Minggu, 21 November 2010

Selamat Jalan Rafi...

"Bangun tidur, saya datangi Rafi di kamarnya. Saya dengar nafasnya berbunyi. Mungkin karena pilek yang diidap sejak Rabu, Rafi kan tidak bisa mengeluarkan dahak sendiri. Tapi...saya merasakan nafas yang berbeda. Saya pegang tangannya. Biasanya, dia akan mengepal kaget, tapi pagi itu tidak. Tangannya lemas sehingga bisa diluruskan.

Saya pegang nadi di pergelangan tangannya. Masih ada. Tapi kemudian hilang. Tak lama, tiba-tiba saja bagian tengah dada seperti tersedot ke dalam oleh tarikan nafas yang agak kencang. Membentuk lekukan. Kemudian saya lihat nadi di lehernya mulai menghilang. Dan kedipan mata mengakhiri semuanya,

Innalillahi...." tutur Tini, sang ibu, menceritakan bagaimana dia menyaksikan putra keduanya menghadapi sakaratul maut...


Rafi Hasidi, engkau hadir 1 April 2001 di Bogor sebagai putra yang ditunggu-tunggu oleh papa Mul, mamah Tini, dan teh Febi. Sehat. Lucu. Sampai tiba hari itu, engkau panas, dan kemudian kejang-kejang. Engkau dibawa ke rumah sakit terdekat yang cukup jauh (kini, ada Hermina yang bisa dicapai tak sampai 10 menit). 7 bulan usiamu saat itu.

Engkau dibawa ke UGD rumah sakit umum yang tidak siap dengan peralatan emergency untuk bayi. Mereka merawatmu, tapi tidak semaksimal yang seharusnya bisa engkau terima jika di rumah sakit khusus anak. Keesokan harinya, engkau dipindahkan ke RSIA Harapan Kita dalam keadaan koma. 10 hari, yang tentu terasa 10 tahun bagi papa - mamahmu. Alhamdulillah engkau sadar, walau dengan kondisi yang berbeda dengan sebelumnya.

Mulailah hari-hari panjang yang harus Rafi dan keluarga hadapi. Bolak-balik ke dokter, pulang pergi ke tukang pijat, sinshe, dan siapa saja yang diketahui mempunyai kemampuan lebih dalam menyembuhkan. Sedikit demi sedikit kemajuan terlihat.

Tentu tidak mudah bagi keluargamu menerima ini. Mereka merawatmu seperti merawat bayi baru lahir. Dan terus seperti itu. Sampai tak terasa telah 9 tahun umurmu. Tetangga kita, Kensha, yang lahir 2 minggu setelah kelahiranmu kini telah kelas 3 SD. Berlari kesana kemari. Sementara Rafi tetap berbaring, seperti bayi berukuran besar.

Luar biasa keluargamu menghadapi semua ini. Papa, mamah dan teh Febi bergantian melakukan hal-hal yang kauperlukan. Betapa kesabaran dan keikhlasan mereka diuji. Engkau pun tentu begitu.

Kadang saya selaku tetangga bertanya-tanya, apa yang kaupikirkan. Fisikmu tak berdaya, tapi saya yakin pikiranmu bekerja, dan emosi mu sempurna.

Walau tak bisa bicara, engkau toh punya rasa. Tertawa senang, menangis sedih, bahkan marah dan cemburu. Ya, cemburu. Saat engkau 4 tahun, adikmu lahir. Mamahmu pun berbagi perhatian. Ketika engkau merasa waktu mamah tidak sebanyak sebelumnya, engkau tunjukkan bahwa engkau cemburu. Subhanallah.

Seperti anak-anak lainnya, engkau pun memasuki masa pergantian gigi. Mamahmu sempat khawatir gigi yang lepas akan tertelan, karena Rafi kan terlentang sepanjang hari. Alhamdulillah Allah Maha Baik ... darah yang keluar dari gusi, tidak tertelan, tetapi mengental seperti jelly. Sehingga mudah dikeluarkan. Dan gigi yang lepas pun tiba-tiba saja bisa kau dorong ke luar.

Setahun lalu, keluargamu pindah ke rumah yang lebih nyaman. Kita pun tak lagi bersua. Tak ada lagi Rafi yang antusias mendengarkan kawan-kawan berlarian dan berteriak di taman dari balik dinding kamar.

Sampai sehari menjelang Ramadhan tahun ini. Saya dan beberapa tetangga sedang ngobrol di taman ketika tiba-tiba saja terlintas untuk cucurak di rumahmu. Cucurak adalah istilah khas di Bogor, berkumpul dan makan-makan menjelang memasuki bulan puasa.

Kami bergegas pulang dan tak lama berkumpul lagi. Anak-anak pun ikut. Jadilah kami ke rumah Rafi dengan satu mobil penuh. Kami mencari-cari dulu rumahmu, karena yang diketahui adalah posisi ketika masih berupa tanah.

Kami menyapamu. Kau tampak senang dengan suasana ramai. Anak-anak pun antusias menujumu. Mereka mungkin lebih terpancing rasa ingin tahu melihat kondisi yang berbeda dari diri mereka. Setelah melihatmu tertawa-tawa bahagia, kami pun pulang.

Ternyata, itulah pertemuan terakhir kita.

Hari Sabtu 20 Nopember 2010 saya baru tiba di rumah pukul 21.00 setelah bepergian sejak pagi. Telepon genggam tertinggal di mobil sejak magrib. Saat menutup pintu pagar, saya didatangi Bu Makmun, tetangga depan rumah. Beliau pun baru datang. Rupanya mereka baru kembali dari melayat Rafi. Disampaikanlah kabar itu, engkau berpulang tadi pagi, dan telah dimakamkan siang. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...

Saya baru sempat melayat tadi, setelah isya. Alhamdulillah, yang tahlilan masih di sana. Saya pun sempat berbincang dengan mamah Tini di belakang. Beliau banyak bercerita tentangmu.

Rafi, sungguh saya iri, betapa ibumu bercerita.... jasadmu bening bersinar, seperti bayi baru lahir...

Rafi, di tempatmu kini, tentu engkau bisa berlari-lari sepuas hati, bermain sepanjang hari... hal yang tidak dapat kaulakukan saat disini. Engkau bisa berteriak-teriak dengan bahagia... bersepeda.... bahkan terbang kesana kemari.

Waktu yang kemarin terasa panjang dan melelahkan bersamamu, kini terlihat sangat singkat. Tentu belum puas kalian bercengkrama bersama. Semoga, kebeninganmu dan keikhlasan keluargamu, akan dapat membawa kalian berkumpul lagi di tempat terindahNya kelak. Insya Allah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar