Sama sekali saya tidak sedang membicarakan pintu akhirat. Saya hanya ingin berbagi cerita tentang sebuah pintu.
Sebuah pintu di dalam ruang utama rumah kami ini sangat berjasa. Dia sering menolong saya pada saat darurat.
Penghuni rumah kami hanya suami yang jarang bertemu matahari Bogor, seorang anak yang lambungnya mungil, dan saya yang penyayang (merasa sayang kalau harus membuang sesuatu). Anak saya makan siang di sekolah. Suami hanya minta disediakan buah-buahan jika malam-malam lapar. Jadi, untuk kebutuhan kami sekeluarga, memasak nasi satu gelas takar saja bersisa. Jika saya sedang telaten, nasi ini dihangatkan untuk sarapan keesokan harinya. Tetapi saat harus menginap, saya titipkan kepada penunggu rumah saya yang setia. Dia.
Kadang saya simpan dengan rapi, dikemas dahulu. Jika terburu-buru karena menyelesaikan berbagai urusan rumah, semua yang di atas meja makan saya titipkan kepada dia begitu saja.
Ketika kembali dari perjalanan, biasanya saya ambil dulu titipan saya pada dia. Jika tidak biasa, itu berarti saya lupa. :)
Saya jarang menginterogasi dia tentang apa saja yang sedang saya titipkan. Mungkin karena saya terlalu percaya pada integritasnya.
Suami saya pun tak kurang yakinnya atas kesetiaan dia. Setiap pulang dari perjalanan dinas, satu bukti kecil dititipkan padanya. Ada yang berbentuk miniatur gedung, gambar pemandangan, atau simbol yang bisa mengingatkan ke mana saja kakinya telah menjejak.
Sampai beberapa hari terakhir, saya merasakan dia mengeluh. Baunya bagai orang tak mandi seminggu. Di tengah janji menyelesaikan tulisan untuk teman, saya sisihkan satu hari untuk merawatnya bagai di spa.
Terkejut saya ketika menemukan banyak titipan yang sudah menjadi harta karun. Sayangnya bukan emas berlian yang saya simpan. Kadaluarsa saja yang ada. Bumbu rujak yang tumpah ternyata menjadi penyebab dia menutup hidung tapi tak berdaya untuk berteriak apa-apa.
Maaf ya....
Setengah hari berlalu, semua di belakangnya telah bersih dan wangi. Ternyata dia masih cantik dan berfungsi baik. Saya merasakan dia menggeliat kesenangan karena lega.
Sisa hari, saya mulai menyiapkan pembersihan bagian depannya. Saat saya lepaskan satu demi satu titipan suami, saya terhenyak atas informasi yang tersampaikan. Betapa jauh kaki suamiku telah melangkah, betapa banyak jejak telah dia tinggalkan di banyak tempat. Semoga semua menjadi berkah dan membawa kebaikan.
Tubuhnya yang kini telanjang, mengingatkan saya pada memori yang berbeda. Jejak anak. Ada cerita atas proses hidup. Bagaimana sticker-sticker itu menempel dari tempat terbawah sampai ke posisi tertinggi. Sejak belajar merangkak, berdiri, dan meninggi. Bagian-bagian yang terlepas atau tercoreng, menunjukkan pelampiasan rasa ingin tahu. Bahkan setiap gambar tempel mempunyai kisahnya sendiri-sendiri.
Terharu... Betapa dia ternyata menyimpan banyak sejarah keluarga kecil saya.
Tahap terakhir mengelap tubuhnya saya lakukan dengan lebih penuh sayang dan terima kasih kepadanya. Kepada pintu keabadian. Pintu kulkas.
*terima kasih kepada mbak Tias Tatanka atas ide menuliskan pintu keabadian ini, dan kepada Yuanita Dwiyani yang pernah berbagi kisah tentang memori di pintu kulkas.
Sukaaaaaa.... di tengah tulisan aku sampai merindiiiing:)))) hehehehe...
BalasHapusMakasih, mbak Tias....
BalasHapus