Rabu, 03 November 2010

KELUAR DARI BELENGGU DIRI SENDIRI

Judul Buku : IT’S ME! Kisah Nyata Penyandang Mutisme Elektif
Penulis : YUYUN YULIANI
Penerbit : BIP, 2010


Diamnya seseorang ternyata belum tentu karena dia tak bisa bicara. Pada buku setebal 235 halaman ini dikisahkan seorang gadis yang diam karena tak mau bicara. Ada masalah emosional dalam dirinya sehingga dia memilih untuk tidak bicara. Ini yang dikenal sebagai mutisme elektif di dunia psikologi.

Pengalamannya mengajarkan bahwa bicara berpeluang salah. Jika salah, akan membuat malu dan tidak nyaman dalam diri. Maka, lebih baik diam. Dia diam saja, pun ketika situasi membuatnya dipersepsikan salah oleh lingkungan.

Penulis mengisahkan hidupnya secara bertahap. Dari masa kecil hingga saat ini. Dia memberi penekanan pada beberapa peristiwa yang dianggapnya berpengaruh terhadap kondisinya hari ini. Perlakuan orang tua, perlakuan lingkungan.

Menariknya, dia tidak dianggap bermasalah oleh lingkungan, hanya dinilai pendiam, tidak mau bergaul. Bahkan oleh beberapa psikolog dan psikiater yang sempat dia datangi untuk dimintai pendapat. Hingga akhirnya dia berkesimpulan bahwa bagaimana pun hanya dirinya sendiri yang bisa menolongnya keluar dari kediaman.

Pada akhirnya memang dia menemukan seorang psikiater yang mau mencoba menyelami apa yang dia rasa, dan membimbingnya untuk menemukan diri. Bahkan, dia berani membuka diri dengan menuliskan masalahnya sehingga menjadi buku ini.

Tentu tidak mudah bagi si penulis untuk mengungkapkan dirinya di hadapan publik. Sangat berpeluang menuai resiko. Dia yang sudah tersisih dari lingkungan sosial, sangat mungkin semakin menjadi cemoohan. Tetapi buku ini bisa juga bermakna kebalikan, pemahaman dari lingkungan. Setidaknya, dapat menjadi ‘teman’ bagi penyandang mutisme elektif yang lain.

Sebagai pembaca, saya membayangkan, tidak mudah menjadi dirinya. Gadis yang lahir dan dibesarkan di Bandung ini pribadi yang kompeten. Seorang sarjana dari suatu universitas negeri yang selalu bekerja keras dan hasil sempurna. Terbukti dia menjadi kesayangan mantan-mantan atasannya. Berkali-kali dia pindah kerja, alasannya selalu sama, tidak bisa bergaul dengan sesama karyawan, bukan karena wanprestasi.

Di usianya yang sudah lebih dari 30 tahun, dia belum menikah. Jangankan bergaul dengan pria, dengan sesama wanita saja hanya satu dua orang yang dia anggap sahabat. Pernah pada suatu saat, dia bertemu dengan seseorang yang membuat hatinya bergetar. Seorang yang dia yakin bisa menjadi pasangannya. Hanya saja, semakin dia merasa sayang, semakin kuat keinginan untuk mundur. Dia tidak ingin melibatkan laki-laki baik itu ke dalam masalahnya.

Membaca hidupnya, bisa menjadi pelajaran bagi orang tua. Anak yang manis, tidak pernah menimbulkan masalah, penurut, dan pendiam, belum tentu baik secara psikologis. Penulis semakin dinilai baik oleh keluarganya karena dia pintar di sekolah. Dia satu-satunya di keluarga yang berhasil menjadi mahasiswa perguruan tinggi negeri. Dia lulus dengan prestasi baik dan tepat waktu.

Kita juga dapat belajar, bahwa penting bagi anak mengetahui berbagai hal secara verbal. Ditegur, disayang, bahkan dimarahi. Mungkin dia tidak akan melakukan yang diharapkan pada hari itu juga, tetapi bagaimanapun informasi itu akan tersimpan di memori dan memberi kepercayaan diri bahwa dia ada dan dinilai ada oleh lingkungan.

Yang agak mengkhawatirkan, dari apa yang dia ceritakan, saat dia menuliskan buku ini, justru dia sedang berada di puncak kesendirian. Dia tidak lagi bekerja. Dia kembali ke kamarnya. Sendiri saja. Dia sempat mengeluarkan emosinya dengan menggunting sprei atau koran sampai ke serpihan kecil kemudian menghambur-hamburkannya di ruangan. Sebagai awam, saya melihat ini kemunduran. Tetapi di mata pendamping kejiwaannya, mungkin saja ini justru kemajuan, bahwa dia sudah tidak lagi menutup segala emosinya di dinding tebal dalam diri. Pelampiasan emosi yang mungkin berakibat baik untuk jangka panjang.

Dari yang dia uraikan, kita dapat membaca bahwa dia seorang yang tertib nilai. Mencoba untuk selalu melakukan yang terbaik. Hanya, kediamannya yang membuat dia sering disalahpahami. Apa yang dia anut, tidak tersampaikan, sehingga dimaknai salah oleh lingkungan.

Seringkali kita menilai seseorang dari pertemuan pertama saja. Jika berkesan baik, diterima sebagai teman. Jika tidak, say goodbye…. Padahal ada banyak hal yang tidak bisa ditangkap begitu saja. Kebaikan, kesetiaan, kejujuran, dan ketulusan hati membutuhkan waktu untuk menampakkan diri.

4 komentar:

  1. bagus banget...secara nyata ada di lingkungan kehidupan saya..jadi saya lebih memahaminya

    BalasHapus
  2. Sekarang penulis telah menjadi seorang hafidzah quran. Luar biasa..... hanya dalam waktu kurang dari 6 bulan dia telah menghafal alquran 30judz dgn baik. Subhanallah... from zero... dari cm bermodalkan hafalan surat2 pendek 6 bulan

    BalasHapus
  3. Sekarang penulis telah menjadi seorang hafidzah quran. Luar biasa..... hanya dalam waktu kurang dari 6 bulan dia telah menghafal alquran 30judz dgn baik. Subhanallah... from zero... dari cm bermodalkan hafalan surat2 pendek 6 bulan

    BalasHapus