Buklet ini menjadi oleh-oleh
suami sepulang tarawih di Jakarta, Senin malam lalu. KH Muchtar Adam sebagai
penceramah membagikan materinya kepada para hadirin. Alhamdulillah, beliau
masih sehat di usia lanjutnya. Saya juga bisa ikut bernostalgia, seolah-olah mendengar
tausiyah beliau. Saat mahasiswa, 2 kali ikut pesantren kilat berlokasi di
Babussalam, yang beliau dirikan. Selain itu, beberapa kali mendengar ceramah
beliau di mesjid Al Azhar, dekat rumah orangtua saya.
Buklet ini khas gaya pembahasan KH Muchtar Adam. Tak
banyak berbunga-bunga. Isinya ayat al Qur’an dan hadits dengan sumbernya saja. Sedikit
sekali kata-kata penghubung. Karenanya, saya lebih banyak menyingkat isi buklet
ini dengan tak mencantumkan kalimat bahasa Arabnya saja. Tak bisa disingkat
lebih singkat lagi. #
Shalat pada hakikatnya adalah
hubungan langsung dengan Allah Swt. Kita tahu, makan dan minum membatalkan shalat, ini kan sama dengan shaum.
Makan dan minum membatalkan shaum. Bisa jadi, saat shaumpun sebenarnya kita
dituntut melaksanakan apa yang wajib kita lakukan saat shalat, yaitu khusyu’. Karenanya, yang akan dibahas
kali ini adalah khusyu’, khususnya khusyu’ dalam shalat. Dengan harapan, kekhusyu’an
yang sama bisa kita terapkan dalam shaum.
QS Al Mukminun: 1-2.
Sesungguhnya, beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang
khusyu’ dalam shalatnya.
Definisi Khusyu’
Menurut Imam Ali bin Muhammad
al Sayyid al Syarifal Jurjany dalam kitab Mu’jam al Ta’rifat, Khusyu’ adalah alkhudhu’ dan al tawadhu, ini artinya sama.
1.
Khusyu’ adalah
ketundukan kepada Allah Swt.
2.
Khusyu’ adalah hati
yang selamanya takut kepada Allah.
3.
Tanda-tanda khusyu’
: jika
seorang hamba marah, disingkirkan, atau ditolak, dia menerima dengan senang
hati. Dari definisi ini, khusyu’ berlaku dalam segala hal kehidupan, bukan
pada saat shalat saja.
Karenanya, lapangan khusyu’ menjadi sangat luas, terus-menerus dalam kehidupan, tak
henti-hentinya, kapanpun, dan dimanapun.
Menurut tanwir al Miqbas li
Ibni ‘Abbas. Laki-laki yang khusyu’ (al khaasyi’iina) ialah orang-orang yang
merendahkan diri kepada Allah dari kalangan laki-laki. Sedangkan perempuan yang
khusyu’ (al khaasyi’aati) adalah orang-orang yang merendahkan diri kepada Allah
dari kalangan perempuan.
Menurut tafsir al Qasimiy.
Mereka rendah diri kepada Allah dengan hati dan anggota badan mereka dan khusyu’,
yaitu tenang dan tukmaninah serta
memenuhi segala kewajiban, dan rasa hormat serta rendah diri. Hal ini
membawanya kepada takut kepada Allah Ta’ala
sehingga mencapai derajat muraqabah.
Sifat-sifat Khusyu’
QS Al Anbiya: 90. ...Mereka itu
bersegera di dalam Islam (dalam
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik),
dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka
adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.
Khusyu’ disini adalah dalam segala urusan hidup,
Menurut Hadits Nabi Saw, ciri orang khusyu’ itu ada 4
1. Merasakan
pengawasan Allah baik saat sendirian maupun dalam keramaian.
Disini nampak jelas
ma’rifat seseorang.
Makna khusyu’
disini adalah:
-
Tak ada kesempatan
untuk berbuat maksiat.
-
Zikir kepada Allah
dalam segala situasi dan kondisi.
2. Senantiasa berada
di atas kebaikan, keindahan, kesalehan, dan kepenyantunan.
Sikap hidupnya
selalu dihiasi amal saleh dan menggembirakan orang lain.
Ini berarti memiliki
jiwa kesalehan sosial.
3. Senantiasa mentafakkuri
hari kiamat.
a.
Banyak mengingat
hari pembalasan
b.
Hidupnya diarahkan
untuk kebahagiaan akhirat (zuhud).
4. Senantiasa munajat
kepada Allah
a.
Tak lepas hubungan
dengan Allah melalui zikir, doa, dan munajat.
b.
Mengimplementasikan
doa dan zikirnya dalam kehidupan sehari-hari.
Saat Nabi Saw ditanya, apakah khusyu’ itu? Maka Nabi
bersabda: tawadhu di dalam shalat dan Allah
‘Azza wa Jalla terhunjam secara total dalam hati seorang hamba.
Selain ke-4 point di atas:
5. Khusyu’ adalah hiasan wali-wali Allah
QS Al Anbiya:90. Maka
Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami
jadikan istrinya dapat mengandung. ...dst (telah ditulis di atas).
Khusyu’ adalah sikap
hidup keseharian. Khusyu’ di dalam shalat hanya setetes dari makna khusyu’ ini, yaitu sebagaimana pada point 6. Dan
didetilkan pada bagian berikutnya.
6. Khusyu’ di dalam
shalat.
Uraian hadits oleh
Imam al Raghib al Isfahany: Jika hati (qalbu) sudah tunduk, maka anggota badan
(fisik) juga akan khusyu’.
QS Al Isra: 109. Dan mereka
menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’
Khusyu’ di dalam shalat.
1. Khusyu’u al Bashar.
Pandangan yang tunduk, hanya melihat ke tempat sujud, kecuali saat tasyahud.
a.
QS Al Mu’minun:1-2
b.
QS Al Naziat: 9
c.
QS Al Qalam: 43
d.
QS Al Qamar: 7
2. Khusyu’u al Shawt.
Suara yang khusyu’.
a.
QS Thoha: 108
3. Khusyu’u al Qalb.
Khusyu’nya hati.
a.
QS Al Hadid: 16
b.
Imam Muhammad
Thahir Ibnu ‘Asyur menafsirkan sebuah hadits sebagai: Belum sampailah masanya
merasa tenang dan tentram hati orang-orang beriman untuk menegakkan shalat dan
hukum-hukum al Qur’an sehingga gemetar hatinya jika disebutkan ayat-ayat Qur’an.
4. Khusyu’u al
Jawarih. Khusyu’nya anggota badan
Khusyu’ keempat ini
berdasarkan hadits-hadits.
Contoh. Dikisahkan, saat masuk
mesjid Rasulullah melihat seseorang sedang shalat sambil mengelus-elus
jenggotnya. Beliau bersabda, ”Sekiranya orang ini khusyu’, maka tangan dan
seluruh anggota badannya juga akan khusyu’.”
Puncak Khusyu’
Sedangkan puncaknya khusyu’, implementasinya
dalam ibadah adalah adanya 7 kata bukiyyan
dalam Al Qur’an, yang mengungkap tentang tangis, tangisan, dan menangis.
Akar kata bukiyyan, yaitu bakkah, terungkap pada QS Ali Imran:96. Menurut
Ibnu Abbas, bakkah berasal dari bakaa__yabkii__bukaa-an
yang berarti menangis. Dari bakkah berubah menjadi Makkah, yang berarti kota untuk menangis.
Imam al Rifa’i dalam kitab
Halah Ahli al Haqiqah Ma’allah
mengungkapkan tingkatan-tingkatan
menangis berdasarkan 7 kata nangis dalam al Qur’an, yaitu:
1. Tangisan karena malu. Menangisnya Adam ketika
dipindahkan dari surga. Allah menegurnya karena menangis bukan karena
meninggalkan ibadah. Adam pun mengucap kalimat ikhlas. QS Al Baqarah: 3. Maka
Allah pun mengampuninya.
2. Tangisan karena kesalahan, seperti tangisan nabi Dawud ‘as.
3. Tangisan karena takut, seperti tangisan nabi Yahya bin
Zakaria ‘as.
4. Tangisan karena merasakan kehebatan Allah Swt, yaitu
tangisan para nabi, para wali Allah, dan ahli ma’rifat. Seperti pada QS Maryam:
58. “...apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka
mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”
5. Tangisan karena kehilangan sesuatu, seperti tangisan
nabi Ya’qub ‘as. Ketika 1 dari 12 anaknya dijauhkan Allah darinya, Ya’qub
menjadi buta karena menangis.
Hakikatnya, tangis dan tawa itu dari Allah. QS Al Najm:
43, “Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.”
Para ahli ma’rifat tertawa karena gembira dengan ma’rifatnya,
dan menangis jika berpisah dengan Allah.
Dalam satu riwayat dikatakan, bahwa tangisan dan air mata
yang berguguran, maka seperti itulah bergugurannya dosa-dosa. Maka karena itu
para nabi, sahabat, dan ulama-ulama salihin ahli dalam bidang ini dalam rangka
taqarrub kepada Allah.
Jika tak dapat menangis, maka boleh saja dengan tabaaki (pura-pura menangis), atau
nangis hakiki, yaitu menangis dalam hati, tangisan batiniyah.
7. Tangisan dalam hati
ini adalah tenggelam dalam kesedihan.
Catatan amal saleh kaum mukminin nanti di akhirat banyak yang merupakan akibat
penderitaan dan kesedihan.
Imam Hasan Basri seluruh hidupnya tak lepas dari bencana
dan kesedihan.
Saat Fudhail bin Iyadh wafat, imam al Waki berkata,”Hari
ini kesedihan sudah lenyap dari muka bumi.” Ini karena beliau terus dirundung
kesedihan, dan dari kesedihan inilah memancar amal-amal kebaikan dan pahala
yang banyak, serta selalu bersatu dengan Allah.
Nabi Ya’qub kedua matanya menjadi putih karena kesedihan,
sehingga beliau terus bertawarrub kepada Allah (QS Yusuf:84-86).
Nabi Ibrahim kesedihan-kesedihannya selalu diadukan
kepada Allah. (QS Hud: 75)
Buklet 12 halaman ini berhenti
di sini. Tak ada uraian lain lagi. Saya agak bingung, apa kaitannya dengan
judul. Mungkin aplikasinya KH Muchtar
Adam sampaikan dalam ceramah langsung yang tidak saya hadiri.
Setelah saya baca ulang,
mungkin, berbekal petunjuk pada alinea pertama kita bisa ambil kesimpulan. Shaum
dan Shalat sama-sama batal jika makan dan minum. Shalat terbaik adalah jika
kita bisa khusyu’. Maka, shaum juga akan memberi hasil terbaik jika kita khusyu’.
Tak sekedar menahan lapar dan haus, tapi juga mengajak seluruh qalbu dan tubuh
kita shaum sepanjang waktu. Mengingat Allah. Merendahkan diri kepada Allah. Mengagungkan namanya dengan lisan maupun tindakan. Dan puncaknya,
membuat qalbu dan tubuh kita “menangis”.
Ya Allah, malu benar. Saya masih
sangat jauh dari itu. Saya tak di posisi menyampaikan sesuatu yang belum saya
lakukan. Tulisan ini terutama mengingatkan diri saya sendiri, sebagai bentuk
mencari ilmu di Bulan Berguru.