Minggu, 12 Desember 2010

Sisi Lain 65

Buku Kumpulan Cerpen “Mati Baik-baik, Kawan”
Penerbit Akar Indonesia, 2009

dan

Cerpen Melarung Bro di Nantalu, Nova 13 Desember 2010

Penulis : Martin Aleida


Membaca cerpen di Nova terbaru hari ini, karya Martin Aleida, mengingatkan saya kepada buku kumpulan cerpen dari penulis yang sama. Saya memang sedang berniat menuliskan kesan saya terhadap buku tersebut. Munculnya cerpen sang penulis buku di tabloid yang saya terima tadi pagi menguatkan rencana. Sekalian saja saya bahas dua-duanya.

Buku “Mati Baik-baik, Kawan” memuat 9 cerita pendek. Saya mendapat hadiah buku ini dari Ibu Maria Andriana tahun lalu, saat baru diterbitkan. Buku yang ditandatangani penulisnya ini langsung menjadi penghuni lemari karena, sejujurnya, saat itu saya kurang tertarik untuk membacanya. Melihat ilustrasi sampul dan membaca halaman pertama dari cerita pembuka, saya langsung menyimpulkan ini buku sastra politik, berat. Nanti saja dibaca saat leluasa.

Buku setebal 144 halaman ini mungkin masih akan terus nyenyak tidur di rak paling atas lemari buku saya andai saya tidak mengikuti pelatihan menulis feature di LPJA dengan Pak Martin sebagai salah seorang pengajar, pada pertengahan 2010. Saya sungguh terkesan dengan keteraturan bahasa lisan beliau. Saya tertegun mendengar kisah-kisah bermakna darinya tentang profesi wartawan yang sempat dia tekuni pada tahun 70-80-an. Pak Martin mengatakan, betapa keterikatan seorang jurnalis saat itu terhadap kombinasi bunyi tuts mesin tik dan suara teleks yang berpadu dengan tenggat sangat mempengaruhi pengeluaran potensi diri. Suasana itu hilang ketika era komputer dan internet datang, walaupun teknologi ini membawa berbagai kemudahan, ujarnya pula.

Cerita pertama berkisah tentang Mangku yang pergi dari tanah kelahirannya, Bali. Mangku trauma. Ayahnya, yang semula petani bukan pemilik sawah, mati dibunuh secara kejam hanya karena menjadi penerima tanah yang dibagikan oleh organisasi tani. Mangku tak ingin mati nelangsa seperti itu, dia ingin mati terhormat. Dia tahu, di Lampung dia bisa mendapat itu.

Mangku beranjak dari Bali ditemani seekor anjing dan seekor monyet. Dengan mengandalkan atraksi sang anjing dan sang monyet Mangku mendapat cara untuk bertahan hidup sambil terus bergerak menyusuri kota-kota sepanjang pulau Jawa. Di Jakarta anjingnya disita petugas dengan alasan pencegahan rabies, walau beberapa hari kemudian Mangku menemukannya terikat di halaman rumah mewah. Dengan hati luka dia melanjutkan perjalanan.

Di pelabuhan di ujung Barat Jawa, saat beristirahat, giliran sang monyet mati digigit anjing rabies. Mangku dengan hati yang semakin luka melanjutkan perjalanan sambil memangku mayat monyetnya. Di Lampung, di tanah tujuan, tempat dia ingin dimakamkan secara terhormat, dia menuju puncak bukit. Menggali sendiri, memakamkan monyetnya dengan cara seterhormat mungkin, ironis jika dibandingkan dengan proses penguburan ayahnya dulu, yang hanya bisa dia intip dari balik pintu.

Cerita kedua tentang kematian orang yang selama tiga puluh tahun menjadi sumber informasi bagi penguasa sehingga berakibat mengantar tukang jagal ke leher sahabat dan orang-orang di sekitarnya. Untuk karirnya tersebut, dia sempat melangkah sampai ke Paris, mampir ke sebuah restoran milik kawan lamanya yang tak mungkin kembali ke tanah air, berusaha menginap di salah seorang karyawan restoran, tapi misinya tak berhasil karena di Paris hukumnya berbeda dengan di tanah air.

Kisah sepenggal ini, dikembangkan penulis menjadi satu cerita lain, dimuat di Nova minggu ini, yang dilihat dari sudut pandang sang pemilik restoran. Bro, si tokoh, seorang guru besar yang ke Tiongkok untuk menjadi pengajar bahasa Indonesia. Tak lama, karena ada Revolusi Kebudayaan di sana yang membuatnya tak leluasa hidup di Tiongkok, tapi juga tak mungkin pulang ke tanah air. Dia melarikan diri ke Eropa, terdampar di Paris. Membuka restoran. Setelah wafat, sesuai permintaannya, sang anak mengkremasikan, mengirim ke tanah air, dan meminta abu sang ayah dilarungkan di pusaran air di hulu sungai di Nantalu kepada sahabat ayahnya, tokoh aku dalam cerpen ini yang memimpikan jasadnya berakhir persis seperti itu.

Kembali ke kisah di cerita kedua dalam buku. Mayat dalam peti itu hanya diantarkan secara terpaksa oleh petugas sampai ke tanah pemakaman. Hanya satu orang yang mengantar, istrinya yang seumur hidup perkawinan menanggung derita akibat profesi suami sebagai pengkhianat. Di pemakaman, sang istri menangis, sedih dan bingung. Tak ada penggali kubur yang bersedia menggalikan lubang untuk mayat suaminya. Dari kisah ini kita belajar bahwa perbuatan nista seseorang karmanya kadang tidak ke yang bersangkutan, melainkan kepada orang-orang di sekitarnya, orang-orang tercintanya.

Cerita ketiga tentang seorang pemuda Sumatra yang dengan antusias turun di stasiun Balapan, Solo, untuk menemui calon istri di Sosroyudan. Beriringan dengan seseorang yang ternyata carik di kampung tersebut. Mereka pun berjalan bersama. Perbincangan selama perjalanan menguak fakta bahwa sang gadis adalah anak seseorang yang membela Barisan Tani di pengadilan, padahal sang carik adalah salah seorang pemilik tanah yang direbut dan kemudian dibagi-bagikan oleh Barisan Tani. Ayah sang gadis diadili massa, dan keluarganya dikucilkan. Menarik, betapa semangat menggebu menjemput cinta berhadapan dengan realita keterasingan sang pujaan dari lingkungan sekitar.

Cerita keempat tentang suami yang sedang menunggui istri yang sekarat karena kanker. Suami bertekad menguak rahasia yang 30 tahun disimpannya sebelum sang istri dijemput ajal. Dengan berbisik di telinga istri, dari kejauhan tampak seperti bercumbu rayu, si suami menceritakan kisah lamanya. Bahwa saat mereka bertemu dulu, dia sedang luntang lantung selepas dari tahanan. Dia bisa bebas karena mengantungi surat wasiat ortunya yang sedang menunaikan ibadah haji.

Dia tak berani mengungkap pandangan politiknya kepada sang istri, karena takut melukai dan melibatkan sang istri dalam kesulitan. Betapa, sepasang suami istri yang sedemikian menyatunya pun ternyata masih mempunyai rahasia yang sangat mendasar. Karena tak ingin kehilangan cinta, suami rela bersandiwara dalam tiga dasawarsa berumah tangga.

Cerita kelima tentang seorang istri yang 30 tahun lalu ditinggal suaminya menghilang, hanya menyisakan anak-anak yang perlu dibesarkan. Betapa kesulitan menghadang sepanjang perjalanan, karena tanda penyakit lepra di ujung kanan KTPnya, kode ET. Dua huruf yang mempunyai implikasi sangat luas, berkaitan dengan penerimaan lingkungan, kehormatan, bahkan peluang berbuat.

Cerita keenam juga tentang seorang istri. Saat pengantin baru pada tahun 1965, suaminya tiba-tiba menghilang, dan dia dipaksa untuk mengungkap keberadaan suaminya. Sesuatu yang dia tahu pasti, bahwa dia tak tahu jawabnya. Suatu hari dia diselamatkan seorang kapten, dibawa ke suatu rumah, dijadikan budak. Siang mengerjakan pekerjaan rumah, malam dikerjai tuan rumah. Tanpa bayaran. Tanpa ikatan. Sampai suatu saat dia berbadan dua, sang kapten menghilang entah kemana.

Tak ada anak haram untuk seorang ibu, yang ada hanya bapak yang jadah. Dibesarkannya sang anak dengan segala upaya. Saat sudah cukup modal, dia membuka kursus bahasa Inggris. Hingga hari ini, saat satu demi satu muridnya mengundurkan diri, karena hanya disini kursus masih “manual”. Ada laptop, ada in focus, tapi bu guru ini tak berupaya untuk menggunakan. Tetap menggunakan mesin tik sebagai ungkapan setia, pada diri, pada profesi, pada masa lalu.

Cerita ketujuh tentang seorang perempuan yang tersakiti oleh pamannya. Sang pamanlah yang menjadi penyebab ayahnya meninggal dengan tidak bernisan. Sang pamanlah yang secara terus menerus selama empat puluh tahun sedikit demi sedikit mengurangi luas sawah mereka yang bersebelahan dengan sawahnya. Ketiadaan nisan ayahnyalah yang menyebabkan rumah tangga bahagianya bubar begitu saja, karena nisan bernilai penting bagi suku bangsa mantan suaminya.
Marahnya perempuan itu telah berkembang menjadi dendam, dendam yang membawa sumpah, sumpah yang mempersulit pamannya berkalang tanah.

Cerita kedelapan tentang kematian seorang haji pedagang kopiah, yang berdakwah dengan lelucon. Saat hidupnya dia disegani dan dikangeni warga. Dia seorang hafiz Qur'an. Hidup berjalan mulus-mulus saja. Kalaupun ada kendala, hanya di akhir 60-an. Haji Johansyah, begitulah namanya, sempat ditahan beberapa bulan karena dianggap sebagai penyedia kopiah dalam pertunjukan teater saat peringatan ulang tahun PKI. Cerita ini yang tampaknya paling "ringan", tak ada pemenggalan kepala, tak ada penodongan senjata. Tetapi, kisah ini tampaknya untuk menggambarkan langkah membabi buta pihak berwenang. Bahkan seorang hafiz Qur'an pun dikategorikan komunis.

Cerita pamungkas saya duga sebagian besarnya merupakan penceritaan kisah pribadi penulis saat bekerja di majalah Tempo selama 13 tahun. Sebagai salah seorang yang turut membidani kelahiran Tempo, Martin -tokoh di cerpen ini sama dengan nama penulis- digantung statusnya secara administratif maupun pemberian kerja, tak lama setelah orang-orang tahu bahwa dia eks tapol. Tampaknya, sudut yang ingin dibidik penulis dari cerpen ini adalah bahwa profesionalitas, hubungan pertemanan, dan kapasitas diri tidak ada hubungannya dengan kesempatan berkarya, jika kamu punya cap dua huruf di KTP.



Itulah penggalan kisah dan ilustrasi dari kesembilan cerpen dalam buku ini. Saat membaca, dan setelahnya, saya larut dalam suasana yang dibentuk penulis. Saya terhenyak, karena semua yang diceritakan menggambarkan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan.

Sebagai kelahiran akhir 60-an, saya hanya kenal 2 zaman sepanjang masa sekolah saya. Masa Orla sebelum saya lahir, dan Orba setelah saya lahir. Itu saja. Saya mengetahui tentang peristiwa 1965 hanya dari pelajaran sekolah, film, dan bacaan yang boleh dibaca saat itu. Saya terbentuk dengan masukan seperti itu. Saya bukan petualang yang berani mencari-cari yang tidak ada di permukaan, kebetulan pula saya memang tidak punya ketertarikan ke arah itu.

Saya menjadi dewasa dengan gambaran betapa mengerikan kekejaman yang dilakukan PKI. Sadis. Saya tidak pernah memikirkan ada kemungkinan lain.

Membaca buku ini, saya seperti mengetahui hal baru. Teringatkan. Iya ya ada kemungkinan seperti ini. Ada orang-orang yang berada pada situasi tragis, berada pada tempat yang salah pada saat yang salah. Bahwa, organisasi yang pimpinannya komunis, anggotanya belum tentu komunis, bahkan mungkin saja kehadirannya di organisasi tersebut hanya karena kesamaan minat dan profesi, tak ada hubungan sama sekali dengan sikap politik. Bahwa walaupun komunis itu salah, orang per orangnya adalah manusia biasa, yang butuh cinta dan kasih sayang, yang punya urusan sosial sehari-hari, seperti manusia lainnya.

Mudah-mudahan ini bukan efek pendidikan…. Jujur, saya masih punya kekhawatiran dianggap sebagai pendukung paham kiri dengan mengirim tulisan ini…

5 komentar:

  1. Membaca resensi ini bagaikan membaca keseluruhan isi buku karya sang penulis, sebuah kumpulan cerpen kemanusiaan.

    Teruslah membaca dan menulis untuk membangun kearifan diri. Kearifan pd resensi ini, dikau tak terjebak ikut menilai perjalanan hidup sang penulis yg tentunya mengalami situasi lain pd zamannya, kecuali membuka sudut pandang yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

    Selamat ya. Salut.

    BalasHapus
  2. hebat deh, resensinya udah kayak pakar, gak usah baca bukunya lagi kalau gitu, informasinya udah komplit soalnya.

    BalasHapus
  3. Makasih Bu Tanti (atau Bapak? Maaf.), tapi ini baru ulasan. Membaca langsung jauh lebih memberi pencerahan. Penyelesaian cerita-ceritanya banyak yang tak terduga, yang membuat kita merenung lebih jauh lagi.

    Saya mengungkap prolog atau inti dari setiap cerpen hanya untuk menunjukkan bahwa ada banyak kemungkinan peristiwa yang selama ini tidak saya ketahui, bahkan bayangkan, sama sekali.

    BalasHapus
  4. Terimakasih untyuk sharing-nya Ibu. I missed the times when I could read books, alone or together with my lovely daughters. Tapi saya sudah mulai mencoba lagi, dan tulisan ibu menguatkan saya untuk mencoba mulai membaca lagi....(Pelatihan Menulis Feature tampaknya sudah membuahkan hasil Ibu ..)

    BalasHapus