Dalam dua minggu, saya membaca dua buah buku dengan judul yang hampir sama, Catatan Cinta Sang Istri karya Meidya Derni dan Catatan Cinta Istri karya Sari Meutia. Dua-duanya terbitan Lingkar Pena Publishing House. Dua-duanya menarik. Dan, dua-duanya memberi saya pelajaran penting.
Meidya Derni menceritakan pengalamannya berumah tangga. Berawal dari menjalani hidup baru yang benar-benar baru, karena suaminya adalah orang yang baru dikenal. Mereka menikah tanpa proses berpacaran. Sesaat setelah menikah, tinggal di rumah baru di negara baru. Dengan kehidupan yang benar-benar baru, tidak sama dengan yang sebelumnya, bahkan berlawanan dengan yang dibayangkannya selama ini tentang sebuah pernikahan.
Bagaimana Meidya menata diri dan hati untuk memperjuangkan cintanya dan kemudian mempertahankan cinta itu sungguh menarik. Walau kisah ini dikemas dengan tuturan yang enak dibaca, tentu saat mengalaminya ini bukan hal yang enak sama sekali. Sebagai pembaca, saya ikut membayangkan kira-kira bagaimana dia menjalani hari-hari frustasinya, dan bagaimana berusaha keluar dari kondisi itu.
Ada sedikit saja yang mengganggu saya. Ketidakcocokan antara gambaran yang terbentuk di benak saya tentang suaminya dengan panggilan suaminya terhadap Meidya. Memanggil istrinya dengan sebutan “Honey”, kok tidak pas ya dengan sosok suami yang digambarkan ‘dingin’. Ah, ini hanya di kepala saya saja.
Beberapa penilaian hati yang diuraikan Meidya, adalah juga pengalaman hati saya, tentu dengan peristiwa berbeda. Kemungkinan besar, itu juga merupakan pengalaman sebagian besar perempuan lain.
Sementara, Sari Meutia bercerita tentang pengalamannya mendampingi suami yang divonis gagal ginjal. Suami yang selalu hidup tertib, menjaga kesehatan, tiba-tiba saja harus cuci darah dua kali seminggu. Sari bercerita bagaimana dia menyikapi hari-hari sejak palu hakim itu diketukkan di kepalanya, sampai ke keputusan cangkok ginjal dan pelaksanaannya.
Sari menunjukkan bahwa dirinya hampir selalu menyikapi segala sesuatunya dengan pikiran jernih dan logis. Saya kebetulan bertemu Sari di dua kondisi. Pertama sesaat sebelum Basyrah suaminya akan menjalani pemeriksaan analisis nuklir di RSHS. Kedua saat Sari menerima telepon dari China tentang keberadaan donor yang mengharuskannya sesegera mungkin berangkat ke China untuk transplantasi ginjal suaminya. Saya melihat, Sari selalu dalam kondisi berpikir cepat dan terukur.
Ya saya mengenal Sari. Sari teman kuliah saya, beda jurusan. Saya tahu buku Sari sudah terbit dari iklan di Koran. Saat mencari buku tersebut di Gramedia, saya malah mendapatkan buku Meidya. Buku Sari sendiri saat itu belum dijual. Karena sinopsis di halaman belakangnya menarik, saya pun membeli buku Meidya. Ternyata tidak rugi. Karena buku Meidya pun bagus.
Dua catatan cinta dari dua wanita hebat dengan dua kondisi. Meidya adalah ibu rumah tangga, walau belakangan aktif juga sebagai pengelola milis, dll. Sari adalah wanita karir yang sukses. Dua-duanya memiliki cinta yang besar terhadap suami dan keluarganya.
Saya ingin meniru keduanya. Pertama dalam hal konsistensi menulis. Sari, di tengah kesibukannya, di tengah pertarungan batinnya, selalu menyempatkan diri menulis catatan harian. Saya menduga Meidya pun begitu.
Saat membaca buku mereka, yang menari-nari di benak saya adalah, saya pun bisa menuliskan pengalaman saya. Saya punya pergolakan batin yang panjang juga dalam rumah tangga saya, seperti yang dialami Meidya. Beberapa triknya pernah saya lakukan juga, seperti menyampaikan isi hati melalui surat. Saya pun memasuki gerbang pernikahan tanpa pacaran, sehingga hari-hari penuh kesalahpahaman pun saya lalui juga. Saya tidak rajin menulis buku harian setelah menikah, tapi saya ingat satu hal, saya sering gengsi untuk memulai minta maaf. Setelah perbedaan pendapat yang berwujud saling diam, saya paling susah untuk meminta maaf duluan. Rasanya kok seperti yang mengaku salah, padahal saya merasa benar. Suami lebih dewasa dalam hal ini. Dia pun tentu merasa dirinya benar, tapi dia biasanya tidak keberatan untuk meminta maaf duluan.
Sedangkan pengalaman besar Sari, pernah saya alami juga. Bahkan pada saat yang sama dengan saat Sari mengalaminya. Saya sekarang merajinkan diri menulis. Saya tidak tahu berani atau tidak mengungkapkan proses hidup ini untuk umum, tetapi yang penting saya tuliskan saja dahulu.
Hal kedua yang ingin saya tiru, menghargai cinta yang ada. Mensyukuri apa yang dimiliki. Sungguh, kadang saya kurang bersyukur. Saya mempunyai suami yang sangat menyayangi saya dengan caranya, tapi kadang saya masih berharap atau berpikir untuk disayang dengan cara lain. Saya mempunyai suami yang selalu berusaha memberikan apa yang bisa dia berikan untuk saya, tapi saya masih sering mempertanyakan mengapa dia memberikan yang seperti ini, bukan yang itu.
Lebih jauh lagi, saya kadang kurang bersyukur pada Allah. Saat Allah memberikan ‘ini’, saya masih suka berharap diberikan ‘itu’. Saat Allah memberikan ‘segini’, saya masih sering berpikir mengapa tidak ‘segitu’.
Kadang, bingung juga sih antara batasan pasrah atau ikhlas pada takdir dengan keharusan bercita-cita. Ketika kita sedang menginginkan sesuatu dan belum diberi oleh Allah, malah diberi yang lain, kapan tepatnya kita bersikap 'ok ini jatahku dan aku harus bersyukur atasnya' daripada berpikir mungkin belum waktunya kita mendapatkan sesuatu yang kita cita-citakan sehingga kita masih harus terus mengusahakannya.
Astagfirullahaladzim...
14 Nopember 2009
ini yang paling menarik, adegan bercermin.
BalasHapusRasanya dengan meminjam istilah "manusiawi", apa yang Annis ungkapkan kurang lebih sama. saya merasa terwakili, bergelut dengan ketidakpuasan dan kepenasaran dengan apa yang sudah Alloh berikan untuk saya. bahkan sampai hari ini pun, harus rajin istigfar, ketika menyadarinya.
Hal yang kedua, saya senang jika ada seseorang yang mau menuliskan kisah hidupnya, asli. Karena jujur saja, saya belum memiliki keberanian seperti itu.
Lanjut ya, Nis...