Jumat, 05 November 2010

Cerpen: Cahaya di Tengah Duka

Tak jelas lagi ini siang atau malam, andai aku tidak melihat jam. Gemuruh yang bertubi-tubi, lantai yang bergetar, dan udara yang panas melengkapi. Sungguh, baru kali ini aku mengalami. Tak hendak aku mengeluh atas sapaanMu ini ya Allah, tapi hati tetap bertanya, kapan semua ini akan reda.

Gerah yang mencekam. Bahkan AC pun tak berfungsi mendinginkan. Bahkan masker pun tak sempurna menghambat sesak. Pandangan tak jua melihat gerak. Sepi. Berkali kulihat keluar jendela, tak ada satu pun yang melintas. Tak ada tukang sayur, tak lewat gerobak ketoprak, tak ada siapa-siapa. Bahkan andai tak kulihat nyala lampu, aku tak tahu apakah tetanggaku masih di dalam rumahnya.

Berulang kupandang halaman, kemana perginya hijau dedaunan kebanggaan? Hanya tampak permadani abu, terhampar di segala penjuru. Sudah lebih dari seminggu.

“Mah….lapar,” panggilan si bungsu menyadarkanku.
“Sebentar sayang….Mamah buatkan indomie dulu ya,” jawabku.
“Indomie lagi?..... kata Mamah tidak boleh sering-sering…,” protesnya. Ternyata dia menyimak pesanku selama ini.
“Maaf De, hanya ini yang kita punya. Ade tahu kan Papa kemarin sudah keliling kota? Tak ada lagi toko yang buka,” jawabku dengan berat hati.

Pada awalnya masih ada satu dua tukang sayur yang lewat. Tapi beberapa hari terakhir mereka lenyap. Bahkan dua hari ini sama sekali tak ada siapa-siapa. Sepanjang hari kami di rumah. Anak-anak sudah tak bersekolah, libur sampai waktu yang tak ditentukan. Menanti dari detik ke detik dalam ketidakpastian, bukanlah hal yang mudah. Anak-anak mulai bosan terkurung. Tak bisa bersepeda, tak bisa bermain bola. Belum lagi penutup muka yang membuat mereka tersiksa. Aku harus tetap tersenyum untuk mereka.

Aku yakin, Merapi akan usai bergetar. Hanya, kapan? Aku tak sanggup melukiskan apa yang ada di dalam dada. Aku ingin bercerita mengungkap segala, tetapi kepada siapa? Saat berbagai kemungkinan terburuk terpikir di kepala, aku dituntut untuk tetap ceria. Tak mungkin aku berkeluh kesah kepada mas Firman, karena dia pun dalam tekanan yang jauh lebih besar.

Pasti dia mengkhawatirkan kami, pasti dia ingin menyelamatkan kami. Hanya saja, di ruang kerjanya, ada jauh lebih banyak orang yang perlu ditangani. Sebagian korban awan panas dari lereng Merapi dirawat di RSUD Sleman, tempat suamiku mengabdi. Keberadaan dokter menjadi tumpuan harapan dari mereka yang sudah hampir kehilangan segala. Rumah, ternak, dan harta benda sudah luluh lantak. Terselamatkannya nyawa adalah satu-satunya yang mereka punya.

Usai letusan pertama, pulang kerja suami masih bisa bercerita. “Kasihan mereka ya Mah…”. Kini, berkali dia ucap,”Kasihan kamu…”. Simpatinya menguatkanku.

Aku tahu dan sangat mengerti profesi suami. Bencana alam justru kesempatan besar menunjukkan baktinya pada negeri. Aku ikhlas dan bersyukur atasnya. Aku hanya butuh kawan berbagi kegelisahan. Menghadapi suasana yang tak pernah terbayangkan. Inikah gambaranMu atas hari yang telah ditentukan?

Tak putus asmaMu kulantunkan. Pada setiap gemuruh, setiap getaran, setiap sapuan awan panas. Betapa aku diingatkan. Ini perumpamaan yang nyata. Di tengah kepungan debu vulkanik, aku semakin memahami betapa diri ini hanya sebutir debu di galaksi.

Satu hal yang sangat aku syukuri, aku hidup di hari ini. Saat komunikasi tak lagi hanya melalui tatap muka. Internet menjadi penglipur lara. Di tengah kesendirian, aku tetap berada di keramaian. Keluarga dan kawan lama tak henti menyapa di dunia maya. Aku terhibur dan tertemani. Selalu ada cahaya di tengah duka.


Malam ini, malam kedua belas sejak letusan pertama, kami tak bisa lagi menunda. Batuk hebat Merapi semalam memperluas wilayah bahaya. Rumahku ada di dalamnya. Air hujan yang berkolaborasi dengan debu dan pasir yang beterbangan, turun bagai lumpur dituang dari atas awan. Kami terkepung kepekatan yang luar biasa.

Aku bergegas mengumpulkan surat berharga dan pakaian secukupnya. Sebentar lagi suamiku akan datang menjemput, membawa kami ke tempat yang lebih aman. Ingin benar aku berlindung di tengah keluarga di Ciamis sana, tapi tak mungkin. Transportasi umum terbatas, sementara suamiku juga tetap harus bertugas. Cukuplah sekedar tempat yang memungkinkan kami menarik nafas dengan lebih leluasa.

Entah apa yang sudah tersiar melalui televisi. Kegentingan situasi tampaknya sudah terkabarkan ke penjuru negeri. Di tengah ketergesaan menyiapkan perbekalan, telepon genggamku berbunyi terus-menerus. Ucapan simpati dan doa dari kerabat dan sahabat mengalir tak henti. Tak kuasa aku menahan air mata bergulir ke pipi. Aku tak sendiri.

* Untuk Henny, semoga selalu tersenyum, kapan pun.

1 komentar:

  1. Luar biasa. Hatimu terus menyala. Semoga Allah SWT menolong semua warga yg kini sedang berada dlm ujian berbagai bencana. Terima kasih isteriku atas tulisannya yg terus menyebarkan solidaritas antar kita.

    BalasHapus