febi. Sehat. Lucu. Sampai tiba hari itu, engkau panas, dan kemudian kejang-kejang. Engkau dibawa ke rumah sakit terdekat yang cukup jauh (kini, ada Hermina yang bisa dicapai tak sampai 10 menit). 7 bulan usiamu saat itu.
Engkau dibawa ke UGD rumah sakit umum yang tidak siap dengan peralatan emergency untuk bayi. Mereka merawatmu, tapi tidak semaksimal yang seharusnya bisa engkau terima jika di rumah sakit khusus anak. Keesokan harinya, engkau dipindahkan ke RSIA Harapan Kita dalam keadaan koma. 10 hari, yang tentu terasa 10 tahun bagi papa - mamahmu. Alhamdulillah engkau sadar, walau dengan kondisi yang berbeda dengan sebelumnya.
Mulailah hari-hari panjang yang harus Rafi dan keluarga hadapi. Bolak-balik ke dokter, pulang pergi ke tukang pijat, sinshe, dan siapa saja yang diketahui mempunyai kemampuan lebih dalam menyembuhkan. Sedikit demi sedikit kemajuan terlihat.
Tentu tidak mudah bagi keluargamu menerima ini. Mereka merawatmu seperti merawat bayi baru lahir. Dan terus seperti itu. Sampai tak terasa telah 9 tahun umurmu. Tetangga kita, Kensha, yang lahir 2 minggu setelah kelahiranmu kini telah kelas 3 SD. Berlari kesana kemari. Sementara Rafi tetap berbaring, seperti bayi berukuran besar.
Luar biasa keluargamu menghadapi semua ini. Papa, mamah dan teh Febi bergantian melakukan hal-hal yang kauperlukan. Betapa kesabaran dan keikhlasan mereka diuji. Engkau pun tentu begitu.
Kadang saya selaku tetangga bertanya-tanya, apa yang kaupikirkan. Fisikmu tak berdaya, tapi saya yakin pikiranmu bekerja, dan emosi mu sempurna.
Walau tak bisa bicara, engkau toh punya rasa. Tertawa senang, menangis sedih, bahkan marah dan cemburu. Ya, cemburu. Saat engkau 4 tahun, adikmu lahir. Mamahmu pun berbagi perhatian. Ketika engkau merasa waktu mamah tidak sebanyak sebelumnya, engkau tunjukkan bahwa engkau cemburu. Subhanallah.
Seperti anak-anak lainnya, engkau pun memasuki masa pergantian gigi. Mamahmu sempat khawatir gigi yang lepas akan tertelan, karena Rafi kan terlentang sepanjang hari. Alhamdulillah Allah Maha Baik ... darah yang keluar dari gusi, tidak tertelan, tetapi mengental seperti jelly. Sehingga mudah dikeluarkan. Dan gigi yang lepas pun tiba-tiba saja bisa kau dorong ke luar.
Setahun lalu, keluargamu pindah ke rumah yang lebih nyaman. Kita pun tak lagi bersua. Tak ada lagi Rafi yang antusias mendengarkan kawan-kawan berlarian dan berteriak di taman dari balik dinding kamar.
Sampai sehari menjelang Ramadhan tahun ini. Saya dan beberapa tetangga sedang ngobrol di taman ketika tiba-tiba saja terlintas untuk cucurak di rumahmu. Cucurak adalah istilah khas di Bogor, berkumpul dan makan-makan menjelang memasuki bulan puasa.
Kami bergegas pulang dan tak lama berkumpul lagi. Anak-anak pun ikut. Jadilah kami ke rumah Rafi dengan satu mobil penuh. Kami mencari-cari dulu rumahmu, karena yang diketahui adalah posisi ketika masih berupa tanah.
Kami menyapamu. Kau tampak senang dengan suasana ramai. Anak-anak pun antusias menujumu. Mereka mungkin lebih terpancing rasa ingin tahu melihat kondisi yang berbeda dari diri mereka. Setelah melihatmu tertawa-tawa bahagia, kami pun pulang.
Ternyata, itulah pertemuan terakhir kita.
Hari Sabtu 20 Nopember 2010 saya baru tiba di rumah pukul 21.00 setelah bepergian sejak pagi. Telepon genggam tertinggal di mobil sejak magrib. Saat menutup pintu pagar, saya didatangi Bu Makmun, tetangga depan rumah. Beliau pun baru datang. Rupanya mereka baru kembali dari melayat Rafi. Disampaikanlah kabar itu, engkau berpulang tadi pagi, dan telah dimakamkan siang. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...
Saya baru sempat melayat tadi, setelah isya. Alhamdulillah, yang tahlilan masih di sana. Saya pun sempat berbincang dengan mamah Tini di belakang. Beliau banyak bercerita tentangmu.
Rafi, sungguh saya iri, betapa ibumu bercerita.... jasadmu bening bersinar, seperti bayi baru lahir...
Rafi, di tempatmu kini, tentu engkau bisa berlari-lari sepuas hati, bermain sepanjang hari... hal yang tidak dapat kaulakukan saat disini. Engkau bisa berteriak-teriak dengan bahagia... bersepeda.... bahkan terbang kesana kemari.
Waktu yang kemarin terasa panjang dan melelahkan bersamamu, kini terlihat sangat singkat. Tentu belum puas kalian bercengkrama bersama. Semoga, kebeninganmu dan keikhlasan keluargamu, akan dapat membawa kalian berkumpul lagi di tempat terindahNya kelak. Insya Allah...
Rabu, 10 November 2010
ELANG PEMANGSA BUKU
“Bisnis itu seperti orang mencari pasangan hidup. Saat mencari harus tenang dan setelah menemukan harus fokus, tidak boleh selingkuh,” ungkap Elang.
Elang yang satu ini bukan burung, tapi dia setia menjelajah persada dan melebarkan sayapnya untuk melahap mangsa utamanya, buku. Dr. Elang Ilik Martawijaya, nama lengkap pria kelahiran Cirebon, 27 Pebruari 1967 ini. Posisinya sebagai direktur utama PT IPB Press sejak tahun 2008 melengkapi penjelajahannya di dunia buku selama 20 tahun terakhir.
Elang mengawali karir sebagai karyawan di kelompok usaha perbukuan terbesar di Indonesia, Gramedia. Sebagai karyawan, pria yang selalu tampil sederhana ini dikenal disiplin dan kreatif. 13 tahun bergabung di grup Gramedia, Elang telah merasakan tempaan di 6 perusahaan yang tergabung dalam grup tersebut. Ini keuntungan tersendiri baginya karena pernah mendapatkan kesempatan bekerja di bidang yang berbeda-beda yang semuanya berkaitan dengan buku. Belakangan Elang sering mengatakan dengan nada canda bahwa dia lulusan IPB dan UGM. Mendapatkan gelar doktor di IPB, dan mendapatkan ilmu perbukuan di UGM, Universitas Gramedia Mandiri.
Di sisi lain, pria yang saat SMA dimodali ayahnya untuk berjualan ayam pelung ini punya mimpi ingin mandiri, ingin memiliki usaha sendiri. Sebagai seorang muslim, Elang ingin menekuni profesi Nabi Muhammad saw, pedagang. Diyakininya sebagai pedagang kesempatan menjadi bermanfaat bagi orang lain lebih terbuka dibandingkan seorang karyawan yang mempunyai keterbatasan. Persahabatannya dengan teman-teman dari etnis Tionghoa juga memperkuat motivasinya. Dari mereka Elang belajar bahwa pengusaha mempunyai kebebasan, kebebasan pikiran, finansial, maupun waktu.
Berpadunya kegelisahan dan mimpi membawa ayah tiga putra ini mengambil keputusan besar di tahun 2003. Berhenti dari Gramedia, dan memulai langkah menjadi pengusaha secara total. Berdasarkan pertimbangan atas dua hal utama yaitu peluang yang ada dan potensi diri, Elang memutuskan untuk membuat sebuah toko buku. Tentu saja saat memulai belum berbentuk toko. Hanya sebuah ruangan di kampus IPB Gunung Gede yang disewa untuk berjualan buku bekas. Buku-buku itu pun tidak dipajang, melainkan hanya diletakkan di kardus-kardus besar. Perubahan kondisi yang sangat drastis.
Dengan dukungan penuh Netty Tinaprilla, istri yang juga dosen IPB, Elang maju terus. Kerja keras dan ketekunan selalu membuahkan hasil. Hanya diperlukan satu tahun untuk meningkatkan status dari tempat penjualan buku bekas menjadi sebuah toko buku. Masih sekitar 50 meter persegi luasnya, tetapi sudah menggunakan rak pajangan dan sistem pembukuan yang terkomputerisasi. Untuk pemodalan, Elang mengajak kerja sama 14 orang rekannya sebagai pemegang saham.
Saat ini, Gudang Buku sudah menempati lahan yang lebih luas, sekitar 400 meter persegi. Dan sudah mempekerjakan 20 orang. Ini yang selalu disyukuri Elang, dengan menjadi pengusaha, dia bisa menghidupi banyak orang. Dia ingin ini menjadi amalannya di dunia, amal yang tidak terputus.
Salah satu yang menginspirasinya adalah Sunan Gunung Jati. Di kampung halaman Elang, makam Sunan Gunung Jati selalu ramai dikunjungi peziarah. Keramaian ini menjadi sumber rezeki banyak orang, padahal Sunan sudah wafat lama sekali. Orang masih bisa hidup darinya setelah dia wafat. Ini yang ingin diwujudkannya, menghidupi banyak orang. Mumpung masih hidup. Dengan sistem yang tertata, mudah-mudahan usaha ini masih bisa menghidupi orang-orang itu walaupun kelak dia sudah meninggal. Ini amal saleh yang ingin dia kumpulkan.
Sadar bahwa semua ini hanya titipan dariNya harus diyakini pengusaha, menurut Elang. Kesadaran yang membuat seorang pengusaha tidak hancur dengan kondisi sesulit apapun. Elang pernah mengalaminya. Gudang Buku pernah membuka cabang, yang kemudian bangkrut pada tahun 2005 dengan kerugian sekitar 100 juta rupiah. Kejatuhan yang justru membuatnya segera bangkit. Bukankah yang paling penting adalah berusahanya. Pengusaha harus bersikap seperti tukang parkir. Saat parkiran penuh dia senang, dikelilingi banyak mobil, tapi saat satu persatu mobil itu pergi pun dia tidak merasa kehilangan. Rezeki dia adalah dari menjaga mobil-mobil yang dititipkan kepadanya.
Mempunyai toko buku sendiri juga memberinya kesempatan melakukan aktivitas sosial. Gudang Buku sebagai suatu unit usaha selalu memberi kesempatan magang kepada pelajar di sekitar lokasi, mempunyai anak asuh, dan secara rutin menggelar pengajian.
Elang menyarankan kepada siapa saja yang berniat masuk ke dunia bisnis, hendaknya sudah menetapkan niat ini dari awal, selalu bersikap sederhana, dan usahakan mempunyai tabungan saat masih menjadi karyawan. Seperti yang dilakukannya saat masih di Gramedia, selalu menyisihkan penghasilannya untuk investasi. Sehingga ‘lulus’ dari Gramedia Elang mempunyai 6 buah rumah yang kemudian dikontrakkan sehingga justru menjadi sumber penghasilan tambahan.
Bagi Elang, bisnis itu tidak ada teorinya. Yang penting adalah sikap mental. Fokus pada satu bidang saja, karena dari satu bidang saja pun bisa menjadi bermacam-macam usaha. Contohnya yang dilakukan Elang, usaha yang berkaitan dengan buku. Tidak sekedar mempunyai toko buku, Elang juga mempunyai usaha distributor buku, dia sekarang memimpin sebuah penerbitan, dan sedang menyiapkan percetakan. Selain itu, sejak beberapa tahun terakhir, Elang mendisiplinkan diri untuk menulis satu buah buku setiap tahun. Elang pun sering menjadi pengajar atau pembicara dalam forum-forum tentang buku. Bahkan, gelar doktornya pun diperoleh karena buku, yaitu tentang pengolahan limbah percetakan yang ramah lingkungan.
Obsesi terbesarnya saat ini adalah ingin menjadi orang Indonesia yang paling mengerti tentang buku dari hulu sampai hilir. Ya penulis, pengajar, penerbit, percetakan, distributor, dan lain-lain. Dia ingin, suatu saat nanti, jika orang berurusan dengan buku berarti dia akan berurusan dengan Elang. Semoga.
Elang yang satu ini bukan burung, tapi dia setia menjelajah persada dan melebarkan sayapnya untuk melahap mangsa utamanya, buku. Dr. Elang Ilik Martawijaya, nama lengkap pria kelahiran Cirebon, 27 Pebruari 1967 ini. Posisinya sebagai direktur utama PT IPB Press sejak tahun 2008 melengkapi penjelajahannya di dunia buku selama 20 tahun terakhir.
Elang mengawali karir sebagai karyawan di kelompok usaha perbukuan terbesar di Indonesia, Gramedia. Sebagai karyawan, pria yang selalu tampil sederhana ini dikenal disiplin dan kreatif. 13 tahun bergabung di grup Gramedia, Elang telah merasakan tempaan di 6 perusahaan yang tergabung dalam grup tersebut. Ini keuntungan tersendiri baginya karena pernah mendapatkan kesempatan bekerja di bidang yang berbeda-beda yang semuanya berkaitan dengan buku. Belakangan Elang sering mengatakan dengan nada canda bahwa dia lulusan IPB dan UGM. Mendapatkan gelar doktor di IPB, dan mendapatkan ilmu perbukuan di UGM, Universitas Gramedia Mandiri.
Di sisi lain, pria yang saat SMA dimodali ayahnya untuk berjualan ayam pelung ini punya mimpi ingin mandiri, ingin memiliki usaha sendiri. Sebagai seorang muslim, Elang ingin menekuni profesi Nabi Muhammad saw, pedagang. Diyakininya sebagai pedagang kesempatan menjadi bermanfaat bagi orang lain lebih terbuka dibandingkan seorang karyawan yang mempunyai keterbatasan. Persahabatannya dengan teman-teman dari etnis Tionghoa juga memperkuat motivasinya. Dari mereka Elang belajar bahwa pengusaha mempunyai kebebasan, kebebasan pikiran, finansial, maupun waktu.
Berpadunya kegelisahan dan mimpi membawa ayah tiga putra ini mengambil keputusan besar di tahun 2003. Berhenti dari Gramedia, dan memulai langkah menjadi pengusaha secara total. Berdasarkan pertimbangan atas dua hal utama yaitu peluang yang ada dan potensi diri, Elang memutuskan untuk membuat sebuah toko buku. Tentu saja saat memulai belum berbentuk toko. Hanya sebuah ruangan di kampus IPB Gunung Gede yang disewa untuk berjualan buku bekas. Buku-buku itu pun tidak dipajang, melainkan hanya diletakkan di kardus-kardus besar. Perubahan kondisi yang sangat drastis.
Dengan dukungan penuh Netty Tinaprilla, istri yang juga dosen IPB, Elang maju terus. Kerja keras dan ketekunan selalu membuahkan hasil. Hanya diperlukan satu tahun untuk meningkatkan status dari tempat penjualan buku bekas menjadi sebuah toko buku. Masih sekitar 50 meter persegi luasnya, tetapi sudah menggunakan rak pajangan dan sistem pembukuan yang terkomputerisasi. Untuk pemodalan, Elang mengajak kerja sama 14 orang rekannya sebagai pemegang saham.
Saat ini, Gudang Buku sudah menempati lahan yang lebih luas, sekitar 400 meter persegi. Dan sudah mempekerjakan 20 orang. Ini yang selalu disyukuri Elang, dengan menjadi pengusaha, dia bisa menghidupi banyak orang. Dia ingin ini menjadi amalannya di dunia, amal yang tidak terputus.
Salah satu yang menginspirasinya adalah Sunan Gunung Jati. Di kampung halaman Elang, makam Sunan Gunung Jati selalu ramai dikunjungi peziarah. Keramaian ini menjadi sumber rezeki banyak orang, padahal Sunan sudah wafat lama sekali. Orang masih bisa hidup darinya setelah dia wafat. Ini yang ingin diwujudkannya, menghidupi banyak orang. Mumpung masih hidup. Dengan sistem yang tertata, mudah-mudahan usaha ini masih bisa menghidupi orang-orang itu walaupun kelak dia sudah meninggal. Ini amal saleh yang ingin dia kumpulkan.
Sadar bahwa semua ini hanya titipan dariNya harus diyakini pengusaha, menurut Elang. Kesadaran yang membuat seorang pengusaha tidak hancur dengan kondisi sesulit apapun. Elang pernah mengalaminya. Gudang Buku pernah membuka cabang, yang kemudian bangkrut pada tahun 2005 dengan kerugian sekitar 100 juta rupiah. Kejatuhan yang justru membuatnya segera bangkit. Bukankah yang paling penting adalah berusahanya. Pengusaha harus bersikap seperti tukang parkir. Saat parkiran penuh dia senang, dikelilingi banyak mobil, tapi saat satu persatu mobil itu pergi pun dia tidak merasa kehilangan. Rezeki dia adalah dari menjaga mobil-mobil yang dititipkan kepadanya.
Mempunyai toko buku sendiri juga memberinya kesempatan melakukan aktivitas sosial. Gudang Buku sebagai suatu unit usaha selalu memberi kesempatan magang kepada pelajar di sekitar lokasi, mempunyai anak asuh, dan secara rutin menggelar pengajian.
Elang menyarankan kepada siapa saja yang berniat masuk ke dunia bisnis, hendaknya sudah menetapkan niat ini dari awal, selalu bersikap sederhana, dan usahakan mempunyai tabungan saat masih menjadi karyawan. Seperti yang dilakukannya saat masih di Gramedia, selalu menyisihkan penghasilannya untuk investasi. Sehingga ‘lulus’ dari Gramedia Elang mempunyai 6 buah rumah yang kemudian dikontrakkan sehingga justru menjadi sumber penghasilan tambahan.
Bagi Elang, bisnis itu tidak ada teorinya. Yang penting adalah sikap mental. Fokus pada satu bidang saja, karena dari satu bidang saja pun bisa menjadi bermacam-macam usaha. Contohnya yang dilakukan Elang, usaha yang berkaitan dengan buku. Tidak sekedar mempunyai toko buku, Elang juga mempunyai usaha distributor buku, dia sekarang memimpin sebuah penerbitan, dan sedang menyiapkan percetakan. Selain itu, sejak beberapa tahun terakhir, Elang mendisiplinkan diri untuk menulis satu buah buku setiap tahun. Elang pun sering menjadi pengajar atau pembicara dalam forum-forum tentang buku. Bahkan, gelar doktornya pun diperoleh karena buku, yaitu tentang pengolahan limbah percetakan yang ramah lingkungan.
Obsesi terbesarnya saat ini adalah ingin menjadi orang Indonesia yang paling mengerti tentang buku dari hulu sampai hilir. Ya penulis, pengajar, penerbit, percetakan, distributor, dan lain-lain. Dia ingin, suatu saat nanti, jika orang berurusan dengan buku berarti dia akan berurusan dengan Elang. Semoga.
Jumat, 05 November 2010
Cerpen: Cahaya di Tengah Duka
Tak jelas lagi ini siang atau malam, andai aku tidak melihat jam. Gemuruh yang bertubi-tubi, lantai yang bergetar, dan udara yang panas melengkapi. Sungguh, baru kali ini aku mengalami. Tak hendak aku mengeluh atas sapaanMu ini ya Allah, tapi hati tetap bertanya, kapan semua ini akan reda.
Gerah yang mencekam. Bahkan AC pun tak berfungsi mendinginkan. Bahkan masker pun tak sempurna menghambat sesak. Pandangan tak jua melihat gerak. Sepi. Berkali kulihat keluar jendela, tak ada satu pun yang melintas. Tak ada tukang sayur, tak lewat gerobak ketoprak, tak ada siapa-siapa. Bahkan andai tak kulihat nyala lampu, aku tak tahu apakah tetanggaku masih di dalam rumahnya.
Berulang kupandang halaman, kemana perginya hijau dedaunan kebanggaan? Hanya tampak permadani abu, terhampar di segala penjuru. Sudah lebih dari seminggu.
“Mah….lapar,” panggilan si bungsu menyadarkanku.
“Sebentar sayang….Mamah buatkan indomie dulu ya,” jawabku.
“Indomie lagi?..... kata Mamah tidak boleh sering-sering…,” protesnya. Ternyata dia menyimak pesanku selama ini.
“Maaf De, hanya ini yang kita punya. Ade tahu kan Papa kemarin sudah keliling kota? Tak ada lagi toko yang buka,” jawabku dengan berat hati.
Pada awalnya masih ada satu dua tukang sayur yang lewat. Tapi beberapa hari terakhir mereka lenyap. Bahkan dua hari ini sama sekali tak ada siapa-siapa. Sepanjang hari kami di rumah. Anak-anak sudah tak bersekolah, libur sampai waktu yang tak ditentukan. Menanti dari detik ke detik dalam ketidakpastian, bukanlah hal yang mudah. Anak-anak mulai bosan terkurung. Tak bisa bersepeda, tak bisa bermain bola. Belum lagi penutup muka yang membuat mereka tersiksa. Aku harus tetap tersenyum untuk mereka.
Aku yakin, Merapi akan usai bergetar. Hanya, kapan? Aku tak sanggup melukiskan apa yang ada di dalam dada. Aku ingin bercerita mengungkap segala, tetapi kepada siapa? Saat berbagai kemungkinan terburuk terpikir di kepala, aku dituntut untuk tetap ceria. Tak mungkin aku berkeluh kesah kepada mas Firman, karena dia pun dalam tekanan yang jauh lebih besar.
Pasti dia mengkhawatirkan kami, pasti dia ingin menyelamatkan kami. Hanya saja, di ruang kerjanya, ada jauh lebih banyak orang yang perlu ditangani. Sebagian korban awan panas dari lereng Merapi dirawat di RSUD Sleman, tempat suamiku mengabdi. Keberadaan dokter menjadi tumpuan harapan dari mereka yang sudah hampir kehilangan segala. Rumah, ternak, dan harta benda sudah luluh lantak. Terselamatkannya nyawa adalah satu-satunya yang mereka punya.
Usai letusan pertama, pulang kerja suami masih bisa bercerita. “Kasihan mereka ya Mah…”. Kini, berkali dia ucap,”Kasihan kamu…”. Simpatinya menguatkanku.
Aku tahu dan sangat mengerti profesi suami. Bencana alam justru kesempatan besar menunjukkan baktinya pada negeri. Aku ikhlas dan bersyukur atasnya. Aku hanya butuh kawan berbagi kegelisahan. Menghadapi suasana yang tak pernah terbayangkan. Inikah gambaranMu atas hari yang telah ditentukan?
Tak putus asmaMu kulantunkan. Pada setiap gemuruh, setiap getaran, setiap sapuan awan panas. Betapa aku diingatkan. Ini perumpamaan yang nyata. Di tengah kepungan debu vulkanik, aku semakin memahami betapa diri ini hanya sebutir debu di galaksi.
Satu hal yang sangat aku syukuri, aku hidup di hari ini. Saat komunikasi tak lagi hanya melalui tatap muka. Internet menjadi penglipur lara. Di tengah kesendirian, aku tetap berada di keramaian. Keluarga dan kawan lama tak henti menyapa di dunia maya. Aku terhibur dan tertemani. Selalu ada cahaya di tengah duka.
Malam ini, malam kedua belas sejak letusan pertama, kami tak bisa lagi menunda. Batuk hebat Merapi semalam memperluas wilayah bahaya. Rumahku ada di dalamnya. Air hujan yang berkolaborasi dengan debu dan pasir yang beterbangan, turun bagai lumpur dituang dari atas awan. Kami terkepung kepekatan yang luar biasa.
Aku bergegas mengumpulkan surat berharga dan pakaian secukupnya. Sebentar lagi suamiku akan datang menjemput, membawa kami ke tempat yang lebih aman. Ingin benar aku berlindung di tengah keluarga di Ciamis sana, tapi tak mungkin. Transportasi umum terbatas, sementara suamiku juga tetap harus bertugas. Cukuplah sekedar tempat yang memungkinkan kami menarik nafas dengan lebih leluasa.
Entah apa yang sudah tersiar melalui televisi. Kegentingan situasi tampaknya sudah terkabarkan ke penjuru negeri. Di tengah ketergesaan menyiapkan perbekalan, telepon genggamku berbunyi terus-menerus. Ucapan simpati dan doa dari kerabat dan sahabat mengalir tak henti. Tak kuasa aku menahan air mata bergulir ke pipi. Aku tak sendiri.
* Untuk Henny, semoga selalu tersenyum, kapan pun.
Gerah yang mencekam. Bahkan AC pun tak berfungsi mendinginkan. Bahkan masker pun tak sempurna menghambat sesak. Pandangan tak jua melihat gerak. Sepi. Berkali kulihat keluar jendela, tak ada satu pun yang melintas. Tak ada tukang sayur, tak lewat gerobak ketoprak, tak ada siapa-siapa. Bahkan andai tak kulihat nyala lampu, aku tak tahu apakah tetanggaku masih di dalam rumahnya.
Berulang kupandang halaman, kemana perginya hijau dedaunan kebanggaan? Hanya tampak permadani abu, terhampar di segala penjuru. Sudah lebih dari seminggu.
“Mah….lapar,” panggilan si bungsu menyadarkanku.
“Sebentar sayang….Mamah buatkan indomie dulu ya,” jawabku.
“Indomie lagi?..... kata Mamah tidak boleh sering-sering…,” protesnya. Ternyata dia menyimak pesanku selama ini.
“Maaf De, hanya ini yang kita punya. Ade tahu kan Papa kemarin sudah keliling kota? Tak ada lagi toko yang buka,” jawabku dengan berat hati.
Pada awalnya masih ada satu dua tukang sayur yang lewat. Tapi beberapa hari terakhir mereka lenyap. Bahkan dua hari ini sama sekali tak ada siapa-siapa. Sepanjang hari kami di rumah. Anak-anak sudah tak bersekolah, libur sampai waktu yang tak ditentukan. Menanti dari detik ke detik dalam ketidakpastian, bukanlah hal yang mudah. Anak-anak mulai bosan terkurung. Tak bisa bersepeda, tak bisa bermain bola. Belum lagi penutup muka yang membuat mereka tersiksa. Aku harus tetap tersenyum untuk mereka.
Aku yakin, Merapi akan usai bergetar. Hanya, kapan? Aku tak sanggup melukiskan apa yang ada di dalam dada. Aku ingin bercerita mengungkap segala, tetapi kepada siapa? Saat berbagai kemungkinan terburuk terpikir di kepala, aku dituntut untuk tetap ceria. Tak mungkin aku berkeluh kesah kepada mas Firman, karena dia pun dalam tekanan yang jauh lebih besar.
Pasti dia mengkhawatirkan kami, pasti dia ingin menyelamatkan kami. Hanya saja, di ruang kerjanya, ada jauh lebih banyak orang yang perlu ditangani. Sebagian korban awan panas dari lereng Merapi dirawat di RSUD Sleman, tempat suamiku mengabdi. Keberadaan dokter menjadi tumpuan harapan dari mereka yang sudah hampir kehilangan segala. Rumah, ternak, dan harta benda sudah luluh lantak. Terselamatkannya nyawa adalah satu-satunya yang mereka punya.
Usai letusan pertama, pulang kerja suami masih bisa bercerita. “Kasihan mereka ya Mah…”. Kini, berkali dia ucap,”Kasihan kamu…”. Simpatinya menguatkanku.
Aku tahu dan sangat mengerti profesi suami. Bencana alam justru kesempatan besar menunjukkan baktinya pada negeri. Aku ikhlas dan bersyukur atasnya. Aku hanya butuh kawan berbagi kegelisahan. Menghadapi suasana yang tak pernah terbayangkan. Inikah gambaranMu atas hari yang telah ditentukan?
Tak putus asmaMu kulantunkan. Pada setiap gemuruh, setiap getaran, setiap sapuan awan panas. Betapa aku diingatkan. Ini perumpamaan yang nyata. Di tengah kepungan debu vulkanik, aku semakin memahami betapa diri ini hanya sebutir debu di galaksi.
Satu hal yang sangat aku syukuri, aku hidup di hari ini. Saat komunikasi tak lagi hanya melalui tatap muka. Internet menjadi penglipur lara. Di tengah kesendirian, aku tetap berada di keramaian. Keluarga dan kawan lama tak henti menyapa di dunia maya. Aku terhibur dan tertemani. Selalu ada cahaya di tengah duka.
Malam ini, malam kedua belas sejak letusan pertama, kami tak bisa lagi menunda. Batuk hebat Merapi semalam memperluas wilayah bahaya. Rumahku ada di dalamnya. Air hujan yang berkolaborasi dengan debu dan pasir yang beterbangan, turun bagai lumpur dituang dari atas awan. Kami terkepung kepekatan yang luar biasa.
Aku bergegas mengumpulkan surat berharga dan pakaian secukupnya. Sebentar lagi suamiku akan datang menjemput, membawa kami ke tempat yang lebih aman. Ingin benar aku berlindung di tengah keluarga di Ciamis sana, tapi tak mungkin. Transportasi umum terbatas, sementara suamiku juga tetap harus bertugas. Cukuplah sekedar tempat yang memungkinkan kami menarik nafas dengan lebih leluasa.
Entah apa yang sudah tersiar melalui televisi. Kegentingan situasi tampaknya sudah terkabarkan ke penjuru negeri. Di tengah ketergesaan menyiapkan perbekalan, telepon genggamku berbunyi terus-menerus. Ucapan simpati dan doa dari kerabat dan sahabat mengalir tak henti. Tak kuasa aku menahan air mata bergulir ke pipi. Aku tak sendiri.
* Untuk Henny, semoga selalu tersenyum, kapan pun.
Kamis, 04 November 2010
DUA CATATAN CINTA
Dalam dua minggu, saya membaca dua buah buku dengan judul yang hampir sama, Catatan Cinta Sang Istri karya Meidya Derni dan Catatan Cinta Istri karya Sari Meutia. Dua-duanya terbitan Lingkar Pena Publishing House. Dua-duanya menarik. Dan, dua-duanya memberi saya pelajaran penting.
Meidya Derni menceritakan pengalamannya berumah tangga. Berawal dari menjalani hidup baru yang benar-benar baru, karena suaminya adalah orang yang baru dikenal. Mereka menikah tanpa proses berpacaran. Sesaat setelah menikah, tinggal di rumah baru di negara baru. Dengan kehidupan yang benar-benar baru, tidak sama dengan yang sebelumnya, bahkan berlawanan dengan yang dibayangkannya selama ini tentang sebuah pernikahan.
Bagaimana Meidya menata diri dan hati untuk memperjuangkan cintanya dan kemudian mempertahankan cinta itu sungguh menarik. Walau kisah ini dikemas dengan tuturan yang enak dibaca, tentu saat mengalaminya ini bukan hal yang enak sama sekali. Sebagai pembaca, saya ikut membayangkan kira-kira bagaimana dia menjalani hari-hari frustasinya, dan bagaimana berusaha keluar dari kondisi itu.
Ada sedikit saja yang mengganggu saya. Ketidakcocokan antara gambaran yang terbentuk di benak saya tentang suaminya dengan panggilan suaminya terhadap Meidya. Memanggil istrinya dengan sebutan “Honey”, kok tidak pas ya dengan sosok suami yang digambarkan ‘dingin’. Ah, ini hanya di kepala saya saja.
Beberapa penilaian hati yang diuraikan Meidya, adalah juga pengalaman hati saya, tentu dengan peristiwa berbeda. Kemungkinan besar, itu juga merupakan pengalaman sebagian besar perempuan lain.
Sementara, Sari Meutia bercerita tentang pengalamannya mendampingi suami yang divonis gagal ginjal. Suami yang selalu hidup tertib, menjaga kesehatan, tiba-tiba saja harus cuci darah dua kali seminggu. Sari bercerita bagaimana dia menyikapi hari-hari sejak palu hakim itu diketukkan di kepalanya, sampai ke keputusan cangkok ginjal dan pelaksanaannya.
Sari menunjukkan bahwa dirinya hampir selalu menyikapi segala sesuatunya dengan pikiran jernih dan logis. Saya kebetulan bertemu Sari di dua kondisi. Pertama sesaat sebelum Basyrah suaminya akan menjalani pemeriksaan analisis nuklir di RSHS. Kedua saat Sari menerima telepon dari China tentang keberadaan donor yang mengharuskannya sesegera mungkin berangkat ke China untuk transplantasi ginjal suaminya. Saya melihat, Sari selalu dalam kondisi berpikir cepat dan terukur.
Ya saya mengenal Sari. Sari teman kuliah saya, beda jurusan. Saya tahu buku Sari sudah terbit dari iklan di Koran. Saat mencari buku tersebut di Gramedia, saya malah mendapatkan buku Meidya. Buku Sari sendiri saat itu belum dijual. Karena sinopsis di halaman belakangnya menarik, saya pun membeli buku Meidya. Ternyata tidak rugi. Karena buku Meidya pun bagus.
Dua catatan cinta dari dua wanita hebat dengan dua kondisi. Meidya adalah ibu rumah tangga, walau belakangan aktif juga sebagai pengelola milis, dll. Sari adalah wanita karir yang sukses. Dua-duanya memiliki cinta yang besar terhadap suami dan keluarganya.
Saya ingin meniru keduanya. Pertama dalam hal konsistensi menulis. Sari, di tengah kesibukannya, di tengah pertarungan batinnya, selalu menyempatkan diri menulis catatan harian. Saya menduga Meidya pun begitu.
Saat membaca buku mereka, yang menari-nari di benak saya adalah, saya pun bisa menuliskan pengalaman saya. Saya punya pergolakan batin yang panjang juga dalam rumah tangga saya, seperti yang dialami Meidya. Beberapa triknya pernah saya lakukan juga, seperti menyampaikan isi hati melalui surat. Saya pun memasuki gerbang pernikahan tanpa pacaran, sehingga hari-hari penuh kesalahpahaman pun saya lalui juga. Saya tidak rajin menulis buku harian setelah menikah, tapi saya ingat satu hal, saya sering gengsi untuk memulai minta maaf. Setelah perbedaan pendapat yang berwujud saling diam, saya paling susah untuk meminta maaf duluan. Rasanya kok seperti yang mengaku salah, padahal saya merasa benar. Suami lebih dewasa dalam hal ini. Dia pun tentu merasa dirinya benar, tapi dia biasanya tidak keberatan untuk meminta maaf duluan.
Sedangkan pengalaman besar Sari, pernah saya alami juga. Bahkan pada saat yang sama dengan saat Sari mengalaminya. Saya sekarang merajinkan diri menulis. Saya tidak tahu berani atau tidak mengungkapkan proses hidup ini untuk umum, tetapi yang penting saya tuliskan saja dahulu.
Hal kedua yang ingin saya tiru, menghargai cinta yang ada. Mensyukuri apa yang dimiliki. Sungguh, kadang saya kurang bersyukur. Saya mempunyai suami yang sangat menyayangi saya dengan caranya, tapi kadang saya masih berharap atau berpikir untuk disayang dengan cara lain. Saya mempunyai suami yang selalu berusaha memberikan apa yang bisa dia berikan untuk saya, tapi saya masih sering mempertanyakan mengapa dia memberikan yang seperti ini, bukan yang itu.
Lebih jauh lagi, saya kadang kurang bersyukur pada Allah. Saat Allah memberikan ‘ini’, saya masih suka berharap diberikan ‘itu’. Saat Allah memberikan ‘segini’, saya masih sering berpikir mengapa tidak ‘segitu’.
Kadang, bingung juga sih antara batasan pasrah atau ikhlas pada takdir dengan keharusan bercita-cita. Ketika kita sedang menginginkan sesuatu dan belum diberi oleh Allah, malah diberi yang lain, kapan tepatnya kita bersikap 'ok ini jatahku dan aku harus bersyukur atasnya' daripada berpikir mungkin belum waktunya kita mendapatkan sesuatu yang kita cita-citakan sehingga kita masih harus terus mengusahakannya.
Astagfirullahaladzim...
14 Nopember 2009
Meidya Derni menceritakan pengalamannya berumah tangga. Berawal dari menjalani hidup baru yang benar-benar baru, karena suaminya adalah orang yang baru dikenal. Mereka menikah tanpa proses berpacaran. Sesaat setelah menikah, tinggal di rumah baru di negara baru. Dengan kehidupan yang benar-benar baru, tidak sama dengan yang sebelumnya, bahkan berlawanan dengan yang dibayangkannya selama ini tentang sebuah pernikahan.
Bagaimana Meidya menata diri dan hati untuk memperjuangkan cintanya dan kemudian mempertahankan cinta itu sungguh menarik. Walau kisah ini dikemas dengan tuturan yang enak dibaca, tentu saat mengalaminya ini bukan hal yang enak sama sekali. Sebagai pembaca, saya ikut membayangkan kira-kira bagaimana dia menjalani hari-hari frustasinya, dan bagaimana berusaha keluar dari kondisi itu.
Ada sedikit saja yang mengganggu saya. Ketidakcocokan antara gambaran yang terbentuk di benak saya tentang suaminya dengan panggilan suaminya terhadap Meidya. Memanggil istrinya dengan sebutan “Honey”, kok tidak pas ya dengan sosok suami yang digambarkan ‘dingin’. Ah, ini hanya di kepala saya saja.
Beberapa penilaian hati yang diuraikan Meidya, adalah juga pengalaman hati saya, tentu dengan peristiwa berbeda. Kemungkinan besar, itu juga merupakan pengalaman sebagian besar perempuan lain.
Sementara, Sari Meutia bercerita tentang pengalamannya mendampingi suami yang divonis gagal ginjal. Suami yang selalu hidup tertib, menjaga kesehatan, tiba-tiba saja harus cuci darah dua kali seminggu. Sari bercerita bagaimana dia menyikapi hari-hari sejak palu hakim itu diketukkan di kepalanya, sampai ke keputusan cangkok ginjal dan pelaksanaannya.
Sari menunjukkan bahwa dirinya hampir selalu menyikapi segala sesuatunya dengan pikiran jernih dan logis. Saya kebetulan bertemu Sari di dua kondisi. Pertama sesaat sebelum Basyrah suaminya akan menjalani pemeriksaan analisis nuklir di RSHS. Kedua saat Sari menerima telepon dari China tentang keberadaan donor yang mengharuskannya sesegera mungkin berangkat ke China untuk transplantasi ginjal suaminya. Saya melihat, Sari selalu dalam kondisi berpikir cepat dan terukur.
Ya saya mengenal Sari. Sari teman kuliah saya, beda jurusan. Saya tahu buku Sari sudah terbit dari iklan di Koran. Saat mencari buku tersebut di Gramedia, saya malah mendapatkan buku Meidya. Buku Sari sendiri saat itu belum dijual. Karena sinopsis di halaman belakangnya menarik, saya pun membeli buku Meidya. Ternyata tidak rugi. Karena buku Meidya pun bagus.
Dua catatan cinta dari dua wanita hebat dengan dua kondisi. Meidya adalah ibu rumah tangga, walau belakangan aktif juga sebagai pengelola milis, dll. Sari adalah wanita karir yang sukses. Dua-duanya memiliki cinta yang besar terhadap suami dan keluarganya.
Saya ingin meniru keduanya. Pertama dalam hal konsistensi menulis. Sari, di tengah kesibukannya, di tengah pertarungan batinnya, selalu menyempatkan diri menulis catatan harian. Saya menduga Meidya pun begitu.
Saat membaca buku mereka, yang menari-nari di benak saya adalah, saya pun bisa menuliskan pengalaman saya. Saya punya pergolakan batin yang panjang juga dalam rumah tangga saya, seperti yang dialami Meidya. Beberapa triknya pernah saya lakukan juga, seperti menyampaikan isi hati melalui surat. Saya pun memasuki gerbang pernikahan tanpa pacaran, sehingga hari-hari penuh kesalahpahaman pun saya lalui juga. Saya tidak rajin menulis buku harian setelah menikah, tapi saya ingat satu hal, saya sering gengsi untuk memulai minta maaf. Setelah perbedaan pendapat yang berwujud saling diam, saya paling susah untuk meminta maaf duluan. Rasanya kok seperti yang mengaku salah, padahal saya merasa benar. Suami lebih dewasa dalam hal ini. Dia pun tentu merasa dirinya benar, tapi dia biasanya tidak keberatan untuk meminta maaf duluan.
Sedangkan pengalaman besar Sari, pernah saya alami juga. Bahkan pada saat yang sama dengan saat Sari mengalaminya. Saya sekarang merajinkan diri menulis. Saya tidak tahu berani atau tidak mengungkapkan proses hidup ini untuk umum, tetapi yang penting saya tuliskan saja dahulu.
Hal kedua yang ingin saya tiru, menghargai cinta yang ada. Mensyukuri apa yang dimiliki. Sungguh, kadang saya kurang bersyukur. Saya mempunyai suami yang sangat menyayangi saya dengan caranya, tapi kadang saya masih berharap atau berpikir untuk disayang dengan cara lain. Saya mempunyai suami yang selalu berusaha memberikan apa yang bisa dia berikan untuk saya, tapi saya masih sering mempertanyakan mengapa dia memberikan yang seperti ini, bukan yang itu.
Lebih jauh lagi, saya kadang kurang bersyukur pada Allah. Saat Allah memberikan ‘ini’, saya masih suka berharap diberikan ‘itu’. Saat Allah memberikan ‘segini’, saya masih sering berpikir mengapa tidak ‘segitu’.
Kadang, bingung juga sih antara batasan pasrah atau ikhlas pada takdir dengan keharusan bercita-cita. Ketika kita sedang menginginkan sesuatu dan belum diberi oleh Allah, malah diberi yang lain, kapan tepatnya kita bersikap 'ok ini jatahku dan aku harus bersyukur atasnya' daripada berpikir mungkin belum waktunya kita mendapatkan sesuatu yang kita cita-citakan sehingga kita masih harus terus mengusahakannya.
Astagfirullahaladzim...
14 Nopember 2009
Rabu, 03 November 2010
BUKU KELIMA DARI TETRALOGI LASKAR PELANGI
Judul Buku : Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang, 2010
Bagaimana bisa ada buku kelima? Tetra itu empat. Seharusnya suatu tetralogi hanya terdiri dari empat buku, tetapi Andrea Hirata menuliskannya dalam lima buku. Bahkan, buku kelima ini berisi dua novel sekaligus.
Andrea telah menulis empat novel yang merupakan satu kesatuan. Laskar Pelangi yang fenomenal adalah novel pertamanya. Novel yang dibuat berdasarkan kisah masa kecil penulisnya ini, bercerita tentang sepuluh orang anak dari tanah Belitong. Mereka menjalani hari-hari yang luar biasa di bawah bimbingan guru yang istimewa. Guru-guru yang mampu membuat mereka bermimpi tinggi meskipun mereka adalah anak-anak dari kelompok bawah. Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov : Mimpi-mimpi Lintang adalah tiga buku berikutnya.
Sejak awal Andrea sudah menetapkan akan menuntaskan kisah para Laskar Pelangi ini dalam empat buku. Sehingga selain menyebut ini adalah suatu tetralogi, judul-judulnya pun sudah dia sebutkan sebelum bukunya terbit. Tak heran, kemunculan buku ketiga dan keempat sangat dinantikan pembaca setianya. Pihak penerbit dan toko buku pun melakukan promosi luar biasa saat buku terakhir lahir. Saat itu, nama Andrea Hirata sudah sangat populer, dan film dari buku pertama telah beredar dengan sukses menuai pujian.
Berkat Andrea, tanah Belitong terdengar lagi secara nasional maupun internasional. Buku-bukunya mengurai adat dengan lengkap, filmnya mengeksploitasi keindahan alam dengan sempurna.
Memang ada sedikit yang mengganjal. Ada yang hilang dan belum usai dari kisah pamungkas. Kisah tentang Mimpi-mimpi Lintang, nama kapal buatan Ikal si tokoh utama, tidak bersinggungan sedikitpun dengan sesuatu yang dinamai Maryamah Karpov. Pembaca mungkin berpikir, penamaan judul buku keempat hanya karena telanjur disebut pada buku kedua. Sementara saat menuliskan novelnya, Andrea telah berubah rencana.
Cerita tetralogi Laskar Pelangi pun ditutup dengan ditemukannya A Ling, gadis yang menjadi obsesi Ikal sejak di buku pertama.
Setelah jeda beberapa lama, Andrea kembali meluncurkan novel. Kali ini berjudul Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas. Dua buah novel dalam satu buku. Unik. Apalagi keduanya disajikan secara berkebalikan. Terlihat upaya penulis untuk menjauhkan pemikiran pembaca bahwa ini lanjutan dari Laskar Pelangi. Desain sampulnya menggunakan gaya yang sangat berbeda. Dia pun menyebut novelnya ini sebagai suatu dwilogi.
Pada bagian awal novel pertama, pembaca akan merasa sedang dibawa ke suatu kisah baru, walaupun lokasi cerita tetap di tanah Belitong. Memasuki mozaik ke-8, istilah yang digunakan Andrea untuk membahasakan bab, baru muncul lagi nama A Ling. Pada mozaik ke-10, disebutkan Laskar Pelangi dan nama anggotanya. Menjadi jelas bagi pembaca, bahwa ini masih lanjutan kisah sebelumnya.
Mengapa Andrea terkesan tidak konsisten? Tampaknya, respon pembaca yang sangat luar biasa dan kehendak untuk mengenalkan sebanyak mungkin tentang tanah kelahirannya menjadi alasan. Banyak hal menarik dan unik dari bangsa Melayu yang diungkap dalam bukunya. Kebiasaan minum kopi beramai-ramai saja digelar habis-habisan sehingga pembaca seolah turut merasakan suasana di warung tempat berkumpul mereka.
Andrea mengurai panjang kisah pemberian nama julukan bagi banyak orang pada buku keempat, tetapi justru seolah lupa menjelaskan nama yang ada pada judul. Ternyata ada kisah seru dibalik pemberian nama Maryamah Karpov. Sehingga, untuknya Andrea menjelaskan dalam buku lain, dwilogi yang merupakan buku kelimanya ini. Ada hasrat mengungkap ini secara lebih komprehensif, entah itu dari sisi tampilnya perempuan di ranah laki-laki, maupun dari pengungkapan berbagai karakter manusia disekitarnya.
Andrea jeli menangkap sisi khas kehidupan di kampung halamannya. Dengan uraian yang detil, pembaca dapat membayangkan bagaimana tingkah polah warga di desanya. Dan, jahilnya Andrea, dia membuat pembaca menginterpretasikan urusan lokal ini dengan suasana serupa di lingkup nasional.
Perpanjangan kisah juga membuat mantan karyawan BUMN terkemuka ini berkesempatan mengungkap sikap politiknya secara lebih leluasa, dan tentu saja aman, karena ini sebuah cerita fiksi. Dengan cerdas dia mengutip kata-kata Megawati saat kampanye pemilihan presiden. Diungkapnya bahwa saat itu sang ibu dengan mata berkaca-kaca mengatakan bahwa jika menjadi presiden dia tidak akan membiarkan ada darah menetes di tanah rencong. Hanya itu yang ditulis Andrea. Tidak dia lanjutkan pembahasan tentang ini, karena semua orang sudah tahu apa yang terjadi kemudian.
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang, 2010
Bagaimana bisa ada buku kelima? Tetra itu empat. Seharusnya suatu tetralogi hanya terdiri dari empat buku, tetapi Andrea Hirata menuliskannya dalam lima buku. Bahkan, buku kelima ini berisi dua novel sekaligus.
Andrea telah menulis empat novel yang merupakan satu kesatuan. Laskar Pelangi yang fenomenal adalah novel pertamanya. Novel yang dibuat berdasarkan kisah masa kecil penulisnya ini, bercerita tentang sepuluh orang anak dari tanah Belitong. Mereka menjalani hari-hari yang luar biasa di bawah bimbingan guru yang istimewa. Guru-guru yang mampu membuat mereka bermimpi tinggi meskipun mereka adalah anak-anak dari kelompok bawah. Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov : Mimpi-mimpi Lintang adalah tiga buku berikutnya.
Sejak awal Andrea sudah menetapkan akan menuntaskan kisah para Laskar Pelangi ini dalam empat buku. Sehingga selain menyebut ini adalah suatu tetralogi, judul-judulnya pun sudah dia sebutkan sebelum bukunya terbit. Tak heran, kemunculan buku ketiga dan keempat sangat dinantikan pembaca setianya. Pihak penerbit dan toko buku pun melakukan promosi luar biasa saat buku terakhir lahir. Saat itu, nama Andrea Hirata sudah sangat populer, dan film dari buku pertama telah beredar dengan sukses menuai pujian.
Berkat Andrea, tanah Belitong terdengar lagi secara nasional maupun internasional. Buku-bukunya mengurai adat dengan lengkap, filmnya mengeksploitasi keindahan alam dengan sempurna.
Memang ada sedikit yang mengganjal. Ada yang hilang dan belum usai dari kisah pamungkas. Kisah tentang Mimpi-mimpi Lintang, nama kapal buatan Ikal si tokoh utama, tidak bersinggungan sedikitpun dengan sesuatu yang dinamai Maryamah Karpov. Pembaca mungkin berpikir, penamaan judul buku keempat hanya karena telanjur disebut pada buku kedua. Sementara saat menuliskan novelnya, Andrea telah berubah rencana.
Cerita tetralogi Laskar Pelangi pun ditutup dengan ditemukannya A Ling, gadis yang menjadi obsesi Ikal sejak di buku pertama.
Setelah jeda beberapa lama, Andrea kembali meluncurkan novel. Kali ini berjudul Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas. Dua buah novel dalam satu buku. Unik. Apalagi keduanya disajikan secara berkebalikan. Terlihat upaya penulis untuk menjauhkan pemikiran pembaca bahwa ini lanjutan dari Laskar Pelangi. Desain sampulnya menggunakan gaya yang sangat berbeda. Dia pun menyebut novelnya ini sebagai suatu dwilogi.
Pada bagian awal novel pertama, pembaca akan merasa sedang dibawa ke suatu kisah baru, walaupun lokasi cerita tetap di tanah Belitong. Memasuki mozaik ke-8, istilah yang digunakan Andrea untuk membahasakan bab, baru muncul lagi nama A Ling. Pada mozaik ke-10, disebutkan Laskar Pelangi dan nama anggotanya. Menjadi jelas bagi pembaca, bahwa ini masih lanjutan kisah sebelumnya.
Mengapa Andrea terkesan tidak konsisten? Tampaknya, respon pembaca yang sangat luar biasa dan kehendak untuk mengenalkan sebanyak mungkin tentang tanah kelahirannya menjadi alasan. Banyak hal menarik dan unik dari bangsa Melayu yang diungkap dalam bukunya. Kebiasaan minum kopi beramai-ramai saja digelar habis-habisan sehingga pembaca seolah turut merasakan suasana di warung tempat berkumpul mereka.
Andrea mengurai panjang kisah pemberian nama julukan bagi banyak orang pada buku keempat, tetapi justru seolah lupa menjelaskan nama yang ada pada judul. Ternyata ada kisah seru dibalik pemberian nama Maryamah Karpov. Sehingga, untuknya Andrea menjelaskan dalam buku lain, dwilogi yang merupakan buku kelimanya ini. Ada hasrat mengungkap ini secara lebih komprehensif, entah itu dari sisi tampilnya perempuan di ranah laki-laki, maupun dari pengungkapan berbagai karakter manusia disekitarnya.
Andrea jeli menangkap sisi khas kehidupan di kampung halamannya. Dengan uraian yang detil, pembaca dapat membayangkan bagaimana tingkah polah warga di desanya. Dan, jahilnya Andrea, dia membuat pembaca menginterpretasikan urusan lokal ini dengan suasana serupa di lingkup nasional.
Perpanjangan kisah juga membuat mantan karyawan BUMN terkemuka ini berkesempatan mengungkap sikap politiknya secara lebih leluasa, dan tentu saja aman, karena ini sebuah cerita fiksi. Dengan cerdas dia mengutip kata-kata Megawati saat kampanye pemilihan presiden. Diungkapnya bahwa saat itu sang ibu dengan mata berkaca-kaca mengatakan bahwa jika menjadi presiden dia tidak akan membiarkan ada darah menetes di tanah rencong. Hanya itu yang ditulis Andrea. Tidak dia lanjutkan pembahasan tentang ini, karena semua orang sudah tahu apa yang terjadi kemudian.
KELUAR DARI BELENGGU DIRI SENDIRI
Judul Buku : IT’S ME! Kisah Nyata Penyandang Mutisme Elektif
Penulis : YUYUN YULIANI
Penerbit : BIP, 2010
Diamnya seseorang ternyata belum tentu karena dia tak bisa bicara. Pada buku setebal 235 halaman ini dikisahkan seorang gadis yang diam karena tak mau bicara. Ada masalah emosional dalam dirinya sehingga dia memilih untuk tidak bicara. Ini yang dikenal sebagai mutisme elektif di dunia psikologi.
Pengalamannya mengajarkan bahwa bicara berpeluang salah. Jika salah, akan membuat malu dan tidak nyaman dalam diri. Maka, lebih baik diam. Dia diam saja, pun ketika situasi membuatnya dipersepsikan salah oleh lingkungan.
Penulis mengisahkan hidupnya secara bertahap. Dari masa kecil hingga saat ini. Dia memberi penekanan pada beberapa peristiwa yang dianggapnya berpengaruh terhadap kondisinya hari ini. Perlakuan orang tua, perlakuan lingkungan.
Menariknya, dia tidak dianggap bermasalah oleh lingkungan, hanya dinilai pendiam, tidak mau bergaul. Bahkan oleh beberapa psikolog dan psikiater yang sempat dia datangi untuk dimintai pendapat. Hingga akhirnya dia berkesimpulan bahwa bagaimana pun hanya dirinya sendiri yang bisa menolongnya keluar dari kediaman.
Pada akhirnya memang dia menemukan seorang psikiater yang mau mencoba menyelami apa yang dia rasa, dan membimbingnya untuk menemukan diri. Bahkan, dia berani membuka diri dengan menuliskan masalahnya sehingga menjadi buku ini.
Tentu tidak mudah bagi si penulis untuk mengungkapkan dirinya di hadapan publik. Sangat berpeluang menuai resiko. Dia yang sudah tersisih dari lingkungan sosial, sangat mungkin semakin menjadi cemoohan. Tetapi buku ini bisa juga bermakna kebalikan, pemahaman dari lingkungan. Setidaknya, dapat menjadi ‘teman’ bagi penyandang mutisme elektif yang lain.
Sebagai pembaca, saya membayangkan, tidak mudah menjadi dirinya. Gadis yang lahir dan dibesarkan di Bandung ini pribadi yang kompeten. Seorang sarjana dari suatu universitas negeri yang selalu bekerja keras dan hasil sempurna. Terbukti dia menjadi kesayangan mantan-mantan atasannya. Berkali-kali dia pindah kerja, alasannya selalu sama, tidak bisa bergaul dengan sesama karyawan, bukan karena wanprestasi.
Di usianya yang sudah lebih dari 30 tahun, dia belum menikah. Jangankan bergaul dengan pria, dengan sesama wanita saja hanya satu dua orang yang dia anggap sahabat. Pernah pada suatu saat, dia bertemu dengan seseorang yang membuat hatinya bergetar. Seorang yang dia yakin bisa menjadi pasangannya. Hanya saja, semakin dia merasa sayang, semakin kuat keinginan untuk mundur. Dia tidak ingin melibatkan laki-laki baik itu ke dalam masalahnya.
Membaca hidupnya, bisa menjadi pelajaran bagi orang tua. Anak yang manis, tidak pernah menimbulkan masalah, penurut, dan pendiam, belum tentu baik secara psikologis. Penulis semakin dinilai baik oleh keluarganya karena dia pintar di sekolah. Dia satu-satunya di keluarga yang berhasil menjadi mahasiswa perguruan tinggi negeri. Dia lulus dengan prestasi baik dan tepat waktu.
Kita juga dapat belajar, bahwa penting bagi anak mengetahui berbagai hal secara verbal. Ditegur, disayang, bahkan dimarahi. Mungkin dia tidak akan melakukan yang diharapkan pada hari itu juga, tetapi bagaimanapun informasi itu akan tersimpan di memori dan memberi kepercayaan diri bahwa dia ada dan dinilai ada oleh lingkungan.
Yang agak mengkhawatirkan, dari apa yang dia ceritakan, saat dia menuliskan buku ini, justru dia sedang berada di puncak kesendirian. Dia tidak lagi bekerja. Dia kembali ke kamarnya. Sendiri saja. Dia sempat mengeluarkan emosinya dengan menggunting sprei atau koran sampai ke serpihan kecil kemudian menghambur-hamburkannya di ruangan. Sebagai awam, saya melihat ini kemunduran. Tetapi di mata pendamping kejiwaannya, mungkin saja ini justru kemajuan, bahwa dia sudah tidak lagi menutup segala emosinya di dinding tebal dalam diri. Pelampiasan emosi yang mungkin berakibat baik untuk jangka panjang.
Dari yang dia uraikan, kita dapat membaca bahwa dia seorang yang tertib nilai. Mencoba untuk selalu melakukan yang terbaik. Hanya, kediamannya yang membuat dia sering disalahpahami. Apa yang dia anut, tidak tersampaikan, sehingga dimaknai salah oleh lingkungan.
Seringkali kita menilai seseorang dari pertemuan pertama saja. Jika berkesan baik, diterima sebagai teman. Jika tidak, say goodbye…. Padahal ada banyak hal yang tidak bisa ditangkap begitu saja. Kebaikan, kesetiaan, kejujuran, dan ketulusan hati membutuhkan waktu untuk menampakkan diri.
Penulis : YUYUN YULIANI
Penerbit : BIP, 2010
Diamnya seseorang ternyata belum tentu karena dia tak bisa bicara. Pada buku setebal 235 halaman ini dikisahkan seorang gadis yang diam karena tak mau bicara. Ada masalah emosional dalam dirinya sehingga dia memilih untuk tidak bicara. Ini yang dikenal sebagai mutisme elektif di dunia psikologi.
Pengalamannya mengajarkan bahwa bicara berpeluang salah. Jika salah, akan membuat malu dan tidak nyaman dalam diri. Maka, lebih baik diam. Dia diam saja, pun ketika situasi membuatnya dipersepsikan salah oleh lingkungan.
Penulis mengisahkan hidupnya secara bertahap. Dari masa kecil hingga saat ini. Dia memberi penekanan pada beberapa peristiwa yang dianggapnya berpengaruh terhadap kondisinya hari ini. Perlakuan orang tua, perlakuan lingkungan.
Menariknya, dia tidak dianggap bermasalah oleh lingkungan, hanya dinilai pendiam, tidak mau bergaul. Bahkan oleh beberapa psikolog dan psikiater yang sempat dia datangi untuk dimintai pendapat. Hingga akhirnya dia berkesimpulan bahwa bagaimana pun hanya dirinya sendiri yang bisa menolongnya keluar dari kediaman.
Pada akhirnya memang dia menemukan seorang psikiater yang mau mencoba menyelami apa yang dia rasa, dan membimbingnya untuk menemukan diri. Bahkan, dia berani membuka diri dengan menuliskan masalahnya sehingga menjadi buku ini.
Tentu tidak mudah bagi si penulis untuk mengungkapkan dirinya di hadapan publik. Sangat berpeluang menuai resiko. Dia yang sudah tersisih dari lingkungan sosial, sangat mungkin semakin menjadi cemoohan. Tetapi buku ini bisa juga bermakna kebalikan, pemahaman dari lingkungan. Setidaknya, dapat menjadi ‘teman’ bagi penyandang mutisme elektif yang lain.
Sebagai pembaca, saya membayangkan, tidak mudah menjadi dirinya. Gadis yang lahir dan dibesarkan di Bandung ini pribadi yang kompeten. Seorang sarjana dari suatu universitas negeri yang selalu bekerja keras dan hasil sempurna. Terbukti dia menjadi kesayangan mantan-mantan atasannya. Berkali-kali dia pindah kerja, alasannya selalu sama, tidak bisa bergaul dengan sesama karyawan, bukan karena wanprestasi.
Di usianya yang sudah lebih dari 30 tahun, dia belum menikah. Jangankan bergaul dengan pria, dengan sesama wanita saja hanya satu dua orang yang dia anggap sahabat. Pernah pada suatu saat, dia bertemu dengan seseorang yang membuat hatinya bergetar. Seorang yang dia yakin bisa menjadi pasangannya. Hanya saja, semakin dia merasa sayang, semakin kuat keinginan untuk mundur. Dia tidak ingin melibatkan laki-laki baik itu ke dalam masalahnya.
Membaca hidupnya, bisa menjadi pelajaran bagi orang tua. Anak yang manis, tidak pernah menimbulkan masalah, penurut, dan pendiam, belum tentu baik secara psikologis. Penulis semakin dinilai baik oleh keluarganya karena dia pintar di sekolah. Dia satu-satunya di keluarga yang berhasil menjadi mahasiswa perguruan tinggi negeri. Dia lulus dengan prestasi baik dan tepat waktu.
Kita juga dapat belajar, bahwa penting bagi anak mengetahui berbagai hal secara verbal. Ditegur, disayang, bahkan dimarahi. Mungkin dia tidak akan melakukan yang diharapkan pada hari itu juga, tetapi bagaimanapun informasi itu akan tersimpan di memori dan memberi kepercayaan diri bahwa dia ada dan dinilai ada oleh lingkungan.
Yang agak mengkhawatirkan, dari apa yang dia ceritakan, saat dia menuliskan buku ini, justru dia sedang berada di puncak kesendirian. Dia tidak lagi bekerja. Dia kembali ke kamarnya. Sendiri saja. Dia sempat mengeluarkan emosinya dengan menggunting sprei atau koran sampai ke serpihan kecil kemudian menghambur-hamburkannya di ruangan. Sebagai awam, saya melihat ini kemunduran. Tetapi di mata pendamping kejiwaannya, mungkin saja ini justru kemajuan, bahwa dia sudah tidak lagi menutup segala emosinya di dinding tebal dalam diri. Pelampiasan emosi yang mungkin berakibat baik untuk jangka panjang.
Dari yang dia uraikan, kita dapat membaca bahwa dia seorang yang tertib nilai. Mencoba untuk selalu melakukan yang terbaik. Hanya, kediamannya yang membuat dia sering disalahpahami. Apa yang dia anut, tidak tersampaikan, sehingga dimaknai salah oleh lingkungan.
Seringkali kita menilai seseorang dari pertemuan pertama saja. Jika berkesan baik, diterima sebagai teman. Jika tidak, say goodbye…. Padahal ada banyak hal yang tidak bisa ditangkap begitu saja. Kebaikan, kesetiaan, kejujuran, dan ketulusan hati membutuhkan waktu untuk menampakkan diri.
Senin, 25 Oktober 2010
Cerpen: CENGKERAM MASA LALU
Kedip-kedip merah dari Blackberryku meminta perhatian. Sejak tadi kuabaikan karena aku sedang menuntaskan mengolah rajungan lada hitam dan udang bumbu tauco untuk hidangan makan siang kesukaan suami dan anak-anakku. Sambil menunggu mereka kumpul di meja makan, kubaca pesan yang datang.
Bintang merah bertengger di grup Smantara’s Girls. Grup ini berisi teman-teman perempuanku semasa sekolah di SMA Nusantara. Girls? Hahaha…. Ini pernah ditertawakan anak gadisku. “Mamah dan teman-teman sok muda deh,” katanya saat itu. Aku segera membacanya. Penasaran, ada cerita apa hari Minggu begini.
Kalimat pertama yang terbaca adalah, “Ayo dong Nit, setor uang arisan….” Aku terhenyak! Bukan karena aku punya hutang, tetapi karena makna idiom itu yang aku hindari beberapa hari terakhir. Istilah tersebut digunakan teman-teman untuk meminta kita menceritakan kisah-kasih di masa lalu. Kenangan cinta pertama, atau yang semacam itu.
Sejak hari Kamis, bergiliran mereka bercerita. Ada yang mengharu biru, ada yang lucu, dan ada pula yang berakhir di penghulu. Seru sekali mengikuti kisah mereka. Ternyata bermacam-macam proses orang untuk dapat menemukan pasangan idaman. Aku menikmatinya, sampai…tersadar… bahwa akan tiba giliranku bercerita! Duh, haruskah? Aku langsung berhenti berkomentar. Berharap mereka lupa akan keberadaanku di situ.
Sampai hari Sabtu aku aman. Tak satu pun menanyakanku. Tetapi hari ini aku tiba-tiba jadi topik pembicaraan, karena salah seorang dari mereka sedang menghadiri peluncuran buku Sandi, mantan pacarku.
“Cerita dong Nit, kok bisa sampai putus sih?” desak Rani sahabatku. Beruntung, suami dan anak-anakku sudah berkerumun di meja makan. Aku punya alasan, “Sebentar ya….menemani anak-anak makan dulu…”.
Biasanya, momen makan bersama di akhir pekan menjadi saat yang paling membahagiakanku. Maklumlah di Jakarta, walaupun aku ibu rumah tangga, tapi anak-anak dan suamiku punya kesibukan masing-masing. Kali ini berbeda… Saat si bungsu yang baru kelas 4 SD menumpahkan kuah udang ke taplak meja, aku meledak. Menegurnya dengan marah. Suamiku tampak tercengang, tapi aku tak bisa menguasai diri.
Setelah makan, suamiku menunggu sampai anak-anak kembali ke aktivitas masing-masing. Sambil beranjak, dia berkata, “Masa sudah mau haid lagi, Mah? Rasanya baru minggu lalu…” Aku malu.
Sandi. Nama itu lagi. Aku benar-benar harus berdamai dengan diri, karena semakin mustahil mengusir dia pergi dari kehadirannya di sekitarku. Jika teman-teman bisa melupakan sosok mantannya karena tak pernah bersua, aku tidak. Kiprahnya yang semakin menasional, membuatnya semakin sering tertangkap berita. Wajahnya di TV, suaranya di radio, dan ucapannya di surat kabar seolah mengepungku, mencengkeramku.
Sebenarnya, aku sudah cukup lama berdamai dengan masa laluku. Aku nikmati rumah tanggaku yang dihiasi 3 putri cantik. Aku syukuri limpahan kasih dari suami. Aku sudah nyaman dengan diriku. Sampai dua tahun terakhir, saat facebook mendatangkan seluruh kenalan seumur hidup ke rumah kita. Aku sering tak sanggup menjawab ketika teman-teman lama bertanya, mengapa tak jadi menikah dengan Sandi.
Setiap orang punya satu babak di masa lalu yang –andai bisa- ingin dihapusnya. Bagiku, pita perekam masa perpisahanku dengan Sandi yang ingin kugunting. Sangat mengguncang hati.
Tak sebentar aku pacaran dengan Sandi. Sejak kelas 2 SMA sampai menjelang wisuda sarjana. Wajar kan kalau semua orang menduga akan sampai ke rumah tangga ? Tinggal selangkah lagi.
Dimataku, Sandi adalah sosok lelaki yang menggenggam mimpi. Dia berusaha keluar dari masa lalunya sebagai anak nenek karena perpisahan orang tua. Sejak awal dia sudah memutuskan ingin sebagai apa kelak dikenang orang. Dan, dia berusaha untuk itu.
Sedikit saja laki-laki yang sudah mantap melangkah sejak remaja. Sandi satu diantaranya. Hal ini membuatku kagum, sekaligus nelangsa. Demi mengarah ke pencapaian cita-cita, Sandi ikut pemilihan ketua OSIS. Walau harus puas sebagai Wakil Ketua, Sandi menjalaninya dengan penuh suka cita. Akibatnya? Waktu banyak tersita. Akhir pekan tak bisa menjadi milik berdua.
Beruntung kami diterima di perguruan tinggi yang sama. Aku sempat berharap, waktu untukku menjadi lebih utama. Ternyata sama saja, bahkan lebih parah. Sandi sangat terobsesi organisasi. Dia memandang ini sebagai ajang persiapan diri untuk meraih cita-cita. Justru, HMI yang semakin membuat akhir pekan berdua sebagai mimpi. Ada saja kegiatan di setiap minggunya. Apakah itu konferensi atau sekedar rapat, LK1, LK2, atau LK-LK lainnya. Diskusi-diskusi pun tak terhitung lagi.
Aku mencoba bertahan. Bagiku hubungan ini bukan sekedar Gita Cinta dari SMA, walau teman-teman sering menyebut kami bagai Galih dan Ratna. Aku serius sejak semula, aku tahu Sandi pun tak beda.
Aku selalu membayangkan suatu rumah tangga seperti yang dijalani Mama dan Papa. Papaku pekerja keras, tapi sangat mencintai keluarga. Jika tak keluar kota, makan siang selalu pulang ke rumah. Menyempatkan bercanda dengan Mama dan kami anak-anaknya, sebelum kembali ke tempat kerja. Akhir pekan serasa di surga. Berlima saja, di rumah ataupun ke tempat wisata.
Dengan pola aktivitas Sandi saat mahasiswa, kerap hatiku bertanya, mungkinkah kelak ‘mengikat’nya di rumah? Akankah bisa rumah tanggaku seperti Mama Papa? Sementara, kebahagiaan selalu terpancar di wajahnya saat bisa melakukan sesuatu untuk umat. Aku bingung.
Hari berlalu. Masih kami jalani dengan pola yang sama. Semakin dekat ke kelulusan, semakin sering aku berpikir tentang rencana berkeluarga. Sementara, Sandi menjadi anggota Pengurus Besar HMI di Jakarta. Kesibukannya semakin luar biasa. Mondar-mandir Bandung Jakarta, karena diapun harus juga mengurus skripsinya.
Aku tetap mengaguminya. Di tengah padatnya kegiatan, dia nyaris tak lepas puasa Senin Kamis. Tentang ini tak banyak orang tahu, tapi memang Sandi pun tak ingin mengungkap yang tak perlu. Ini urusan saya dengan Allah saja, katanya.
Aku semakin bimbang… orang yang baik dan selalu ingat Allah sudah ada di hadapan, tetapi aku tak yakin sanggup bertahan. Aku masih tetap punya bayangan pergi ke pengajian dengan pasangan, shalat berjamaah lima waktu dengan suami sebagai imam. Dengan Sandi, akan mustahil dilakukan.
Adzan Ashar memanggil, menyadarkan. Segera aku ke ruang keluarga, shalat berjamaah di sana. Berbaris rapat dengan anak-anak, diimami suami, sungguh, nikmat apa lagi yang dapat aku dustakan?
Setelah shalat, suami menyalakan TV. Pas ada berita peluncuran buku Sandi tadi dan berbagai komentar orang tentangnya. Seperti selama ini, selalu ada saja yang menilai baik atau buruk sepak terjang Sandi. Ada yang memuji, tapi ada juga yang mencaci. Tak jarang aku ikut bangga atau sakit hati, walau kadang juga tak peduli.
Aku pikir, wajar kalau banyak orang yang menilai. Di jalan datar, kita terperosok ke got hanya dilirik, ditolong, atau ditertawakan orang sekitar. Tetapi, Sandi menapaki tangga yang cukup tinggi, sehingga terpeleset saja pun dilihat banyak sekali orang. Bukan tak mungkin ada yang berpikir, mengapa tidak jatuh terguling sekalian. Walau, yang bergerak menolongnya pun tentu lebih banyak daripada saat kita jatuh ke got.
Berita sudah berganti. Saat hendak mengambil suguhan sore dari dapur, kulihat Blackberryku masih di meja makan dengan kedip-kedip merah khasnya. Aku ingat teman-teman yang sedang menanti penjelasanku. Aku tersenyum dalam hati. Sudah kuputuskan untuk tetap menyimpan semuanya sendiri. Biarlah mereka penasaran…
Bogor, 25 Oktober 2010.
Bintang merah bertengger di grup Smantara’s Girls. Grup ini berisi teman-teman perempuanku semasa sekolah di SMA Nusantara. Girls? Hahaha…. Ini pernah ditertawakan anak gadisku. “Mamah dan teman-teman sok muda deh,” katanya saat itu. Aku segera membacanya. Penasaran, ada cerita apa hari Minggu begini.
Kalimat pertama yang terbaca adalah, “Ayo dong Nit, setor uang arisan….” Aku terhenyak! Bukan karena aku punya hutang, tetapi karena makna idiom itu yang aku hindari beberapa hari terakhir. Istilah tersebut digunakan teman-teman untuk meminta kita menceritakan kisah-kasih di masa lalu. Kenangan cinta pertama, atau yang semacam itu.
Sejak hari Kamis, bergiliran mereka bercerita. Ada yang mengharu biru, ada yang lucu, dan ada pula yang berakhir di penghulu. Seru sekali mengikuti kisah mereka. Ternyata bermacam-macam proses orang untuk dapat menemukan pasangan idaman. Aku menikmatinya, sampai…tersadar… bahwa akan tiba giliranku bercerita! Duh, haruskah? Aku langsung berhenti berkomentar. Berharap mereka lupa akan keberadaanku di situ.
Sampai hari Sabtu aku aman. Tak satu pun menanyakanku. Tetapi hari ini aku tiba-tiba jadi topik pembicaraan, karena salah seorang dari mereka sedang menghadiri peluncuran buku Sandi, mantan pacarku.
“Cerita dong Nit, kok bisa sampai putus sih?” desak Rani sahabatku. Beruntung, suami dan anak-anakku sudah berkerumun di meja makan. Aku punya alasan, “Sebentar ya….menemani anak-anak makan dulu…”.
Biasanya, momen makan bersama di akhir pekan menjadi saat yang paling membahagiakanku. Maklumlah di Jakarta, walaupun aku ibu rumah tangga, tapi anak-anak dan suamiku punya kesibukan masing-masing. Kali ini berbeda… Saat si bungsu yang baru kelas 4 SD menumpahkan kuah udang ke taplak meja, aku meledak. Menegurnya dengan marah. Suamiku tampak tercengang, tapi aku tak bisa menguasai diri.
Setelah makan, suamiku menunggu sampai anak-anak kembali ke aktivitas masing-masing. Sambil beranjak, dia berkata, “Masa sudah mau haid lagi, Mah? Rasanya baru minggu lalu…” Aku malu.
Sandi. Nama itu lagi. Aku benar-benar harus berdamai dengan diri, karena semakin mustahil mengusir dia pergi dari kehadirannya di sekitarku. Jika teman-teman bisa melupakan sosok mantannya karena tak pernah bersua, aku tidak. Kiprahnya yang semakin menasional, membuatnya semakin sering tertangkap berita. Wajahnya di TV, suaranya di radio, dan ucapannya di surat kabar seolah mengepungku, mencengkeramku.
Sebenarnya, aku sudah cukup lama berdamai dengan masa laluku. Aku nikmati rumah tanggaku yang dihiasi 3 putri cantik. Aku syukuri limpahan kasih dari suami. Aku sudah nyaman dengan diriku. Sampai dua tahun terakhir, saat facebook mendatangkan seluruh kenalan seumur hidup ke rumah kita. Aku sering tak sanggup menjawab ketika teman-teman lama bertanya, mengapa tak jadi menikah dengan Sandi.
Setiap orang punya satu babak di masa lalu yang –andai bisa- ingin dihapusnya. Bagiku, pita perekam masa perpisahanku dengan Sandi yang ingin kugunting. Sangat mengguncang hati.
Tak sebentar aku pacaran dengan Sandi. Sejak kelas 2 SMA sampai menjelang wisuda sarjana. Wajar kan kalau semua orang menduga akan sampai ke rumah tangga ? Tinggal selangkah lagi.
Dimataku, Sandi adalah sosok lelaki yang menggenggam mimpi. Dia berusaha keluar dari masa lalunya sebagai anak nenek karena perpisahan orang tua. Sejak awal dia sudah memutuskan ingin sebagai apa kelak dikenang orang. Dan, dia berusaha untuk itu.
Sedikit saja laki-laki yang sudah mantap melangkah sejak remaja. Sandi satu diantaranya. Hal ini membuatku kagum, sekaligus nelangsa. Demi mengarah ke pencapaian cita-cita, Sandi ikut pemilihan ketua OSIS. Walau harus puas sebagai Wakil Ketua, Sandi menjalaninya dengan penuh suka cita. Akibatnya? Waktu banyak tersita. Akhir pekan tak bisa menjadi milik berdua.
Beruntung kami diterima di perguruan tinggi yang sama. Aku sempat berharap, waktu untukku menjadi lebih utama. Ternyata sama saja, bahkan lebih parah. Sandi sangat terobsesi organisasi. Dia memandang ini sebagai ajang persiapan diri untuk meraih cita-cita. Justru, HMI yang semakin membuat akhir pekan berdua sebagai mimpi. Ada saja kegiatan di setiap minggunya. Apakah itu konferensi atau sekedar rapat, LK1, LK2, atau LK-LK lainnya. Diskusi-diskusi pun tak terhitung lagi.
Aku mencoba bertahan. Bagiku hubungan ini bukan sekedar Gita Cinta dari SMA, walau teman-teman sering menyebut kami bagai Galih dan Ratna. Aku serius sejak semula, aku tahu Sandi pun tak beda.
Aku selalu membayangkan suatu rumah tangga seperti yang dijalani Mama dan Papa. Papaku pekerja keras, tapi sangat mencintai keluarga. Jika tak keluar kota, makan siang selalu pulang ke rumah. Menyempatkan bercanda dengan Mama dan kami anak-anaknya, sebelum kembali ke tempat kerja. Akhir pekan serasa di surga. Berlima saja, di rumah ataupun ke tempat wisata.
Dengan pola aktivitas Sandi saat mahasiswa, kerap hatiku bertanya, mungkinkah kelak ‘mengikat’nya di rumah? Akankah bisa rumah tanggaku seperti Mama Papa? Sementara, kebahagiaan selalu terpancar di wajahnya saat bisa melakukan sesuatu untuk umat. Aku bingung.
Hari berlalu. Masih kami jalani dengan pola yang sama. Semakin dekat ke kelulusan, semakin sering aku berpikir tentang rencana berkeluarga. Sementara, Sandi menjadi anggota Pengurus Besar HMI di Jakarta. Kesibukannya semakin luar biasa. Mondar-mandir Bandung Jakarta, karena diapun harus juga mengurus skripsinya.
Aku tetap mengaguminya. Di tengah padatnya kegiatan, dia nyaris tak lepas puasa Senin Kamis. Tentang ini tak banyak orang tahu, tapi memang Sandi pun tak ingin mengungkap yang tak perlu. Ini urusan saya dengan Allah saja, katanya.
Aku semakin bimbang… orang yang baik dan selalu ingat Allah sudah ada di hadapan, tetapi aku tak yakin sanggup bertahan. Aku masih tetap punya bayangan pergi ke pengajian dengan pasangan, shalat berjamaah lima waktu dengan suami sebagai imam. Dengan Sandi, akan mustahil dilakukan.
Adzan Ashar memanggil, menyadarkan. Segera aku ke ruang keluarga, shalat berjamaah di sana. Berbaris rapat dengan anak-anak, diimami suami, sungguh, nikmat apa lagi yang dapat aku dustakan?
Setelah shalat, suami menyalakan TV. Pas ada berita peluncuran buku Sandi tadi dan berbagai komentar orang tentangnya. Seperti selama ini, selalu ada saja yang menilai baik atau buruk sepak terjang Sandi. Ada yang memuji, tapi ada juga yang mencaci. Tak jarang aku ikut bangga atau sakit hati, walau kadang juga tak peduli.
Aku pikir, wajar kalau banyak orang yang menilai. Di jalan datar, kita terperosok ke got hanya dilirik, ditolong, atau ditertawakan orang sekitar. Tetapi, Sandi menapaki tangga yang cukup tinggi, sehingga terpeleset saja pun dilihat banyak sekali orang. Bukan tak mungkin ada yang berpikir, mengapa tidak jatuh terguling sekalian. Walau, yang bergerak menolongnya pun tentu lebih banyak daripada saat kita jatuh ke got.
Berita sudah berganti. Saat hendak mengambil suguhan sore dari dapur, kulihat Blackberryku masih di meja makan dengan kedip-kedip merah khasnya. Aku ingat teman-teman yang sedang menanti penjelasanku. Aku tersenyum dalam hati. Sudah kuputuskan untuk tetap menyimpan semuanya sendiri. Biarlah mereka penasaran…
Bogor, 25 Oktober 2010.
Jumat, 22 Oktober 2010
Cerpen: TIRAI PENGANTIN
“ Terima saya nikah dengan Riri Putri Lestari putra kandung Bapak Unang Sunarya dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai, “ suara mantap dari Mas Rahmat yang duduk di sampingku sambil berjabatan tangan dengan Bapak terdengar semakin sayup. Bukan karena volumenya yang melemah, tetapi karena tiba-tiba saja diriku seolah terbelah. Aku merasa berjarak dengan kekhidmatan akad nikah ini.
Saat penghulu menetapkan ijab kabul sah dan gema hamdalah bersahutan di sekeliling ruang, air mataku pun menetes tak tertahankan, berhamburan. Memandangmu yang tengah memandangku dengan sepenuh kepedihan sungguh menghancurleburkan kebahagiaan yang seharusnya melingkupi diriku di sini saat ini.
Mas Rahmat dengan penuh sayang menyerahkan selembar tisu ke tengah jalinan kaku kesepuluh jariku. Aku bergeming. Hanya isak yang ada. Mas Rahmat pun mengalihkan tisu langsung ke mataku, mengusap derai yang disangkanya haru. Tuhan….tolong…..batinku menjerit. Aku nyaris panik. Namun, sehelai kelembutan menyapa tengkukku, tatapmu. Hanya seusap. Tapi sanggup membuatku mengembalikan diri ke ruang kebahagiaan keluargaku atas pernikahan ini. Aku pun menoleh ke hadap Mas Rahmat dan mencoba membentuk seukir senyum yang kuharap bisa diartikan bahagia olehnya.
Selama dua jam kemudian, aku dan Mas Rahmat bersanding di pelaminan. Diiringi alunan kecapi suling dan lantunan kawih pesinden, kuterima ucap selamat dari kerabat dan jabat erat para sahabat. Sungguh aku senang menerima ungkap bahagia mereka atas pernikahan aku dan Mas Rahmat.
Di sela aliran tamu, terkenang lagi akan pertemuan pertama kita, dulu. Kamu ingat hari pertama kuinjakkan kaki di SMA Negeri 1 Banjar? Sebagai murid baru pindahan dari Cirebon, aku sungguh kikuk di lingkungan berbahasa sunda halus. Sapa akrab kawan sekelas, terasa bagai ancaman di telingaku. Bagaimana aku harus menjawabnya?
“Ri, kami ngerti kok bahasa Indonesia,” candamu menyelamatkan mukaku.
“Terima kasih…. Saya mengerti bahasa Sunda, tapi tidak terbiasa bicara,” jawabku lega.
Sejak itu, kamu hampir selalu hadir di saat-saat gentingku. Awalnya aku tidak menganggapmu ada. Kamu pun mungkin tidak datang dengan sengaja. Aku masih sibuk dengan diriku sendiri. Bukankah, menjadi remaja selalu tidak sederhana, di lingkungan baru pula? Lambat laun aku pun mulai terbiasa akan keberadaanmu di hari-hariku.
Hingga tibalah malam itu. Malam presiden pidato di istana, seperti yang biasa dilakukan sehari sebelum peringatan kemerdekaan. Kamu di beranda rumahku. Kita bicara tentang segala. Dari lomba balap sepeda hingga PR Matematika. Aku lihat wajahmu cerah bersinar, walau ada gurat ragu disana. Belakangan aku tahu mengapa. Ada hal penting ingin kausampaikan. Dengan terbata, kauungkap rasa suka, “ Ri, dengan apa adanya diriku, maukah kamu…berteman secara khusus….denganku?”
Aku terpana. Benar, aku sudah menduga, tapi tetap saja terasa mengejutkan. Jujur aku suka kamu, tapi mempunyai hubungan khusus adalah hal baru bagiku. Ada takut di situ. Takut salah langkah. Takut salah pilih. Takut dikecewakan.
Aku masih bimbang, tapi entah apa yang mendorongku mengucap sebaris kata, “Kita coba ya….”. Kalimat penuh ragu ini sudah cukup bagimu. Wajahmu tampak lega, sinarnya semakin terasa.
Menjelang pulang, kamu berusaha mengecup keningku. Refleks aku mundur menghindar. Aku tak sanggup berkata tidak, tapi bahasa tubuhku terbaca olehmu. Kita berpisah cukup dengan ucapan salam.
Permintaan foto bersama dengan keluarga besar Mas Rahmat membangunkanku dari kenangan malam itu. Senyum bahagia aku tampilkan di hadapan para fotografer karena aku melihat senyummu berpendar di kilatan lampu blitz. Aku terkuatkan.
Usai pesta, tinggal aku berdua. Mas Rahmat membimbing tanganku saat menyibak tirai di pintu kamar pengantin. Seharusnya aku gemetar, karena ini persentuhanku pertama kali secara fisik dengan Mas Rahmat yang kini suamiku. Ada kepuasan batin tersendiri, masuk ke gerbang perkawinan dengan status perawan, pun dari sekedar sentuhan tangan. Ada kebanggaan, karena aku berhasil menjaga diriku seutuhnya sampai ke jenjang pernikahan.
Tentang kesucian diri, Mas Rahmat sempat agak tersinggung. Saat itu lamaran sudah diterima. Kami berjalan-jalan ke pusat kota. Saat hendak menyeberang, Mas Rahmat meraih tanganku. Aku menghindar, menepis uluran tangannya. Aku tahu niatnya baik, menjagaku. Tetapi aku tak ingin disentuh siapapun, sebelum ijab kabul. Saat Mas Rahmat menuntut penjelasan, aku mencoba menghiburnya, “Mas, aku ingin memasuki gerbang rumah tangga dengan bersih. Aku ingin suamiku adalah orang yang pertama kali menyentuhku. Sabar ya Mas, insya Allah, semua akan menjadi hakmu pada saatnya, tidak sekedar sentuhan tangan.”
Mas Rahmat memang pria matang. Dia bisa mengerti alasanku, bahkan mendukung sepenuhnya. Tak salah aku memutuskan menjadi istrinya.
Malam itu benar-benar menjadi milik Mas Rahmat. Di sela hempasan kepuasannya dia berucap, “Riri sayang….terima kasih. Engkau benar…. Semua menjadi terasa sangat luar biasa, bahagia yang tak terbayangkan sebelumnya. Mas merasa tersanjung sebagai suami yang mendapatkan segalanya untuk yang pertama kali…”
Aku pun kembali tak sanggup menahan guliran basah di kedua pipiku. Inikah bahagia karena berhasil mempersembahkan yang paling utama untuk suami? Atau wujud kepedihan hati menerima tatap kosongmu dari atas lemari? Akankah Mas Rahmat tetap sebahagia ini andai dia tahu, jauh di kedalaman hati, kamu yang terlindas kereta api di hari peringatan proklamasi Indonesia, sehari setelah proklamasi kita, masih bertahta dengan sempurna…
Bogor, 22 Oktober 2010.
Saat penghulu menetapkan ijab kabul sah dan gema hamdalah bersahutan di sekeliling ruang, air mataku pun menetes tak tertahankan, berhamburan. Memandangmu yang tengah memandangku dengan sepenuh kepedihan sungguh menghancurleburkan kebahagiaan yang seharusnya melingkupi diriku di sini saat ini.
Mas Rahmat dengan penuh sayang menyerahkan selembar tisu ke tengah jalinan kaku kesepuluh jariku. Aku bergeming. Hanya isak yang ada. Mas Rahmat pun mengalihkan tisu langsung ke mataku, mengusap derai yang disangkanya haru. Tuhan….tolong…..batinku menjerit. Aku nyaris panik. Namun, sehelai kelembutan menyapa tengkukku, tatapmu. Hanya seusap. Tapi sanggup membuatku mengembalikan diri ke ruang kebahagiaan keluargaku atas pernikahan ini. Aku pun menoleh ke hadap Mas Rahmat dan mencoba membentuk seukir senyum yang kuharap bisa diartikan bahagia olehnya.
Selama dua jam kemudian, aku dan Mas Rahmat bersanding di pelaminan. Diiringi alunan kecapi suling dan lantunan kawih pesinden, kuterima ucap selamat dari kerabat dan jabat erat para sahabat. Sungguh aku senang menerima ungkap bahagia mereka atas pernikahan aku dan Mas Rahmat.
Di sela aliran tamu, terkenang lagi akan pertemuan pertama kita, dulu. Kamu ingat hari pertama kuinjakkan kaki di SMA Negeri 1 Banjar? Sebagai murid baru pindahan dari Cirebon, aku sungguh kikuk di lingkungan berbahasa sunda halus. Sapa akrab kawan sekelas, terasa bagai ancaman di telingaku. Bagaimana aku harus menjawabnya?
“Ri, kami ngerti kok bahasa Indonesia,” candamu menyelamatkan mukaku.
“Terima kasih…. Saya mengerti bahasa Sunda, tapi tidak terbiasa bicara,” jawabku lega.
Sejak itu, kamu hampir selalu hadir di saat-saat gentingku. Awalnya aku tidak menganggapmu ada. Kamu pun mungkin tidak datang dengan sengaja. Aku masih sibuk dengan diriku sendiri. Bukankah, menjadi remaja selalu tidak sederhana, di lingkungan baru pula? Lambat laun aku pun mulai terbiasa akan keberadaanmu di hari-hariku.
Hingga tibalah malam itu. Malam presiden pidato di istana, seperti yang biasa dilakukan sehari sebelum peringatan kemerdekaan. Kamu di beranda rumahku. Kita bicara tentang segala. Dari lomba balap sepeda hingga PR Matematika. Aku lihat wajahmu cerah bersinar, walau ada gurat ragu disana. Belakangan aku tahu mengapa. Ada hal penting ingin kausampaikan. Dengan terbata, kauungkap rasa suka, “ Ri, dengan apa adanya diriku, maukah kamu…berteman secara khusus….denganku?”
Aku terpana. Benar, aku sudah menduga, tapi tetap saja terasa mengejutkan. Jujur aku suka kamu, tapi mempunyai hubungan khusus adalah hal baru bagiku. Ada takut di situ. Takut salah langkah. Takut salah pilih. Takut dikecewakan.
Aku masih bimbang, tapi entah apa yang mendorongku mengucap sebaris kata, “Kita coba ya….”. Kalimat penuh ragu ini sudah cukup bagimu. Wajahmu tampak lega, sinarnya semakin terasa.
Menjelang pulang, kamu berusaha mengecup keningku. Refleks aku mundur menghindar. Aku tak sanggup berkata tidak, tapi bahasa tubuhku terbaca olehmu. Kita berpisah cukup dengan ucapan salam.
Permintaan foto bersama dengan keluarga besar Mas Rahmat membangunkanku dari kenangan malam itu. Senyum bahagia aku tampilkan di hadapan para fotografer karena aku melihat senyummu berpendar di kilatan lampu blitz. Aku terkuatkan.
Usai pesta, tinggal aku berdua. Mas Rahmat membimbing tanganku saat menyibak tirai di pintu kamar pengantin. Seharusnya aku gemetar, karena ini persentuhanku pertama kali secara fisik dengan Mas Rahmat yang kini suamiku. Ada kepuasan batin tersendiri, masuk ke gerbang perkawinan dengan status perawan, pun dari sekedar sentuhan tangan. Ada kebanggaan, karena aku berhasil menjaga diriku seutuhnya sampai ke jenjang pernikahan.
Tentang kesucian diri, Mas Rahmat sempat agak tersinggung. Saat itu lamaran sudah diterima. Kami berjalan-jalan ke pusat kota. Saat hendak menyeberang, Mas Rahmat meraih tanganku. Aku menghindar, menepis uluran tangannya. Aku tahu niatnya baik, menjagaku. Tetapi aku tak ingin disentuh siapapun, sebelum ijab kabul. Saat Mas Rahmat menuntut penjelasan, aku mencoba menghiburnya, “Mas, aku ingin memasuki gerbang rumah tangga dengan bersih. Aku ingin suamiku adalah orang yang pertama kali menyentuhku. Sabar ya Mas, insya Allah, semua akan menjadi hakmu pada saatnya, tidak sekedar sentuhan tangan.”
Mas Rahmat memang pria matang. Dia bisa mengerti alasanku, bahkan mendukung sepenuhnya. Tak salah aku memutuskan menjadi istrinya.
Malam itu benar-benar menjadi milik Mas Rahmat. Di sela hempasan kepuasannya dia berucap, “Riri sayang….terima kasih. Engkau benar…. Semua menjadi terasa sangat luar biasa, bahagia yang tak terbayangkan sebelumnya. Mas merasa tersanjung sebagai suami yang mendapatkan segalanya untuk yang pertama kali…”
Aku pun kembali tak sanggup menahan guliran basah di kedua pipiku. Inikah bahagia karena berhasil mempersembahkan yang paling utama untuk suami? Atau wujud kepedihan hati menerima tatap kosongmu dari atas lemari? Akankah Mas Rahmat tetap sebahagia ini andai dia tahu, jauh di kedalaman hati, kamu yang terlindas kereta api di hari peringatan proklamasi Indonesia, sehari setelah proklamasi kita, masih bertahta dengan sempurna…
Bogor, 22 Oktober 2010.
Minggu, 17 Oktober 2010
16 Oktober
16 Oktober , 16 tahun silam, semuanya berawal.
Bermodalkan niat baik saja.
Alhamdulillah, rencana itu mewujud pada 11 Desember 1994.
Hingga kini kami masih terus berusaha
menggapai cita-cita
bersama-sama masuk surga
melalui keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah
dengan saling mengisi, saling mengasihi, saling melengkapi.
Bermodalkan niat baik saja.
Alhamdulillah, rencana itu mewujud pada 11 Desember 1994.
Hingga kini kami masih terus berusaha
menggapai cita-cita
bersama-sama masuk surga
melalui keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah
dengan saling mengisi, saling mengasihi, saling melengkapi.
Langganan:
Postingan (Atom)